Sementara itu di dalam ruang kerja Diego, dua pria paruh baya tengah berdiri dan saling memandang dengan sengit. Tidak ada satu orang pun yang memulai pembicaraan. Pablo yang berada di dalam ruangan juga merasa sangat khawatir akan terjadi sesuatu hal di antara majikannya dengan Alejandro. Akhirnya Alejandro mengakhiri ketegangan tersebut dengan satu kata, “Maaf.” Diego tersentak. Begitu juga dengan Pablo. Sudut bibir Diego pun terangkat sinis. “Aku baru tahu kalau kamu punya bakat untuk bercanda, Alejandro,” cibirnya. Namun, ayah kandung Amora tersebut menunjukkan wajah yang sangat serius. Pria itu kembali berkata, “Aku tahu kalau kamu tidak percaya. Tapi, aku datang ke sini adalah untuk menyelesaikan dendam masa lalu kita.” ‘Sudah kuduga kalau dia tetap tidak akan membiarkanku begitu saja,’ batin Diego seraya tersenyum miris. Ia pun mengisyaratkan Pablo untuk keluar dari ruangan itu. “Tapi, Tuan Besar ….” Kekhawatiran terlih
“Aku melakukan semua ini demi Putriku. Aku tidak ingin menambah penyesalan yang lain di akhir hayatku nanti, Diego,” ujar Alejandro. “Jadi kamu ingin berperan menjadi ayah yang baik?” selidik Diego dengan tersenyum remeh. Alejandro pun memberikan anggukan kecil. “Bukan hanya putriku, tapi putramu juga memberikan banyak kontribusi atas perubahanku, Diego,” terangnya. Wajah Diego tampak menggelap. “Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Regis sampai dia begitu mempercayaimu, Alejandro?” geramnya. Diego tahu jika sebenarnya Regis memperlakukan Alejandro karena pria itu adalah besannya saja, tetapi ia tetap saja merasa kesal melihat keberpihakan putranya terhadap musuhnya tersebut. “Aku tidak melakukan apa pun, Diego. Daripada bertanya padaku, sebaiknya kamu bertanya kepada dirimu sendiri,” timpal Alejandro seraya tersenyum sinis. Diego sangat tidak suka dengan kesombongan yang diberikan oleh Alejandro kepadanya. Ia merasa Alejandro sengaja
"Suamiku, kenapa ayah kita begitu lama ya di dalam ruangan? Aku takut terjadi sesuatu di antara mereka," ujar Amora. Wanita itu pun mulai bertanya kepada suaminya. Kekhawatiran sudah terlukis di wajahnya. Bagaimana tidak? Sudah satu jam lebih Diego maupun Alejandro tidak kelihatan batang hidungnya. Padahal sudah banyak para tamu menunggu untuk memulai puncak acara, tetapi kedua pria paruh baya itu tidak kunjung keluar. Regis tertegun. Dia juga memiliki pemikiran yang sama dengan istrinya. "Amora benar, Regis." Nyonya Tua Lorenzo juga ikut menimpali. "Coba kamu pergi periksa keadaan mereka," imbuh wanita tua itu. "Baiklah, Nek," sahut Regis. Ketika Regis hendak beranjak dari tempat duduknya, Amora langsung mencekal lengannya dan berkata, "Aku juga mau ikut." Regis pun mengangguk dan akhirnya mendorong kursi roda yang diduduki istrinya itu. Mereka pun melangkah menuju ke ruang kerja Diego Lorenzo. Di sana mereka melihat Pablo yang masih berdiri di luar ruangan. Pria itu menjaga
Akhirnya puncak acara pun dimulai. Para tamu diminta untuk menghampiri area ruang keluarga. Terlihat sosok Diego dan Liliana yang telah berada di tengah ruangan dengan sebuah kue berukuran cukup besar yang telah diletakkan di atas meja bundar di hadapan mereka. Melihat kehadiran Nyonya Tua Lorenzo, para tamu pun memberikan jalan untuknya dan wanita tua itu pun berdiri di antara putra dan menantunya. “Kalian juga kemarilah,” ajak Liliana seraya melambaikan tangannya kepada Regis maupun Amora. Regis pun mendorong kursi roda istrinya dan melangkah bersama Rayden. Mereka pun berdiri di samping Liliana. “Terima kasih atas kehadiran kalian malam ini,” ucap Nyonya Tua Lorenzo kepada para tamu yang hadir. Ia memimpin pembukaan acara tersebut dengan doa bersama. Setelah selesai mengucapkan syukur atas kebersamaan mereka di acara tersebut, Nyonya Tua Lorenzo kembali berkata, “Saya sangat senang bisa melihat kalian berkumpul lagi di sini dalam keadaan sehat dan bahagia. Sudah cukup lama kit
“Diego, apa yang sudah kamu pikirkan? Kamu ingin menceraikan Lili?” tanya Nyonya Tua Lorenzo yang tampak murka.Diego menggeleng. “Ibu, saya hanya memberikan Lili pilihan saja. Jika dia memang ingin bercerai, saya akan memberikannya. Saya tidak ingin dia hidup terikat dengan lelaki tidak berguna sepertiku,” terangnya.Tatapan Diego tertuju pada Alejandro yang sedang menyaksikan kebodohannya. Ia tahu jika besannya itu sedang mengasihaninya, tetapi ia tidak peduli.Saat berbicara dengan Alejandro tadi, ayah kandung Amora tersebut berkata kepadanya, “Apa kamu tahu kalau sebenarnya kamu itu adalah bajingan yang lebih beruntung dariku, Diego? Kamu masih memiliki istri cantik yang setia menjagamu meskipun kamu lumpuh. Jaga baik-baik wanita seperti itu atau kamu lepaskan kalau kamu hanya menyakitinya.”Ucapan Alejandro tersebut langsung membuat Diego menyadari jika betapa beruntungnya dirinya. Diego melihat sendiri bagaimana Liliana sudah mencurahkan seluruh tenaga, waktu dan pikirannya untu
Diego terperangah. “Lili, kamu ….” “Aku juga adalah wanita bodoh yang akan terus mengharapkan cinta dari lelaki sepertimu, Diego,” sela Liliana dengan seulas senyuman simpul yang tersungging di bibirnya. “Ma-maksudmu … kamu tidak akan berpisah darinya?” tanya Nyonya Tua Lorenzo dengan bingung. Liliana menoleh dan memberikan anggukan kecil. “Aku tetap akan berada di sisinya, Ibu. Aku tetap akan menjaga komitmenku hingga akhir hayatku,” jawabnya atas keputusan yang diambilnya. Sudut bibir Diego melengkung tipis. Ia tidak mampu berkata-kata atas jawaban wanita itu. Ia mengira Liliana akan memilih untuk pergi, mengingat semua hal buruk yang dilakukannya kepada wanita itu. Nyatanya, wanita itu masih menjaga janji pernikahan mereka. “Kamu … benar-benar bodoh, Lili,” gumam Diego dengan penuh rasa haru. “Kamu dan aku memang adalah dua orang bodoh,” timpal Liliana seraya tertawa kecil. Diego menggenggam erat tangan wanita itu. Setelah mendengar jawaban tak terduga dari istrinya, Diego pu
“Ini bukan mimpi kan, Suamiku?” tanya Amora kepada suaminya. Ia masih tidak dapat percaya dengan hal yang baru saja didengarnya tadi dari ayah mertuanya. Prosesi puncak acara akhirnya selesai dengan penuh haru dan bahagia. Para tamu kembali menikmati alunan musik dan menyantap suguhan makanan dan minuman yang disediakan. “Tentu saja, Sayang.” Regis menyeka air mata di sudut mata istrinya itu. Ia dapat merasakan kebahagiaan wanita itu dan juga merasa sangat lega karena rencana ayah mertuanya ternyata berjalan dengan lancar. “Maaf kalau aku sudah membuatmu menunggu lama hanya untuk mendapatkan pengakuan seperti ini,” ucap Regis dengan penuh penyesalan. Amora menggeleng. “Setidaknya aku senang sekarang Ayahmu sudah mau menerimaku dan Ray. Bagiku, ini semua tidak dapat dibandingkan dengan hadiah mahal apa pun,” timpalnya. “Amora.” Suara Alejandro menyela percakapan mereka. “Ayah,” sapa Amora dengan senyuman sumringah. “Kenapa kamu masih saja menangis? Apa …,” Alejandro melirik Regi
“Untuk masalah ini … saya bicarakan dulu dengannya, Tante. Soalnya dia masih belum terbiasa tinggal di tempat yang asing sebenarnya,” timpal Regis atas penawaran yang diberikan ibu tirinya kepada istrinya. “Baiklah. Aku mengerti. Pergilah temani lagi istrimu,” tutur Liliana. Selesai berbicara dengan ayah dan ibu tirinya, Regis kembali menghampiri istrinya yang telah duduk di kursi rodanya dan memberitahukan tawaran Liliana kepada istrinya tersebut. “Tapi, aku ….” Amora tampak ragu. Ia tidak ingin merepotkan orang-orang di kediaman Lorenzo meskipun sebenarnya masih ada rasa khawatir di dalam dirinya terhadap orang asing. “Kalau kamu memang keberatan, bagaimana kalau Ayah yang menemanimu saat Regis pergi kerja?” Alejandro ikut memberikan tawarannya dan membuat Amora terperangah. “Tapi, bukankah Ayah harus kembali lagi ke Swiss untuk mengelola lahan yang baru Ayah beli?” tanya putri Alejandro tersebut. Alejandro terkekeh kecil. “Masalah lahan masih bisa ditunda. Tapi, untuk putriku
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d
Perasaan Amora terasa tidak karuan. Ucapan Alicia masih terngiang jelas di dalam benaknya. “Ini tidak mungkin. Tidak mungkin,” gumam Amora berulang kali.Seth melirik kaca spion mobil tengah untuk memantau kondisi nyonya mudanya tersebut. Ia tidak tahu menahu tentang hal yang terjadi. Tadi wanita itu hanya memintanya untuk segera mengantarkannya ke Mansion Blue Lake.Tadi Alicia berkata jika ia melihat Regis bertemu dengan seorang wanita saat ia dalam perjalanan menuju taman bermain dengan Rayden. Padahal sepengetahuannya, pria itu seharusnya berada dalam perjalanan ke Italia seperti yang dikatakannya kemarin kepadanya.Alicia berkata kepada Amora jika ia telah membuntuti Regis dan melihat keduanya masuk ke dalam Mansion Blue Lake. Tentu saja hal tersebut membuat Amora sangat terkejut. Ia tidak percaya jika Regis melakukan sesuatu yang mengkhianati cinta mereka.Namun, di satu sisi, Amora juga yakin kalau Alicia tidak mungkin membohonginya. ‘Apa mungkin Regis tidak jadi berangkat ke
“Bagaimana? Apa kamu bisa tenang membiarkan Emma membantumu mulai hari ini?” tanya Liliana meminta pendapat menantunya tersebut. Amora tertegun. Ia menatap Emma yang masih menunggu tanggapannya. “Tentu saja aku setuju,” sahutnya dengan mengulas senyuman lebar di bibirnya. Dibandingkan para pengasuh lain, Amora tentu saja akan lebih percaya dengan Emma. Dulu wanita paruh baya itu juga sering membantunya menjaga Rayden. “Tapi, apa Nyonya Adams tidak apa-apa? Aku tidak ingin terus-menerus merepotkan Anda. Apa Henry dan Hilde mengizinkannya?” tanya Amora dengan penuh selidik. Ia tidak ingin putra dan menantu Emma tidak menyetujui hal tersebut. Apalagi kondisi Emma yang pernah dirawat di rumah sakit dulu. “Tenang saja, Amora. Malah mereka memintaku untuk membantumu. Hilde malah lebih mendukungku,” terang Emma yang dapat memahami pemikiran Amora tersebut. “Nanti Tante akan sering-sering datang dan ikut membantu kok,” timpal Liliana yang mencoba meyakinkan menantunya itu. Amora tersen
“Selamat pagi Anak Mama. Bagaimana tidurnya semalam, hm?”Amora berceloteh sendiri dengan Ryuji yang sedang duduk di dalam box bayinya. Amora baru saja bangun saat mendengar suara bayi bertubuh gembul itu.“Anak Mama sudah bangun saja pagi begini. Siapa yang sudah menggantikan popokmu, hm? Papa?” tanya Amora ketika melihat putranya telah berganti pakaian.Ryuji hanya menanggapinya dengan senyuman lebar dan menendang kedua tangan dan kakinya berulang kali. Ia asyik memasukkan teether ke dalam mulutnya dan menggigit-gigitnya dengan gemas.Amora pun menggendong Ryuji keluar dari tempat tidurnya dan mengelilingi kamarnya untuk mencari keberadaan Regis.“Sayang,” panggil Amora. Namun, tidak ada yang menyahutnya.“Ke mana dia?” gumam Amora yang akhirnya kembali ke kamarnya. Ia baru menyadari jika koper yang dipersiapkannya semalam untuk Regis sudah tidak ada di tempatnya.“Dia sudah pergi?” terka Amora dengan terheran-heran.Tidak biasanya Regis pergi tanpa berpamitan padanya. Biasanya Regi