"Buket bunganya sudah, coklatnya sudah," tukas Edgar mengabsen barang bawaannya sebelum menjemput Lolita. Dia akan pergi dengan mobil yang terpisah dengan Franklin. Asistennya itu akan pergi dengan mobilnya sendiri. Karena Edgar tidak mau diganggu waktunya bersama Lolita.Edgar tersenyum puas. Dia kemudian menyuruh Franklin untuk pergi ke water park lebih dulu, dan dia akan menyusul setelah menjemput Lolita.Franklin mengangguk patuh. "Baik, Tuan," jawabnya pada Edgar. Dia kemudian melajukan mobilnya meninggalkan Edgar.Edgar tetap mempertahankan senyumnya. Dia juga masuk ke dalam mobilnya dan pergi ke apartemennya lebih dulu untuk menjemput Lolita. Semalam gadis itu begitu senang saat dia mengajaknya ke water park. Edgar juga senang. Dia tak sabar bermain air bersama Lolita, dan menghabiskan waktu seharian bersama gadis itu.Edgar melompat turun dari mobilnya begitu sudah tiba di apartemennya. Dia pergi ke unit apartemennya untuk mengajak Lolita pergi sekarang.Edgar mendorong pintu
"Aku tidak perlu menjawabnya kan?" Jones mengedikkan kedua bahunya."Berhenti mengikutiku, Jones. Berhenti pura-pura peduli padaku. Seharusnya kau tidak usah menolongku. Biarkan saja aku mati seperti saat kau meninggalkanku di sungai sendirian," ucap Franklin dengan pedih.Franklin mendengus geram. Jika kakaknya menolongnya dan perhatian padanya seperti ini. Dia akan sulit untuk membencinya."Aku akan pergi ke Tuan Edgar. Kau pergilah!" Franklin berdiri dan hendak meninggalkan Jones sendirian."Tunggu!" Jones menahan tangan adiknya. "Apa kau membawa baju ganti? Tidak mungkin kan aku pulang dalam keadaan basah seperti ini."Franklin menoleh pada Jones. Tatapannya dingin. "Kau tidak membawa baju ganti?"Jones bergeleng sambil menampilkan senyum tipisnya. "Aku tidak membawanya. Karena sejak awal aku ke sini, aku tidak berniat bermain air."Franklin memutar matanya malas. Dia tadi membawa dua baju ganti untuk berjaga-jaga. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Edgar. Dia ingin berbohong
Lolita dan Edgar pulang ke apartemen saat hari sudah mulai gelap. Edgar membeli dua botol sampanye yang langsung dia nikmati sambil menonton televisi di ruang tamu.Sedang, Lolita masih berada di kamarnya untuk menyimpan buket bunga dari Edgar. Dia selalu memindahkan bunganya ke vas yang ada di mejanya. Agar setiap kali dia bangun tidur dan hendak tidur, dia bisa melihatnya.Lolita tersenyum melihat bunga indah yang memenuhi mejanya. Dia lalu berbalik menuju Edgar.Lolita mengernyit saat melihat Edgar tertawa sendiri melihat televisi sambil minum sampanye langsung dari botolnya.Edgar menatap kemunculan Lolita. Dia mengulas senyum penuh arti. Dengan gerakan cepat dia menarik tangan Lolita dan menjatuhkan tubuh gadis itu ke sofa. "Lolita, aku mau sekarang," ucap Edgar menindih tubuh Lolita. Dia sudah setengah mabuk setelah menghabiskan dua botol sampanye sendirian."Om, tunggu."Edgar bergeleng sambil bibirnya mengerucut samar. "Aku mau sekarang, Lolita," tukasnya menuntut. Kedua tang
Edgar dan Lolita pergi ke ruang tamu untuk menemui Roy. Edgar masih menggenggam erat tangan Lolita, agar gadis itu tidak takut.Roy menatap tajam Edgar, Lolita, kemudian beralih menatap kedua tangan Edgar dan Lolita yang terjalin erat.Roy beranjak dari sofa, dan langsung melayangkan sebuah pukulan keras ke wajah Edgar. Sampai Edgar jatuh ke lantai."Kau sudah gila ya, Edgar. Aku menyuruhmu menjaga Lolita, bukan merusaknya!" Roy tidak bisa mengendalikan dirinya. Dia tidak peduli jika Lolita melihat kemarahannya yang tak pernah dia tunjukkan sebelumnya di depan anaknya itu. Dia sudah terlalu murka sekarang."Dad, ini juga salahku!" teriak Lolita berusaha melerai Roy dan Edgar.Roy mendorong Lolita menjauh. "Kau diam saja, Lolita! Jangan membuatku semakin marah! Akan ada waktunya aku menyuruhmu menjelaskannya juga!"Lolita tercekat dengan sentakkan Roy. Ayahnya tidak pernah berteriak, membentak di depannya. Ayahnya benar-benar marah besar sekarang. Lolita memundurkan langkah, dan hanya
"Apa ada hubungannya dengan Lolita, Roy?" tebak Jones setelah menyesap minumannya."Kau tahu dari mana?" tanya Roy terkejut. "Eumm …. Bagaimana ya aku menceritakannya padamu? Intinya aku pernah berada di antara hubungan mereka berdua. Awalnya aku juga merasa aneh saat melihat Edgar dan Lolita. Hubungan mereka tidak sekedar anak sahabat dengan sahabat ayahnya. Lebih dari itu," jawab Jones mengedikkan bahunya. Tapi, memberikan efek yang luar biasa pada Roy, sampai Roy enggan makan kuenya dan lebih tertarik pada cerita Jones."Bisakah kau menceritakannya lebih detail? Sejak kapan mereka jadi sangat dekat?" tanya Roy penasaran.Jones mengusap dagunya, mencoba mengingat-ingat. "Sepertinya sebelum aku bertemu dengan Lolita satu bulan yang lalu di Central Park, mereka sudah terlihat sangat dekat."Jones tidak akan menceritakan pada Roy kalau dia pernah tertarik pada Lolita. Karena dia sudah melupakan perasaannya itu. Dan tidak ingin hal itu diungkit-ungkit kembali."Berarti sudah lama ya,"
Satu hari berlalu. Lolita tidak seceria biasanya. Dia lebih sering menghabiskan waktunya di kamar, melamun sendirian. Tidak ada yang benar-benar ingin dia lakukan. Ponselnya masih disimpan oleh Roy, dan ayahnya itu juga melarangnya keluar rumah dengan alasan apapun untuk sementara.Roy melirik ke arah pintu kamar Lolita. Dia hanya akan menyiapkan sarapan untuk anaknya itu sebelum berangkat bekerja. Kemarin dia memikirkan tawaran dari Jones dengan lebih matang. Lalu, pada akhirnya dia memilih menerima tawaran Jones, dan melepaskan pekerjaannya sebelumnya yang menjadi karyawan di perusahaan kecil.Hari ini dia akan pergi ke perusahaan Jones untuk membicarakan pekerjaan barunya lebih lanjut.Roy naik taksi untuk pergi ke perusahaan Jones. Meski, lumayan menguras uangnya ketika dia bepergian dengan taksi. Tapi, dia tidak memiliki kendaraan. Mobil satu-satunya milik Roy sudah dia jual untuk mencukupi kebutuhannya dengan Lolita.Sesampainya Roy di perusahaan Jones. Dia segera menuju ruangan
Nola menggiring langkahnya keluar kamar sambil membawa koper. Dia sudah meminta izin pada agensinya untuk hengkang sementara dari dunia model, dengan alasan kalau dia mengalami masalah dengan kesehatannya. Padahal, nyatanya dia akan pergi ke luar negeri selama dia hamil dan membesarkan anaknya. Menghindar dari media massa dan orang-orang yang mengenalnya.Nola baru saja menelepon Jones untuk menemaninya sebentar sebelum dia berangkat besok pagi. Jones mengiyakan permintaannya, dan mungkin pria itu sedang dalam perjalanan menuju rumahnya."Nola," panggil Jones mengetuk pintu utama setibanya di depan rumah Nola. Dia lalu mendorong pintu tersebut setelah mendengar sahutan dari Nola yang menyuruhnya untuk langsung masuk."Kau serius akan pergi besok?" tanya Jones memastikan sambil berderap menghampiri Nola yang sekarang duduk di sofa."Iya. Keputusanku sudah bulat," balas Nola mengangguk membenarkan pertanyaan Jones."Kau tidak ingin bertemu sekali lagi dengan pria yang bernama Robert itu
"Ya. Aku sanggup," jawab Robert penuh dengan keyakinan. "Karena sejak awal aku memang sudah menyukainya."Jones mengangguk puas. "Baiklah. Tapi, kalau kau membuatnya menangis. Kau akan berurusan denganku, Robert."Robert balas mengangguk. "Anda tidak perlu khawatir. Aku tidak akan membuatnya menangis. Mungkin hanya menangis bahagia."Jones lalu mengajak Robert kembali kepada Nola."Apa yang sudah kalian bicarakan, huh? Kalian baru saja membicarakanku ya?" tuduh Nola kesal dengan kedua tangan terlipat di depan tubuhnya.Jones mengulas senyum. "Ini pembicaraan antar pria. Kau tidak perlu tahu."Jones lalu melirik Robert sekilas. Lalu, menatap Nola. "Apa kau akan tetap pergi ke luar negeri, Nola?""Tentu saja!" jawab Nola lantang, tak peduli jika Robert tersinggung saat mendengarnya. Padahal tujuan pria itu ke sini adalah agar Nola tidak jadi ke luar negeri.Robert mendekati Nola. "Jangan pergi, Nola. Aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu."Nola bergeleng cepat. "Aku sudah meno
"Winter!""Ya, Mom," balas Winter berlari ke arah Lolita yang duduk di sofa ruang tamu.Winter sekarang sudah remaja. Tingginya bahkan sudah melebihi tinggi Lolita. Senyumnya teramat manis, dan memiliki mata biru yang indah yang dia turunkan dari Edgar."Ada apa, Mom?" tanya Winter saat sudah berdiri di hadapan ibunya.Lolita saat ini sedang hamil tua. Dan dia sedang ingin makan sesuatu. "Felix ingin makan kue coklat. Bisakah kau membelikannya, Winter?"Winter memutar matanya malas. Dia lalu menatap perut ibunya yang sudah besar. "Bukan Felix yang ingin, tapi Mommy kan?"Lolita terkekeh pelan. "Kau tahu saja. Anggap saja yang ingin Felix. Kau harus membelikannya sekarang. Adikmu ini akan menendang-nendang kalau tidak segera dituruti permintaannya.""Baiklah. Aku pergi dulu, Mom." Winter berpamitan keluar pada Lolita setelah menerima uang dari Lolita. Karena Edgar masih belum pulang kerja, jadi dirinya yang bertugas menjaga ibunya yang hamil.Winter naik ke mobilnya yang menjadi hadiah
Edgar dan Lolita kini sudah sampai di New York. Mereka akan meninggalkan bandara dan pergi menuju apartemen Jones untuk menjemput Winter."Tidak terasa satu minggu sudah berlalu. Aku sangat merindukan Winterku. Dia juga pasti akan merindukan Daddynya ini," tukas Edgar menghela napas lega sambil menggiring kopernya.Lolita mengangguk pelan. "Aku sudah tak sabar memeluk Winter lagi. Semoga dia tidak marah pada kita karena sudah meninggalkannya cukup lama."Edgar mengedikkan kedua bahunya samar. "Dia tidak akan marah. Aku sudah menyiapkan banyak mainan untuknya. Dan lagi pula Winter kan suka pria tampan. Sudah pasti dia tidak marah, dan justru senang karena tinggal bersama Jones dan Franklin."Lolita mengerucutkan bibirnya. "Tetap saja. Bagaimana kalau dia justru bertanya kita pergi ke mana? Dan kita melakukan apa selama kita pergi? Apa yang harus aku jawab, My Husband?"Edgar mengulas senyum. "Bilang saja kalau kita sedang ada urusan pekerjaan. Kita mencari uang untuk membelikan mainan
Sudah lima hari Winter dan Boy tinggal di apartemen Jones. Kedua anak kecil ini selalu saja berbuat ulah, membuat Jones serta Franklin jadi kehabisan stok kesabarannya. Tapi, Jones dan Franklin berusaha untuk tetap menekan amarahnya setiap kali menghadapi dua bocah ajaib itu.Untung saja Winter dan Boy sudah menjadi lebih akrab. Jones dan Franklin jadi tidak perlu harus menemani mereka bermain. Yah, walau kadang kali Winter masih suka usil sampai membuat Boy menangis. Jones mendesah pelan. Dia dipusingkan oleh urusan perusahaan, ditambah dia juga harus mengurus Winter dan Boy. Kurang dua hari lagi, orang tua kedua bocah itu akan kembali. Dan di saat itu tiba, Jones akan tidur seharian untuk menukar tidurnya yang akhir-akhir ini selalu terganggu."Papa Kuda," panggil Winter berlari ke arah Jones yang baru saja mengistirahatkan tubuhnya di sofa.Jones yang awalnya membaringkan punggungnya ke sofa, segera menegakkan punggungnya kembali saat Winter sudah sampai di depannya. "Ya, Winter.
Sore harinya. Edgar dan Lolita menikmati sunset di pantai. Mereka duduk di pinggir pantai sambil menyesap minuman mereka.Edgar melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Lolita. "Sunsetnya sangat cantik ya, My Lovely."Lolita mengangguk mengiyakan. "Iya, My Husband.""Secantik kau," balas Edgar membuat Lolita tersipu."My Husband bisa aja." Lolita mencubit lengan Edgar pelan.Edgar lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Lolita, lalu berbisik, "Nanti malam aku mau lagi, My Lovely."Lolita mengernyit tak paham. "Mau apa?""Mau bercinta lagi denganmu," jawab Edgar mengulas senyumnya.Lolita bergeleng pelan. "My Husband, aku masih lelah. Tidak bisakah kita undur besok malam saja? Kita kan masih lama di Hawaii.""Baiklah. Aku akan menahannya, Lolita." Edgar menampakkan wajah kecewa.Lolita merasa gemas dengan Edgar yang seperti itu. Dia mencium bibir Edgar singkat dan tersenyum. "Begitu dong, sekali-sekali My Husband mau menurut."***Menjelang malam, Jones dan Franklin sibuk dengan balita
"Ahh …. My Husband. Lagi. Lakukan lagi. Ini sangat nikmat." Lolita memejamkan kedua matanya saat Edgar menggenjot dirinya.Edgar semakin bersemangat. Dia sudah mencapai klimaksnya sampai dua kali, tapi dia tidak mengalami kelelahan sama sekali, dia justru semakin semangat dan semakin cepat menggerakkan miliknya pada milik Lolita. Sampai dia mencapai klimaksnya lagi bersamaan dengan Lolita."Thanks, My Lovely. Aku benar-benar senang bisa bercinta lagi denganmu." Edgar tersenyum, kemudian mencium bibir Lolita. Lolita balas tersenyum saat Edgar sudah melepaskan ciumannya. ***Nola dan Robert berjalan cepat dan tergesa-gesa karena takut terlambat jadwal penerbangannya ke Bali. Nola menggendong Boy yang sedang tertidur, sedang Robert membawa dua tas besar berisi semua keperluan Boy, termasuk mainan milik Boy. "Jones!" panggil Nola memencet bel apartemen Jones. Dia hendak memecet lagi saat Jones tak kunjung menyahut dari dalam, tapi diurungkan oleh kedatangan Franklin.Franklin mengerutk
Waktu berjalan begitu cepat, dan saat yang paling ditunggu-tunggu Edgar akhirnya datang juga. Honeymoonnya dengan Lolita.Lolita yang awalnya ingin menunggu Winter berusia tiga tahun dulu, barulah dia dan Edgar akan pergi honeymoon. Memundurnya lagi satu tahun, karena dia begitu sibuk merawat Winter. Dan sekarang, tepatnya hari ini Lolita dan Edgar memutuskan akan pergi honeymoon ke Hawaii setelah sempat tertunda.Minggu lalu mereka baru saja merayakan ulang tahun Winter yang ke empat tahun. Mereka juga sudah memberitahukan rencana berlibur mereka pada Winter, tapi tidak mengatakan kalau sebenarnya yang mereka akan lakukan adalah honeymoon. Winter mengiyakannya, meski dengan syarat Edgar harus membelikan banyak mainan baru untuknya saat pulang nanti. Tentu, itu permintaan yang sangat gampang bagi Edgar. Dia langsung menyanggupi permintaan Winter dengan enteng.Kini Lolita dan Edgar pergi bersama Winter kecil ke apartemen Jones."Jones," panggil Edgar saat dia sudah sampai di depan apa
"Tidak!" tolak Edgar dengan satu kata yang tegas, singkat, dan tak terbantahkan saat Jones meminta izin padanya untuk membawa Winter selama satu hari.Jones mendengus kecewa. "Satu jam saja kalau begitu," ucapnya memelas.Edgar sekali lagi bergeleng. "Aku tidak akan mengizinkan kau membawa Winterku, Jones. Kau hanya boleh melihatnya di apartemenku seperti sekarang ini."Jones mendengus sekali lagi. "Baiklah. Benar kata Roy, kau lebih posesif."Edgar berkacak pinggang. "Kau baru tahu, huh?""Tidak. Aku sudah tahu dari dulu," balas Jones datar. Dia lalu mendekati Winter lagi."Winter, ini Om Jones," ucap Jones tersenyum lebar. Dia melambaikan tangan pada Winter, berharap bayi mungil itu melihat ke arahnya dan tersenyum untuknya.Edgar bergeleng pelan mendapati apa yang Jones lakukan. Dia berderap ke samping Jones. "Winter baru saja lahir, pandangannya masih kurang jelas. Jadi, kau tak perlu berharap Winter bisa membalas senyummu itu."Jones mengangguk paham. "Iya. Aku akan menunggu dia
Delapan bulan berlalu. Nola dan Robert kini sedang berada di rumah sakit, menanti kelahiran bayi mereka. Jones menunggu dengan tak sabaran bersama Franklin di ruang tunggu.Semenjak berita Gio dan keluarga Brown ditangkap karena kasus penyelundupan narkoba, Jones merasa tenang karena keadaan perusahaannya menjadi lebih baik dan lebih kondusif.Jones menoleh pada Franklin yang sibuk bermain dengan ponselnya. "Bagaimana? Apa Lolita juga akan melahirkan?" Franklin menurunkan ponselnya dari pandangannya. "Lolita masih melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Dokter memperkirakan Lolita akan melahirkan besok pagi."Jones mengangguk paham. Dia spontan menatap pintu ruangan di mana Nola ditangani, karena tiba-tiba suara bayi menangis terdengar dari arah sana."Aku akan benar-benar dipanggil Om setelah ini," tukas Jones tersenyum.Robert keluar dari ruangan dengan senyum bahagianya. Dia menutup pintu ruangan kembali dan langsung berlari ke arah Jones."Tuan Jones, Tuan Franklin. Boy sudah lahir
"Apa yang sudah kau lakukan selama ini, Gio? Kenapa kau lengah, huh? Apa kau tahu semua orang-orang Daddy dipecat secara tidak terhormat oleh Jones?"Gio membulatkan matanya saat mendengar ucapan ayahnya. Dia sedikit berbisik agar Jones dan Valen tidak mendengar perkataannya. "Bagaimana bisa hal itu terjadi, Dad? Setahuku Jones akhir-akhir ini lebih sering menghabiskan waktunya bersama wanita-wanitanya. Dia bahkan tidak pernah pergi ke perusahaan selama aku mengikutinya.""Kau bodoh! Jadi, pekerjaanmu hanya mengikutinya saja?!" Suara ayah Gio membalas dengan suara yang keras. "Huh … aku menyesal sudah memilihmu, Gio. Aku harusnya menyerahkan semuanya pada anak kakakku, dan bukan kau. Kau hanya beban bagi keluarga Brown."Gio menggigit bibir bawahnya keras-keras. Dia menurunkan ponselnya dari telinganya setelah ayahnya memutuskan telepon sepihak. Dia mengepalkan kedua tangannya sambil terus berpikir, bagaimana bisa Jones melakukan itu? Bagaimana pria yang tahunya hanya bersenang-senang