Lima belas menit yang lalu Tara, Kaila dan Karina baru saja sampai di kediaman Raka. Banyak saudara, tetangga dan teman-teman dari Kiera dan Bian di sana, membuat Tara merasa tidak nyaman. Kaila sendiri sudah bergabung bersama ketiga teman Raka di halaman belakang, berbeda dengan Tara dan Karina yang memilih menikmati cemilan di ruang keluarga.Karina menyenggol lengan Tara. “Ini acara ulang tahun bocah apa emaknya, sih? Kok heboh banget.”“Orang kaya mah bebas,” jawab Tara. “Sebandinglah kalau sama Kaila.”“Ya jangan dibandingin sama dia jugalah,” sanggah Karina. “Tapi kayaknya nyokap Raka ini orangnya riweh ya, tiap hari ramai terus ini rumah.”“Iya, gitu deh. Om Bian juga usil orangnya.” Karena posisi mereka agak jauh dari keramaian, pembicaraan ini tidak terdengar oleh siapa pun kecuali keduanya.Raka muncul dari ruang tamu. “Sorry nih, jadi dicuekin. Makan dulu, yuk.”“Udah mulai emang potong kuenya?” tanya Karina.“Udah, makanya ayo makan,” ajak Raka.“Kaila sama temen-temen lo
Sore ini adalah jadwalnya ekskul bulu tangkis bermain, namun keempat lelaki itu masih setia di kantin menunggu Jaffar menghabiskan baksonya. Setia kawan sekali mereka ini.“Para saudara sekalian,” ujar Tian secara tiba-tiba. Nando yang sedang asik dengan ponselnya hanya memutar mata malas menanggapi Tian. Begitu pun dengan Raka.“Kenapa, Yan?” Berbeda dengan Jaffar yang kepo.Tian memajukan posisi duduknya, menyuruh ketiga temannya mendekat. Jaffar memajukan tubuhnya, mau tak mau Raka dan Nando pun melakukan hal yang sama.“Awas ya gak berfaedah!” kata Nando.Tian mengabaikan Nando, ia berbisik seolah ini adalah hal yang penting. “Rencananya besok pagi gue mau ngajak Tara ke sekolah bareng. Oke gak, tuh?”Sontak mereka langsung menjauh.“NAJIS LO, SEPTI!” seru Jaffar dan Nando bersamaan.Tian mengerucut bibirnya. “Kok kalian kayak yang gak setuju gitu, sih?”“Ya iyalah, gak setuju. Tara kan udah biasa pakai mobil sekarang, males amat naik motor
Hari ini adalah hari tersial bagi Raka. Gara-gara pulang dari acara Nando pukul sepuluh malam, ia harus kena ceramah oleh Bian, larangan pulang larut apalagi masih memakai seragam sekolah, mengerjakan tugas dengan baik dan harus fokus!Semalam ia ngebut mengerjakan tugas ekonomi mengenai Pajak Bumi dan Bangunan sebanyak dua puluh soal dan tugas geografi dari Pak Kusnadi mengenai kearifan lokal, ditambah Tian yang terus meminta tips untuk mendekati Tara. Alhasil, ia bangun terlambat, mendapat nyanyian selamat pagi—ceramah panjang lebar—dari Kiera dan ... boom! Ia telat dan terpaksa masuk lewat pintu belakang sekolah dekat kantin yang sialnya ternyata ada Bu Arum di sana.Dengan kekuatan seribu kaki, Raka berlari menghindari kejaran bu Arum, tepat di tangga menuju lantai dua, Raka bertemu Karina dan Tara yang berlawanan arah dengannya. Raka menahan napas kala tak sengaja bahu mereka bersenggolan. Tak mampu membuat Tara menoleh, namun jantungnya sukses berdebar hebat.Ini kenapa, sih? Ef
Tara mendial nomor Farhan saat melihat ada beberapa missed call dari sang ayah. “Halo, Pa. Kenapa? Tadi Tara lagi sama Ibu abis bikin kue.”“Rajin amat, Dek. Udah malam lho, ini.”Tara merebahkan dirinya di kasur. “Iseng aja, sih. Biar lebih dekat juga sama Kaila.”“Oh, ya? Terus gimana hari ini?”“Seneng, Pa. Tadi aku lihat Dio bawa temannya main basket ke sini. Aku juga sering belajar bareng sama Karin sepulang sekolah, mulai agak terbuka juga sama papa Arsen sama Kaila.”“Baguslah. Papa seneng dengarnya.”Tara juga merasakan hal yang sama. Hubungannya dengan Kailam makin dekat. Sambil membuat kue, ia juga sempat membicarakan hobi dan kegiatan masing-masing kalau sedang di kamar. Dari banyaknya obrolan, ada satu hal kesamaan Kaila dan Tara, suka menggambar.“Papa gimana kabarnya?”“Baik. Papa baik, kok.”“Mas, udah minum obat? Aku khawatir kondisi kamu semakin menurun.”Tara terdiam sejenak. Itu pasti Tante Gita.“Nanti aja.”“Aku bawain makan malam dulu, ya. Kamu jangan telat makan
Selepas upacara bendera, kelas sebelas IPS 4 tidak langsung ke toilet untuk berganti pakaian olahraga, kelas mereka ramai melihat pertengkaran dua sahabat yang biasanya terlihat akur dan nempel seperti perangko. Awalnya, Tian menggebrak meja di depan Raka dan berseru kasar, Raka yang tidak terima pun langsung tersulit emosi, ditambah udara panas sehabis upacara.“Bangsat lo!” Tian menunjuk Raka dengan telunjuknya.“Gak usah nunjuk-nunjuk, anjing!” Raka langsung menepis tangan Tian di depan wajahnya.Tian menendang meja di sebelahnya, membuat para siswi berjengit kaget. Tak menyangka Tian yang biasa tersenyum jahil bisa marah seperti ini, terlebih dengan sahabatnya.“Banci lo, anjing! Pengecut!” teriak Tian yang menarik kerah seragam Raka.Yang diteriaki tertawa sumbang. “Lo gak terima ditolak Tara? Hah? Ngamuk ke gue jadinya? Elo yang banci, tolol!” Dengan sigap Raka menepis tangan Tian lalu menghadiahi satu pukulan di wajah Tian.“Bacot lo, anjing!” Tian balas memukul. “Gak guna lo j
Kantung mata Tara sangat terlihat saat ia berdiri di depan cermin. Semalam ia mendapat pesan dari Gita, ibu tirinya, ayahnya sedang sakit dan beliau ingin Tara segera ke Makassar. Ia tidak diberitahu penyakit apa yang diderita ayahnya, namun, melihat pesan itu langsung dari kontak Gita, Tara yakin hal serius terlah terjadi di sana.Tara memakai kacamata belajarnya yang tak pernah ia pakai ke sekolah sebelumnya, lalu keluar kamar. Bertepatan dengan Kaila yang jauh lebih kacau darinya baru saja menutup pintu kamarnya. Kantung mata terlihat jelas, tak seceria biasanya dan penampilannya bukan seorang Kaila banget. Tara sengaja memperlambat langkahnya, membiarkan Kaila berjalan lebih dulu.“Pagi, Kai,” sapa Eva yang sudah sibuk menyiapkan sarapan.“Pagi, Bu.”“Habis nangis, ya? Ya ampun kamu kacau banget.” Eva memegang rahang Kaila, melihat jelas raut anaknya pagi ini. “Perkataan papa tempo hari jangan terlalu dipikirin.”Kaila menggeleng. “Aku gak pa-pa, kok.”“No! Ibu gak suka lihatnya.
Kali ini bukan hanya Kaila, Tara pun tak hadir di kelas pagi ini sampai pelajaran terakhir selesai. Karina mencoba menghubungi temannya, namun hasilnya nihil. Tara bahkan tak mengaktifkan ponselnya sejak malam tadi.“Tara beneran sakit, Na?” tanya Tisha menghampiri Karina yang masih duduk di bangkunya, sementara bel istirahat sudah berbunyi sejak lima menit lalu.“Iya, Tish.” Karina memang mencatat di buku absen kalau hari ini Tara sakit. “Pada mau ke kantin?”Kanaya mengangguk. “Bareng, yuk.” “Gue boleh nanya nggak?” tanya Tisha saat mereka sudah kebagian tempat duduk di kantin.Karina mengangguk. “Soal kemarin?”Kedua perempuan itu tampak salah tingkah.“Gue turut prihatin sama Kaila karena di sini dia jadi korban. Kalau Rakanya masih suka sama Tara kenapa harus jadian sama cewek lain coba?” gumam Kananya.“Makanya, move on itu harus bener-bener niat, karena bersaing sama masa lalu itu percuma. Bakal kalah pada akhirnya,” ujar Tisha.“Eh, kita bukan nyal
Dio menepati janjinya. Lelaki berseragam SMP itu duduk di halte Adipura sembari bermain ponsel tanpa memedulikan sekitar yang menatapnya heran. Sudah satu jam ia menunggu, katanya, Tara ada urusan dengan guru mengenai kepindahannya jadi akan sedikit terlambat. Dio mencoba bersabar meskipun ‘sedikit’ yang dibilang Tara justru sudah kelewatan.“Di!”Mendengar suara itu Dio sudah siap menyemburkan kekesalahannya. Namun, ia melihat keempat perempuan berseragam Adipura menghampirinya. Diantaranya ada Karina yang tersenyum paling lebar. Perempuan itu lebih dulu menepuk bahunya.“Hei, udah lama ya nggak ketemu. Kak Nana kangen, tahu! Terakhir ke rumah malah nggak ketemu,” seru Karina dengan senyum jahilnya.Dio menghela napas. “Sibuk.”Tara menyikut adiknya. “Ini temen gue, Tisha sama Kanaya.”Kanaya lebih dulu menyapa. “Hai, Di.”Dio hanya mengangguk singkat.“Bener ya kata Karina, Dio anaknya cool,” ujar Tisha.Karina terkekeh. “Jangan direbut, ya, berondong gue, nih.” Tangannya merangkul