Sedari tadi Kaila sibuk ketawa-ketiwi mendengar suara Raka lewat telepon, ia berguling ke sana-ke mari menghabiskan tempat di kasur.“Eh, aku udah beli mug buat kamu, lho.”“Hah? Mug paan?”Kaila berdecak kesal. “Ih, kan tadi siang aku udah bilang ada mug lucu.”“Oh, iya. Makasih, ya, Kai.”“Woi, bakar yang bener!”“Heh, ngebucin aja kerjaan lo, bantuin, nih!”Terdengar suara Tian dan Jaffar di sana.Kaila tertawa. “Ya udah, sana bantuin temen-temen kamu dulu.”“Oke deh, nanti tengah malem aku telepon lagi, ya.”“Dah...”Setelah telepon ditutup, Kaila memeluk bantal dengan gemas, lalu menggulingkan tubuhnya lagi.Tara yang sejak tadi mendengar obrolan mereka dan memilih pura-pura tuli bangkit dari single sofa yang menghadap ke balkon, kemudian menoleh pada saudara tirinya. “Udah teleponnya? Keluar yuk, yang lain pasti udah nungguin.”“Hm, oke, wait, Tar.” Kaila membenarkan ikatan rambutnya, lalu memakai sweater pink favoritnya.Pukul sepuluh malam, Arsen, Eva dan Dio sudah di kolam re
Tara dan Kaila menuruni anak tangga dengan perasaan berbeda dari sebelumnya. Jika biasanya mereka berjalan sendiri-sendiri, kini ada perbincangan kecil untuk menjadikan pagi terlihat lebih cerah. Di belakangnya ada Dio yang sibuk membaca materi untuk Try Out.Di meja makan sudah ada Arsen yang sedang membaca koran, dan Eva yang sibuk menyiapkan sarapan. Kaila tersenyum lebar, kehangatan di dadanya lebih besar dari beberapa bulan lalu saat pertama kali Eva ada di posisi ini.“Selamat pagi, Pa, Bu.” “Pagi juga, anak-anak.”Kaila mencium Arsen dan Eva bergantian, lalu duduk di sebelah Dio.“Hadiah kalian udah Papa siapin. Mau diambil kapan?” tanya Arsen.“Nanti sore?” tanya Dio.Arsen mengangguk. “Boleh. Dio mau ring basket di halaman belakang ‘kan?”“Iya, Pa.”“Hari ini Papa urus.” Seolah itu adalah hal yang dapat dilakukan sekali jentikan jari. “Tara dan Kaila gimana?”“Aku mau sepatu Gabino terbaru, Pa!” seru Kaila.Orang kaya. Iya, Tara selalu ingat itu. Sepasan
Minggu ini Raka dan Kaila sepakat untuk pergi keluar untuk merayakan ulang tahun Kaila. Setelah memberikan kado pada pacarnya, Raka mengajak Kaila menonton film. Raka mengurungkan niatnya untuk mengantre tiket bersama Kaila saat ia melihat Tara dan Tian baru saja keluar dari teater satu. Ia mendengkus saat tangan Tian yang berusaha menggengam tangan perempuan di sampingnya. Tara sendiri tidak merasa risi atas sikap Tian padanya.“Kita di teater empat. Yuk!” Ajakan Kaila menyadarkan Raka kembali. Ia menurut saja kala tangannya ditarik ke teater empat.Dalam benaknya, Raka bertanya-tanya, kenapa Tara mau saja diajak kencan oleh Tian? Apa mereka membeli tiket yang sama dengannya? Setelah ini mereka akan ke mana? Dan kenapa Tian tidak memberitahunya kalau ia akan mengajak Tara pergi?Ia bisa bersikap biasa saja kalau Tian memang berusaha mendekati Tara, karena dulu, saat ia baru berpacaran dengan Tara, temannya itu baru mengaku kalau ia juga menyukai perempuan yang sama. Tapi ini Tara, Ra
Sore ini sekolah sudah agak sepi karena kegiatan ekskul tidak terlalu banyak, beberapa memilih langsung pulang ke rumah, nongkrong bersama teman-teman atau sekadar diam di kelas menikmati WiFi sekolah yang cukup kencang. Termasuk Tara dan Karina yang masih sibuk dengan soal-soal ulangan harian ekonomi yang dilaksanakan siang tadi di kantin sembari ditemani sepiring batagor dan es jeruk peras.Raka melangkah ragu menghampiri keduanya seraya membawa dua surat undangan di tangannya. “Nih, hari Sabtu,” katanya seraya menyimpan surat tadi di atas meja.“Apaan, nih?” Karina menatap Raka yang berdiri di depannya, lalu membolak-balikan surat itu.“Baca aja.” “Arlan, ya,” gumam Tara membaca sampul depan surat itu. “Thank's. Nanti gue datang, kok.”“Mami gak nyuruh lo datang hari itu aja, tapi hari sebelumnya juga,” jelas Raka. Ia ingat tadi pagi Kiera mengomel padanya, harus bisa mengajak Tara
Lima belas menit yang lalu Tara, Kaila dan Karina baru saja sampai di kediaman Raka. Banyak saudara, tetangga dan teman-teman dari Kiera dan Bian di sana, membuat Tara merasa tidak nyaman. Kaila sendiri sudah bergabung bersama ketiga teman Raka di halaman belakang, berbeda dengan Tara dan Karina yang memilih menikmati cemilan di ruang keluarga.Karina menyenggol lengan Tara. “Ini acara ulang tahun bocah apa emaknya, sih? Kok heboh banget.”“Orang kaya mah bebas,” jawab Tara. “Sebandinglah kalau sama Kaila.”“Ya jangan dibandingin sama dia jugalah,” sanggah Karina. “Tapi kayaknya nyokap Raka ini orangnya riweh ya, tiap hari ramai terus ini rumah.”“Iya, gitu deh. Om Bian juga usil orangnya.” Karena posisi mereka agak jauh dari keramaian, pembicaraan ini tidak terdengar oleh siapa pun kecuali keduanya.Raka muncul dari ruang tamu. “Sorry nih, jadi dicuekin. Makan dulu, yuk.”“Udah mulai emang potong kuenya?” tanya Karina.“Udah, makanya ayo makan,” ajak Raka.“Kaila sama temen-temen lo
Sore ini adalah jadwalnya ekskul bulu tangkis bermain, namun keempat lelaki itu masih setia di kantin menunggu Jaffar menghabiskan baksonya. Setia kawan sekali mereka ini.“Para saudara sekalian,” ujar Tian secara tiba-tiba. Nando yang sedang asik dengan ponselnya hanya memutar mata malas menanggapi Tian. Begitu pun dengan Raka.“Kenapa, Yan?” Berbeda dengan Jaffar yang kepo.Tian memajukan posisi duduknya, menyuruh ketiga temannya mendekat. Jaffar memajukan tubuhnya, mau tak mau Raka dan Nando pun melakukan hal yang sama.“Awas ya gak berfaedah!” kata Nando.Tian mengabaikan Nando, ia berbisik seolah ini adalah hal yang penting. “Rencananya besok pagi gue mau ngajak Tara ke sekolah bareng. Oke gak, tuh?”Sontak mereka langsung menjauh.“NAJIS LO, SEPTI!” seru Jaffar dan Nando bersamaan.Tian mengerucut bibirnya. “Kok kalian kayak yang gak setuju gitu, sih?”“Ya iyalah, gak setuju. Tara kan udah biasa pakai mobil sekarang, males amat naik motor
Hari ini adalah hari tersial bagi Raka. Gara-gara pulang dari acara Nando pukul sepuluh malam, ia harus kena ceramah oleh Bian, larangan pulang larut apalagi masih memakai seragam sekolah, mengerjakan tugas dengan baik dan harus fokus!Semalam ia ngebut mengerjakan tugas ekonomi mengenai Pajak Bumi dan Bangunan sebanyak dua puluh soal dan tugas geografi dari Pak Kusnadi mengenai kearifan lokal, ditambah Tian yang terus meminta tips untuk mendekati Tara. Alhasil, ia bangun terlambat, mendapat nyanyian selamat pagi—ceramah panjang lebar—dari Kiera dan ... boom! Ia telat dan terpaksa masuk lewat pintu belakang sekolah dekat kantin yang sialnya ternyata ada Bu Arum di sana.Dengan kekuatan seribu kaki, Raka berlari menghindari kejaran bu Arum, tepat di tangga menuju lantai dua, Raka bertemu Karina dan Tara yang berlawanan arah dengannya. Raka menahan napas kala tak sengaja bahu mereka bersenggolan. Tak mampu membuat Tara menoleh, namun jantungnya sukses berdebar hebat.Ini kenapa, sih? Ef
Tara mendial nomor Farhan saat melihat ada beberapa missed call dari sang ayah. “Halo, Pa. Kenapa? Tadi Tara lagi sama Ibu abis bikin kue.”“Rajin amat, Dek. Udah malam lho, ini.”Tara merebahkan dirinya di kasur. “Iseng aja, sih. Biar lebih dekat juga sama Kaila.”“Oh, ya? Terus gimana hari ini?”“Seneng, Pa. Tadi aku lihat Dio bawa temannya main basket ke sini. Aku juga sering belajar bareng sama Karin sepulang sekolah, mulai agak terbuka juga sama papa Arsen sama Kaila.”“Baguslah. Papa seneng dengarnya.”Tara juga merasakan hal yang sama. Hubungannya dengan Kailam makin dekat. Sambil membuat kue, ia juga sempat membicarakan hobi dan kegiatan masing-masing kalau sedang di kamar. Dari banyaknya obrolan, ada satu hal kesamaan Kaila dan Tara, suka menggambar.“Papa gimana kabarnya?”“Baik. Papa baik, kok.”“Mas, udah minum obat? Aku khawatir kondisi kamu semakin menurun.”Tara terdiam sejenak. Itu pasti Tante Gita.“Nanti aja.”“Aku bawain makan malam dulu, ya. Kamu jangan telat makan