Pagi ini, Grizelle dan kakak perempuannya yang bernama Stella, tampak sibuk mondar-mandir melayani karyawan kantor yang sengaja mampir untuk makan atau sekedar memesan secangkir teh hangat atau kopi. Kedua gadis itu dengan cekatan menyiapkan berbagai menu yang dipesan. Bergantian mengantarkan pesanan ke meja pelanggan dengan senyum manis yang mengembang.
Dan disaat para karyawan harus kembali ke ruangan mereka masing-masing, Grizelle segera kembali ke dapur kantin. Membereskan piring-piring dan gelas-gelas kotor. Sementara Stella dan dua orang pekerja yang memang sudah lama bekerja dengan orang tua mereka, juga sibuk merapikan meja-meja.
Setelah pekerjaannya lempang, barulah Grizelle mulai pada pekerjaan selanjutnya. Mendekati counter dapur, mengambil cangkir dan meletakkannya di atas piring kecil. Dia ambil gula dan kopi beraroma latte. Kemudian sesuai takaran, Grizelle menyatukan semua bahan tersebut ke dalam cangkir dan menyeduhnya dengan air panas. Dalam sekejap, aroma kopi latte itu langsung menyeruak ke udara. Membuai hidung siapa saja yang menciumnya.
Grizelle mengaduk kopinya dengan pelan. Senyumnya sudah memudar dari tadi. Sejak dia berencana untuk membuat kopi latte tersebut. Sebab kopi yang dia buat adalah untuk dia persembahkan kepada CEO yang terkenal arrogan di perusahaan ini.
Grizelle menghela nafas. Berat dan dalam. Menenangkan pikirannya sejenak. Rasanya tidak ingin menemui CEO yang tampangnya mengerikan tersebut. Setelah dirasa cukup siap, ia kemudian meletakkan cangkir yang berisi kopi itu ke atas nampan, lalu membawanya menuju ruangan yang sama sekali tidak ingin dia datangi. Hanya karena sebuah tugas yang sudah diamanatkan oleh sang ibu, makanya Grizelle terpaksa harus kembali menemui CEO itu untuk memberikan secangkir kopi kegemarannya.
Kedua kaki ramping itu berjalan pelan penuh keraguan. Ketika Grizelle tiba di depan pintu ruangan yang dia tuju, gadis itu kembali menarik nafas panjang. Berusaha menetralkan rasa canggungnya. Yang tanpa dia sadari, Tristan melihat gerak-geriknya dari dalam ruangan. Tersenyum sinis menatap pintu kaca yang hanya dapat menembus pandangan dari dalam. Tristan mengabaikan laptopnya yang menyala. Memilih merebahkan tubuhnya ke senderan kursi kekuasaannya. Melipat tangan ke belakang kepala sambil meluruskan pandangannya. Tak mau beralih pandang dari gadis yang berada di balik pintu yang terlihat ragu untuk masuk ke dalam ruangannya.
Grizelle mengetuk pintu ruangan Tristan. Dan jelas saja Tristan segera menyahutnya dari dalam.
"Masuk!"
Pelan Grizelle mendorong pintu itu. Masuk ke ruangan Tristan dengan langkahnya yang hati-hati.
"Permisi, Tuan! Saya ingin mengantarkan kopi untuk Tuan," ucap Grizelle tanpa melihat wajah Tristan.
Tristan berdehem dengan matanya yang masih saja mengamati gerakan tubuh Grizelle. Begitu kagum melihat lekuk tubuh gadis belia itu. Hanya dengan mengenakan kaos ketat berwarna putih dan celana jeans yang panjangnya sebetis, sudah membuat Grizelle begitu anggun. Hingga Tristan tak habis pikir dengan pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa kagum pada gadis yang tampilannya begitu sederhana seperti ini. Bahkan, rambut gadis itu saja cuma dicepol asal. Tapi kenapa dengan tampilan yang sederhana itu sudah membuatnya terpesona? Hingga fantasinya selalu muncul ketika menatap gadis tersebut.
"Permisi, Tuan, mohon maaf saya izin kembali," pamit Grizelle setelah meletakkan cangkir berisi kopi itu ke atas meja kerja Tristan.
"Tunggu!" Tristan mencegah Grizelle yang baru berjalan setengah langkah.
Grizelle menggigit bibir bawahnya. Tak menyangka kalau Tristan akan mencegah langkahnya lagi sama seperti saat pertama kali dia masuk ke ruangan ini. Dia pun urung melanjutkan langkah. Memilih membalikkan badan menghadapTristan.
"Ada apa, Tuan? Apa ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya Grizelle was-was.
Tristan memegang ganggang cangkir yang terbuat dari tanah liat yang diukir sedemikian cantik itu.
Lalu matanya yang bagaikan mata elang itu menemui mata Grizelle yang sedang memancarkan aura ketakutan.
"Jangan pergi sebelum aku mencicipi kopi buatanmu! Aku tidak tau apakah kau bisa melakukan hal yang sama seperti ibumu. Apakah rasa kopi ini akan sama enaknya, atau bahkan lebih enak dari buatan ibumu. Yang jelas, aku tidak menerima dan memaafkan sebuah kesalahan. Apapun itu, dan bagaimanapun kondisinya ... semua harus sempurna bagiku!" terang Tristan
tegas.
Grizelle menelan saliva kasar-kasar. Matanya bulat seperti bola. Tristan akan menilai kopi buatannya. Dan dengar sendiri bukan? Laki-laki itu mengatakan bahwa dia tidak akan menerima dan memaafkan sebuah kesalahan. Apapun, dan bagaimanapun kondisinya!
Kedua bola mata Grizelle semakin melebar saat cangkir itu diangkat oleh Tristan. Tubuhnya semakin tegang kala bibir pria itu menempel di pinggir cangkir. Menyeruput kopi dengan pelan, dan menelan cairan pekat itu dalam-dalam. Tristan tampak diam sesaat. Menghayati apa yang dia rasakan. Atau memang dia sedang menilai bagaimana rasa kopi buatan gadis yang berada di hadapannya itu. Yang mana ekspresi itu membuat jantung Grizelle berdentum-dentum hebat. Menunggu penilaian dari pria arrogan yang baginya sangat menyebalkan.
Pria yang dinilainya paling angkuh di perusahaan ini, atau bahkan di seluruh alam semesta. Kini, Grizelle merasakan sensasi tubuhnya seperti berada di atas awan yang siap jatuh ke bumi kapan saja.
****
"Hem—" Tristan menarik nafas dan membuangnya pelan. Ekspresi kerasnya sedikit memudar. Ia menatap gadis yang berdiri tak jauh darinya. "Lumayan! Tidak seburuk yang aku kira," ucapnya datar. Tidak seburuk yang aku kira! 'Adakah yang lebih menyebalkan dari pria ini? Kenapa dia bisa-bisanya menilai buruk pekerjaan seseorang sebelum merasakan sendiri hasilnya!' Grizelle membatin. Tak kuasa bersuara. Baginya lebih baik diam daripada merespon ucapan Tristan. Hanya mengumpat dalam hati sambil menyaksikan pria seram ini berceloteh sesuai apa yang ada di otaknya.
Di sebuah restoran yang cukup ternama di salah satu hotel berbintang lima, Tristan dan beberapa staf perusahaan, sedang sibuk membahas tentang apa saja yang menjadi target utama mereka dalam upaya pengembangan bisnis. Miko sebagai kaki tangan dan juru bicara Tristan, dengan lantang menerangkan dan menjelaskan bagaimana caranya agar perusahaan mereka dapat berkembang dengan optimal, meski nyatanya perusahaan itu sendiri sudah berkembang pesat.Miko memberi arahan kepada para karyawan yang baru bergabung di perusahaan itu agar mereka dapat bekerja dengan baik dan dapat mempertahankan pencapaian perusahaan saat ini. Terlihat para staf karyawan begitu menyimak dan sesekali merespon apa yang disampaikan oleh Miko. Mereka tampak antusias dan manggut-manggut ketika Miko memberi arahan.Namun, tidak bagi Tristan. Pria bertampang keras itu terlihat tak menyimak apa yang Miko dan karyawannya perbincangkan. Ia malah asik den
Kantin sudah tutup. Grizelle, Stella dan dua orang pekerja lainnya bersiap-siap untuk pulang."Dek!" Stella menyapa Grizelle di tengah-tengah kesibukannya merapikan tas."Ya, Mbak?" sahut Grizelle."Sepeda motor Mbak mengalami pecah ban. Kayaknya Mbak harus ke bengkel dulu untuk ganti ban.""Oh, ya udah. Biar aku nunggu di depan gerbang. Mbak bisa pergi sendiri kan?""Bisa. Kan bengkelnya gak jauh di sekitar sini. Nanti kalo udah selesai, Mbak bakalan balik jemput kamu.""Oke deh!" Grizelle menyetujui."Kamu gak pa'pa kan Mbak tinggal sendiri?""Gak pa'pa kok, Mbak! Kan udah selesai. Hanya tinggal nyapu sedikit, trus setelah itu aku akan tutup pintu kantin."
Kegelisahan yang luar biasa menyerang Grizelle. Ia benar-benar sedang merasa terancam. Bagaimana tidak, saat ini ia sedang bersama Tristan dalam satu mobil. Berdua dengan pria yang terkenal sangat arrogan dan dingin. Gadis itupun meronta-ronta bermohon pada Tristan agar ia menghentikan mobilnya. "Apa salah saya pada Anda, Tuan! Kenapa Anda memaksa saya seperti ini! Sudah saya katakan kalau saya ini sedang menunggu kakak saya! Tolong hentikan mobilnya!" Grizelle memekik, menarik-narik tangan Tristan yang sedang aktif mengemudi. Berharap pria itu segera menghentikan laju mobil agar ia dapat segera turun dari mobil itu. Diturunkan di jalanan juga tidak mengapa. Asal ia bisa terbebas dari pria bengis yang saat ini memaksa dirinya agar tetap diam di tempat duduk. "Kau tidak perlu takut! Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu. Tenanglah!" balas Tristan tegas. Tapi Grizelle tetap saja meronta-ronta ingin Tristan segera mengere
"Zel?"Stella turun dari sepeda motor matic berwarna putih miliknya. Celingak-celinguk memandang ke sekeliling. Mencari sosok Grizelle yang tidak ada di tempat."Zel ...," panggil Stella sedikit lebih keras. Berharap Grizelle menyahut panggilannya.Sunyi. Hening. Tidak ada suara yang terdengar selain desiran angin yang membawa helai demi helai dedaunan jatuh ke tanah."Zel!" panggilnya lagi. Tetapi tetap sama. Tidak ada respon dari si pemilik nama. "Ke mana sih tu anak!" gerutunya.Stella membuka helm yang membungkus kepalanya. Menaruhnya di atas motor matic. Kembali celingak-celinguk mengamati sekeliling. Tidak ada seorang pun yang ada di sana. Mau masuk ke gedung perusahaan lagi, namun Stella sadar kalau gedung itu sudah sunyi. Sebab waktu sudah menunjukkan pukul 18 : 15 WIB.Stella yang ba
"Apa?? Kau menerornya dengan ancaman?" sentak Miko tak percaya.Respons kaget dari Miko tak membuat Tristan mengalihkan perhatiannya kepada sahabat karibnya itu. Ia berdiri tegak dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana. Memandang ke luar gedung perkantoran yang arsitektur dindingnya terbuat dari kaca. Wajah tampannya yang ditumbuhi jambang, terlihat begitu tegas tanpa ada ekspresi sama sekali."Tris, kau memang sudah gila!" cela Miko yang tengah duduk di sofa tak jauh dari tempat Tristan berdiri.Tanpa memalingkan wajah, Tristan membalas, "ya, aku memang sudah gila. Aku gila karna gadis ingusan itu!" tegasnya.Bagi Miko, ia sudah terbiasa dengan jawaban Tristan yang blak-blakan. Jika sudah begitu, Miko hanya berdecak dan mencibir dalam hati."Lalu, bagaimana dengan responnya? Apa dia
Tik! Tik! Tik!Dentingan jarum jam terdengar begitu nyaring. Dalam ruangan yang sejuk itu, dua anak manusia yang berlawanan jenis saling beradu pandang dengan ekspresi yang sangat bertolak belakang.Yang satu memancarkan aura kemarahan dengan mimik angkuh, dan yang satu memancarkan aura kesal karena merasa tidak senang dengan perlakuan pria itu kepadanya. Gadis itu kesal setiap kali melihat wajah orang yang ada di depannya. Semua yang tergambar di wajah mereka, tentu saja menggambarkan suasana hati yang tengah mereka rasakan.Tristan Satria Adinata, dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana. Berdiri tegak sejajar dengan gadis yang begitu menekan kejiwaannya. Ia amati wajah dan tubuh Grizelle dengan seksama. Menikmati fantasinya yang selalu saja h
Ceklek!"Tristan, malam i—"'Ya, Tuhan—'Miko tercegang. Membeku di tempat. Bagaimana tidak, retinanya menangkap jelas adegan Tristan dan Grizelle. Adegan romantis seperti yang terjadi di drama-drama di televisi.Sontak Grizelle menolak dada Tristan. Kaget dengan kehadiran Miko yang secara tiba-tiba muncul di ruangan itu. Tristan yang lemah karena dikuasai hasrat, harus kalah dari tenaga Grizelle yang sebenarnya tidak berarti apa-apa baginya. Tangannya tersingkir dari pinggang ramping gadis itu. Tristan pun tersadar dari halusinasi. Segera Grizelle bergerak menjauh. Tubuhnya seperti melompat keluar dari tubuh Tristan yang mengurung tubuhnya.Grizelle meraba bagian belakang lehernya. Salah tingkah karena Miko masih menatapnya dengan heran. Atau mungkin pria itu kaget karena tidak menyangka kenapa ia dan Tristan dalam posisi seperti tadi."Maa
Cahaya keemasan pada lampu di bagian koridor hotel sangat kontras menyirami raga dua insan yang tubuhnya saling berdesakan. Sinar kekuningan itu seakan menjadi saksi bisu atas perlakuan semena-mena Tristan terhadap Grizelle. Disaat seperti itu yang terdengar hanyalah sayub-sayub suara musik klasik yang tentunya mengiringi rasa suka cita para tamu undangan di bagian ballroom hotel.Kedua tubuh itu tak lagi berjarak. Tristan tak lagi memberi ruang pada raga gadis belia yang menjadi teman kencannya malam ini. Sepertinya ia benar-benar ingin menuntaskan hasratnya— pada gadis remaja yang berada dalam kendalinya. Yang ia sendiri menyadari kalau Grizelle telah pasrah dalam kungkungannya.Well, apakah ini yang dinamakan kesempatan kedua untuk Tristan?Grizelle yang merasa tubuhnya semakin terdesak ke dinding, tidak mampu melawan
Grizelle memahami apa yang ada dipikiran Tristan. Pria itu berubah gusar pasti karena mendengar bantahan yang keluar dari mulutnya terhadap ucapan Deby. Grizelle menepis ucapan Deby karena memang di antara dia dan Tristan tidak terjalin hubungan apa-apa. Bahkan untuk menganggap hubungan itu sekedar pertemanan pun, Grizelle sangat meragukannya.Betapa keruhnya air muka Tristan saat ini. Wanita yang sudah dianggapnya paling spesial, dengan berani berkata kalau ia dan dirinya tidak mempunyai hubungan apa-apa. Hatinya terluka. Sebab ia merasa seperti tidak dianggap oleh Grizelle. Meskipun Tristan tidak menepis apa yang keluar dari mulut Grizelle, namun dari raut wajah yang ia tampilkan cukup membuat siapapun yang melihatnya sadar, kalau pria itu sedang tidak dalam kondisi baik.Tristan mencoba menahan diri agar tidak larut dalam emosi meski ia merasa sikap itu sungguh
Malam semakin larut. Waktu yang berangsur naik sama sekali tidak berdampak apa-apa pada jalanan yang masih saja terlihat ramai. Langit yang menggelap karena ditinggal hangatnya sinar mentari, membuat cuaca menjadi dingin. Sebab angin malam datang berhembus semilir membuat malam kian terasa syahdu. Ada bulan di atas sana yang tengah menampakkan diri. Seakan tidak sungkan berdampingan bersama gelapnya suasana malam. Memancarkan sinar emas yang begitu elok menyirami bumi. Begitu indah memantul di tiap-tiap jendela pada gedung-gedung yang menjulang. Ketika sinarnya berpadu bersama kelap kelip lampu jalanan, ketika itu pula sudut kota terlihat cantik dan begitu estetik. Suasana di golden ballroom hotel bintang lima yang Tristan dan Grizelle hadiri berubah kian harmonis. Irama musik yang tadinya bergenre balada, kini berganti dengan alunan musik klasik. Musik bernua
Desiran angin malam menyapa lembut wajah dan rambut Grizelle. Hingga rambut lurus sebahu itu terhembus melayang ke belakang karenanya. Kedua kelopak mata Grizelle urung berkedip, memaksa dua bola mata indah itu agar tetap membulat. Grizelle tercengang. Di hadapannya muncul sosok pria yang begitu mempesona.Tristan Satria Adinata, turun dari mobil mewahnya. Berjalan dengan gagah mendekati Grizelle yang tergemap melihat penampilannya. Tristan terlihat begitu jantan dengan setelan jas berwarna hitam. Dua kancing kemeja putih yang berada di balik jas hitamnya sengaja ia buka. Menampilkan dada bidangnya yang begitu menggairahkan. Rambutnya disisir begitu rapi. Wajahnya begitu tampan dengan senyum yang mengembang. Meski senyum itu bukanlah senyum yang mempunyai maksud buruk, namun senyum itu tetap saja terlihat menyeramkan. Sepertinya, garis keras wajah Tristan memang sudah bawaan lahir.Tristan mengamati Grizelle dari ujung kaki sampai ujun
Ceklek!"Tristan, malam i—"'Ya, Tuhan—'Miko tercegang. Membeku di tempat. Bagaimana tidak, retinanya menangkap jelas adegan Tristan dan Grizelle. Adegan romantis seperti yang terjadi di drama-drama di televisi.Sontak Grizelle menolak dada Tristan. Kaget dengan kehadiran Miko yang secara tiba-tiba muncul di ruangan itu. Tristan yang lemah karena dikuasai hasrat, harus kalah dari tenaga Grizelle yang sebenarnya tidak berarti apa-apa baginya. Tangannya tersingkir dari pinggang ramping gadis itu. Tristan pun tersadar dari halusinasi. Segera Grizelle bergerak menjauh. Tubuhnya seperti melompat keluar dari tubuh Tristan yang mengurung tubuhnya.Grizelle meraba bagian belakang lehernya. Salah tingkah karena Miko masih menatapnya dengan heran. Atau mungkin pria itu kaget karena tidak menyangka kenapa ia dan Tristan dalam posisi seperti tadi."Maa
Tik! Tik! Tik!Dentingan jarum jam terdengar begitu nyaring. Dalam ruangan yang sejuk itu, dua anak manusia yang berlawanan jenis saling beradu pandang dengan ekspresi yang sangat bertolak belakang.Yang satu memancarkan aura kemarahan dengan mimik angkuh, dan yang satu memancarkan aura kesal karena merasa tidak senang dengan perlakuan pria itu kepadanya. Gadis itu kesal setiap kali melihat wajah orang yang ada di depannya. Semua yang tergambar di wajah mereka, tentu saja menggambarkan suasana hati yang tengah mereka rasakan.Tristan Satria Adinata, dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana. Berdiri tegak sejajar dengan gadis yang begitu menekan kejiwaannya. Ia amati wajah dan tubuh Grizelle dengan seksama. Menikmati fantasinya yang selalu saja h
"Apa?? Kau menerornya dengan ancaman?" sentak Miko tak percaya.Respons kaget dari Miko tak membuat Tristan mengalihkan perhatiannya kepada sahabat karibnya itu. Ia berdiri tegak dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana. Memandang ke luar gedung perkantoran yang arsitektur dindingnya terbuat dari kaca. Wajah tampannya yang ditumbuhi jambang, terlihat begitu tegas tanpa ada ekspresi sama sekali."Tris, kau memang sudah gila!" cela Miko yang tengah duduk di sofa tak jauh dari tempat Tristan berdiri.Tanpa memalingkan wajah, Tristan membalas, "ya, aku memang sudah gila. Aku gila karna gadis ingusan itu!" tegasnya.Bagi Miko, ia sudah terbiasa dengan jawaban Tristan yang blak-blakan. Jika sudah begitu, Miko hanya berdecak dan mencibir dalam hati."Lalu, bagaimana dengan responnya? Apa dia
"Zel?"Stella turun dari sepeda motor matic berwarna putih miliknya. Celingak-celinguk memandang ke sekeliling. Mencari sosok Grizelle yang tidak ada di tempat."Zel ...," panggil Stella sedikit lebih keras. Berharap Grizelle menyahut panggilannya.Sunyi. Hening. Tidak ada suara yang terdengar selain desiran angin yang membawa helai demi helai dedaunan jatuh ke tanah."Zel!" panggilnya lagi. Tetapi tetap sama. Tidak ada respon dari si pemilik nama. "Ke mana sih tu anak!" gerutunya.Stella membuka helm yang membungkus kepalanya. Menaruhnya di atas motor matic. Kembali celingak-celinguk mengamati sekeliling. Tidak ada seorang pun yang ada di sana. Mau masuk ke gedung perusahaan lagi, namun Stella sadar kalau gedung itu sudah sunyi. Sebab waktu sudah menunjukkan pukul 18 : 15 WIB.Stella yang ba
Kegelisahan yang luar biasa menyerang Grizelle. Ia benar-benar sedang merasa terancam. Bagaimana tidak, saat ini ia sedang bersama Tristan dalam satu mobil. Berdua dengan pria yang terkenal sangat arrogan dan dingin. Gadis itupun meronta-ronta bermohon pada Tristan agar ia menghentikan mobilnya. "Apa salah saya pada Anda, Tuan! Kenapa Anda memaksa saya seperti ini! Sudah saya katakan kalau saya ini sedang menunggu kakak saya! Tolong hentikan mobilnya!" Grizelle memekik, menarik-narik tangan Tristan yang sedang aktif mengemudi. Berharap pria itu segera menghentikan laju mobil agar ia dapat segera turun dari mobil itu. Diturunkan di jalanan juga tidak mengapa. Asal ia bisa terbebas dari pria bengis yang saat ini memaksa dirinya agar tetap diam di tempat duduk. "Kau tidak perlu takut! Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu. Tenanglah!" balas Tristan tegas. Tapi Grizelle tetap saja meronta-ronta ingin Tristan segera mengere