Resepsi yang katanya sederhana, justru berjalan lebih meriah daripada upacara tujuh belasan tingkat kecamatan. Akad yang tadi pagi digelar hanya dengan dihadiri tak kurang dari sepuluh orang, rupanya sengaja dilakukan untuk menutupi identitasku.Buktinya resepsi tetap digelar di hotel berbintang dan dihadiri orang-orang penting berjumlah puluhan. Jamuan yang disediakan pun terlihat begitu berlebihan untuk undangan seratus orang. Pelaminan megah bertabur bunga segar dengan karpet merah yang terbentang dari pintu masuk. Stan makanan berjejer sekeliling ballroom. Sejauh mata memandang aku sama sekali tak melihat kehadiran Tante Lidia dan Om Adrian. Hanya Kevin yang sejak tadi tampak lalu-lalang di hadapan. Om Wira dengan gaya jumawanya menjamu para tamu dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Hampir semua tamu undangan sama sekali tak kukenal, bahkan teman-teman seprofesi Om Lian. Untung saja ada Siska yang ikut menjadi bridesmaids dan Tante Sarah yang menemani di samping pelaminan, h
Beberapa jam telah berlalu, tapi aku masih terjaga dalam tidurku. Mata seolah enggan terpejam memikirkan segala kemungkinan yang ada. Kalau tahu akan begini akhirnya lebih baik aku mengenakan daster kebesaran, daripada baju kekurangan bahan. Toh, Om Lian sama sekali tak tertarik meski tubuhku tanpa pelindung sekali pun. Antara malu dan bingung tiba-tiba berkecamuk jadi satu. Entah dia menyimpang atau tidak. Yang pasti aku tak menjumpai keraguan dari ucapan Om Lian. Mungkin ada suatu alasan mendasar yang membuatnya berubah demikian. Jujur aku pun penasaran. Tiba-tiba aku menggigil, rasa dingin menjalari seluruh tubuh. Bukan karena pakaian mini yang kukenakan atau suhu ruangan ber-AC ini. Melainkan sikap Om Lian. Diamnya membuat aku heran, kebungkamannya membuatku penasaran. Tubuh tegapnya yang sejak tadi hanya bergeming dengan posisi menyamping, seolah menyiratkan begitu banyak beban yang ditanggung. Ingin sekali kuteriakan, bahwa semua masalah tak akan bisa selesai bila dia hanya
Mobil terparkir di pelataran seluas landasan. Rumah megah yang sebelumnya hanya kulihat di TV ini, setidaknya bisa kutinggalkan untuk beberapa waktu ke depan. Entah sampai kapan tepatnya. Bersamaan dengan itu, mobil mewah lain berhenti di sebelah. Aku mengerjapkan mata beberapa kali saat melihat Kevin keluar dari dalamnya dengan kaca mata hitam dan dua buah koper besar berwarna merah dan ungu. "Mau minggat ke mana kamu, Kevin?" tanya Om Lian saat melihat keponakannya mendorong dua koper tersebut menuju teras. "Minggat?" Kevin balik bertanya. "Mungkin maksudnya pulang? Aku Kevin Hermawan Fahlevi, loh. Cucu pertama di keluarga ini, masa nggak boleh nempatin nih rumah gedong yang udah macem kuburan karena cuma dihuni pelayan sama perabotan," tutur Kevin panjang lebar. "Terus selama ini ke mana aja kamu? Kenapa baru sekarang?" timpal Om Lian. "Inget pepatah, selalu ada alasan di setiap perbuatan. Nah, alasan Kevin nggak lain dan nggak bukan adalah gadis cantik di sebelah Om ini." Kev
Selama hampir dua puluh tahun hidup di dunia, aku tak pernah merasakan tekanan seperti ini. Memutuskan tinggal di sarang Singa yang sewaktu-waktu bisa menerkam, tentu dibutuhkan banyak sekali stok sabar. Entah kenapa sekarang aku bersyukur janin di rahimku tak ditakdirkan untuk terlahir. Entah bagaimana jadinya kalau dia tumbuh dan berkembang di lingkungan mengerikan ini. Kata-kata kasar dan makian mungkin akan menjadi makanan kesehariannya. Bahkan di ruangan yang begitu luas ini aku bisa merasakan atmosfer tak menyenangkan dari orang-orang yang duduk di hadapan. Sejuknya AC seolah tak bisa meredam lahar panas dari tatapan sinis yang Tante Lidia dan Om Adrian tunjukkan.Meskipun belum ada kata yang mereka lontarkan, tapi tatapan itu sudah menunjukkan seberapa dalam kebencian keduanya. "Jangan pikir dengan tinggal seatap, saya sudah menerima kamu sebagai bagian dari keluarga. Percayalah ... sampai kapan pun kamu tetap jalang licik di mata saya!" Tante Lidia memulai percakapan dengan
Siang berganti malam. Hampir enam jam berlalu sejak kejadian di ruang tamu. Aku dan Om Lian masih terjaga di kamar. Tak seperti pengantin baru kebanyakan yang menghabiskan waktu untuk bermesraan. Kami malah sibuk bergelut dengan kesibukan masing-masing. Mengejar segala ketertinggalan selama mengurus pernikahan dan masalah yang sempat ditimbulkan. Di ruang kerjanya yang tersekat kaca bening, aku melihat Om Lian begitu serius menatap layar laptop di hadapan dengan kacamata baca yang bertengger manis di hidung bangirnya. Sementara aku duduk di pojok ruangan dekat balkon kamar.Entah kenapa semenjak kejadian malam itu Om Lian semakin membatasi kontak fisik di antara kami. Seolah ada ketakutan yang berusaha dia sembunyikan dari sikap tenang yang terkesan dipaksakan.Melihat gelagatnya intuisiku menyakini, bahwa penyimpangan seksual bukan satu-satunya alasan. Kalau memang sejak dulu dia tak menyukai perempuan. Kenapa sosok bernama Diana itu berhasil membuat Om Lian menghabiskan waktu sepul
Sejak obrolan dengan Om Lian sebelum makan malam. Tiba-tiba benakku dipenuhi dengan berbagai hal yang membingungkan.Sebenarnya seberapa kelam hidup Om Lian hingga dia berniat untuk menghancurkan keluarganya? Sekarang aku semakin mengerti bahwa kerja sama yang dia maksud bukan hanya ditujukan untuk menghancurkan Om Adrian, tapi juga Papanya sendiri. Rumit. Hal ini cukup rumit untuk kumengerti. Di meja makan tadi saja nyaris tak ada percakapan antara keduanya. Om Adrian dan Tante Lidia hanya diam. Sementara Om Wira beberapa kali bertanya padaku tentang ketertarikanku untuk bergabung dengan bisnisnya. Sudah bisa ditebak. Sebentar lagi dia akan menjadikanku salah satu pelacurnya. Sialan, seharusnya aku menyadari kalau sejak awal pernikahan ini jebakan.Sepertinya tua bangka itu juga tahu kalau Om Lian tak akan menyentuhku. Jadi, bisa dipastikan asetnya aman. "Oy! Diem-diem bae." Kedatangan Kevin yang tiba-tiba mengejutkanku seketika. "Ck, gimana kamu bisa masuk?" tanyaku heran."La
"Fix, pasti belum!" Tebakan Kevin berhasil menyentakku dari lamunan. "Nggak perlu jawaban, ekspresi wajah kamu itu udah menggambarkan semuanya, Lea," tambahnya. Aku hanya bisa terdiam. "Ck, sia-sia, dong kemarin kasih Om Lian jamu pegel linu kalau dia nggak ada niatan mempraktekan.""Kevin ...." Aku menatapnya datar dengan nada peringatan, karena merasa pembahasaan ini mulai keluar dari batas wajar. "Sorry."Kevin tampak menyesal, dia mengempaskan punggungnya ke sandaran sofa sembari mendongakkan kepala menatap langit-langit kamar. Terkadang aku tak mengerti dengan sikap lelaki ini. Dia bisa begitu santai membahas berbagai hal seolah tak ada beban. Untuk ukuran mantan kekasih yang baru ditinggal menikah, bagaimana bisa dia bersikap biasa saja dan tetap ada di saat aku membutuhkannya."Lea ...." Tatapan Kevin masih belum beralih dari langit-langit kamar saat dia memanggil namaku. "Ya?""Ternyata sakit juga, ya pura-pura bodoh padahal tahu segalanya. Bilang nggak apa-apa, padahal a
Hari senin memang identik dengan kepadatan jalanan karena awal dimulainya kegiatan. Setelah hampir dua pekan cuti, hari ini aku juga memulai aktivitas sebagai mahasiswi semester tiga jurusan Sastra Indonesia. Berhubung aku suka sekali membaca karya-karya sastra hingga penasaran ingin mempelajarinya.Di depan parkiran aku menunggu Kevin menjemput untuk melanjutkan perjalanan menuju studio FaTV. Kebetulan hari ini kami memiliki jadwal kuliah yang sama, yaitu di pagi hari dan selesai tengah hari. Sebelumnya aku sudah mengirim pesan pada Om Lian agar kami ketemuan di sana. Beberapa saat kemudian Kevin datang dengan mogenya. Hari dia menggunakan motor BMW HP4 Race berwarna putih-hitam yang harganya setara mobil mewah keluaran terkenal. "Pegangan yang kenceng!" pintanya setelah aku naik dan memasang helm. "Iya. Tapi jangan ngebut kalau masih sayang nyawa.""Siap, Bos. Berangkat!"***Kami tiba di depan lobi Gedung FaTV yang dibawahnya tertulis Fahlevi's Entertainment. Perusahaan ini ad
"Di sebelah, kok berisik banget, ya, Kak. Bahkan tembok kedap suara aja masih kedengeran." Delima bertanya karena mulai resah dengan kegaduhan di kamar sebelahnya. "Biasa, Del. Om sama ponakan lagi adu kekuatan. Mereka kalau lama-lama ditinggal berduaan mungkin bisa bunuh-bunuhan." Lea menanggapinya dengan santai sembari mengganti popok Lyla yang terlihat mulai mengantuk. Sayangnya candaan Lea tersebut tak ditanggapi baik oleh Delima. Alhasil mata gadis cantik itu membelalak sempurna. "Ya ampun. Sampe bunuh-bunuhan, Kak?" Lea tertawa melihat tanggapan serius Delima. "Bercanda, Sayang. Liat aja, sebentar lagi mereka juga bakal ke sini. Saling ngadu siapa yang salah duluan." Benar saja. Selang beberapa lama suara pintu yang dibuka terdengar tanpa ketukan terlebih dulu. "Aku tidur di sini aja, ya? Sumpah nggak tahan banget sama suami kamu." Kevin muncul lebih dulu sembari mendaratkan bokong di atas ranjang samping Delima, tepat berseberangan dengan pembaringan Lea. "Dia yang mulai
"Tahanan nomor 1139 ada surat untuk Anda!"Seorang sipir penjara terlihat menghampiri ruang tahanan Lapas Kelas satu blok A yang menampung para narapidana dengan kasus kelas berat. Lelaki berusia empat puluh lima tahunan itu bangkit dan menghampiri sang sipir setelah mengucapkan terima kasih. Kemudian kembali ke tempatnya. Sorot mata itu berubah teduh saat melihat nama pengirim yang tertera. Dia usap lembut permukaan amplop cokelat tersebut dan begitu hati-hati saat membukanya. Sepucuk surat dengan wangi parfum yang khas tercium di sana membuat hatinya mencelos seketika. Apalagi saat melihat beberapa lempar foto yang dibubuhkan menunjukkan kebahagiaan yang kentara. Untuk Pak AdrianBukan perkara mudah menulis selembar surat ini, setidaknya aku butuh waktu sekitar satu tahun sampai akhirnya kertas ini sampai di tangan Anda. Ada ego yang harus dikesampingkan, ada rasa sakit yang susah payah diredam. Maaf kalau aku tak bisa berbasa-basi dengan menanyakan bagaimana kabar Anda di lapa
"Kami pamit pulang duluan, kebetulan masih ada urusan. Makasih buat semua jamuannya. Lain kali mungkin bisa disempatkan untuk menginap." Om Lian mewakiliku pamit pada semuanya. Setelah kejadian memalukan tadi aku benar-benar tak sanggup berada di sini lama-lama. Apalagi melihat tatapan penuh arti dari Bang Jojo, Yoga, dan Ilham. Belum lagi Kevin yang sejak terus saja menggoda kami. Memang benar-benar dia itu. "Gapapa sumpah, gapapa. Demi Alex kagak ngapa-ngapa. Daripada di sini lama-lama meresahkan kaum jomblo yang haus belai--aw, aw, aw." Kevin berhenti saat Mbak Lidia menjewer telinganya. "Nggak apa-apa. Pulang aja duluan, Mbak tahu dari sini kalian masih harus pergi ke yayasan. Nasi kotaknya udah kita siapkan di belakang tadi. Tinggal dimasukin ke bagasi." Wanita seumuran Mama itu tersenyum lembut. Seolah masih lekat dalam ingatan bagaimana dia bersujud di kaki Mama saat itu. Meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dia lakukan sembari menangis terisak-isak. Beruntung ko
Satu tahun kemudian ....Tak ada luka yang benar-benar abadi. Waktu selalu punya cara untuk menyembuhkan nyeri yang ditanggung diri, hingga tiada keresahan merajai hati. Obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka masa lalu adalah menciptakan kebahagiaan baru, bersama orang-orang baru, dan dalam circle lingkungan yang baru. Namun, sejauh apa pun kita berkelana mengarungi setiap kehidupan untuk mencari arti sebuah kebahagiaan. Keluarga tetaplah tempat terbaik untuk kembali. Mereka ada, mereka tinggal, dan mereka mengerti, konflik apa pun yang mewarnai lingkaran persaudaraan selalu ada celah untuk memaafkan. Tanpa sadar sembilan belas tahun sudah aku menghabiskan waktu mengejar sesuatu hanya berdasarkan emosi. Mengorbankan harga diri untuk tujuan yang tak pasti. Beruntung, dalam perjalanan yang menyesatkan aku menemukan orang-orang yang tepat untuk mencari jalan keluar dari lingkaran setan. Menerima uluran tangan para pahlawan tanpa tanda jasa yang bukan hanya mengorbankan waktu dan
Kurang dari sepuluh menit kami sudah sampai, karena kebetulan rumah sakit ini berada di pusat Kota tak jauh dari apartemen tempat tinggal kami. Om Lian kembali menggendongku keluar dari mobil dan langsung disambut perawat yang mengiringku untuk duduk di kursi roda.Kami masuk ke ruang persalinan. Para perawat membantuku berbaring di brankar lalu mulai menyiapkan alat-alat. Bisa kudengar beberapa kali bibir Om Lian bergumam, melafalkan do'a-do'a memohon pada Tuhan untuk mempermudah proses persalinan. Sesekali dia mengecup puncak kepalaku dan berbisik lirih agar aku tak lupa untuk berdo'a juga.Tak lama ... dokter Zayn masuk diikuti satu asisten yang sering kulihat di ruangannya. Dia adalah dokter yang sudah berpengalaman dalam bidangnya. Beberapa kali aku sempat check up dan USG dengannya, berdasarkan saran dari salah sati teman."Baru pembukaan sembilan, kita tunggu sebentar lagi, ya!" Dokter Zayn memulai sesi, dengan hati-hati dan lembut. Dia beralih menatap Om Lian. "Jadi, ini suam
Tak terasa waktu sudah sampai di penghujung bulan Oktober. Hari ini usia kandunganku sudah memasuki 39 minggu. Rasa mulas, kram perut, lalu sakit pinggang dan kontraksi palsu sudah kurasakan akhir-akhir ini. Tak bisa tidur nyenyak karena perut yang membesar juga sudah kulewati beberapa bulan terakhir. Di kala aku terjaga di tengah malam, sudah di pastikan Om Lian juga terkena imbasnya. Tanpa diminta dia sering kali bangun dan memijat pinggangku untuk meringankan rasa pegal hingga tubuhku menjadi rileks dan terlelap kembali. Alhasil, dia terbangun dengan wajah kusut dan mata panda di keesokan harinya.Di dalam kamar apartemen yang sudah dua bulan terakhir ini aku dan Om Lian tempati, kulipat beberapa pakaian bayi ke dalam tas berukuran sedang untuk persiapan persalinan nanti.Di kamar ini, kami juga sudah mempersiapkan tempat tidur bayi. Benda itu Om Lian letakkan di pojok ruangan, samping ranjang kami. Supaya mempermudah bila di kecil rewel nanti.Beberapa hari yang lalu kamar ini
Saat ini kami tengah berkumpul di rumah Mbak Amira. Dalam formasi yang cukup lengkap. Hanya kurang beberapa orang yang masih belum berkenan untuk berbaur, setelah apa yang terjadi di masa lalu. Kami tengah Menikmati jamuan yang wanita baik hati itu sediakan sebagai bentuk rasa syukur karena kami berhasil melewati semua rintangan yang ada."Halah, masih gedean juga punya Bang Al, tapi kagak pernah, tuh dia pamerin. Itu baru otot bisep, loh. Belon nyang laen--""Jojo!" Mbak Zara memukul pelan lengan Bang Jojo. Wanita yang tengah hamil muda itu melotot."Iye, iye punya elu, Zar! Nggak akan ada yang gondol juga," cetus Bang Jojo dengan delikan mata khasnya.Sementara dua orang yang bersangkutan masih saja terlihat santai menanggapinya. Bang Alby, suami Mbak Zara yang juga paman Mbak Amira tentara berpangkat dua itu sejak tadi hanya tersenyum kecil. Sementara Om Lian tampak tak peduli dengan ocehan keponakannya, dan masih terjaga menggenggam tanganku."Oh, iya, Lea! Bulan ini kandungan kam
Awalnya aku sudah pasrah dengan semua. Masuk perangkap Pak Wira, mengetahui fakta bahwa Kevin berkhianat, dan menyaksikan Om Lian dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Kupikir saat itu azal kami akal segera tiba, tapi nyatanya takdir Tuhan adalah misteri yang tak pernah bisa disangka-sangka oleh manusia. Ternyata Kevin memenuhi janjinya. Dia datang di waktu yang tepat dan membawa serta semua Tim Mbak Amira. Keadaan pun berubah jauh lebih baik dari yang kukira. Dua bulan bahkan sudah berlalu dan semua mulai berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Pak Wira ditemukan polisi dengan kondisi yang jauh lebih mengenaskan daripada Om Lian. Meskipun begitu dia tidak bisa lepas dari jeratan hukum setelah Delima dan teman-temannya mulai angkat bicara tentang bisnis perdagangan anak di bawah umur yang digawanginya. Pihak kedokteran juga mengatakan bahwa kondisi mental Pak Wira dalam keadaan sehat. Dengan kata lain dia tidak mengalami gangguan kejiwaan hingga membutuhkan rehabilitasi. Semua
"Ma."Mama menghentikan elusan tangannya di kepalaku."Hmm?""Kenapa saat itu Mama bersikukuh mempertahankan kehamilan padahal udah jelas aku anak haram."" .... "Mama tak menjawab. Keheningan panjang yang memuakkan memaksaku untuk bangkit dari posisi berbaring di pahanya. "Kalau saja saat itu aku nggak dilahirkan, kalau aja nggak bertahan dan tumbuh besar, aku nggak perlu menyaksikan semua kekejaman ini, Ma. Kalian nggak perlu menghancurkan rumah tangga orang lain, nggak akan ada dendam dan penderitaan atau lebih banyak pengorbanan. Lihat sekarang! Keegoisan Mama dan kakeklah yang menyebabkan semua kehancuran ini terjadi. Keegoisan kalianlah yang mengantarkan begitu banyak kebencian pada keluarga ini!" Akhirnya air mataku tak lagi bisa dibendung setelah berbulan-bulan hanya bungkam menyaksikan begitu banyak ketidakadilan. "Aku yakin Lea juga nggak akan bertindak sejauh ini kalau Mama berani bersikap tegas sejak awal. Sudah dua puluh tahun, Ma. Dua puluh tahun sejak Mama merampas a