Tiga minggu kemudian. Setelah Jones berhasil melewati masa kritisnya. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Sesekali Edgar, Roy, dan Nola bergantian menjenguknya. Sementara, Franklin yang keadaannya sudah pulih setelah melakukan cangkok ginjal untuk Jones, lebih sering berada di rumah sakit untuk menemani Jones.Franklin mengundurkan diri dari posisinya sebagai asisten pribadinya Edgar karena dia ingin fokus merawat kakaknya. Sebagai gantinya Jones merelakan Roy bekerja untuk Edgar."Huh … akhirnya aku sudah diperbolehkan pulang," ucap Jones senang. Dia tersenyum melihat Franklin.Franklin balas tersenyum. "Suasana hatimu terlihat sangat baik hari ini, Jones."Jones melebarkan senyumnya. "Tentu. Aku sangat bahagia, Franklin. Aku sekarang sudah sembuh. Sudah bisa beraktivitas seperti biasanya. Dan aku ingin menghabiskan waktuku bersama adik kecilku yang menggemaskan ini," balasnya mencolek hidung mancung Franklin.Franklin mendengus. "Aku bukan adik kecilmu lagi. Aku sudah besar, Jones,
Lolita menangkup dadanya yang bergetar hebat. Jantungnya berdebar tak keruan. Dia tidak menyangka hari yang sangat dia tunggu-tunggu, akhirnya datang juga. Hari pernikahanya dengan Edgar akhirnya tiba.Lolita kini sedang dirias di ruangan khusus pengantin wanita. Dia terus memandangi dirinya dalam balutan gaun berwarna putih dengan model sabrina. Persis seperti desain yang dia buat.Dia sangat berterima kasih pada Nola, karena wanita itu yang membantu desainnya menjadi nyata. Nola memperkenalkan Lolita pada desainer fashion ternama di New York, dan meminta wanita paruh baya itu untuk mewujudkan gambar Lolita menjadi gaun siap pakai. Desainer fashion itu begitu ramah, dan langsung mengiyakan permintaan Nola. Dan sekarang, gaun itu sudah melekat di tubuh mungil Lolita dengan sangat indah. Bahkan, Nola juga yang merekomendasikan penata rias yang handal untuk Lolita."Ya ampun, Nona. Anda sangat cantik. Pengantin pria pasti terpukau melihat Anda," puji sang penata rias dengan sedikit hebo
Setelah acara pernikahan tadi pagi selesai, kini pesta perayaan diselenggarakan dengan sangat meriah di gedung utama.Semua karyawan perusahaan Edgar ikut merayakan pestanya. Dan para petinggi perusahaan turut datang.Jones duduk di samping Nola, menyesap sampanyenya sambil duduk bersantai. Jones menatapi para tamu yang saling berbincang, dan ada juga yang berdansa mengikuti alunan lagu romantis yang dimainkan oleh para pemain musik yang ada di seberang ruangan.Nola tiba-tiba menyambar gelas yang ada di tangan Jones. "Sudah cukup minumnya. Pikirkan kesehatanmu. Kau hanya memiliki satu ginjal, jadi kau harus merawatnya dengan baik. Dan jangan pernah merokok lagi."Jones tersenyum. "Iya. Aku hanya meminumnya sedikit. Dan aku juga sudah tidak merokok lagi."Robert kembali duduk di samping Nola setelah mengambil kue coklat untuk wanita pujaannya itu."Ini, Nola. Aku berhasil mendapatkannya untukmu," tukas Robert senang. Dia menaruh piring kaca kecil ke hadapan Nola.Nola tersenyum. "Than
Sebastian berderap dengan cepat menuju ke area dapur. Dia menatap sekelilingnya penuh waspada, sebelum membubuhkan sesuatu ke dalam minuman yang ada di atas nampan.Sebastian sudah bebas dari penjara, karena mendapatkan keringanan dari saudaranya yang merupakan orang berpengaruh di kota New York.Dia bisa sampai di gedung megah ini karena dia menggantikan temannya yang bekerja di sini. Temannya itu sedang sakit, dan akhirnya Sebastian menawarkan diri untuk menggantikannya selama satu hari. Tidak dia sangka ternyata pesta pernikahan Lolita, mantannya juga diselenggarakan di gedung ini.Sekarang adalah kesempatan bagi Sebastian untuk membalaskan semua yang sudah Lolita dan Edgar lakukan padanya. Karena mereka berdua, Sebastian harus menahan malu seumur hidupnya, dan harus merasakan hidup menderita di balik jeruji besi.Sebastian mengulas senyumnya saat sudah mengaduk minumannya. Dia mengangkat nampannya dan menyuruh pelayan lain yang kebetulan hendak mengambil minuman untuk mengantarkan
Jones segera menghampiri tersangka yang sudah memberikan racun ke dalam minuman Edgar. Dia datang ke kantor polisi dan berhadapan langsung dengan si pelaku."Jadi, kau yang sudah memasukkan racun ke dalam minuman Edgar, huh?" tanya Jones pada pria yang terlihat diam saja di depannya dengan kedua tangan yang diborgol."Jawab!" sentak Jones tak sabaran."Bukan saya, Tuan. Saya hanya bertugas mengantarkan minuman itu ke para tamu. Dan kebetulan Tuan Edgar yang mengambil minuman tersebut," jawab si pria dengan mata berkaca-kaca. Bukan dirinya yang melakukannya. Dia tahu kalau pria yang terlihat asing yang menyuruhnya semalam, mungkin adalah pelaku yang sebenarnya. Karena hanya pria itu yang mencurigakan. Tapi, dia tidak bisa mengatakannya karena dia juga tidak mengenalnya, dan baru hari itu dia melihat wajahnya."Dan kebetulan katamu?! Kalau bukan Edgar, akan ada tamu lain yang menjadi korbannya. Sekarang Edgar belum sadarkan diri. Aku akan memastikan kau mendapatkan hukuman terberat!" ta
"Edgar belum sadarkan diri?" tanya Jones pada Lolita.Lolita bergeleng lemah. "Belum," jawabnya menoleh pada Jones. "Aku pergi dulu ya. Nanti aku akan kembali."Jones mengangguk. "Iya. Hati-hati di jalan."Lolita kemudian melangkah pergi dibantu oleh Roy di sisinya. Lolita merasa lemas. Seakan kedua kakinya sudah tak mampu lagi untuk menahan beban tubuhnya. Dia juga kehilangan nafsu makannya, tapi dia memaksakan diri untuk tetap menyantap sarapan yang tadi dibelikan ayahnya. Lolita juga harus memikirkan kesehatan bayinya. Dia tidak boleh egois, hanya memikirkan perasaannya saja.Jones melihat kepergian Lolita dengan mendesah berat. "Dia terlihat tak bersemangat."Jones lalu masuk ke kamar di mana Edgar masih tertidur dengan alat medis yang menempel di tubuhnya.Dia meringis pedih. Dalam satu hari Edgar merasakan kebahagiaan, dan dalam satu hari juga, sahabatnya itu jadi terbaring lemah seperti ini.Kalau bisa, Jones akan menukar dirinya dengan Edgar sekarang. Biar dirinya yang terbari
Lolita duduk termenung di samping Edgar. Dia tidak melakukan apapun. Hanya terpaku menatap wajah Edgar yang matanya masih tertutup.Roy berdiri di sisi Lolita. Dia menyentuh pundak Lolita pelan."Edgar akan segera sadar. Percayalah. Dia bisa mengalahkan efek racunnya.""Tapi, kapan, Dad? Kapan Om bangun?" Lolita terisak. Dia buru-buru mengusap air mata yang berhasil meleleh di pipinya dengan punggung tangan."Dokter sedang melakukan yang terbaik, Lolita." Roy mengusap pundak Lolita dan menariknya ke dalam pelukan. Lolita tidak bisa menahan diri dari menangis. Semalaman dia menangis tanpa henti, sampai matanya sembab."Lolita," panggil Nola yang mendongakkan kepala di pintu ruangan.Lolita melepaskan pelukan Roy. Dan dia menatap Nola setelah mengusap air matanya."Ada apa, Nola?""Kemari sebentar," pinta Nola mengibaskan sebelah tangannya.Lolita mengangguk mengiyakan. Dia berderap pelan menghampiri Nola yang ada di luar ruangan."Ini untukmu, Lolita." Nola menyodorkan dua kotak cokla
Lolita baru saja kembali ke rumahnya untuk meletakkan barang-barang yang Nola belikan untuk dirinya. Dan kini dia pergi ke rumah sakit diantarkan oleh Nola. Dia ingin terus berada di sisi Edgar.Lolita melihat Jones, Franklin, dan Robert sudah ada di depan ruangan di mana Edgar dirawat.Lolita melangkah bersama Nola di sisinya. Jones tampak berucap pada Roy, lalu dia menepuk pundak Roy pelan. "Aku pergi dulu, Roy. Sampaikan pada Lolita apa yang baru saja aku ucapkan padamu."Roy mengangguk mengiyakan. "Iya, Jones."Jones, Franklin, Robert, dan Nola pun pergi. Jones bersama dengan Franklin, berpisah dari Nola dan Robert.Lolita mendudukkan tubuhnya di kursi, di samping ayahnya."Oh ya, Lolita. Daddy ingin bilang sesuatu padamu. Tapi, janji jangan marah ya?" Lolita mengerutkan keningnya. "Memangnya ada apa, Dad? Kenapa menyuruhku berjanji untuk tak marah? Ada hal buruk kah yang terjadi pada Om Edgar?"Roy bergeleng pelan. "Bukan. Ini tentang pelaku yang membuat Edgar keracunan. Daddy
"Winter!""Ya, Mom," balas Winter berlari ke arah Lolita yang duduk di sofa ruang tamu.Winter sekarang sudah remaja. Tingginya bahkan sudah melebihi tinggi Lolita. Senyumnya teramat manis, dan memiliki mata biru yang indah yang dia turunkan dari Edgar."Ada apa, Mom?" tanya Winter saat sudah berdiri di hadapan ibunya.Lolita saat ini sedang hamil tua. Dan dia sedang ingin makan sesuatu. "Felix ingin makan kue coklat. Bisakah kau membelikannya, Winter?"Winter memutar matanya malas. Dia lalu menatap perut ibunya yang sudah besar. "Bukan Felix yang ingin, tapi Mommy kan?"Lolita terkekeh pelan. "Kau tahu saja. Anggap saja yang ingin Felix. Kau harus membelikannya sekarang. Adikmu ini akan menendang-nendang kalau tidak segera dituruti permintaannya.""Baiklah. Aku pergi dulu, Mom." Winter berpamitan keluar pada Lolita setelah menerima uang dari Lolita. Karena Edgar masih belum pulang kerja, jadi dirinya yang bertugas menjaga ibunya yang hamil.Winter naik ke mobilnya yang menjadi hadiah
Edgar dan Lolita kini sudah sampai di New York. Mereka akan meninggalkan bandara dan pergi menuju apartemen Jones untuk menjemput Winter."Tidak terasa satu minggu sudah berlalu. Aku sangat merindukan Winterku. Dia juga pasti akan merindukan Daddynya ini," tukas Edgar menghela napas lega sambil menggiring kopernya.Lolita mengangguk pelan. "Aku sudah tak sabar memeluk Winter lagi. Semoga dia tidak marah pada kita karena sudah meninggalkannya cukup lama."Edgar mengedikkan kedua bahunya samar. "Dia tidak akan marah. Aku sudah menyiapkan banyak mainan untuknya. Dan lagi pula Winter kan suka pria tampan. Sudah pasti dia tidak marah, dan justru senang karena tinggal bersama Jones dan Franklin."Lolita mengerucutkan bibirnya. "Tetap saja. Bagaimana kalau dia justru bertanya kita pergi ke mana? Dan kita melakukan apa selama kita pergi? Apa yang harus aku jawab, My Husband?"Edgar mengulas senyum. "Bilang saja kalau kita sedang ada urusan pekerjaan. Kita mencari uang untuk membelikan mainan
Sudah lima hari Winter dan Boy tinggal di apartemen Jones. Kedua anak kecil ini selalu saja berbuat ulah, membuat Jones serta Franklin jadi kehabisan stok kesabarannya. Tapi, Jones dan Franklin berusaha untuk tetap menekan amarahnya setiap kali menghadapi dua bocah ajaib itu.Untung saja Winter dan Boy sudah menjadi lebih akrab. Jones dan Franklin jadi tidak perlu harus menemani mereka bermain. Yah, walau kadang kali Winter masih suka usil sampai membuat Boy menangis. Jones mendesah pelan. Dia dipusingkan oleh urusan perusahaan, ditambah dia juga harus mengurus Winter dan Boy. Kurang dua hari lagi, orang tua kedua bocah itu akan kembali. Dan di saat itu tiba, Jones akan tidur seharian untuk menukar tidurnya yang akhir-akhir ini selalu terganggu."Papa Kuda," panggil Winter berlari ke arah Jones yang baru saja mengistirahatkan tubuhnya di sofa.Jones yang awalnya membaringkan punggungnya ke sofa, segera menegakkan punggungnya kembali saat Winter sudah sampai di depannya. "Ya, Winter.
Sore harinya. Edgar dan Lolita menikmati sunset di pantai. Mereka duduk di pinggir pantai sambil menyesap minuman mereka.Edgar melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Lolita. "Sunsetnya sangat cantik ya, My Lovely."Lolita mengangguk mengiyakan. "Iya, My Husband.""Secantik kau," balas Edgar membuat Lolita tersipu."My Husband bisa aja." Lolita mencubit lengan Edgar pelan.Edgar lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Lolita, lalu berbisik, "Nanti malam aku mau lagi, My Lovely."Lolita mengernyit tak paham. "Mau apa?""Mau bercinta lagi denganmu," jawab Edgar mengulas senyumnya.Lolita bergeleng pelan. "My Husband, aku masih lelah. Tidak bisakah kita undur besok malam saja? Kita kan masih lama di Hawaii.""Baiklah. Aku akan menahannya, Lolita." Edgar menampakkan wajah kecewa.Lolita merasa gemas dengan Edgar yang seperti itu. Dia mencium bibir Edgar singkat dan tersenyum. "Begitu dong, sekali-sekali My Husband mau menurut."***Menjelang malam, Jones dan Franklin sibuk dengan balita
"Ahh …. My Husband. Lagi. Lakukan lagi. Ini sangat nikmat." Lolita memejamkan kedua matanya saat Edgar menggenjot dirinya.Edgar semakin bersemangat. Dia sudah mencapai klimaksnya sampai dua kali, tapi dia tidak mengalami kelelahan sama sekali, dia justru semakin semangat dan semakin cepat menggerakkan miliknya pada milik Lolita. Sampai dia mencapai klimaksnya lagi bersamaan dengan Lolita."Thanks, My Lovely. Aku benar-benar senang bisa bercinta lagi denganmu." Edgar tersenyum, kemudian mencium bibir Lolita. Lolita balas tersenyum saat Edgar sudah melepaskan ciumannya. ***Nola dan Robert berjalan cepat dan tergesa-gesa karena takut terlambat jadwal penerbangannya ke Bali. Nola menggendong Boy yang sedang tertidur, sedang Robert membawa dua tas besar berisi semua keperluan Boy, termasuk mainan milik Boy. "Jones!" panggil Nola memencet bel apartemen Jones. Dia hendak memecet lagi saat Jones tak kunjung menyahut dari dalam, tapi diurungkan oleh kedatangan Franklin.Franklin mengerutk
Waktu berjalan begitu cepat, dan saat yang paling ditunggu-tunggu Edgar akhirnya datang juga. Honeymoonnya dengan Lolita.Lolita yang awalnya ingin menunggu Winter berusia tiga tahun dulu, barulah dia dan Edgar akan pergi honeymoon. Memundurnya lagi satu tahun, karena dia begitu sibuk merawat Winter. Dan sekarang, tepatnya hari ini Lolita dan Edgar memutuskan akan pergi honeymoon ke Hawaii setelah sempat tertunda.Minggu lalu mereka baru saja merayakan ulang tahun Winter yang ke empat tahun. Mereka juga sudah memberitahukan rencana berlibur mereka pada Winter, tapi tidak mengatakan kalau sebenarnya yang mereka akan lakukan adalah honeymoon. Winter mengiyakannya, meski dengan syarat Edgar harus membelikan banyak mainan baru untuknya saat pulang nanti. Tentu, itu permintaan yang sangat gampang bagi Edgar. Dia langsung menyanggupi permintaan Winter dengan enteng.Kini Lolita dan Edgar pergi bersama Winter kecil ke apartemen Jones."Jones," panggil Edgar saat dia sudah sampai di depan apa
"Tidak!" tolak Edgar dengan satu kata yang tegas, singkat, dan tak terbantahkan saat Jones meminta izin padanya untuk membawa Winter selama satu hari.Jones mendengus kecewa. "Satu jam saja kalau begitu," ucapnya memelas.Edgar sekali lagi bergeleng. "Aku tidak akan mengizinkan kau membawa Winterku, Jones. Kau hanya boleh melihatnya di apartemenku seperti sekarang ini."Jones mendengus sekali lagi. "Baiklah. Benar kata Roy, kau lebih posesif."Edgar berkacak pinggang. "Kau baru tahu, huh?""Tidak. Aku sudah tahu dari dulu," balas Jones datar. Dia lalu mendekati Winter lagi."Winter, ini Om Jones," ucap Jones tersenyum lebar. Dia melambaikan tangan pada Winter, berharap bayi mungil itu melihat ke arahnya dan tersenyum untuknya.Edgar bergeleng pelan mendapati apa yang Jones lakukan. Dia berderap ke samping Jones. "Winter baru saja lahir, pandangannya masih kurang jelas. Jadi, kau tak perlu berharap Winter bisa membalas senyummu itu."Jones mengangguk paham. "Iya. Aku akan menunggu dia
Delapan bulan berlalu. Nola dan Robert kini sedang berada di rumah sakit, menanti kelahiran bayi mereka. Jones menunggu dengan tak sabaran bersama Franklin di ruang tunggu.Semenjak berita Gio dan keluarga Brown ditangkap karena kasus penyelundupan narkoba, Jones merasa tenang karena keadaan perusahaannya menjadi lebih baik dan lebih kondusif.Jones menoleh pada Franklin yang sibuk bermain dengan ponselnya. "Bagaimana? Apa Lolita juga akan melahirkan?" Franklin menurunkan ponselnya dari pandangannya. "Lolita masih melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Dokter memperkirakan Lolita akan melahirkan besok pagi."Jones mengangguk paham. Dia spontan menatap pintu ruangan di mana Nola ditangani, karena tiba-tiba suara bayi menangis terdengar dari arah sana."Aku akan benar-benar dipanggil Om setelah ini," tukas Jones tersenyum.Robert keluar dari ruangan dengan senyum bahagianya. Dia menutup pintu ruangan kembali dan langsung berlari ke arah Jones."Tuan Jones, Tuan Franklin. Boy sudah lahir
"Apa yang sudah kau lakukan selama ini, Gio? Kenapa kau lengah, huh? Apa kau tahu semua orang-orang Daddy dipecat secara tidak terhormat oleh Jones?"Gio membulatkan matanya saat mendengar ucapan ayahnya. Dia sedikit berbisik agar Jones dan Valen tidak mendengar perkataannya. "Bagaimana bisa hal itu terjadi, Dad? Setahuku Jones akhir-akhir ini lebih sering menghabiskan waktunya bersama wanita-wanitanya. Dia bahkan tidak pernah pergi ke perusahaan selama aku mengikutinya.""Kau bodoh! Jadi, pekerjaanmu hanya mengikutinya saja?!" Suara ayah Gio membalas dengan suara yang keras. "Huh … aku menyesal sudah memilihmu, Gio. Aku harusnya menyerahkan semuanya pada anak kakakku, dan bukan kau. Kau hanya beban bagi keluarga Brown."Gio menggigit bibir bawahnya keras-keras. Dia menurunkan ponselnya dari telinganya setelah ayahnya memutuskan telepon sepihak. Dia mengepalkan kedua tangannya sambil terus berpikir, bagaimana bisa Jones melakukan itu? Bagaimana pria yang tahunya hanya bersenang-senang