Hari ini aku up 1 bab ya, Kak. Jari-jariku lagi sakit banget buat ngetik. Mau istirahat dulu biar awal bulan bisa gas update lagi ya T.T Terima kasih yang masih setia menanti update-an cerita ini. Aku sayang kalian ♡♡♡
“Aku hanya tidak ingin bicara saja. Apa ada salahnya kalau aku diam? Mulut juga mulutku.” Nada sarkas yang terlontar dari bibir Amora membuat ekspresi Regis sedikit menggelap. Baru wanita itu yang berani menentangnya. Selama ini semua orang selain ayahnya selalu melihat air mukanya kalau berbicara dengannya. Akan tetapi, Amora bahkan tidak mempedulikan kilatan kemarahan yang kini terbesit pada sepasang netra tajam Regis. Bahkan wanita itu malah mendelik tajam padanya dan masih memasang wajah masam padanya. Helaan napas panjang pun bergulir dari bibir Regis. “Mau sampai kapan kamu bersikap dingin padaku, Amora? Kamu tidak mau kan Ray melihat kita terus berperang dingin seperti ini?” Pertanyaan yang disertai ancaman itu membuat Amora mencebikkan bibirnya dengan malas. “Tidak usah membawa-bawa nama Ray. Aku tahu apa yang sedang kulakukan, Regis. Sebaliknya, kamu sendiri, aku harap kamu segera menangkap pelaku penembakan tadi. Aku tidak mau kalau dia sampai mencelakai Ray,” peringatn
Wanita itu menepis tangan Regis dari bibirnya. Ia tidak mampu berkata-kata karena kenyataannya tadi ia menjadi semakin liar karena tergoda dengan perlakuan pria itu.Berulang kali Amora merutuki dirinya sendiri. Ia semakin heran dengan dirinya sendiri yang begitu mudah ditaklukkan oleh pria itu. Padahal ia sudah berulang kali mengingatkan dirinya untuk tidak lengah, tetapi tetap saja Regis berhasil membuatnya tergoda.‘Sial! Kenapa juga dia begitu mahir berciuman?’ gerutu Amora dengan kesal di dalam hati.Amora akui jika ciuman yang dilakukannya bersama Regis adalah ciuman terpanas dan terlama yang pernah dilakukannya bersama lawan jenisnya.‘Amora oh Amora, apo kamu sudah gila? Dia bukan lelaki yang bisa kamu percayai begitu saja. Jangan serahkan hatimu kalau tidak ingin terluka lebih dalam lagi.’Amora bergumam di dalam hati dan mengingatkan dirinya kembali. Ia yakin Regis begitu menginginkannya sek
“Katakan padaku, Amora. Kenapa kamu mengabaikanku dan sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini?” selidik Regis dengan kedua tangan telah berkacak di pinggang. Amora berdecih sinis. “Jangan berpura-pura bodoh. Kamu tahu pasti kenapa aku mengabaikanmu, bukan?” Kening Regis mengerut. Tentu saja ia tahu, tetapi semua yang dilakukannya adalah demi kebaikan wanita itu. Lalu, apa salahnya jika dirinya tidak memberitahunya?Regis mulai menyadari jika pola pikir seorang wanita sangatlah rumit. Biasanya ia tidak pernah mempedulikan perasaan lawan jenisnya, tetapi ia tidak bisa melakukannya terhadap Amora karena wanita itu cukup istimewa di hatinya.“Aku hanya tidak ingin kamu terlibat lebih jauh, Amora. Bukan sengaja ingin merahasiakannya,” cetus Regis membela dirinya. Berharap wanita itu akan memahami keputusannya tersebut. Akan tetapi, pembelaannya malah menjadi cambukan balik untuknya.“Tapi, sayangnya aku sudah terlibat, Regis. Aku hampir mati tadi!” hardik Amora dengan kesal. Tiba-ti
Helaan napas panjang bergulir dari bibir Regis. Kalimat wanita itu terdengar sangat tajam seperti duri yang ingin menusuknya. Akan tetapi, Regis tahu jika Amora hanya ingin melindungi dirinya dengan kalimat sarkas tersebut."A-aku tidak bisa memaafkanmu dengan mudah," cicit Amora dengan gugup.Sejujurnya, Amora sangat terkejut mendapatkan permintaan maaf dari suaminya itu. Ia tidak ingin mengakui jika rasa kesalnya telah terkikis sedikit saat ini. Ia merutuki dirinya yang terlalu mudah luluh hanya karena satu kata maaf dari pria itu.Dengkusan kasar berembus dari hidung bangir wanita itu. Ia memalingkan wajahnya dari Regis yang sejak tadi terus memandangnya dengan lekat. Tatapan pria itu seolah mampu menembus ke dalam isi hatinya.“Tentu saja aku tahu. Lagian aku tidak minta maaf karena sudah menciummu,” lanjut Regis yang membuat perhatian Amora kembali tertuju padanya. “Apa kamu sengaja mencari gara-gara, Regis?” hardik Amora dengan emosi yang kembali meluap tak terkendali. Suara k
Amora hanya mendapatkan tanggapan berupa senyuman kecut dari pria itu. “Kamu tidak bisa melakukannya?” cibirnya. Mafia sekelas keluarga Lorenzo pasti sudah melakukan banyak hal yang melanggar hukum dengan kejahatan-kejahatan terselubung yang telah mereka perbuat termasuk membunuh. Demi uang, kekuasaan dan harga diri mereka yang tinggi, apa pun akan mereka lakukan meskipun harus melumuri tangan mereka dengan darah. “Maaf, sepertinya aku terlalu naif kalau memintamu untuk tidak membunuh. Aku hanya tidak ingin Ray tahu kalau ayahnya ternyata adalah seorang pembunuh yang kejam. Tapi, sudahlah … lupakan hal itu,” cicit Amora dengan wajah tertunduk. “Baiklah,” cetus Regis yang membuat Amora tersentak. Wanita itu kembali memandang Regis dengan sorot mata tak percaya. “Ka-kamu bilang apa?” “Aku bilang aku tidak akan membunuh,” ucap Regis menegaskan ucapannya. “Kamu … yakin?” cicit Amora dengan penuh keraguan. “Tentu saja tidak yakin,” sahut Regis seraya terkekeh kecil. Bola mata hazel
Bola mata hazel Amora bergerak dengan gelisah. Bibirnya bergetar pelan. Pikirannya memintanya untuk menolak permintaan pria itu, tetapi tubuhnya berpikir sebaliknya. Ketika bibir Regis kembali memagut bibirnya, Amora tidak menghindar. Ia berpikir mungkin ia sebaiknya memberikan kesempatan kepada pria itu untuk mengambil haknya karena Amora sebenarnya juga menyadari jika dirinya juga membutuhkan hal yang sama saat ini. Perlahan tapi pasti, bibir mereka saling bertaut kembali seperti sebelumnya. Tidak ada lagi perlawanan seperti yang terjadi sebelumnya, semuanya mengalir dengan selaras di bawah sinar rembulan yang memancarkan kelembutannya. Perlahan kelopak mata Amora tertutup rapat. Buaian lembut yang memanjakan bibirnya membuat akal sehatnya berhenti bekerja untuk beberapa saat. Kedua lengan Amora telah melingkar pada leher kokoh Regis. Tangan pria itu juga telah bergerak menahan tengkuk lehernya untuk memperdalam ciuman mereka yang kian memanas. Regis meraup bibirnya dengan raku
“Ray? Apa yang terjadi?” tanya Regis dengan bingung. Pria itu berusaha menyembunyikan rasa kecewa dan paniknya karena merasa kepergok telah melakukan tindakan yang tercela oleh putranya itu. Amora juga sama hal terkejutnya. Ia menoleh dan menemukan putranya telah berdiri dengan piyama lengkap. Anak laki-lakinya itu sedang memeluk bantal kesayangan yang selalu dibawanya sejak kecil. Sontak, Amora bergegas turun dari gendongan Regis dan melangkah dengan tertatih-tatih. “Ada apa, Sayang?” tanya wanita itu dengan cemas. Rayden tidak langsung menjawab. Ia melirik tajam ke arah Regis hingga membuat pria itu merasa telah membuat kesalahan yang sangat besar. "Ray, kamu mencari Mama?" tanya Amora menerka. Perhatian Rayden kembali tertuju kepada ibunya. Anak laki-laki itu mengangguk kecil. "Ada apa, Ray?" tanya Amora dengan waswas. Ia masih mengingat putranya yang sempat mengintip dirinya dan Regis sedang berciuman di luar tadi. “Ray mau tidur di sini,” cetus Rayden dengan wajah tertun
Suara aliran air terdengar deras di dalam kamar mandi. Saat ini Amora tengah berdiri di bawah pancuran air hangat yang deras membasahi sekujur tubuhnya. Ia menengadahkan wajahnya dan memejamkan netranya dengan erat. Ia membiarkan air yang mengalir tersebut menyapu semua pikiran kusut dari dalam benaknya. Setelah merasa lebih segar, ia menghentikan aliran air shower tersebut dan meraih jubah mandi untuk menyelimuti tubuh polosnya. Kini Amora berdiri di depan cermin wastafel. Ia mematut wajahnya yang tampak merona merah. Terlihat bekas ciuman yang masih memerah pada leher jenjangnya. Bayangan ciuman panas yang sempat dilakukannya bersama Regis kembali terngiang di dalam ingatannya. “Ah, ya ampun! Berhenti memikirkannya,” sungut Amora seraya menepuk kedua pipinya. Ia bergegas mengambil salah satu krim yang tersedia di sekitar meja wastafel itu untuk menyamarkan bekas ciuman tersebut. Amora tidak tahu apakah harus merasa bersyukur karena menunda kegiatan intim mereka atau malah ikut
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d
Perasaan Amora terasa tidak karuan. Ucapan Alicia masih terngiang jelas di dalam benaknya. “Ini tidak mungkin. Tidak mungkin,” gumam Amora berulang kali.Seth melirik kaca spion mobil tengah untuk memantau kondisi nyonya mudanya tersebut. Ia tidak tahu menahu tentang hal yang terjadi. Tadi wanita itu hanya memintanya untuk segera mengantarkannya ke Mansion Blue Lake.Tadi Alicia berkata jika ia melihat Regis bertemu dengan seorang wanita saat ia dalam perjalanan menuju taman bermain dengan Rayden. Padahal sepengetahuannya, pria itu seharusnya berada dalam perjalanan ke Italia seperti yang dikatakannya kemarin kepadanya.Alicia berkata kepada Amora jika ia telah membuntuti Regis dan melihat keduanya masuk ke dalam Mansion Blue Lake. Tentu saja hal tersebut membuat Amora sangat terkejut. Ia tidak percaya jika Regis melakukan sesuatu yang mengkhianati cinta mereka.Namun, di satu sisi, Amora juga yakin kalau Alicia tidak mungkin membohonginya. ‘Apa mungkin Regis tidak jadi berangkat ke
“Bagaimana? Apa kamu bisa tenang membiarkan Emma membantumu mulai hari ini?” tanya Liliana meminta pendapat menantunya tersebut. Amora tertegun. Ia menatap Emma yang masih menunggu tanggapannya. “Tentu saja aku setuju,” sahutnya dengan mengulas senyuman lebar di bibirnya. Dibandingkan para pengasuh lain, Amora tentu saja akan lebih percaya dengan Emma. Dulu wanita paruh baya itu juga sering membantunya menjaga Rayden. “Tapi, apa Nyonya Adams tidak apa-apa? Aku tidak ingin terus-menerus merepotkan Anda. Apa Henry dan Hilde mengizinkannya?” tanya Amora dengan penuh selidik. Ia tidak ingin putra dan menantu Emma tidak menyetujui hal tersebut. Apalagi kondisi Emma yang pernah dirawat di rumah sakit dulu. “Tenang saja, Amora. Malah mereka memintaku untuk membantumu. Hilde malah lebih mendukungku,” terang Emma yang dapat memahami pemikiran Amora tersebut. “Nanti Tante akan sering-sering datang dan ikut membantu kok,” timpal Liliana yang mencoba meyakinkan menantunya itu. Amora tersen
“Selamat pagi Anak Mama. Bagaimana tidurnya semalam, hm?”Amora berceloteh sendiri dengan Ryuji yang sedang duduk di dalam box bayinya. Amora baru saja bangun saat mendengar suara bayi bertubuh gembul itu.“Anak Mama sudah bangun saja pagi begini. Siapa yang sudah menggantikan popokmu, hm? Papa?” tanya Amora ketika melihat putranya telah berganti pakaian.Ryuji hanya menanggapinya dengan senyuman lebar dan menendang kedua tangan dan kakinya berulang kali. Ia asyik memasukkan teether ke dalam mulutnya dan menggigit-gigitnya dengan gemas.Amora pun menggendong Ryuji keluar dari tempat tidurnya dan mengelilingi kamarnya untuk mencari keberadaan Regis.“Sayang,” panggil Amora. Namun, tidak ada yang menyahutnya.“Ke mana dia?” gumam Amora yang akhirnya kembali ke kamarnya. Ia baru menyadari jika koper yang dipersiapkannya semalam untuk Regis sudah tidak ada di tempatnya.“Dia sudah pergi?” terka Amora dengan terheran-heran.Tidak biasanya Regis pergi tanpa berpamitan padanya. Biasanya Regi