Sembilan belas tahun lalu ...."Keluar kau Adrian! Aku mengandung anakmu, Bajingan! Batalkan perceraian itu sekarang juga, Sialan!"Di balik jendela balkon kamar aku melihat Nita meraung-raung di pelataran, dua orang sekuriti berusaha menenangkan, tapi kemurkaan membuat tenaga perempuan itu berlipat-lipat lebih besar.Sudah sepekan berlalu sejak perceraian mereka disahkan pengadilan agama. Sayangnya Nita baru tahu kalau dia tengah mengandung benih Adrian. Hari ini adalah ketiga kalinya Nita datang sendirian, tanpa diantar kakaknya. Sebenarnya mereka semua ada di dalam. Papa, Mbak Lidia, dan Adrian. Namun, sampai satu setengah jam berlalu mereka seolah tak berniat menemui Nita bahkan untuk sekadar basa-basi. Sejak resmi bercerai dengan Nita Adrian memang tinggal di rumah ini. Kumpul kebo dengan Mbak Lidia, dan biadabnya Papa mengizinkan. Saat itu bahkan Papa yang ngotot meminta Adrian untuk menceraikan Nita agar lelaki itu bisa menikahi Mbak Lidia. Prinsip Papa memang sederhana, tap
"Mau sampai kapan kamu begini, Lian? Berapa kali lagi Papa harus menanggung malu karena kamu berkali-kali menolak perjodohan yang ditawarkan para klien? Bulan ini usiamu bahkan genap dua puluh lima, tapi sekali pun kau belum pernah berpacaran. Berapa kali lagi Papa harus menarik rumor-rumor yang tersebar kalau kamu itu tak normal!""Kenapa harus ditarik? Memang benar, kan kalau aku tak normal? Aku tak pernah berhasrat pada wani--"Bugh!Sebuah bogem mentah Papa layangkan. Tubuhku terhuyung kehilangan keseimbangan sampai hampir terjatuh dari sofa."Dasar anak tak berguna! Sampai saat ini kau belum bisa melakukan apa-apa selain menjadi beban keluarga. Lihat Adrian!"Aku hanya bisa memejamkan mata saat Papa kembali membandingkanku dengan menantunya."Meskipun dia datang tak membawa apa-apa, selain harta tak seberapa. Tapi, sekarang dia berguna dan bisa diandalkan.""Diandalkan apanya? Benalu pecinta selangkangan itu Papa bilang berguna?!" cibirku sarkastis.Aku sudah benar-benar muak sek
Kehadiran Diana membuat hidupku lebih berwarna. Bersamanya aku jadi mempunyai alasan untuk menatap masa depan yang gemilang.Ternyata Diana juga berasal dari keluarga berada. Ayahnya adalah seorang sutradara sementara ibunya artis ibukota yang sudah lama pensiun. Lima tahun lalu Diana kehilangan tuangannya yang meninggal bunuh diri dari lantai dua puluh gedung apartemen. Dia menyaksikan di depan matanya sendiri. Sakit karena kehilangan itulah yang memicu awal mula depresinya hingga berlanjut ke tahap yang lebih berat seperti Skizofrenia dan halusinasi, karena terlambat ditangani. Beruntung penyakitnya masih bisa dikendalikan dengan psikiatri dan konseling rutin. Jadi, Diana tak pernah kehilangan sosok dirinya yang menyenangkan, meskipun terkadang terlalu blak-blakan. Dengan bantuannya juga neurosis-ku mulai bisa dikendalikan. Sama seperti dengan Nita dulu. Tubuhku tak lagi merespons berlebihan pada sebuah sentuhan. Walaupun semuanya berangsur pelan-pelan. Akhirnya setelah satu set
Hari pernikahan tinggal menghitung pekan, tapi hal yang kutakutkan akhirnya benar-benar terjadi. Diana berakhir di ruang isolasi setelah berusaha menyakiti dirinya sendiri untuk yang ke sekian kali. Gangguan delusionalnya telah hancur total. Melalui CCTV petugas apartemen memergokinya berteriak sambil berlari-lari dengan sebilah pisau yang ditodongkan pada diri sendiri. Kata Dokter Nindy dan psikiater-psikiater yang sebelumnya menangani Diana. Ini adalah episode terparah yang pernah dia alami selama mengidap Skizofrenia. Karena merasa sudah sembuh saat aku berada di sisinya. Dengan sengaja Diana tak meminum obatnya. Hatiku benar-benar teriris melihat begitu banyaknya luka sayatan di lengan dan pundaknya yang selama ini tertutupi. Bisa-bisanya saat itu aku tak menyadarinya karena serangan panik yang menyerang diri sendiri. "Bagi pengidap Skizofrenia. Semakin dia bahagia, maka dorongan untuk menyakiti dirinya semakin tinggi. Di sini Diana berpikir bahwa kekasih halusinasinya bernia
Keheningan panjang membuatku hanyut dalam lamunan masa lampau. Tentang kenangan-kenangan yang berusaha keras kulupakan, tenang kesakitan-kesakitan yang berusaha diredam, serta amarah yang hanya bisa dipendam. Namun, nyatanya semua itu masih saja terpatri amat dalam. Kepergian Diana membawa misteri yang sampai detik ini masih belum terpecahkan. Tentang tersangka dari benih yang di kandungnya, tentang staf rumah sakit yang mengizinkan seorang pasien skizofrenia ditempatkan di lantai teratas dengan balkon, dan tentang alasan yang membuat perempuan itu mengakhiri hidupnya. Sampai saat ini Diana masih belum bisa kulupakan, bayangnya seolah terekam kuat dalam ingatan, hingga kedudukannya di hati ini masih belum bisa tergantikan meski beberapa kali aku coba memulai. Separuh jiwa ini seolah dia bawa pergi ke liang lahat hingga aku benar-benar sulit mencobanya dengan wanita lain. Cuma dua orang yang sampai saat ini masih berhasil membuat jantungku berdebar. Yaitu Nita dan Lea. Ya, ibu dan
"Dengar, Nak. Jangan pernah berpikir untuk memberontak. Sampai kapan pun kamu tak akan pernah bisa lepas dari belenggu Papa. Karena apa? Karena kamu itu lemah. Melindungi satu nyawa saja kamu sudah harus mengorbankan seluruh kebebasanmu. Jadi, bagaimana bisa kamu berencana untuk melindungi satu nyawa lagi? Dia yang sudah lancang dengan menantang keluarga kita. Jadi, inilah akibatnya!"Kukepalkan tangan erat. Rasanya darahku benar-benar mendidih sekarang. Selama puluhan tahun aku benar-benar mengharapkan kematian tua bangka ini. Namun, sayangnya sampai sekarang malaikat maut seolah enggan mencabut nyawanya. "Kemarin Papa baru mendapatkan kabar dari orang kepercayaan kalau kamu datang ke kantor A.J menemui Amira. Mau apa, Nak? Mencari dukungan? Keluarga wanita itu saja sudah berantakan bagaimana bisa kamu meminta bantuan--""Kenapa tak bisa? Sangat mudah bagiku untuk meminta bantuannya. Hanya aku dan suami benalu Mbak Lidia yang memegang hampir semua rahasia busuk Papa, bukan? PT A.J
Di bawah cahaya bulan aku terdiam. Menatap gemintang yang bertaburan terang di tengah pekatnya malam. Menggenggam asa yang di telan pahitnya kenyataan, kala mimpi-mimpi yang diharapkan melambung setinggi awan kembali terjatuh di sisi pembaringan.Dalam sisa-sisa puing harapan aku tak lagi mau mengiba. Pada nasib yang berakhir sedemikian hina. Pada diri yang kembali tak berdaya karena omong kosong cinta. Akhirnya aku menyerah memperjuangkan masa depan yang jauh dari kata cerah. Berlutut di antara dendam yang lebih dulu membakar jiwaku hingga tak bersisa. Aku telah kehilangan kesempatan untuk merasakan apa yang orang-orang sebut dengan bahagia.Di atas bangku taman yang sudah tua, aku hanya bisa terpekur. melamuni kilas balik perjalanan hidupku yang benar-benar tak berguna. Mengharap belas kasih pada lelaki yang hanya bisa mengantarkan luka. Ketika sebuah kesepakatan tercipta aku lupa mempersiapkan konsekuensi terburuknya.Om Lian memang bukan lelaki biasa, pesonanya benar-benar nyaris
Om Lian tersenyum. Dia mulai membenahi posisi duduknya menghadapku dan memulai cerita panjangnya."Nita dan Diana memang dua wanita yang sangat kucinta. Mereka segalanya bagiku hingga mataku sempat buta oleh jurang yang membentang di hadapan. Namun, harus kutekankan di sini. Mereka berdua adalah masa lalu. Cintaku pada Ibumu sudah hilang bersama dengan semua kenangannya delapan belas tahun lalu. Meskipun sempat bimbang tapi aku sudah memastikannya. Bahwa perasaanku padanya hanya sebatas prihatin dan khawatir. Lalu pada Diana. Dia memang perempuan yang sempat membuatku hampir gila, Kepergiannya sepuluh tahun lalu juga masih membekas dalam ingatan meski perasaanku padanya telah lama padam bersama dengan jasadnya yang dikebumkan.Sejak saat itu, aku takut memulai Lea. Terlepas dari neurosis-ku yang masih belum bisa dikendalikan aku takut jatuh untuk kesekian kalinya. Meskipun naluriku beberapa kali menentangkannya, tapi tubuhku tak mengizinkan. Aku bukannya nggak mau menyentuhmu, memelu
"Di sebelah, kok berisik banget, ya, Kak. Bahkan tembok kedap suara aja masih kedengeran." Delima bertanya karena mulai resah dengan kegaduhan di kamar sebelahnya. "Biasa, Del. Om sama ponakan lagi adu kekuatan. Mereka kalau lama-lama ditinggal berduaan mungkin bisa bunuh-bunuhan." Lea menanggapinya dengan santai sembari mengganti popok Lyla yang terlihat mulai mengantuk. Sayangnya candaan Lea tersebut tak ditanggapi baik oleh Delima. Alhasil mata gadis cantik itu membelalak sempurna. "Ya ampun. Sampe bunuh-bunuhan, Kak?" Lea tertawa melihat tanggapan serius Delima. "Bercanda, Sayang. Liat aja, sebentar lagi mereka juga bakal ke sini. Saling ngadu siapa yang salah duluan." Benar saja. Selang beberapa lama suara pintu yang dibuka terdengar tanpa ketukan terlebih dulu. "Aku tidur di sini aja, ya? Sumpah nggak tahan banget sama suami kamu." Kevin muncul lebih dulu sembari mendaratkan bokong di atas ranjang samping Delima, tepat berseberangan dengan pembaringan Lea. "Dia yang mulai
"Tahanan nomor 1139 ada surat untuk Anda!"Seorang sipir penjara terlihat menghampiri ruang tahanan Lapas Kelas satu blok A yang menampung para narapidana dengan kasus kelas berat. Lelaki berusia empat puluh lima tahunan itu bangkit dan menghampiri sang sipir setelah mengucapkan terima kasih. Kemudian kembali ke tempatnya. Sorot mata itu berubah teduh saat melihat nama pengirim yang tertera. Dia usap lembut permukaan amplop cokelat tersebut dan begitu hati-hati saat membukanya. Sepucuk surat dengan wangi parfum yang khas tercium di sana membuat hatinya mencelos seketika. Apalagi saat melihat beberapa lempar foto yang dibubuhkan menunjukkan kebahagiaan yang kentara. Untuk Pak AdrianBukan perkara mudah menulis selembar surat ini, setidaknya aku butuh waktu sekitar satu tahun sampai akhirnya kertas ini sampai di tangan Anda. Ada ego yang harus dikesampingkan, ada rasa sakit yang susah payah diredam. Maaf kalau aku tak bisa berbasa-basi dengan menanyakan bagaimana kabar Anda di lapa
"Kami pamit pulang duluan, kebetulan masih ada urusan. Makasih buat semua jamuannya. Lain kali mungkin bisa disempatkan untuk menginap." Om Lian mewakiliku pamit pada semuanya. Setelah kejadian memalukan tadi aku benar-benar tak sanggup berada di sini lama-lama. Apalagi melihat tatapan penuh arti dari Bang Jojo, Yoga, dan Ilham. Belum lagi Kevin yang sejak terus saja menggoda kami. Memang benar-benar dia itu. "Gapapa sumpah, gapapa. Demi Alex kagak ngapa-ngapa. Daripada di sini lama-lama meresahkan kaum jomblo yang haus belai--aw, aw, aw." Kevin berhenti saat Mbak Lidia menjewer telinganya. "Nggak apa-apa. Pulang aja duluan, Mbak tahu dari sini kalian masih harus pergi ke yayasan. Nasi kotaknya udah kita siapkan di belakang tadi. Tinggal dimasukin ke bagasi." Wanita seumuran Mama itu tersenyum lembut. Seolah masih lekat dalam ingatan bagaimana dia bersujud di kaki Mama saat itu. Meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dia lakukan sembari menangis terisak-isak. Beruntung ko
Satu tahun kemudian ....Tak ada luka yang benar-benar abadi. Waktu selalu punya cara untuk menyembuhkan nyeri yang ditanggung diri, hingga tiada keresahan merajai hati. Obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka masa lalu adalah menciptakan kebahagiaan baru, bersama orang-orang baru, dan dalam circle lingkungan yang baru. Namun, sejauh apa pun kita berkelana mengarungi setiap kehidupan untuk mencari arti sebuah kebahagiaan. Keluarga tetaplah tempat terbaik untuk kembali. Mereka ada, mereka tinggal, dan mereka mengerti, konflik apa pun yang mewarnai lingkaran persaudaraan selalu ada celah untuk memaafkan. Tanpa sadar sembilan belas tahun sudah aku menghabiskan waktu mengejar sesuatu hanya berdasarkan emosi. Mengorbankan harga diri untuk tujuan yang tak pasti. Beruntung, dalam perjalanan yang menyesatkan aku menemukan orang-orang yang tepat untuk mencari jalan keluar dari lingkaran setan. Menerima uluran tangan para pahlawan tanpa tanda jasa yang bukan hanya mengorbankan waktu dan
Kurang dari sepuluh menit kami sudah sampai, karena kebetulan rumah sakit ini berada di pusat Kota tak jauh dari apartemen tempat tinggal kami. Om Lian kembali menggendongku keluar dari mobil dan langsung disambut perawat yang mengiringku untuk duduk di kursi roda.Kami masuk ke ruang persalinan. Para perawat membantuku berbaring di brankar lalu mulai menyiapkan alat-alat. Bisa kudengar beberapa kali bibir Om Lian bergumam, melafalkan do'a-do'a memohon pada Tuhan untuk mempermudah proses persalinan. Sesekali dia mengecup puncak kepalaku dan berbisik lirih agar aku tak lupa untuk berdo'a juga.Tak lama ... dokter Zayn masuk diikuti satu asisten yang sering kulihat di ruangannya. Dia adalah dokter yang sudah berpengalaman dalam bidangnya. Beberapa kali aku sempat check up dan USG dengannya, berdasarkan saran dari salah sati teman."Baru pembukaan sembilan, kita tunggu sebentar lagi, ya!" Dokter Zayn memulai sesi, dengan hati-hati dan lembut. Dia beralih menatap Om Lian. "Jadi, ini suam
Tak terasa waktu sudah sampai di penghujung bulan Oktober. Hari ini usia kandunganku sudah memasuki 39 minggu. Rasa mulas, kram perut, lalu sakit pinggang dan kontraksi palsu sudah kurasakan akhir-akhir ini. Tak bisa tidur nyenyak karena perut yang membesar juga sudah kulewati beberapa bulan terakhir. Di kala aku terjaga di tengah malam, sudah di pastikan Om Lian juga terkena imbasnya. Tanpa diminta dia sering kali bangun dan memijat pinggangku untuk meringankan rasa pegal hingga tubuhku menjadi rileks dan terlelap kembali. Alhasil, dia terbangun dengan wajah kusut dan mata panda di keesokan harinya.Di dalam kamar apartemen yang sudah dua bulan terakhir ini aku dan Om Lian tempati, kulipat beberapa pakaian bayi ke dalam tas berukuran sedang untuk persiapan persalinan nanti.Di kamar ini, kami juga sudah mempersiapkan tempat tidur bayi. Benda itu Om Lian letakkan di pojok ruangan, samping ranjang kami. Supaya mempermudah bila di kecil rewel nanti.Beberapa hari yang lalu kamar ini
Saat ini kami tengah berkumpul di rumah Mbak Amira. Dalam formasi yang cukup lengkap. Hanya kurang beberapa orang yang masih belum berkenan untuk berbaur, setelah apa yang terjadi di masa lalu. Kami tengah Menikmati jamuan yang wanita baik hati itu sediakan sebagai bentuk rasa syukur karena kami berhasil melewati semua rintangan yang ada."Halah, masih gedean juga punya Bang Al, tapi kagak pernah, tuh dia pamerin. Itu baru otot bisep, loh. Belon nyang laen--""Jojo!" Mbak Zara memukul pelan lengan Bang Jojo. Wanita yang tengah hamil muda itu melotot."Iye, iye punya elu, Zar! Nggak akan ada yang gondol juga," cetus Bang Jojo dengan delikan mata khasnya.Sementara dua orang yang bersangkutan masih saja terlihat santai menanggapinya. Bang Alby, suami Mbak Zara yang juga paman Mbak Amira tentara berpangkat dua itu sejak tadi hanya tersenyum kecil. Sementara Om Lian tampak tak peduli dengan ocehan keponakannya, dan masih terjaga menggenggam tanganku."Oh, iya, Lea! Bulan ini kandungan kam
Awalnya aku sudah pasrah dengan semua. Masuk perangkap Pak Wira, mengetahui fakta bahwa Kevin berkhianat, dan menyaksikan Om Lian dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Kupikir saat itu azal kami akal segera tiba, tapi nyatanya takdir Tuhan adalah misteri yang tak pernah bisa disangka-sangka oleh manusia. Ternyata Kevin memenuhi janjinya. Dia datang di waktu yang tepat dan membawa serta semua Tim Mbak Amira. Keadaan pun berubah jauh lebih baik dari yang kukira. Dua bulan bahkan sudah berlalu dan semua mulai berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Pak Wira ditemukan polisi dengan kondisi yang jauh lebih mengenaskan daripada Om Lian. Meskipun begitu dia tidak bisa lepas dari jeratan hukum setelah Delima dan teman-temannya mulai angkat bicara tentang bisnis perdagangan anak di bawah umur yang digawanginya. Pihak kedokteran juga mengatakan bahwa kondisi mental Pak Wira dalam keadaan sehat. Dengan kata lain dia tidak mengalami gangguan kejiwaan hingga membutuhkan rehabilitasi. Semua
"Ma."Mama menghentikan elusan tangannya di kepalaku."Hmm?""Kenapa saat itu Mama bersikukuh mempertahankan kehamilan padahal udah jelas aku anak haram."" .... "Mama tak menjawab. Keheningan panjang yang memuakkan memaksaku untuk bangkit dari posisi berbaring di pahanya. "Kalau saja saat itu aku nggak dilahirkan, kalau aja nggak bertahan dan tumbuh besar, aku nggak perlu menyaksikan semua kekejaman ini, Ma. Kalian nggak perlu menghancurkan rumah tangga orang lain, nggak akan ada dendam dan penderitaan atau lebih banyak pengorbanan. Lihat sekarang! Keegoisan Mama dan kakeklah yang menyebabkan semua kehancuran ini terjadi. Keegoisan kalianlah yang mengantarkan begitu banyak kebencian pada keluarga ini!" Akhirnya air mataku tak lagi bisa dibendung setelah berbulan-bulan hanya bungkam menyaksikan begitu banyak ketidakadilan. "Aku yakin Lea juga nggak akan bertindak sejauh ini kalau Mama berani bersikap tegas sejak awal. Sudah dua puluh tahun, Ma. Dua puluh tahun sejak Mama merampas a