Djuwira merasa tegang mendengar nama itu. Dia ingat betul bagaimana Andre sering membuatnya merasa tidak nyaman dengan ejekan-ejekan kasarnya tentang tompel. Namun, dia mencoba untuk tetap tenang."Dia ada di dalam? Terima kasih, Pak," jawab Djuwira singkat sambil mencoba menutupi kecemasannya.Pria itu mengangguk pelan, memahami situasinya, lalu kembali ke posnya dengan wajah yang masih memancarkan kekhawatiran. Dengan langkah-hati, Djuwira masuk ke dalam rumah.Di dalam, suasana terasa berbeda. Djuwira bisa merasakan ketegangan atmosfer sekitar. Andre duduk di ruang tamu dengan sikap yang terlihat agak gelisah. Ketika mata mereka bertemu, Andre tersenyum pahit."Hei, Lu masih di sini?" tanyanya dengan nada yang agak kasar.Djuwira menelan ludah sebelum menjawab, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Iya, Kak. Pak Key belum pulang, dia pergi ke kantor lagi."Andre mengangguk, tapi ekspresinya masih gelisah. "Gua butuh uang, Dju. Bisa Lu pinjami Gua sedikit?"Meskipun hatinya tidak n
Djuwira melangkah dengan hati-hati keluar dari kamarnya, berusaha untuk tidak membuat suara berisik yang bisa menarik perhatian Andre. Setiap langkahnya dipertimbangkan dengan cermat, seperti seorang prajurit yang berusaha untuk tidak terdeteksi oleh musuh.Napasnya keluar dengan lega, lalu menuju gerbang. Satpam melihat Djuwira terengah-engah kemudian meminta tolong agar dibukakan pintu."Nona, ada apa?""Pak, saya mau keluar," jawabnya."Iya, tapi kenapa, Nona? apa Tuan Andre membuat Nona gak nyaman?"Djuwira mengangguk cepat. "Ya, Pak.""Ya, ampun! kalau gitu Nona ke ruangan saya aja, tunggu Tuan Muda di sana," tawarnya.Sebelum Djuwita menjawab, teleponnya berdering. Key langsung menghubungi Djuwira begitu membaca pesan singkatnya."Halo, Pak!" sapanya."Djuwira, maaf aku baru baca. Andre masih di sana?" tanya Key."Ya, Pak. Tuan Andre masih di sini. Bapak lama lagi pulang?" tanya Djuwira."Oh, aku sudah dalam perjalanan pulang. Kau tunggu saja di sana.""Ya, Pak." Djuwira menurut
Djuwira duduk termenung di sofa, memutar-mutar pilihan yang harus diambil. Menjadi supir pribadi Key tentu merupakan kesempatan yang menggiurkan dari segi finansial. Namun, dia juga menyadari bahwa pekerjaan itu akan membawa konsekuensi sosial yang cukup besar baginya.Setelah berpikir sejenak, Djuwira memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Dia membutuhkan uang tambahan untuk melunasi utang-utangnya, dan gaji tiga kali lipat dari pekerjaannya sebagai cleaning service di kantor Key merupakan kesempatan yang tidak bisa dia lewatkan begitu saja.Keesokan harinya. Dengan langkah mantap, Djuwira melangkah ke ruang kerja Key untuk memberikan jawabannya."Pak Key, saya bersedia menerima tawaran untuk menjadi supir pribadi Anda," ucap Djuwira dengan tegas begitu dia memasuki ruangan.Key tersenyum puas mendengar keputusan Djuwira. "Bagus sekali. Aku yakin kamu akan melakukannya dengan baik," ucapnya ramah."Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin," jawab Djuwira sambil meras
Jantung Djuwira berdegup kencang saat kepanikan mencengkeramnya. Pintu kamar yang ia tempati terkunci dengan sendirinya, membuatnya terjebak di dalam. Dengan panik, ia mencoba membukanya, tangannya gemetar ketakutan. "TOLONG!" teriaknya, suaranya bergema di lorong yang kosong. Ia meraih ponselnya untuk meminta bantuan, namun tangannya membeku saat menyadari bahwa ia telah meninggalkannya di atas meja kerjanya karena terburu-buru membersihkan kantor Key. Dengan satu-satunya alat komunikasi di luar jangkauan, pikiran Djuwira berkecamuk dengan bayangan bahwa ia terjebak sendirian di dalam gedung kantor semalaman. Secara otomatis, lampu juga padam ketika pintu terkunci. Semua akses listrik ditiadakan, termasuk pendingin ruangan. Saat ia berjuang membuka pintu, ia mendengar suara langkah kaki samar-samar mendekat dari lorong di luar. Rasa lega menyelimutinya sesaat hingga ia menyadari bahwa itu bukan Uwais atau Key yang datang untuk menyelamatkannya. Sebaliknya, itu adalah petugas
Dengan perasaan lega melihat Djuwira akhirnya sadar, Key menghela nafas lega. "Kau bisa mendengar dan melihatku, Djuwira?" tanya Key cemas sambil menggenggam tangan Djuwira. "Ya, Pak," jawabnya singkat karena kepalanya masih pusing. Manajer gedung meminta maaf kepada Djuwira atas kejadian tersebut. "Kami sungguh menyesal, Nona Djuwira. Kami tidak pernah mengira hal seperti ini akan terjadi," ucapnya dengan nada yang tulus. Djuwira hanya mengangguk lemah, masih terasa lemas setelah kejadian yang menakutkan tadi. Key mengusap punggung Djuwira dengan lembut, mencoba menenangkan gadis itu. "Tidak apa-apa, Pak. Yang penting saya baik-baik saja sekarang," jawab Djuwira dengan suara yang masih terdengar lemah. Key memandang Djuwira dengan penuh perhatian. "Maafkan saya, Djuwira. Saya seharusnya lebih memperhatikan situasi di kantor," ucapnya dengan nada menyesal. Djuwira tersenyum tipis. "Tidak, Pak Key. Ini bukan salah Anda. Saya juga seharusnya lebih berhati-hati," ucapnya menco
Keesokan harinya di rumah. Djuwira sudah bertemakan peralatan dapur untuk memasak. Sarapan yang disajikan untuk ayah juga adiknya, dia lebihkan untuk seseorang yang membuat malamnya begitu indah. Ia hampir kesulitan tidur karena terbayang wajah Key. Bekal dalam kotak biru dengan susuan rapi dan manis sudah selesai. Sementara bekal Ben dalam kotak hitam. Djuwira bergegas siap-siap ke kantor dan meninggalkan sejenak aktivitas di dapur. Ben keluar dari kamar dengan keadaan sudah rapi. Dia harus berangkat menuju sekolah lebih cepat dari biasa. Ketika ingin mengambil bekalnya, dia malah melihat ada dua kotak di sana. "Eh, ini punya siapa? kenapa ada dua? apa kakak bawa bekal hari ini?" tanyanya sendiri tanpa mau merepotkan kakaknya. Ben penasaran dengan isi bekal biru kemudian membukanya. "Woah, kenapa ada emoji love-nya? ah, kakak lagi jatuh cinta ya?" tebaknya senyum sendiri. Ben cekikikan dan mengambil bekal hitam miliknya dan mendatangi Rinaldi untuk berpamitan. "Ayah, lagi a
Dia mengerutkan kening kemudian menekan bibirnya ke dalam sambil mengatur napas yang tiba-tiba berubah ritme. "Pak, maaf ... ada apa, ya?" tanya Djuwira. "Kau sakit?" Key melangkah mendekati. "Ya, Pak," angguk Djuwira. Ketika Key ingin menyentuh keningnya, gadis itu menolak dengan menyingkirkan wajahnya. "Saya sudah minta izin pulang pada HRD. Apa saya juga harus minta izin sama Bapak?" tanyanya. "Aku antar kau pulang." Key menawarkan diri. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri. Lagi pula, tidak baik terlalu dekat dengan cleaning service. Memalukan citra Bapak." Djuwira ketua sekali menjawabnya kali ini. Saat Djuwira berjalan menuju pintu, Key memanggilnya lagi. "Apa ini milikmu?" Djuwira langsung berbalik arah karena ingat kalau kotak bekal tadi pagi memang tertinggal di ruangan Key. Lebih tepatnya ditinggal secara sengaja sebelum melihat kemesraan Key bersama wanita lain. "Ya, itu punya saya. Ternyata ada di ruangan Bapak," sahutnya, berusaha mengambil bekal tersebut.
Ia mulai merasa kalau sentuhan itu terasa nyata. Tidak mungkin mimpi sebegitu nyata. Djuwira pun memaksa membuka matanya. Begitu dia tersadar, dia pun terkejut dan duduk di tempat tidurnya. "Pak!" Key tersenyum. "Kau masih sakit?" "Eh, Pak, kenapa bapak di dalam?" Djuwira syok karena menyadari kondisi mukanya berantakan. "Ayahmu yang menyuruhku masuk," jawab Key santai. "Ayah? ah, ayah ... kenapa bisa-bisanya nyuruh orang lain ke kamarku," keluhnya merasa tidak senang. "Djuwira, aku antar ke dokter, ya?" rayunya. Djuwira menggeleng cepat. "Tidak, Pak. Saya sudah sembuh," jawabnya. Key berdecak kesal. "Kau masih demam, buktinya aku pegang masih panas," ujar Key memegang keningnya lagi. "Eh, Bapak jangan pegang saya. Saya tidak mau kena masalah dari tunangan Bapak," tegurnya. "Huh?" Key kaget. Djuwira memperbaiki duduknya kemudian rambutnya. "Saya masih ingat siapa Sayuri. Dia tunangan Bapak, bukan?" Key mengerang kecil. "Kami tidak pernah bertunangan, Djuwira. A
Beberapa hari kemudian. Ketika Key selesai menjalani rapat penting dengan klien, tiba-tiba Sayuri muncul tanpa janjian. Sayuri bingung saat melihat sosok perempuan yang harusnya menjadi posisi terbawah di perusahaan calon tunangannya malah sekarang terlihat berduaan dengan Key. "Key!" panggil Sayuri. Pria yang hendak naik ke mobilnya itu pun langsung menahan salah satu kakinya demi melihat orang yang sudah memanggilnya. Djuwira ikut menoleh karena berdiri di dekat Key dengan posisi dekat pintu, baru saja membukakan pintu. Key berdeham karena melihat Sayuri semakin menjadi hantu yang mengikuti ke mana pun. Djuwira mundur selangkah dan menyaksikan Sayuri memeluk kekasihnya. "Sayang!" sapanya ramah, bersikap seolah seperti perempuan bangsawan. Melirik Djuwira sesaat dengan alis mengerut. "Kenapa kau bisa di sini?" tanya Key heran, perlahan melepas pelukan itu. "Ah, tadi aku bertemu teman lama. Kalau tahu kau mau ke sini, pasti kita bisa pergi bareng, Key ...." Sayuri mul
Waktu berlalu. Key berakting baik sebagai calon tunangan Sayuri. Perempuan itu semakin sering ke kantor dan merasa bahwa perusahaan tersebut sudah menjadi miliknya. Dia bahkan tidak segan menegur karyawan yang dirasanya tidak sesuai dan bermalas-malasan.Djuwira juga tersambar dengan sindiran juga makian. Sayuri tidak secantik wajah dan namanya. Djuwira hanya bisa bersabar karena mengingat tujuan Key pada Sayuri."Cleaning service kok suka banget keluar masuk ruangan bos! kau genit ke pemilik perusahaan ini, ya?" tuduhnya.Djuwira terkejut saat mendengar bentakannya. Qesya saja emosi melihat Sayuri marah-marah ketika Key sedang menjalani bisnis di luar kantor. Qesya ingin meremas rambut Sayuri, lalu membenturkannya ke meja. "Maaf, Bu. Saya hanya ingin memastikan kalau ruangan Pak Keane tetap bersih." Djuwira menjaga sikapnya walau darahnya mendidih."Awas kalau sampai Kau berniat macam-macam dengan calon tunangan saya. Saya pastikan Kau akan menyesal.""Baik, Bu."Sayuri pergi dengan
Djuwira melihat kerusuhan itu dan segera menerobos kerumunan. "Halo, maaf! permisi!" Tak hanya Djuwira, anak buah keluarga Matsumoto yang lain ikut menertibkan. Key dan Djuwira bergegas menuju mobil dan Key pun segera naik. Djuwira menyusul dan langsung tancap gas. Embusan napas Key di balik wajah tegangnya bisa dilihat oleh Djuwira dari spion. Dia tidak berani menanyakan apa pun saat kondisi seperti ini. "Terima kasih sudah membantuku," katanya. "Oh, iya, Tuan. Sudah tugasku melakukannya. Apa Tuan terluka?" tanya Djuwira. "Tidak, hanya saja aku tidak suka bau mereka. Bau badan salah satu dari mereka tadi menusuk hidungku," sahutnya. Djuwira menahan tawa karena memang dia juga merasakan tadi. "Mereka bekerja keras demi mendapatkan informasi. Panas-panasan menunggu Tuan." "Hum, jadi kau tahu mereka di sana sejak tadi?" Key menginterogasi. "Tidak, Tuan. Kalau aku tahu, sudah aku tutupin Tuan dari dalam pakai jaket, masker dan topi," jawab Djuwira. Key langsung tersenyu
Keesokan harinya di rumah Key. Djuwira sudah bersiap menjemput bos sekaligus pria kesayangan yang semakin brutal menunjukkan rasa cintanya saat tidak ada yang melihat. Key menyambut kehadiran Djuwira dengan romantis. "Pagi, Sayang!" ucapnya mengejutkan Djuwira dan dihadiahi sebuah kecupan lembut tanpa diminta. Djuwira tersipu malu, memegang pipinya yang masih merasakan hangat sentuhan Key. "Tuan ... kenapa udah main serang aja pagi-pagi begini?" Key menatapnya dengan pipi menanjak akibat senyuman manisnya. Dia mengusap rambut Djuwira dan melihat kondisi wanita kesayangannya. "Apa kau mau lebih dari itu?" "Eh, tidak-tidak ... cukup, Tuan!" Djuwira menggeleng cepat. "Makanya jangan pernah tolak sesuatu yang kuberikan." Key mengeluarkan sesuatu dari kantongnya kemudian meminta Djuwira memejamkan mata. "A-Ada apa, Tuan? kenapa Tuan menyuruhku tutup mata?" tanyanya. Key mengusap muka Djuwira agar menuruti kemauannya kemudian meraih tangan gadis itu dan memasangkan sesuatu d
Key menggigit bibirnya saat mengejar Djuwira yang semakin menjauh. Hatinya berdebar keras, tercampur antara kekhawatiran akan keadaan Djuwira dan kemarahannya terhadap Uwais. Dia tahu bahwa ini bukan hanya tentang Djuwira, tapi juga tentang keputusannya sendiri.Saat akhirnya ia berhasil menyalip Djuwira dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan, Key turun dengan cepat dan berlari menghampiri Djuwira yang berjalan dengan langkah cepat."Djuwira!" panggilnya, napasnya terengah-engah.Djuwira berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. "Tuan, tolong jangan repot-repot. Aku baik-baik saja."Key mendekatinya dengan hati-hati. "Tolong dengarkan aku, Djuwira. Aku tahu ini semua terlalu cepat, tapi aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku. Aku mencintaimu, Djuwira. Harusnya aku tidak menyembunyikan masalah hatiku pada semua orang, tapi aku—"Djuwira akhirnya menoleh, matanya penuh keraguan dan ketidakpercayaan. "Tuan, bisakah kita bicara tentang ini nanti? Aku tidak ingin membuat masalah di
Dengan hati yang berat, Key memasuki mobilnya dan memulai perjalanan ke bar yang biasa didatangi oleh Key dan Uwais. Pikirannya dipenuhi dengan kegelisahan dan kekecewaan atas keputusan Djuwira. Dia merasa seperti segalanya berantakan di sekitarnya, dan dia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Di dalam mobil, Uwais berusaha menciptakan suasana yang lebih ceria. Dia bercerita tentang rencana-rencana mereka untuk malam itu, mencoba mengalihkan perhatian Djuwira dari keheningan yang tegang. Namun, Djuwira hanya menatap keluar jendela dengan ekspresi datar. "Djuwira, ada apa?" tanya Uwais. Ia pun terkejut dan menoleh. "Eh, enggak ada apa-apa, Uwais." "Apa ada masalah?" tanya Uwais lagi masih penasaran. "Gak ada, Kok! aku cuman ngerasa lelah." Uwais menghela napas. "Lelahmu akan hilang nanti saat tiba di sana. Teyamo adalah bar termewah dan juga asyik!" Djuwira tersenyum. "Apa di sana banyak laki-laki kesepian?" Uwais kaget mendengarnya. "Kenapa kau tanya itu?" "Hah
Di rumah usai pulang kerja. Djuwira melihat Maya datang dan membawanya ke kamar untuk berbincang.Dengan perasaan bahagia, Djuwira menceritakan masalah Key yang mencintainya. Namun, reaksi Maya justru berbeda."Buaya!" pekik Maya spontan."Eh, apa maksudmu, Maya?" Djuwira bingung."Dia hanya ingin pasang dua. Kau disembunyikan sementara si Sayuri diakui dunia. Ah, kau ini terlalu polos, Dju!"Djuwira mengerucutkan bibirnya. "Masa Tuan Key cuma mau mempermainkan aku?""Hei, Djuwira! namanya juga laki-laki. Mana ada yang menolak bangkai.""Maksudmu aku bangkai?"Maya cekikikan. "Dia menerima pertunangan dengan Sayuri, terus nanti kau diundang. Kau melihat mereka bertunangan, lalu kau disuruh berpikir kalau semua itu hanya bohongan?"Djuwira menelaah setiap ucapan Maya. "Katanya dia dendam sama Sayuri," sahutnya masih membela keyakinan hati."Dendam? kau tahu siapa Sayuri? anak konglomerat! mempertahankan hubungan dengan Sayuri jauh lebih menguntungkan daripada mempertahankan kau, Dju."
Di tengah-tengah kemesraan, tiba-tiba suara alarm pintu yang dikunci otomatis oleh Key terdengar. Ada yang berusaha membukanya dari luar. Qesya adalah pelakunya yang kaget saat mengetahui pintu dikunci. Dia berniat mengecek kegiatan bosnya bersama si cleaning service.. "Lho, kenapa dikunci? apa Djuwira sedang disidang habis-habisan sampai begitu privasi?" tanyanya sendiri, lalu berdecak heran. Dari ujung koridor, Qesya melihat Sayuri datang dengan jalan gemulainya yang khas. Qesya bisa membaca arah langkahnya ke ruangan Key. "Selamat siang," sapa Sayuri setengah ramah. "Siang, Bu!" sahut Qesya tersenyum palsu. Jujur dia malas sekali melihat saingannya datang. Mana ia merasa curiga pada Djuwira yang sudah terlalu lama di dalam, sekarang malah bertambah lagi beban pikirannya. "Keane, Mana?" tanya perempuan bergaun simpel warna medah muda itu. "Pak Keane di ruangan, tapi sepertinya sedang ada tamu," jawabnya. "Tamu?" Sayuri berdecak tawa kecil. "Buka pintunya," perintahnya
Ketika Key keluar dari ruang peralatan, matanya mengawasi sekitar. Dia berharap tidak ada yang melihat. Ketika dia merasa aman, secepat mungkin langkahnya mengarah ke ruangan sendiri. Tiba-tiba Qesya muncul dari balik lemari. "Pak," panggilnya. Key sedikit gugup, tapi berusaha dia kontrol. "Ada apa, Bu Qesya?" "Ah, saya mencari Bapak dari tadi. Ini ada proposal yang baru masuk, boleh bapak cek dulu," jawab Qesya. "Ya, saya akan mengeceknya di ruangan," sahut Key, membawa berkas tadi menuju ruangan. Qesya bingung melihat tingkah gugup Key, tapi dia berusaha menepis pikiran negatifnya kemudian kembali bekerja. Tidak lama setelah itu, Djuwira pun berniat mengembalikan kunci tadi, tapi Uwais datang membawanya pergi. "Eh, kita mau ke mana, Pak?" tanya Djuwira heran. Banyak mata memandang ke arah mereka. "Makan siang, aku telat istirahat dan akan mengajakmu," jawab Uwais seenak hati. Dia tidak mengikuti aturan jam kerja kantor. Beberapa saat kemudian, di kafe. Djuwira su