“Ja-jangan mendekat, Regis!” hardik Amora yang kelepasan bicara secara informal dan memanggil nama pria itu secara langsung. Perlahan sudut bibir Regis melengkung dalam. Ia berdiri dengan posisi berkacak pinggang dan menatap Amora yang masih dalam posisi memberikan jarak dengan kedua tangannya di hadapan mereka. “Aku suka kamu memanggil namaku. Terdengar sangat manis,” gumam Regis yang membuat netra Amora semakin terbelalak lebar. Amora menggigit bibir bawahnya. Ia merasa sangat kesal karena pria itu berhasil mempermainkannya lagi."Tuan Muda Lorenzo, tolong jaga sikap Anda atau saya akan ...."“Akan apa, hm? Berteriak?" sela Regis menerka aksi yang akan dilakukan wanita itu terhadapnya.Saat ini kondisi Amora seperti seekor kelinci malang yang masuk ke dalam perangkap sang pemburu."Kamu tidak lupa kan kalau sekarang kamu berada dalam daerah kekuasaanku? Memangnya siapa yang bisa menolongmu kalau kamu berteriak?” ledek Regis seraya tertawa kecil. Wajah Amora kembali memerah. Ia m
"Siapa juga yang mau melihatnya? Lagian tidak ada hal bagus yang bisa dilihat dari Anda!" Secara spontan Amora langsung melontarkan hal yang bertolak belakang dengan pikirannya. Ia tidak ingin membiarkan pria itu mengolok-oloknya terus. "Tidak ada hal bagus katamu?" gumam Regis yang tampak murka mendengar poin dari kalimat itu. Amora berdeham. "Saya rasa se-semua lelaki memiliki benda yang sama, bukan? Saya sudah sering melihatnya juga. Jadi tidak ada yang istimewa, bukan?" timpalnya. Tentu saja Amora berbohong. Mana mungkin ia sering melihat seorang pria yang tak berbusana. Dia bukan wanita abnormal yang memiliki kegemaran aneh seperti itu. Suara dehaman kembali bergulir dari bibir Amora. Ia dapat melihat ekspresi Regis yang tampak sangat terkejut dengan ucapannya tadi. “Sejak kapan Anda pulang?” selidik Amora yang berusaha mengalihkan pembicaraan aneh mereka. Ia juga penasaran dengan jawaban Regis atas pertanyaannya ini karena beberapa menit yang lalu, ia mengira pria itu masi
“Ka-kamu sungguh telah membunuh seseorang?” Bibir Amora tampak bergetar ketika mempertanyakan hal itu. Ia kembali teringat dengan kasus yang terjadi tujuh tahun yang lalu di mana ia memergoki Regis telah membunuh seseorang di lounge hotel. Saat itu ia mengira Regis adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Akan tetapi, setelah ia mengetahui identitas Regis yang sebenarnya, ia mulai menarik sebuah kesimpulan yang lain. “Apa … Royal Dragon memang seperti yang diisukan selama ini?” selidik Amora atas kesimpulan yang muncul di dalam benaknya. Meskipun Amora sangat takut mendengar kebenaran dari hal itu, tetapi ia merasa perlu mengetahuinya. Sorot mata hazelnya menatap Regis dengan perasaan yang bercampur aduk. Seringai tipis masih menghiasi bibir Regis. Pria itu tidak merasa terancam sedikit pun dari pertanyaan yang diajukan oleh Amora. Justru di satu sisi, ia sangat mengagumi keberanian wanita itu.Walaupun ekspresi Amora menunjukkan rasa takut, tetapi sebaliknya Regis menilai jika so
“Apa menurut Anda, saya akan melupakan begitu saja kekurangajaran Anda tadi?” timpal Amora seraya mencebikkan bibirnya. Regis terkekeh pelan. Ia tidak dapat menghitung sudah berapa kali tertawa hari ini. Tindak tanduk, ucapan dan ekspresi Amora selalu berhasil menghiburnya. Rasa lelah dan amarahnya setelah berhadapan dengan komplotan penipu seolah menguap begitu saja setelah berbicara dengan Amora. Padahal selama ini Regis jarang sekali ingin berbicara dengan seseorang jika tidak memiliki kepentingan. Namun, entah kenapa ia merasa berbeda saat bersama wanita itu. Amora seolah dapat menarik dirinya untuk melakukan hal yang tidak pernah dilakukannya. “Kamu tidak takut menjadi jelek kalau marah terus?” ledek Regis ketika melihat wajah masam wanita itu. Kalimat itu bergulir begitu saja dari bibirnya tanpa bisa dikendalikan. Entah sejak kapan, menggoda wanita itu menjadi satu hal yang paling ingin dilakukannya. Melihat berbagai ekspresi yang muncul di wajah Amora terasa sangat menyena
“Sudah selesai.” Suara Amora menghentikan lamunan liar Regis. Wanita itu segera menaikkan kerah mantelnya, lalu membereskan semua obat dan alat yang dikeluarkannya dari tempatnya serta membuang kapas dan perban bekas yang tidak digunakan lagi. Setelah merapikan semuanya, Amora pun beranjak dari tempat duduknya dan mengembalikan kotak obat yang diambilnya ke tempat semula. Ia berpikir untuk pamit keluar dari kamar itu karena tidak ada lagi yang perlu dibicarakannya dengan Regis. Amora juga mulai mengantuk. Ia merasa lega karena sudah menyelesaikan tanggung jawabnya, keculi tamparannya yang masih membekas di pipi pria itu. “Sebaiknya Anda mengompres pipi Anda sebelum tidur biar besok tidak membengkak,” ucap Amora mengingatkan pria itu. Regis tidak memberikan tanggapan. Ia hanya memandang lurus sosok Amora yang masih berdiri di hadapannya dengan menguap lebar karena rasa kantuk yang mulai mendera wanita itu. Keheningan kembali
“Apa Anda belum pernah menerima penolakan sebelumnya, Tuan Muda Lorenzo?” terka Amora. “Apa Anda harus memaksa seperti ini?” lanjut Amora lagi. Regis tidak menjawab. Ia hanya memberikan tatapan tajam yang terasa dingin kepadanya. Tidak ada lagi senyuman ataupun tawa yang tadi sempat terlontar dari bibir pria itu hingga Amora merasa jika pria itu memiliki dua kepribadian yang berbeda. Sesungguhnya tebakan Amora memang benar. Amora adalah wanita pertama yang terus menolaknya hingga Regis merasa harga dirinya sangat tidak berharga di mata wanita itu. Regis bisa saja menggunakan ancaman untuk menakuti wanita itu, tetapi sepemahamannya terhadap Amora, ia hanya akan membuat wanita itu semakin menjauh darinya. “Saya rasa … jawabanku akan tetap sama. Saya tidak bisa menerima tawaran Anda. Saya rasa saya tidak cocok menjadi pasangan Anda meskipun hanya sekedar pasangan kontrak saja,” ucap Amora kembali menegaskan hal yang sudah pernah diucapk
“Ma, apa kita tidak perlu pamit dulu?” Rayden sedang berada di dalam lift bersama ibunya. Mereka baru saja meninggalkan penthouse milik Regis. Pagi-pagi sekali Amora sudah membangunkan putranya setelah mengemas beberapa barang mereka. Sesuai keputusannya semalam, ia akan meninggalkan kediaman Regis secepatnya. Ia tahu jika keputusannya ini membuat Rayden merasa sedih. “Ma, kita mau ke mana sekarang?” tanya anak laki-laki itu yang membuat Amora sulit untuk menjawabnya. “Kita ke rumah Tuan Franklin dulu ya, Sayang,” jawab Amora yang mencoba tetap terlihat kuat di depan putranya. Sesungguhnya Amora juga tidak memiliki tempat tujuan. Ia belum menemukan tempat tinggal yang baru. Karena kemarin Jordan Franklin masih belum bisa dihubungi, akhirnya Amora memutuskan untuk mencari langsung pria paruh baya itu di kediamannya. Kebetulan hari ini adalah akhir pekan sehingga Rayden tidak perlu berangkat ke sekolah dan Amora terpaksa harus membawa putranya itu untuk pergi bersamanya. Ia tahu j
Setelah menyelesaikan sarapannya, Regis beranjak dari meja pantri dan meraih cangkir kopi miliknya. Ia tidak membereskan piring kotor tersebut karena setiap hari akan ada petugas kebersihan khusus yang dipekerjakan untuk membersihkan seluruh penthouse-nya. Regis melangkah menuju kamar tidurnya kembali. Ia mengambil gawainya yang diletakkan di samping tempat tidurnya semalam. Jemarinya pun berselancar dengan cepat dan mencari nomor kontak asistennya, Mark Carter, lalu melakukan panggilan ke nomor tersebut. Tidak sampai hitungan tiga detik, panggilannya langsung terhubung. Sebelum Regis bertanya apa pun, Mark sudah memberikan laporan kepadanya. Karena sudah memprediksi jika Amora akan meninggalkan kediamannya, semalam Regis langsung menghubungi Mark untuk berjaga di depan gedung hotelnya dan memantau pergerakan wanita itu dari jauh apabila wanita itu memang terlihat keluar bersama putranya saja. Regis ingin mengetahui dengan jelas keberadaan wanita itu. Meskipun Amora sudah menolak
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d
Perasaan Amora terasa tidak karuan. Ucapan Alicia masih terngiang jelas di dalam benaknya. “Ini tidak mungkin. Tidak mungkin,” gumam Amora berulang kali.Seth melirik kaca spion mobil tengah untuk memantau kondisi nyonya mudanya tersebut. Ia tidak tahu menahu tentang hal yang terjadi. Tadi wanita itu hanya memintanya untuk segera mengantarkannya ke Mansion Blue Lake.Tadi Alicia berkata jika ia melihat Regis bertemu dengan seorang wanita saat ia dalam perjalanan menuju taman bermain dengan Rayden. Padahal sepengetahuannya, pria itu seharusnya berada dalam perjalanan ke Italia seperti yang dikatakannya kemarin kepadanya.Alicia berkata kepada Amora jika ia telah membuntuti Regis dan melihat keduanya masuk ke dalam Mansion Blue Lake. Tentu saja hal tersebut membuat Amora sangat terkejut. Ia tidak percaya jika Regis melakukan sesuatu yang mengkhianati cinta mereka.Namun, di satu sisi, Amora juga yakin kalau Alicia tidak mungkin membohonginya. ‘Apa mungkin Regis tidak jadi berangkat ke
“Bagaimana? Apa kamu bisa tenang membiarkan Emma membantumu mulai hari ini?” tanya Liliana meminta pendapat menantunya tersebut. Amora tertegun. Ia menatap Emma yang masih menunggu tanggapannya. “Tentu saja aku setuju,” sahutnya dengan mengulas senyuman lebar di bibirnya. Dibandingkan para pengasuh lain, Amora tentu saja akan lebih percaya dengan Emma. Dulu wanita paruh baya itu juga sering membantunya menjaga Rayden. “Tapi, apa Nyonya Adams tidak apa-apa? Aku tidak ingin terus-menerus merepotkan Anda. Apa Henry dan Hilde mengizinkannya?” tanya Amora dengan penuh selidik. Ia tidak ingin putra dan menantu Emma tidak menyetujui hal tersebut. Apalagi kondisi Emma yang pernah dirawat di rumah sakit dulu. “Tenang saja, Amora. Malah mereka memintaku untuk membantumu. Hilde malah lebih mendukungku,” terang Emma yang dapat memahami pemikiran Amora tersebut. “Nanti Tante akan sering-sering datang dan ikut membantu kok,” timpal Liliana yang mencoba meyakinkan menantunya itu. Amora tersen
“Selamat pagi Anak Mama. Bagaimana tidurnya semalam, hm?”Amora berceloteh sendiri dengan Ryuji yang sedang duduk di dalam box bayinya. Amora baru saja bangun saat mendengar suara bayi bertubuh gembul itu.“Anak Mama sudah bangun saja pagi begini. Siapa yang sudah menggantikan popokmu, hm? Papa?” tanya Amora ketika melihat putranya telah berganti pakaian.Ryuji hanya menanggapinya dengan senyuman lebar dan menendang kedua tangan dan kakinya berulang kali. Ia asyik memasukkan teether ke dalam mulutnya dan menggigit-gigitnya dengan gemas.Amora pun menggendong Ryuji keluar dari tempat tidurnya dan mengelilingi kamarnya untuk mencari keberadaan Regis.“Sayang,” panggil Amora. Namun, tidak ada yang menyahutnya.“Ke mana dia?” gumam Amora yang akhirnya kembali ke kamarnya. Ia baru menyadari jika koper yang dipersiapkannya semalam untuk Regis sudah tidak ada di tempatnya.“Dia sudah pergi?” terka Amora dengan terheran-heran.Tidak biasanya Regis pergi tanpa berpamitan padanya. Biasanya Regi