Mata Nindya makin melotot ke arah Elang yang tidak berhenti memasang segaris tipis senyum di bibirnya. Dia masih tidak percaya kalau berkas yang tadi dibawa Elang ke kamar masih sama persis seperti saat diberikannya. Nol tanda tangan.
"Kenapa ini belum ada tanda tangannya?" tanya Nindya waspada, menyadari Elang sama sekali tidak melepaskan tatapannya sedikitpun."Aku lupa … tadi langsung lanjut nonton film. Aku bisa menandatanganinya besok lalu menyerahkan sendiri pada kajur," jawab Elang santai. Membuang formalitas, menyebut dirinya dengan kata aku."Kamu nggak sadar? Aku menunggu di ruang tamu seperti orang bodoh dan kamu malah menonton film tanpa merasa bersalah sedikitpun? Apa kamu masih punya otak?" sarkas Nindya. Kedua tangannya melipat di depan dada setelah membanting berkas kembali ke atas meja, matanya melebar tidak terima.Elang memegang kepalanya dengan ekspresi serius lalu tergelak sendiri setelah mengetok dan menunjuk rambut yang men"Why not? Ciuman bukan hal wajib dalam sebuah hubungan."Membayangkan bibir Elang menyentuh pipinya saja sudah membuat kulit wajah Nindya terbakar, apalagi jika mereka saling menghisap? Sudah cukup satu kali Elang menciumnya saat mulutnya berbau alkohol, tidak akan pernah terulang lagi. Itu adalah janji yang diam-diam menyiksanya karena takut akan segera mengingkarinya sebentar lagi.“Enough with the bullshit, tidak ada orang dewasa yang tidak melakukan ciuman, Nindya!” Elang mendekati Nindya, merapatkannya pada meja dan menunduk tak peduli dengan keadaan. Sibuk dengan pikiran-pikiran tak pantasnya, Nindya menilai kalau pemuda di depannya ini memang agak gila, tidak memiliki hati dan perasaan. Dia menoleh cepat agar bibir Elang tidak jatuh di tempat tujuannya, tapi menempel lembut pada pipinya yang sedang merona.Nindya gemetar, hanya seperti itu saja dadanya sudah sesak dan hampir meledak. Bagaimana jika yang terkena kecupan Elang barusan adalah
Mentari pagi mulai membawa hawa panas di kulit. Menyinari sekaligus menghangatkan wajah Elang yang tampan. Pemuda itu melangkahkan kaki tergesa ke arah laboratorium. Udara hangat dan langit tampak biru cerah di area kampus. Sehangat senandung ringan mengungkap perasaan yang sedang gembira keluar dari mulut Elang. Secerah wajah rupawan yang sumringah saat menaiki tangga ke lantai dua. "Mana jas laboratorium kamu, El?" tegur Pak Sarif tegas pada Elang yang hampir masuk ke dalam ruang tempatnya mengerjakan tugas penelitian."Saya nggak ada penelitian hari ini, Pak! Cuma mau beres-beres sama ketemu Mayra sebentar," jawab Elang apa adanya."Peraturan tetap peraturan! Peraturan dibuat bukan untuk dilanggar." Pak Sarif yang berdiri di tengah pintu tidak memberi izin pada Elang yang sering kelebihan alasan. Pak Sarif Menatap penampilan Elang dari bawah ke atas dengan teliti. Elang mengenakan kaos hitam bergambar pendaki gunung yang sudah pudar
Benarkah?Bukannya Elang tidak mau melepaskan Nindya karena ada alasan lain? Karena selain sinting, Elang bisa dibilang sedikit licik jika berpikir tentang dosen muda cantik itu.Tentu saja karena Elang masih saja berdesir saat ingat bagaimana dia mencium Nindya dengan sepenuh hati di kamarnya kemarin. Saat itu Elang juga melakukan ciuman ala pria pada wanita yang menjadi kekasihnya, semacam kekasih tercinta yang meninggalkannya berhari-hari tanpa kabar. Jadi, saat Nindya menampakkan diri di kamarnya, bukan salah Elang yang secara spontan memberikan ciuman penuh kerinduan pada wanita yang sudah menguras emosinya itu."Nindya," desah Elang dalam satu hembusan nafas beratnya. Dia menggeleng ringan untuk menepis lintasan bayangan dosennya."Apa, El? Kamu ngomong sama aku?" Mayra menoleh ke arah Elang dan menajamkan pendengarannya.Elang tertawa kecil, "Soal Bu Nindya, kasih saran yang bagusan dikit buat aku, May! Please!"
Elang menuju gedung rektorat tempat semua pusat administrasi kampus berada. Menaiki lift dan berhenti di lantai empat tempat ketua jurusan teknik kimia dan jajaran dosen berada.Pemuda tampan itu berhenti di depan meja admin yang mengurusi jadwal dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan jurusan."Kajur ada, Mbak?" tanya Elang sopan."Ada, tapi masih terima tamu!""Kalau Bu Nindya ada?""Kamu mau ketemu Kajur apa mau bimbingan sama Bu Nindya? Biar saya atur jadwalnya sekarang.""Saya mau ketemu Kajur, Mbak! Tapi kalau bisa pas Bu Nindya nggak ada di tempat!" jawab Elang ringan. Dia sedang tidak ingin dilihat ataupun melihat wanita yang sudah membuatnya sakit kepala.Admin perempuan itu melihat jadwal sebentar sebelum menjawab, "Bu Nindya hampir selesai di kelas analis jurusan geologi, sebentar lagi beliau pasti kembali kesini. Kalau Kajur, nah itu … beliau sudah free, kalau mau ketemu sekarang dipersilahkan,
"Ya, itu penelitian bersama antara dosen geologi, pertambangan dan kimia mengenai struktur batuan dan air di kawasan karst Gunung Kidul." Pak Ronald memberikan gambaran singkat mengenai pekerjaan yang sedang dilakukannya bersama dosen-dosen jurusan lain di kampus. "Lalu apa yang akan saya teliti di sana, Pak?""Kalau kamu bersedia kamu bisa ambil bagian untuk penelitian mengenai studi kelayakan air minum dari dalam goa, air bawah tanah."Elang sedikit mengerti, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta dikenal sebagai wilayah karst (kapur). Luas kawasan karst sekitar 807 km persegi. Kekayaan karst tersebut menjadi daya tarik dari para investor untuk melakukan penambangan batuan jenis gamping. "Beberapa perusahaan pertambangan yang melakukan aktivitas eksploitasi karst di Gunungkidul sudah pada habis masa perizinannya ya, Pak? Tapi pasti masih ada saja yang melakukan penambangan ilegal.” Elang memberikan tanggapan singkat mengenai lokasi penelitian.
Butuh perjuangan bagi Elang untuk membuat lagi rencana penelitiannya, terlebih ini dilakukan bersama dengan petinggi kampus yang sudah punya gelar minimal master di bidang masing-masing. Dia tidak bisa main-main dengan keputusannya bergabung dalam tim penelitian dosen di kampusnya.Selain Elang dari teknik kimia, ada Sandra dari teknik geologi dan Mario dari teknik pertambangan. Tiga mahasiswa yang ditunjuk untuk mewakili jurusan masing-masing dalam kerja sama di lapangan. Elang belum bertemu lagi dengan Nindya sejak insiden ciuman panas di kamarnya, selama tiga hari ini dia sibuk bimbingan awal dengan Pak Ronald. Elang sangat serius dan fokus pada lembaran materi yang diberikan Pak Ronald padanya, dia kembali optimis bisa mengejar jadwal wisuda sesuai target.Dalam hati, Elang merasa kalau Nindya sungguh-sungguh menghindarinya setelah membuangnya, jadi Elang pun bersikap adil dengan melakukan hal yang sama persis dengan yang sedang dilakukan Nindya. Elan
Elang tidak peduli suara ketus dan galak Nindya, dengan nakal dia sudah menghimpit Nindya dan menaikkan dagu dosen muda cantik di depannya agar menatap matanya.“Aku tidak akan membiarkan kamu lari, Nindya! Pertemuan seperti ini bukan sebuah kebetulan, pasti ada sesuatu dibaliknya." Elang berkata sambil menunduk hingga nafasnya menyapu wajah Nindya yang bersemburat merah."Baiklah, terserah kamu menganggap pertemuan ini sebagai apa! Sekarang tolong menjauh! Kamu membuatku sesak nafas." Nindya menjawab tegas sembari membuat gerakan mendorong tubuh Elang. Nindya tidak ingin terjadi sesuatu yang melibatkan perasaannya, meski tak dipungkiri bau parfum Elang mulai meracuni sarafnya. Namun, Nindya tidak mau melakukan kesalahan berulang."Menjauh? Seperti ini?" tanya Elang dalam bisikan menggoda.Nindya menahan nafas saat merasakan satu tangan Elang menahan dinding lift dan tangan yang lain justru melingkar di pinggangnya, menariknya perlahan untuk merap
Elang mampir ke warung yang tidak jauh dari kampus, kios kecil yang menjadi langganannya saat kepala pusing karena kebanyakan beban pikiran. Dua botol minuman beralkohol dibelinya dari sana sebelum pulang ke kontrakan. Apa yang baru saja dialaminya bersama Nindya di dalam lift tak urung membuat kepalanya menjadi berat. Elang sedang tidak ingin melampiaskan kekacauan dirinya bersama Vivian atau perempuan lain. Elang lebih memilih mabuk demi melupakan siksaan Nindya dalam nadi lelakinya.Mampir ke mesin pengambil uang di jalan, Elang menggerutu sambil memukul pelan pada layar penunjuk rupiah yang sangat tidak menyenangkan hatinya."Mak lampir ini … selalu saja telat transfer uang bulanan," geram Elang lirih. Dia jelas tak mau uang simpanannya yang lain berkurang.Kekesalan hati membuat Elang batal pulang ke kontrakan, dia melajukan kendaraannya ke arah Malioboro dan akhirnya masuk ke dalam salah satu penginapan di daerah Pajeksan.
Dua bulan kemudian ….Elang mendapatkan ucapan selamat dari Pak Ronald, dua dosen penguji dan teman-teman dari teknik kimia yang hadir dalam seminar. Penelitian Elang sukses, membawa proyek kampus pada tahap berikutnya, yaitu menaikkan sumber air tanah yang telah teruji dari dalam goa untuk didistribusikan ke desa dan dijadikan kebutuhan sehari-hari oleh warga sekitar. "Sukses ya, El!" Mayra menjabat tangan Elang paling akhir, tulus mengucapkan doa untuk orang yang dicintainya. "Bisa langsung skripsi itu, jaminan lancar kamu sama Pak Ronald! Aku yakin tiga bulan kelar, bisa wisuda periode semester ini kamu, El!""Thanks, sukses buat kamu juga, May!" Elang bersyukur, Mayra tidak berubah sikap. Tetap baik dan ramah padanya. "Kayaknya kamu bakal lulus lebih dulu … ngomong-ngomong kemana Bu Nindya? Kok cepet banget ilangnya, padahal tadi masih sempat ngasih masukan buat revisi laporan!"Elang mengedikkan bahu, dia memang tidak tau
Bukan pernikahan mewah seperti yang diimpikan oleh semua gadis dan juga orang tuanya. Elang menikahi Nindya di rumah sakit sebagai permintaan maaf, sebagai hadiah untuk keteledorannya dan sebagai penyembuh untuk hati Nindya yang sedang terluka.Elang menebus semua rasa bersalahnya dengan berjanji akan mencintai Nindya selamanya. Hatinya ikut perih, bukan hanya karena kehilangan calon anaknya tapi karena dirinyalah yang telah merusak masa depan Nindya dan tunangannya, meski itu terjadi tanpa disengaja.Elang tidak ingin Nindya tidak bahagia di masa depan karena ulahnya, karena ada bekas yang mungkin akan jadi pemantik dalam kisah rumah tangga dosennya itu bila menikah dengan Daniel. Biarlah Elang yang menanggung semua itu terlepas Nindya mencintainya atau tidak.Sudah seminggu berlalu, Nindya masih di rumah ibunya untuk beristirahat, sementara Elang memulai kesibukannya dengan penelitian dan juga latihan untuk persiapan lomba.Nindya tidak mau dije
Setelah beberapa waktu yang terasa sangat lama bagi Elang, akhirnya Nindya dipindahkan ke bangsal perawatan. Elang duduk gelisah di sisi ranjang tempat Nindya istirahat. Sesekali masih tersenyum sembari mengusap jemari Nindya yang terasa dingin."El, aku minta maaf!" Nindya menatap Elang sendu, dengan mata merebak dan penuh penyesalan.Elang mengeratkan genggaman, lalu mencium tangan Nindya dengan kasih sayang. "Sssttt …! No, kamu tidak boleh menangis! Itu salahku, jadi seharusnya aku yang minta maaf." "Aku tidak bermaksud berbohong," ucap Nindya serak."Kamu pasti punya alasan kuat melakukan itu semua, aku menduga ada dua hal yang menyebabkan kamu begitu. Pertama kamu akan menikah dengan Daniel dalam waktu dekat karena aku tidak pantas menjadi seorang suami. Kedua, kamu melakukan ini untuk Mayra." Elang menjeda kalimatnya dengan satu tarikan nafas panjang. "Aku kehilangan satu lembar surat mama!"Elang setiap beberapa hari sekali selalu
Nindya terengah-engah, nafasnya berat dan serasa hampir putus melewati tanjakan cinta. Padahal, dia berjalan setengah ditarik Elang. Melihat pemuda itu masih bisa cengengesan di depannya, Nindya menyadari kalau fisiknya terlalu lembek.Elang mengusap keringat di wajah Nindya, "Capek ya?""Sangat, rasanya aku tidak mungkin kuat berjalan lagi, El! Kakiku gemetar, perutku juga melilit." Nindya merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Rasa lelah menghampiri dengan dahsyat, tubuhnya lemas tak bertenaga dan perut bagian bawahnya sakit. Elang mengajak Nindya duduk di pinggir jalan, meluruskan kaki dosennya dan memberikan tasnya untuk bersandar. Wajah Nindya terlalu pucat, keringat dingin juga tidak berhenti memenuhi dahi Nindya. "Kamu sakit? Apa yang kamu rasakan?"Ada orang yang memiliki alergi dingin, ada juga yang mendadak sakit saat beradaptasi dengan cuaca gunung. Elang menemukan kasus serupa di beberapa kegiatan pendakian massal yang
Setelah mendapat izin dari ibu Nindya, Elang mengemudi ke tempat penyewaan alat-alat petualangan. Mereka akan berangkat langsung dari Semarang, Elang tidak akan sempat kembali ke Yogya mengambil semua kebutuhannya untuk di gunung nanti. Mereka juga mampir ke minimarket untuk membeli kebutuhan makanan.Elang cukup gila memilih jalur ngagrong sebagai pendakian pertama untuk Nindya. Selain lebih ekstrim, jalur tikus tersebut terbilang bukan jalur resmi yang direkomendasikan untuk mendaki Gunung Merbabu. Tidak ada pos pantau untuk mengawasi para pendaki dari jalur yang tidak resmi, sehingga membahayakan bagi pendaki yang tidak berpengalaman, karena tidak ada data yang tercatat di pos utama.Pendaki pemula kebanyakan lebih memilih jalur Selo dengan tingkat kesulitan medium. Elang pribadi kurang menyukai jalur tersebut karena terlalu ramai. Dia suka sepi saat di alam terbuka, agar suara alam terdengar jelas dan dia bisa lebih leluasa menikmati perjalanannya.Ela
"Kamu bisa pingsan di pelukanku!" Uh, Elang memang selalu penuh rayuan mematikan untuk Nindya yang sering naif dalam sebuah hubungan. "Apa Lala masih melihat kita?""Tidak, dia membuang muka!" Elang terkekeh, dia agak keterlaluan menciptakan suasana romantis bersama Nindya. Bukan hanya Lala yang gerah, tapi pria seumuran ayahnya yang sedari tadi memperhatikannya spontan memasang wajah dingin. "Siapa pria yang berdiri arah jam sembilan?"Nindya tidak menoleh tapi melihat dengan ekor matanya. "Oh … itu ayahku!""Hm … sepertinya aku dalam masalah!"Nindya terkikik melihat ekspresi Elang yang mendadak serius. "Tidak akan, kami sudah tidak bertegur sapa selama sepuluh tahun.""Apa alasan ibumu tidak mau datang karena situasi ini, karena ada ayahmu?""Mempelai wanita itu sepupuku dari keluarga ayah, jadi ayah pasti hadir, dan ibu menghindari masalah. Istri ayahku masih saja cemburu pada ibuku, dan selalu saja berusaha menying
"Pegang tanganku," perintah Elang pada Nindya ketika mereka turun dari mobil. Masuk ke dalam gedung serbaguna yang sudah disulap menjadi tempat resepsi pernikahan yang lumayan mewah.Sepupu Nindya cukup mujur karena mendapatkan suami dari kalangan orang banyak harta, sehingga pesta pernikahan pun tidak bisa dibilang sederhana. Beruntung Nindya dan Elang memakai pakaian yang pantas. Sangat serasi sebagai pasangan muda yang sedang jatuh cinta. Ups … sepertinya baru Elang yang jatuh cinta. Nindya baru tahap suka."Hm, ide bagus! Aku kurang nyaman dengan heels ini, terlalu tinggi!" Nindya mengaitkan tangan pada lengan mahasiswanya, selain agar tampak mesra sebagai pasangan, Nindya butuh bantalan kuat jika ada yang menyindir statusnya yang masih melajang di usia dua puluh delapan. Masalahnya tidak sederhana sederhana karena sepupunya yang sedang menggelar pesta pernikahan belum genap berusia 23 tahun. "Kenapa tidak pakai yang tanpa heels?" Elang mela
Sulit untuk menolak pria yang bisa membuatmu selalu tersenyum! Mungkin itu pepatah kuno yang dulu tidak pernah diyakini Nindya. Sekarang kalimat sakti itu membuktikan diri padanya, memberikan kebenaran yang mau tidak mau harus diakui. Nindya memiliki kesulitan menolak Elang! Pemuda itu terus saja menempel padanya di tiap kesempatan, membuat mereka selalu berdekatan tanpa rasa malu sedikitpun. Terlalu cuek atau terlalu percaya diri juga Nindya tak paham, yang jelas Elang cukup berani untuk ikut pulang bersamanya ke Semarang.Cinta? Ya Elang memang sudah menyatakan cinta padanya, tapi bagi Nindya cinta Elang bisa jadi hanya kamuflase dari nafsunya. Mereka menjadi dekat dan banyak bersentuhan karena sebuah kesalahan, yang berasal dari nafsu. Jadi kemungkinan untuk berubah menjadi cinta masih sulit untuk dipercaya Nindya. Lalu bagaimana Nindya nanti akan mengenalkan Elang pada ibunya? Entahlah! Bagaimana dia menjawab pertanyaan yang akan datang padanya saat
Di rumah, Nindya belum juga bersiap pulang ke Semarang. Hatinya masih terguncang dengan permintaan Daniel yang menurutnya kejam dan tak berperasaan. "Aku akan menikahimu setelah janin itu dihilangkan!""Aku tidak mau menjadi ayahnya, dia bukan anakku!""Untuk apa kamu mempertahankan bayi itu jika bapaknya saja tidak mau bertanggung jawab?""Kenapa kamu harus melindungi pria yang melecehkanmu?" "Gugurkan minggu depan dan kita atur pernikahan segera!""Aku juga salah karena terlalu sibuk!"Dan masih banyak kalimat-kalimat Daniel yang terngiang-ngiang di telinga Nindya. Namun, keputusannya sudah bulat, dia tidak akan melakukan aborsi. Soal Elang? Entahlah, Nindya juga masih dalam kebimbangan. Dia bukan wanita jahat, terlebih pada sesama wanita. Nindya tidak ingin merebut Elang dari siapapun, apalagi dari Mayra.Tangan Nindya mengambil satu kertas lusuh yang beberapa waktu lalu diambilnya dari tas Elang.