"Hem—"
Tristan menarik nafas dan membuangnya pelan. Ekspresi kerasnya sedikit memudar. Ia menatap gadis yang berdiri tak jauh darinya.
"Lumayan! Tidak seburuk yang aku kira," ucapnya datar.
Tidak seburuk yang aku kira!
'Adakah yang lebih menyebalkan dari pria ini? Kenapa dia bisa-bisanya menilai buruk pekerjaan seseorang sebelum merasakan sendiri hasilnya!'
Grizelle membatin. Tak kuasa bersuara. Baginya lebih baik diam daripada merespon ucapan Tristan. Hanya mengumpat dalam hati sambil menyaksikan pria seram ini berceloteh sesuai apa yang ada di otaknya.
"Tapi sebaiknya, kau belajar lagi dari ibumu!" Sontak kedua mata Grizelle kembali melebar mendengar kalimat yang keluar dari mulut Tristan.
"Karna kopi yang kau buat ini cita rasanya belum sama seperti buatan ibumu!" celetuknya lagi. "It's oke! Tidak masalah! Bagiku ini tidak terlalu buruk, maka aku tidak akan menghukummu."
'Menghukumku? Apa maksudnya? Apakah perbedaan rasa pada minuman termasuk salah satu kesalahan yang fatal? Hingga dia berkata seperti itu?'
"Tapi, aku sarankan kepadamu agar kau bisa menyamai rasa kopi bikinanmu sama seperti buatan ibumu!"
Grizelle tak menjawab. Ia memilih diam. Dengan menyembunyikan wajah tidak senangnya, ia berusaha tetap berdiri tegak meski terasa kaku.
"Jika besok rasa kopi buatanmu masih seperti ini ... maka jangan salahkan aku kalau kau—" dengan menggunakan bolpoin yang berada di tangannya, Tristan menunjuk ke arah Grizelle yang menatapnya.
"Akan aku hukum sesuai keinginanku!" lanjutnya dengan senyuman setan.
Walau bibir terasa berat untuk diajak bicara. Dan lidah terasa keluh untuk mengungkapkan apa yang ingin dia katakan, Grizelle mengangguk pelan.
"Baik, Tuan! Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk Tuan," jawabnya penuh kepalsuan. Sebab ia sangat tidak senang dengan apa yang terlontar dari mulut Tristan dan hanya ingin agar secepatnya berlalu dari ruangan itu.
'Apa itu? Berusaha sebaik mungkin untuk pria ini? Tidak mungkin!'
Grizelle mencibir dalam hati. Terserah Tristan mau menilai kopi buatannya seperti apa, dan juga mengancamnya bagaimana. Satu yang Grizelle pastikan, dia tidak akan kembali ke ruangan ini apalagi dengan membawa secangkir kopi untuk Tristan. Sebab ibunya pasti akan mengambil alih tugas itu esok hari.
Tristan dengan seringai di bibirnya, melanjutkan kembali fokusnya pada layar laptop. Kesempatan baik bagi Grizelle untuk pamit dan segera pergi dari tempat itu.
"Kalo begitu saya permisi dulu, Tuan!" pamit Grizelle menundukkan sedikit kepalanya.
"Hem!" Tristan merespon, namun tak melihat Grizelle. Berpura-pura serius pada pekerjaannya padahal batinnya memberontak, memaksa matanya untuk kembali melihat gadis manis yang dikaguminya itu.
Grizelle memahami bagaimana Tristan. Itu sebabnya ia tak terlalu ambil pusing dengan sikap laki-laki itu kepadanya. Meski merasa tak dihargai, tapi Grizelle berusaha tak mempedulikan ekspresi angkuh itu lagi. Ia berbalik, berjalan cepat keluar ruangan. Meninggalkan Tristan yang kembali memandang punggungnya dengan liar. Ya, Tristan kembali mengamati Grizelle yang sudah berada di balik pintu ruangannya. Berdiri membelakangi pintu tentu dengan perasaan jengkel. Tristan dapat membaca ekspresi Grizelle dari gerak-geriknya. Menghentak-hentakkan kaki sambil menggerutu sendiri.
Namun, pemandangan itu bukannya membuat Tristan marah, laki-laki itu malah tersenyum. Gemas melihat Grizelle yang sedang kesal. Walau hanya dapat memandang punggung Grizelle, tapi Tristan dapat menerka apa yang sedang gadis itu cibirkan. Pastinya karena sikap yang ia tunjukkan tadi.
"Grizelle, hem —," gumamnya. "Kau begitu menggemaskan! Aku semakin tidak sabar menunggumu hingga kau matang dan dapat aku miliki seutuhnya. Dan pada saat itu aku akan menghajarmu habis-habisan. Hingga kau sendiri yang akan merasa kalo aku adalah satu-satunya orang yang berhak atas dirimu!"
Sudut bibir pria itu terangkat. Menciptakan sebuah senyuman iblis. Pikirannya melayang, dan tentu terpacu pada Grizelle yang sudah beranjak sejak tadi. Tristan mendesah sambil menghempaskan tubuhnya ke senderan kursi. Menopang kepalanya dengan kedua tangan. Menatap ke langit-langit ruangan. Fantasinya pada Grizelle muncul kembali. Membuatnya tidak lagi dapat berkonsentrasi dalam pekerjaan.
Drrtt ... Drrtt ....
Handphone yang berada di atas mejanya berbunyi. Sontak membuat Tristan tersentak dari lamunan. Menatap layar ponsel yang menyala. Kaget ketika melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Sebab nama yang muncul mengingatkannya pada pertemuan dadakan hari ini. Ia pun segera mengangkat panggilan telepon yang tak lain dari Miko.
"Hem?" sahutnya. Diam mendengarkan apa yang dikatakan Miko diseberang sana. "Oke! Aku segera ke sana!" Tristan memutuskan panggilan. Menghela nafas berat dan panjang. Menghapus wajah dengan dua telapak tangannya.
"Brengsek! Kenapa aku jadi sange begini! Ini semua karna gadis sialan itu. Jika saja aku bisa memilikinya sekarang, pasti sakit hasratku ini bisa terobati! Ah, sial!"
Tristan meninju meja kerjanya. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Membuang segala pikiran jorok yang hinggap di otaknya. Dia harus konsentrasi dalam pekerjaan. Sebab, akan ada meeting dalam beberapa menit lagi. Namun, semua usahanya sia-sia. Tristan tidak dapat menyingkirkan fantasinya terhadap Grizelle. Gadis itu terus saja muncul di pikirannya. Menari-nari di lingkar matanya. Otaknya sudah dipenuhi sosok gadis belia yang merupakan anak dari penjaga kantin perusahaannya.
"Arrggghh ...!! Sialan kau, Grizelle!!" teriaknya mengacak rambut. Menggeram pada diri sendiri.
"Lihat saja! Kau pasti akan aku dapatkan cepat atau lambat!" kecam Tristan kesal.
***
Di sebuah restoran yang cukup ternama di salah satu hotel berbintang lima, Tristan dan beberapa staf perusahaan, sedang sibuk membahas tentang apa saja yang menjadi target utama mereka dalam upaya pengembangan bisnis. Miko sebagai kaki tangan dan juru bicara Tristan, dengan lantang menerangkan dan menjelaskan bagaimana caranya agar perusahaan mereka dapat berkembang dengan optimal, meski nyatanya perusahaan itu sendiri sudah berkembang pesat.Miko memberi arahan kepada para karyawan yang baru bergabung di perusahaan itu agar mereka dapat bekerja dengan baik dan dapat mempertahankan pencapaian perusahaan saat ini. Terlihat para staf karyawan begitu menyimak dan sesekali merespon apa yang disampaikan oleh Miko. Mereka tampak antusias dan manggut-manggut ketika Miko memberi arahan.Namun, tidak bagi Tristan. Pria bertampang keras itu terlihat tak menyimak apa yang Miko dan karyawannya perbincangkan. Ia malah asik den
Kantin sudah tutup. Grizelle, Stella dan dua orang pekerja lainnya bersiap-siap untuk pulang."Dek!" Stella menyapa Grizelle di tengah-tengah kesibukannya merapikan tas."Ya, Mbak?" sahut Grizelle."Sepeda motor Mbak mengalami pecah ban. Kayaknya Mbak harus ke bengkel dulu untuk ganti ban.""Oh, ya udah. Biar aku nunggu di depan gerbang. Mbak bisa pergi sendiri kan?""Bisa. Kan bengkelnya gak jauh di sekitar sini. Nanti kalo udah selesai, Mbak bakalan balik jemput kamu.""Oke deh!" Grizelle menyetujui."Kamu gak pa'pa kan Mbak tinggal sendiri?""Gak pa'pa kok, Mbak! Kan udah selesai. Hanya tinggal nyapu sedikit, trus setelah itu aku akan tutup pintu kantin."
Kegelisahan yang luar biasa menyerang Grizelle. Ia benar-benar sedang merasa terancam. Bagaimana tidak, saat ini ia sedang bersama Tristan dalam satu mobil. Berdua dengan pria yang terkenal sangat arrogan dan dingin. Gadis itupun meronta-ronta bermohon pada Tristan agar ia menghentikan mobilnya. "Apa salah saya pada Anda, Tuan! Kenapa Anda memaksa saya seperti ini! Sudah saya katakan kalau saya ini sedang menunggu kakak saya! Tolong hentikan mobilnya!" Grizelle memekik, menarik-narik tangan Tristan yang sedang aktif mengemudi. Berharap pria itu segera menghentikan laju mobil agar ia dapat segera turun dari mobil itu. Diturunkan di jalanan juga tidak mengapa. Asal ia bisa terbebas dari pria bengis yang saat ini memaksa dirinya agar tetap diam di tempat duduk. "Kau tidak perlu takut! Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu. Tenanglah!" balas Tristan tegas. Tapi Grizelle tetap saja meronta-ronta ingin Tristan segera mengere
"Zel?"Stella turun dari sepeda motor matic berwarna putih miliknya. Celingak-celinguk memandang ke sekeliling. Mencari sosok Grizelle yang tidak ada di tempat."Zel ...," panggil Stella sedikit lebih keras. Berharap Grizelle menyahut panggilannya.Sunyi. Hening. Tidak ada suara yang terdengar selain desiran angin yang membawa helai demi helai dedaunan jatuh ke tanah."Zel!" panggilnya lagi. Tetapi tetap sama. Tidak ada respon dari si pemilik nama. "Ke mana sih tu anak!" gerutunya.Stella membuka helm yang membungkus kepalanya. Menaruhnya di atas motor matic. Kembali celingak-celinguk mengamati sekeliling. Tidak ada seorang pun yang ada di sana. Mau masuk ke gedung perusahaan lagi, namun Stella sadar kalau gedung itu sudah sunyi. Sebab waktu sudah menunjukkan pukul 18 : 15 WIB.Stella yang ba
"Apa?? Kau menerornya dengan ancaman?" sentak Miko tak percaya.Respons kaget dari Miko tak membuat Tristan mengalihkan perhatiannya kepada sahabat karibnya itu. Ia berdiri tegak dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana. Memandang ke luar gedung perkantoran yang arsitektur dindingnya terbuat dari kaca. Wajah tampannya yang ditumbuhi jambang, terlihat begitu tegas tanpa ada ekspresi sama sekali."Tris, kau memang sudah gila!" cela Miko yang tengah duduk di sofa tak jauh dari tempat Tristan berdiri.Tanpa memalingkan wajah, Tristan membalas, "ya, aku memang sudah gila. Aku gila karna gadis ingusan itu!" tegasnya.Bagi Miko, ia sudah terbiasa dengan jawaban Tristan yang blak-blakan. Jika sudah begitu, Miko hanya berdecak dan mencibir dalam hati."Lalu, bagaimana dengan responnya? Apa dia
Tik! Tik! Tik!Dentingan jarum jam terdengar begitu nyaring. Dalam ruangan yang sejuk itu, dua anak manusia yang berlawanan jenis saling beradu pandang dengan ekspresi yang sangat bertolak belakang.Yang satu memancarkan aura kemarahan dengan mimik angkuh, dan yang satu memancarkan aura kesal karena merasa tidak senang dengan perlakuan pria itu kepadanya. Gadis itu kesal setiap kali melihat wajah orang yang ada di depannya. Semua yang tergambar di wajah mereka, tentu saja menggambarkan suasana hati yang tengah mereka rasakan.Tristan Satria Adinata, dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana. Berdiri tegak sejajar dengan gadis yang begitu menekan kejiwaannya. Ia amati wajah dan tubuh Grizelle dengan seksama. Menikmati fantasinya yang selalu saja h
Ceklek!"Tristan, malam i—"'Ya, Tuhan—'Miko tercegang. Membeku di tempat. Bagaimana tidak, retinanya menangkap jelas adegan Tristan dan Grizelle. Adegan romantis seperti yang terjadi di drama-drama di televisi.Sontak Grizelle menolak dada Tristan. Kaget dengan kehadiran Miko yang secara tiba-tiba muncul di ruangan itu. Tristan yang lemah karena dikuasai hasrat, harus kalah dari tenaga Grizelle yang sebenarnya tidak berarti apa-apa baginya. Tangannya tersingkir dari pinggang ramping gadis itu. Tristan pun tersadar dari halusinasi. Segera Grizelle bergerak menjauh. Tubuhnya seperti melompat keluar dari tubuh Tristan yang mengurung tubuhnya.Grizelle meraba bagian belakang lehernya. Salah tingkah karena Miko masih menatapnya dengan heran. Atau mungkin pria itu kaget karena tidak menyangka kenapa ia dan Tristan dalam posisi seperti tadi."Maa
Desiran angin malam menyapa lembut wajah dan rambut Grizelle. Hingga rambut lurus sebahu itu terhembus melayang ke belakang karenanya. Kedua kelopak mata Grizelle urung berkedip, memaksa dua bola mata indah itu agar tetap membulat. Grizelle tercengang. Di hadapannya muncul sosok pria yang begitu mempesona.Tristan Satria Adinata, turun dari mobil mewahnya. Berjalan dengan gagah mendekati Grizelle yang tergemap melihat penampilannya. Tristan terlihat begitu jantan dengan setelan jas berwarna hitam. Dua kancing kemeja putih yang berada di balik jas hitamnya sengaja ia buka. Menampilkan dada bidangnya yang begitu menggairahkan. Rambutnya disisir begitu rapi. Wajahnya begitu tampan dengan senyum yang mengembang. Meski senyum itu bukanlah senyum yang mempunyai maksud buruk, namun senyum itu tetap saja terlihat menyeramkan. Sepertinya, garis keras wajah Tristan memang sudah bawaan lahir.Tristan mengamati Grizelle dari ujung kaki sampai ujun
Cahaya keemasan pada lampu di bagian koridor hotel sangat kontras menyirami raga dua insan yang tubuhnya saling berdesakan. Sinar kekuningan itu seakan menjadi saksi bisu atas perlakuan semena-mena Tristan terhadap Grizelle. Disaat seperti itu yang terdengar hanyalah sayub-sayub suara musik klasik yang tentunya mengiringi rasa suka cita para tamu undangan di bagian ballroom hotel.Kedua tubuh itu tak lagi berjarak. Tristan tak lagi memberi ruang pada raga gadis belia yang menjadi teman kencannya malam ini. Sepertinya ia benar-benar ingin menuntaskan hasratnya— pada gadis remaja yang berada dalam kendalinya. Yang ia sendiri menyadari kalau Grizelle telah pasrah dalam kungkungannya.Well, apakah ini yang dinamakan kesempatan kedua untuk Tristan?Grizelle yang merasa tubuhnya semakin terdesak ke dinding, tidak mampu melawan
Grizelle memahami apa yang ada dipikiran Tristan. Pria itu berubah gusar pasti karena mendengar bantahan yang keluar dari mulutnya terhadap ucapan Deby. Grizelle menepis ucapan Deby karena memang di antara dia dan Tristan tidak terjalin hubungan apa-apa. Bahkan untuk menganggap hubungan itu sekedar pertemanan pun, Grizelle sangat meragukannya.Betapa keruhnya air muka Tristan saat ini. Wanita yang sudah dianggapnya paling spesial, dengan berani berkata kalau ia dan dirinya tidak mempunyai hubungan apa-apa. Hatinya terluka. Sebab ia merasa seperti tidak dianggap oleh Grizelle. Meskipun Tristan tidak menepis apa yang keluar dari mulut Grizelle, namun dari raut wajah yang ia tampilkan cukup membuat siapapun yang melihatnya sadar, kalau pria itu sedang tidak dalam kondisi baik.Tristan mencoba menahan diri agar tidak larut dalam emosi meski ia merasa sikap itu sungguh
Malam semakin larut. Waktu yang berangsur naik sama sekali tidak berdampak apa-apa pada jalanan yang masih saja terlihat ramai. Langit yang menggelap karena ditinggal hangatnya sinar mentari, membuat cuaca menjadi dingin. Sebab angin malam datang berhembus semilir membuat malam kian terasa syahdu. Ada bulan di atas sana yang tengah menampakkan diri. Seakan tidak sungkan berdampingan bersama gelapnya suasana malam. Memancarkan sinar emas yang begitu elok menyirami bumi. Begitu indah memantul di tiap-tiap jendela pada gedung-gedung yang menjulang. Ketika sinarnya berpadu bersama kelap kelip lampu jalanan, ketika itu pula sudut kota terlihat cantik dan begitu estetik. Suasana di golden ballroom hotel bintang lima yang Tristan dan Grizelle hadiri berubah kian harmonis. Irama musik yang tadinya bergenre balada, kini berganti dengan alunan musik klasik. Musik bernua
Desiran angin malam menyapa lembut wajah dan rambut Grizelle. Hingga rambut lurus sebahu itu terhembus melayang ke belakang karenanya. Kedua kelopak mata Grizelle urung berkedip, memaksa dua bola mata indah itu agar tetap membulat. Grizelle tercengang. Di hadapannya muncul sosok pria yang begitu mempesona.Tristan Satria Adinata, turun dari mobil mewahnya. Berjalan dengan gagah mendekati Grizelle yang tergemap melihat penampilannya. Tristan terlihat begitu jantan dengan setelan jas berwarna hitam. Dua kancing kemeja putih yang berada di balik jas hitamnya sengaja ia buka. Menampilkan dada bidangnya yang begitu menggairahkan. Rambutnya disisir begitu rapi. Wajahnya begitu tampan dengan senyum yang mengembang. Meski senyum itu bukanlah senyum yang mempunyai maksud buruk, namun senyum itu tetap saja terlihat menyeramkan. Sepertinya, garis keras wajah Tristan memang sudah bawaan lahir.Tristan mengamati Grizelle dari ujung kaki sampai ujun
Ceklek!"Tristan, malam i—"'Ya, Tuhan—'Miko tercegang. Membeku di tempat. Bagaimana tidak, retinanya menangkap jelas adegan Tristan dan Grizelle. Adegan romantis seperti yang terjadi di drama-drama di televisi.Sontak Grizelle menolak dada Tristan. Kaget dengan kehadiran Miko yang secara tiba-tiba muncul di ruangan itu. Tristan yang lemah karena dikuasai hasrat, harus kalah dari tenaga Grizelle yang sebenarnya tidak berarti apa-apa baginya. Tangannya tersingkir dari pinggang ramping gadis itu. Tristan pun tersadar dari halusinasi. Segera Grizelle bergerak menjauh. Tubuhnya seperti melompat keluar dari tubuh Tristan yang mengurung tubuhnya.Grizelle meraba bagian belakang lehernya. Salah tingkah karena Miko masih menatapnya dengan heran. Atau mungkin pria itu kaget karena tidak menyangka kenapa ia dan Tristan dalam posisi seperti tadi."Maa
Tik! Tik! Tik!Dentingan jarum jam terdengar begitu nyaring. Dalam ruangan yang sejuk itu, dua anak manusia yang berlawanan jenis saling beradu pandang dengan ekspresi yang sangat bertolak belakang.Yang satu memancarkan aura kemarahan dengan mimik angkuh, dan yang satu memancarkan aura kesal karena merasa tidak senang dengan perlakuan pria itu kepadanya. Gadis itu kesal setiap kali melihat wajah orang yang ada di depannya. Semua yang tergambar di wajah mereka, tentu saja menggambarkan suasana hati yang tengah mereka rasakan.Tristan Satria Adinata, dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana. Berdiri tegak sejajar dengan gadis yang begitu menekan kejiwaannya. Ia amati wajah dan tubuh Grizelle dengan seksama. Menikmati fantasinya yang selalu saja h
"Apa?? Kau menerornya dengan ancaman?" sentak Miko tak percaya.Respons kaget dari Miko tak membuat Tristan mengalihkan perhatiannya kepada sahabat karibnya itu. Ia berdiri tegak dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana. Memandang ke luar gedung perkantoran yang arsitektur dindingnya terbuat dari kaca. Wajah tampannya yang ditumbuhi jambang, terlihat begitu tegas tanpa ada ekspresi sama sekali."Tris, kau memang sudah gila!" cela Miko yang tengah duduk di sofa tak jauh dari tempat Tristan berdiri.Tanpa memalingkan wajah, Tristan membalas, "ya, aku memang sudah gila. Aku gila karna gadis ingusan itu!" tegasnya.Bagi Miko, ia sudah terbiasa dengan jawaban Tristan yang blak-blakan. Jika sudah begitu, Miko hanya berdecak dan mencibir dalam hati."Lalu, bagaimana dengan responnya? Apa dia
"Zel?"Stella turun dari sepeda motor matic berwarna putih miliknya. Celingak-celinguk memandang ke sekeliling. Mencari sosok Grizelle yang tidak ada di tempat."Zel ...," panggil Stella sedikit lebih keras. Berharap Grizelle menyahut panggilannya.Sunyi. Hening. Tidak ada suara yang terdengar selain desiran angin yang membawa helai demi helai dedaunan jatuh ke tanah."Zel!" panggilnya lagi. Tetapi tetap sama. Tidak ada respon dari si pemilik nama. "Ke mana sih tu anak!" gerutunya.Stella membuka helm yang membungkus kepalanya. Menaruhnya di atas motor matic. Kembali celingak-celinguk mengamati sekeliling. Tidak ada seorang pun yang ada di sana. Mau masuk ke gedung perusahaan lagi, namun Stella sadar kalau gedung itu sudah sunyi. Sebab waktu sudah menunjukkan pukul 18 : 15 WIB.Stella yang ba
Kegelisahan yang luar biasa menyerang Grizelle. Ia benar-benar sedang merasa terancam. Bagaimana tidak, saat ini ia sedang bersama Tristan dalam satu mobil. Berdua dengan pria yang terkenal sangat arrogan dan dingin. Gadis itupun meronta-ronta bermohon pada Tristan agar ia menghentikan mobilnya. "Apa salah saya pada Anda, Tuan! Kenapa Anda memaksa saya seperti ini! Sudah saya katakan kalau saya ini sedang menunggu kakak saya! Tolong hentikan mobilnya!" Grizelle memekik, menarik-narik tangan Tristan yang sedang aktif mengemudi. Berharap pria itu segera menghentikan laju mobil agar ia dapat segera turun dari mobil itu. Diturunkan di jalanan juga tidak mengapa. Asal ia bisa terbebas dari pria bengis yang saat ini memaksa dirinya agar tetap diam di tempat duduk. "Kau tidak perlu takut! Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu. Tenanglah!" balas Tristan tegas. Tapi Grizelle tetap saja meronta-ronta ingin Tristan segera mengere