“Mama jangan menangis.” Rayden membalas pelukan ibunya. Mengusap pelan punggung ibunya dengan tangannya yang mungil. “Syukurlah kamu tidak dibawa pergi, Ray,” cicit Amora dengan suara yang mulai teredam ke dalam tangisannya. Terlihat jelas kebingungan pada wajah Rayden atas ucapan ibunya. Namun, ia dapat merasakan kekhawatiran dari nada suara ibunya tersebut. “Ray tidak akan pergi ke mana-mana, Ma. Ray akan selalu ada di samping Mama,” hibur anak laki-laki itu. “Amora.” Suara sesengukan Amora terhenti ketika mendengar Emma Adams memanggilnya. Perlahan ia mendongakkan wajahnya dan melihat sosok wanita paruh baya itu dengan penuh pertanyaan. Amora bergegas menyeka air matanya, lalu berdiri dan menghampiri Emma yang sedang memandangnya dengan ekspresi khawatir. “A-apa yang terjadi, Nyonya Adams? Kalian habis dari mana?” tanya Amora dengan panik. Ia masih bingung dengan situasi yang terjadi.Emma menghela napas pelan, lalu ia menjawab, “Saya juga tidak tahu siapa pelakunya. Tapi,
"Apa kamu tahu siapa dalang dari masalah ini, Amora?"Wajah Emma terlihat sangat cemas. Amora menerka jika wanita paruh baya itu pasti masih mengingat hal mengerikan yang dialami tadi saat berhadapan dengan para perusuh yang mendatangi rumahnya."Saya juga tidak tahu, Nyonya Adams," jawab Amora.Sebenarnya Amora sudah mengantongi beberapa nama tersangka dalam masalah ini, tetapi ia masih tidak terlalu yakin sehingga ia terpaksa berbohong kepada wanita paruh baya itu.Selama tujuh tahun terakhir ini Amora tidak pernah mencari masalah demgan siapa pun. Jika bisa menghindari masalah, ia pasti akan melakukannya. Tidak ada hal yang diinginkan Amora selain hidup damai bersama putranya saat ini.Akan tetapi, ternyata ada orang-orang yang tidak menyukai ketenangan hidupnya seperti Julia Brown atau mungkin Chelsea Harrison. Kedua nama itulah yang muncul di dalam benaknya ketika Emma mengajukan pertanyaan itu."Begitukah? Apa mereka salah sasaran ya?" Emma kembali bertanya. Ia tampak berpikir k
“Sudah. Jangan menangis lagi.”Amora mengusap wajah putranya yang telah dipenuhi dengan air mata. “Mama juga,” ucap Rayden seraya tertawa kecil. Ia ikut mengusap kedua pipi ibunya yang basah.Amora tersenyum, lalu mengambil minuman yang belum sempat diteguknya tadi untuk putranya.Rayden meneguk sedikit, lalu memberikannya kepada ibunya tersebut. Kedua manik mata mungilnya menatap ibunya dengan lekat dan penuh rasa ingin tahu.“Jadi bagaimana dengan lelaki di kencan tadi, Ma?”Amora hampir saja tersedak dengan pertanyaan putranya tersebut. "Kamu ini ... masih belum menyerah juga?" gerutunya.Anak laki-laki itu memamerkan deretan giginya yang rapi, kemudian bertanya dengan penuh selidik, “Apa Mama tidak menyukainya?” selidiknya. Ia masih berusaha mengorek informasi dari bibir ibunya atas kencan buta yang dihadiri ibunya siang ini.Emma juga ikut mendengar dengan antusias.“Dia penipu. Lain kali kamu jangan asal mendaftarkan kencan buta untuk Mama, Ray,” tukas Amora dengan tegas. Mempe
Gedung Perkantoran Royal Dragon.Regis melangkah dengan cepat memasuki ruang kerjanya. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kursi kebesarannya. Seperti biasanya, wajahnya terlihat dingin tanpa ekspresi.Setelah membatalkan seluruh kencan butanya hari ini, Regis memilih untuk kembali ke kantor.Mark tidak mengikutinya kembali karena harus mencari beberapa informasi terkait yang dibutuhkan Regis.Regis menekan tombol interkomnya dan menekan satu nomor yang terhubung langsung ke extention milik sekretarisnya, Monica Grant.“Bawakan seluruh data donasi yang saya minta kemarin!” titah Regis kepada sekretarisnya tersebut.Tanpa menunggu jawaban dari seberang interkom tersebut, Regis langsung memutuskan sambungan interkom tersebut. Tidak berapa lama kemudian, suara ketukan terdengar dari balik pintu ruangan kerjanya itu.“Masuk!” seru Regis tanpa menoleh. Ia sedang memainkan gawai di tangannya.Monica Grant melangkah masuk dengan penuh kewaspadaan. Ia sangat jarang berhubungan langsung dengan a
“Apa kamu benar mau kembali ke rumahmu lagi, Amora?” Emma Adams menatap Amora yang sedang membereskan beberapa barang pribadinya ke dalam koper. Wanita paruh baya itu berusaha membujuk Amora agar tetap tinggal bersamanya. Satu minggu sudah berlalu sejak peristiwa ancaman yang dilakukan oleh para pelaku yang tidak dikenal. Sudah satu minggu pula Amora dan putranya tinggal di kediaman Emma Adams. Siang ini Amora memutuskan untuk kembali ke rumahnya sendiri. Ia tidak ingin terus merepotkan wanita paruh baya itu. Meskipun Emma tidak merasa direpotkan sedikit pun, tetapi Amora tetap tidak ingin hidup bergantungan dengan wanita paruh baya itu. Apalagi ia mendengar jika putra Emma akan datang menemui Emma akhir pekan nanti. Sebagai seseorang yang tidak memiliki hubungan darah dengan wanita paruh baya itu, Amora merasa tidak nyaman apabila nanti putra Emma bertanya tentang keberadaannya di rumah itu. Ia berpikir lebih baik jika ia memang meninggalkan rumah wanita paruh baya itu hari ini.
Suara bel yang berbunyi di seluruh penjuru Sekolah Internasional Marionette merupakan hal yang paling dinantikan oleh semua siswa sekolah tersebut. Beberapa deret mobil mewah telah berbaris rapi di depan pintu masuk gedung sekolah itu untuk menjemput pulangnya para siswa-siswi berstatus elit.Hari ini seluruh siswa tersebut pulang lebih awal karena baru saja menyelesaikan ujian pertengahan semester sehingga tidak mengherankan apabila lahan parkiran menjadi sangat padat dibandingkan hari-hari biasanya.Terlihat sosok Mark Carter yang sedang berdiri di depan pintu masuk tersebut. Manik matanya memandang dengan awas ke beberapa wajah siswa-siswi yang satu per satu mulai keluar dari dalam gedung sekolah tersebut.Pandangannya pun terhenti pada sosok seorang gadis remaja yang sedang tertawa dan bercanda ria dengan teman-teman di sekelilingnya.“Nona,” sapa Mark ketika tatapan mereka saling beradu.Senyuman di wajah Alicia Lorenzo langsung memudar. Langkahnya perlahan terhenti dan menatap t
Seulas senyuman penuh makna terukir di bibir Alicia. Netra birunya yang menawan tampak berbinar saat membaca pesan masuk di dalam gawainya.Pesan tersebut berasal dari Amora yang sudah dikirimkan sekitar lima belas menit yang lalu, tetapi Alicia baru saja membukanya. Ia pun membalas pesan tersebut dengan cepat.[Tunggu saja. Saya sudah di jalan.]Tentu saja Alicia berbohong. Ia baru saja melewati kafe tempat pertemuan mereka dan tidak meminta Mark ataupun kakaknya untuk mengantarkannya ke sana sebentar.Tidak berapa lama pesan Alicia mendapat balasan kembali.[Apa masih lama, Nona? Saya masih ada urusan lain.]Bibir Alicia berdecak sebal. Ia tampak berpikir keras sejenak, kemudian kembali mengetikkan balasan kepada wanita tersebut.[Tunggu saja. Awas saja kalau sampai saya ke sana dan kamu tidak ada di sana!]Seringai licik terbit di sudut bibir Alicia. Ia sangat puas dengan balasan yang dikirimkannya. Ia yakin wanita yang sedang menunggunya itu tidak akan pergi sebelum dia tiba di sa
“Aku juga tidak tahu,” jawab Alicia. Netra elang Regis langsung menghunus kepada sang adik dengan tajam. “Kamu tidak tahu?” Gadis itu pun memutar bola matanya dengan malas. Ia langsung menyambar gawainya dari tangan sang kakak dan berkata, “Benar-benar menyebalkan! Apa aku sudah tidak ada privasi apa pun, huh?” Protes yang diajukan Alicia tidak digubris oleh Regis. “Aku sudah mau menginjak 18 tahun, Kak. Jangan terus menganggapku seperti anak kecil!” lanjut Alicia dengan wajah yang ditekuk masam. “Masih dua bulan lagi,” ucap Regis membalikkan ucapan sang adik tadi. Alicia mendengkus kesal. Tidak ada niatnya untuk menjelaskan tentang hal yang sedang dilakukannya kepada kakaknya itu. Sudut bibir gadis itu ditekuk masam. Ia hanya memandang layar gawainya untuk mengalihkan pandangannya dari kakaknya. Kedua alis Regis pun bertaut. “Kamu tidak sedang berpacaran dengan seorang perempuan kan, Alicia?” selidik Regis dengan ragu. Khawatir jika sang adik malah memiliki perilaku m
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d
Perasaan Amora terasa tidak karuan. Ucapan Alicia masih terngiang jelas di dalam benaknya. “Ini tidak mungkin. Tidak mungkin,” gumam Amora berulang kali.Seth melirik kaca spion mobil tengah untuk memantau kondisi nyonya mudanya tersebut. Ia tidak tahu menahu tentang hal yang terjadi. Tadi wanita itu hanya memintanya untuk segera mengantarkannya ke Mansion Blue Lake.Tadi Alicia berkata jika ia melihat Regis bertemu dengan seorang wanita saat ia dalam perjalanan menuju taman bermain dengan Rayden. Padahal sepengetahuannya, pria itu seharusnya berada dalam perjalanan ke Italia seperti yang dikatakannya kemarin kepadanya.Alicia berkata kepada Amora jika ia telah membuntuti Regis dan melihat keduanya masuk ke dalam Mansion Blue Lake. Tentu saja hal tersebut membuat Amora sangat terkejut. Ia tidak percaya jika Regis melakukan sesuatu yang mengkhianati cinta mereka.Namun, di satu sisi, Amora juga yakin kalau Alicia tidak mungkin membohonginya. ‘Apa mungkin Regis tidak jadi berangkat ke
“Bagaimana? Apa kamu bisa tenang membiarkan Emma membantumu mulai hari ini?” tanya Liliana meminta pendapat menantunya tersebut. Amora tertegun. Ia menatap Emma yang masih menunggu tanggapannya. “Tentu saja aku setuju,” sahutnya dengan mengulas senyuman lebar di bibirnya. Dibandingkan para pengasuh lain, Amora tentu saja akan lebih percaya dengan Emma. Dulu wanita paruh baya itu juga sering membantunya menjaga Rayden. “Tapi, apa Nyonya Adams tidak apa-apa? Aku tidak ingin terus-menerus merepotkan Anda. Apa Henry dan Hilde mengizinkannya?” tanya Amora dengan penuh selidik. Ia tidak ingin putra dan menantu Emma tidak menyetujui hal tersebut. Apalagi kondisi Emma yang pernah dirawat di rumah sakit dulu. “Tenang saja, Amora. Malah mereka memintaku untuk membantumu. Hilde malah lebih mendukungku,” terang Emma yang dapat memahami pemikiran Amora tersebut. “Nanti Tante akan sering-sering datang dan ikut membantu kok,” timpal Liliana yang mencoba meyakinkan menantunya itu. Amora tersen
“Selamat pagi Anak Mama. Bagaimana tidurnya semalam, hm?”Amora berceloteh sendiri dengan Ryuji yang sedang duduk di dalam box bayinya. Amora baru saja bangun saat mendengar suara bayi bertubuh gembul itu.“Anak Mama sudah bangun saja pagi begini. Siapa yang sudah menggantikan popokmu, hm? Papa?” tanya Amora ketika melihat putranya telah berganti pakaian.Ryuji hanya menanggapinya dengan senyuman lebar dan menendang kedua tangan dan kakinya berulang kali. Ia asyik memasukkan teether ke dalam mulutnya dan menggigit-gigitnya dengan gemas.Amora pun menggendong Ryuji keluar dari tempat tidurnya dan mengelilingi kamarnya untuk mencari keberadaan Regis.“Sayang,” panggil Amora. Namun, tidak ada yang menyahutnya.“Ke mana dia?” gumam Amora yang akhirnya kembali ke kamarnya. Ia baru menyadari jika koper yang dipersiapkannya semalam untuk Regis sudah tidak ada di tempatnya.“Dia sudah pergi?” terka Amora dengan terheran-heran.Tidak biasanya Regis pergi tanpa berpamitan padanya. Biasanya Regi