Edgar membereskan meja kerjanya. Kurang setengah jam lagi dia akan pulang. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya setelah selesai beres-beres."Franklin, apa ada yang ingin kau katakan? Kau terlihat ingin mengatakan sesuatu padaku tadi. Tapi, karena aku sibuk aku jadi tak mengacuhkanmu," tanya Edgar menarik dua alis tebalnya ke atas.Franklin terdiam sebentar. Dia lalu berucap pelan, "Eum …. Tuan. Akhir-akhir ini saya merasa aneh. Setiap pagi saat saya hendak berangkat bekerja, dan malam saat pulang. Selalu ada makanan di depan pintu apartemen saya."Edgar terlonjak dari kursinya. Dia beralih ke sofa, mendudukkan dirinya di samping Franklin. "Kau memiliki penggemar rahasia, Franklin," tukasnya semangat."Jika dia wanita, kau bisa mengajaknya berkencan," sambungnya.Franklin masih merasa aneh. Jika dikatakan orang misterius itu adalah penggemar rahasianya, bisa saja mungkin. Tapi, yang mengherankan seseorang yang memberikannya mengerti makanan dan minuman kesukaan Franklin
"Kenapa? Kau kecewa jika aku orangnya dan bukan orang lain seperti Edgar?" Jones menyeringai.Franklin bangkit berdiri setelah tadi berjongkok demi melihat wajah si pria misterius. Tapi, saat dia tahu jika pria itu Jones. Dia menjadi geram."Sialan!" Franklin mengumpat. Dia berjalan tegas dan kasar untuk mengambil kantong belanja yang masih ada di depan pintu apartemennya, dia kembali pada Jones, dan menumpahkan isi kantong belanjanya ke atas Jonas yang masih duduk di lantai."Jangan pernah memberikanku apapun lagi! Aku tidak mau menerima sesuatu darimu. Bukannya dari dulu kau hanya ingin mencelakaiku, dan membunuhku. Jangan-jangan kau juga menaruh racun di makanan yang kau berikan padaku," teriak Franklin melempar kantong belanja yang sudah kosong ke sembarang arah. Dia kemudian berderap pergi.Jones menatap punggung Franklin yang semakin menjauh dan hilang ditelan pintu apartemen yang tertutup kembali. Dia mendesah kasar."Huh … aku sudah menggagalkannya.""Padahal aku hanya ingin m
"Kita mau ke mana, Jones?" tanya Nola yang tangannya ditarik oleh Jones menuju ke mobil."Meminta pertanggung jawaban dari ayah bayi yang kau kandung itu," jawab Jones tak mempedulikan jika apa yang dia lakukan itu dilihat oleh orang-orang yang ada di depan gedung rumah sakit.Nola hendak meronta, tapi terlambat. Dia sudah dipaksa masuk ke mobil. Dan mobil milik Jones itu sudah melaju cepat membelah jalanan kota New York.Rahang Jones mengetat. Napasnya memburu. Dia tidak pernah mengira jika Nola dan Edgar akan berbuat kelewatan seperti ini. Edgar harus bertanggung jawab menikahi Nola. Lalu, untuk Lolita ….Jones semakin kesal. Edgar sudah melukai hati dua perempuan sekaligus. Jones sebenarnya tidak tega membuat hati Lolita terluka. Sejak gadis itu membantunya, dengan menjadi pendengar ceritanya, dan juga sudah memberikan saran untuknya. Jones jadi peduli pada Lolita. Tapi, ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Lebih baik Lolita sakit hati sekarang, daripada terlambat. Biar Lolita bis
Nola dan Jones kini sudah kembali ke ruangan kerja Jones. Pria itu terdiam sedari tadi. Jones masih kesal dengan apa yang baru saja terjadi."Jones, aku obati ya lukamu." Suara Nola membuyarkan lamunan Jones.Jones menoleh Nola dan mendengus kasar. "Terserah kau."Nola bangkit dari sofa, bergerak menuju kotak obat yang ada di pojok ruangan. Dia mengambil beberapa obat untuk luka dan memar Jones. Lalu, meminta Jones untuk duduk di sofa di dekatnya.Jones menurut, meski dengan hati yang kesal."Buka bajumu juga, Jones. Sepertinya tadi Edgar juga memukul perutmu," ucap Nola membawa obat untuk memar di tangan kanannya.Jones mendesah kasar. "Tidak perlu. Obati saja mukaku.""Kau pilih membuka bajumu sendiri, atau aku yang akan membukanya?" tanya Nola yang segera dibalas tatapan tajam oleh Jones."Aku bilang tidak perlu ya tidak perlu!""Baiklah aku yang akan membuka bajumu." Nola menjulurkan kedua tangan ke arah Jones setelah meletakkan obat yang dia bawa ke meja.Jones buru-buru mencegah
Edgar mengetuk pintu kamar Lolita berulang kali saat dia mendengar suara isakan gadis itu lirih dari luar. Tapi, Lolita tidak mau membukakan pintu kamarnya untuk Edgar."Maafkan aku, Lolita. Aku tidak bermaksud menuduhmu. Maafkan aku. Ada sesuatu yang terjadi di perusahaan sehingga emosiku tidak terkendali. Aku tidak mengira jika pemikiran bodohku itu keluar begitu saja dari mulutku. Maafkan aku, Lolita. Buka pintunya, aku ingin bicara denganmu," pinta Edgar sambil mengetuk pintu kamar Lolita pelan."Biarkan aku sendiri dulu, Om. Jangan menggangguku!" teriak Lolita membalas dari dalam.Lolita terisak. Dia memeluk bantalnya erat. Dia benar-benar kecewa karena Edgar menuduh Lolita sudah berhubungan badan dengan Jones. Lolita tidak seperti itu. Dia bahkan tidak mau disentuh oleh Jones, karena dia tahu ada hati Edgar yang harus dia jaga. Tapi, Edgar justru mengatakan hal yang sangat menyakitkan, yang membuat hati Lolita terluka."Memangnya aku apa? Perempuan murahan? Apa selama ini Om Edg
Edgar terkena insomnia lagi. Selama dia tidur dengan Lolita, dia selalu berhasil tidur nyenyak. Tapi, kali ini di saat dia tidur sendirian di kamarnya, dia tetap terjaga semalaman. "Huh, menyebalkan." Edgar beralih ke posisi menyamping. Kembali telentang. Dia terus begerak tak nyaman di atas kasur. Terlampau geram, Edgar memilih bangun dan mendudukkan dirinya di depan meja kerjanya. Meraih salah satu buku dan membacanya perlahan. Berharap itu bisa membuatnya mengantuk. Tapi, sialnya dia justru teringat Lolita. Gadis itu begitu menggemaskan saat menolak membaca buku tebal Edgar, dan menyerah lebih dulu."Apa dia tidur dengan nyenyak?" tanya Edgar nyaris bergumam. Dia sedang membaca buku, tapi pikirannya sedang melayang menuju Lolita.Sedang, Lolita dia juga tidak bisa tidur sama sekali. Di kepalanya masih terngiang-ngiang ucapan Edgar yang begitu pedas dan tajam. "Awas saja, Om. Aku akan mendiami Om selama satu minggu," desisnya kesal.***Pagi harinya. Lolita tak keluar dari kamarny
Edgar pulang bekerja. Dia membuka pintu apartemen dan mendesah berat saat tak menemukan Lolita di ruang tamu. Sepertinya gadis itu masih marah padanya.Edgar membawa langkahnya menuju kamarnya. Dia menyempatkan diri untuk mengintip Lolita dari sela pintu kamar gadis itu yang tak terkunci.Edgar mengulas senyum saat melihat Lolita duduk di depan meja sambil bermain ponselnya.Lolita sedang berkirim pesan dengan ayahnya. Roy tidak bilang pada Lolita jika dia akan pulang lebih cepat, dia lebih memilih menceritakan tentang babi-babi peliharaan ibunya yang kembali berulah.Edgar meneruskan langkah ke kamarnya sendiri. Dan menyegarkan tubuhnya di bawah pancuran shower. Dia membiarkan rambutnya basah terkena air. Dia memejamkan kedua matanya, dan tersentak oleh pemikirannya sendiri. Mungkin, setelah ini dia akan pergi ke kamar Lolita, kembali meminta maaf dan menggodanya.Membayangkan dia dan Lolita saling berpelukan membuat Edgar menjadi bersemangat. Dia segera menyelesaikan mandinya. Dan
Lolita tersenyum saat Edgar mengecup keningnya sebelum pria itu berangkat bekerja. Edgar bersikap sangat manis sekarang dan penuh kehati-hatian."Aku berangkat dulu ya, Lolita. Aku akan pulang lebih cepat," ucap Edgar sambil memeluk erat Lolita."Iya, Om," balas Lolita ikut memeluk Edgar.Edgar melepaskan pelukannya. Mencium bibir Lolita singkat, lalu berderap pergi.Lolita tetap mempertahankan senyumnya sampai Edgar lenyap dari pandangannya.Edgar melajukan mobilnya dengan kecepatan standar menuju perusahaannya.Edgar memutar musik agar tidak merasa bosan di jalanan. Dia menyalakan musiknya, tapi setelahnya dia langsung mematikannya.Musik itu mengingatkan Edgar dengan masa-masa sekolahnya dulu, bersama dua sahabat terbaiknya. Jones dan Roy.Saat itu mereka bertiga begitu suka mencoba hal-hal yang baru bersama. Dia juga mengenal Nola dari Jones. Nola mulai sering menghabiskan waktunya bersama Edgar, Jones, dan Roy. Masa-masa sekolah yang cukup indah sampai suatu ketika ….Jones mulai
"Winter!""Ya, Mom," balas Winter berlari ke arah Lolita yang duduk di sofa ruang tamu.Winter sekarang sudah remaja. Tingginya bahkan sudah melebihi tinggi Lolita. Senyumnya teramat manis, dan memiliki mata biru yang indah yang dia turunkan dari Edgar."Ada apa, Mom?" tanya Winter saat sudah berdiri di hadapan ibunya.Lolita saat ini sedang hamil tua. Dan dia sedang ingin makan sesuatu. "Felix ingin makan kue coklat. Bisakah kau membelikannya, Winter?"Winter memutar matanya malas. Dia lalu menatap perut ibunya yang sudah besar. "Bukan Felix yang ingin, tapi Mommy kan?"Lolita terkekeh pelan. "Kau tahu saja. Anggap saja yang ingin Felix. Kau harus membelikannya sekarang. Adikmu ini akan menendang-nendang kalau tidak segera dituruti permintaannya.""Baiklah. Aku pergi dulu, Mom." Winter berpamitan keluar pada Lolita setelah menerima uang dari Lolita. Karena Edgar masih belum pulang kerja, jadi dirinya yang bertugas menjaga ibunya yang hamil.Winter naik ke mobilnya yang menjadi hadiah
Edgar dan Lolita kini sudah sampai di New York. Mereka akan meninggalkan bandara dan pergi menuju apartemen Jones untuk menjemput Winter."Tidak terasa satu minggu sudah berlalu. Aku sangat merindukan Winterku. Dia juga pasti akan merindukan Daddynya ini," tukas Edgar menghela napas lega sambil menggiring kopernya.Lolita mengangguk pelan. "Aku sudah tak sabar memeluk Winter lagi. Semoga dia tidak marah pada kita karena sudah meninggalkannya cukup lama."Edgar mengedikkan kedua bahunya samar. "Dia tidak akan marah. Aku sudah menyiapkan banyak mainan untuknya. Dan lagi pula Winter kan suka pria tampan. Sudah pasti dia tidak marah, dan justru senang karena tinggal bersama Jones dan Franklin."Lolita mengerucutkan bibirnya. "Tetap saja. Bagaimana kalau dia justru bertanya kita pergi ke mana? Dan kita melakukan apa selama kita pergi? Apa yang harus aku jawab, My Husband?"Edgar mengulas senyum. "Bilang saja kalau kita sedang ada urusan pekerjaan. Kita mencari uang untuk membelikan mainan
Sudah lima hari Winter dan Boy tinggal di apartemen Jones. Kedua anak kecil ini selalu saja berbuat ulah, membuat Jones serta Franklin jadi kehabisan stok kesabarannya. Tapi, Jones dan Franklin berusaha untuk tetap menekan amarahnya setiap kali menghadapi dua bocah ajaib itu.Untung saja Winter dan Boy sudah menjadi lebih akrab. Jones dan Franklin jadi tidak perlu harus menemani mereka bermain. Yah, walau kadang kali Winter masih suka usil sampai membuat Boy menangis. Jones mendesah pelan. Dia dipusingkan oleh urusan perusahaan, ditambah dia juga harus mengurus Winter dan Boy. Kurang dua hari lagi, orang tua kedua bocah itu akan kembali. Dan di saat itu tiba, Jones akan tidur seharian untuk menukar tidurnya yang akhir-akhir ini selalu terganggu."Papa Kuda," panggil Winter berlari ke arah Jones yang baru saja mengistirahatkan tubuhnya di sofa.Jones yang awalnya membaringkan punggungnya ke sofa, segera menegakkan punggungnya kembali saat Winter sudah sampai di depannya. "Ya, Winter.
Sore harinya. Edgar dan Lolita menikmati sunset di pantai. Mereka duduk di pinggir pantai sambil menyesap minuman mereka.Edgar melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Lolita. "Sunsetnya sangat cantik ya, My Lovely."Lolita mengangguk mengiyakan. "Iya, My Husband.""Secantik kau," balas Edgar membuat Lolita tersipu."My Husband bisa aja." Lolita mencubit lengan Edgar pelan.Edgar lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Lolita, lalu berbisik, "Nanti malam aku mau lagi, My Lovely."Lolita mengernyit tak paham. "Mau apa?""Mau bercinta lagi denganmu," jawab Edgar mengulas senyumnya.Lolita bergeleng pelan. "My Husband, aku masih lelah. Tidak bisakah kita undur besok malam saja? Kita kan masih lama di Hawaii.""Baiklah. Aku akan menahannya, Lolita." Edgar menampakkan wajah kecewa.Lolita merasa gemas dengan Edgar yang seperti itu. Dia mencium bibir Edgar singkat dan tersenyum. "Begitu dong, sekali-sekali My Husband mau menurut."***Menjelang malam, Jones dan Franklin sibuk dengan balita
"Ahh …. My Husband. Lagi. Lakukan lagi. Ini sangat nikmat." Lolita memejamkan kedua matanya saat Edgar menggenjot dirinya.Edgar semakin bersemangat. Dia sudah mencapai klimaksnya sampai dua kali, tapi dia tidak mengalami kelelahan sama sekali, dia justru semakin semangat dan semakin cepat menggerakkan miliknya pada milik Lolita. Sampai dia mencapai klimaksnya lagi bersamaan dengan Lolita."Thanks, My Lovely. Aku benar-benar senang bisa bercinta lagi denganmu." Edgar tersenyum, kemudian mencium bibir Lolita. Lolita balas tersenyum saat Edgar sudah melepaskan ciumannya. ***Nola dan Robert berjalan cepat dan tergesa-gesa karena takut terlambat jadwal penerbangannya ke Bali. Nola menggendong Boy yang sedang tertidur, sedang Robert membawa dua tas besar berisi semua keperluan Boy, termasuk mainan milik Boy. "Jones!" panggil Nola memencet bel apartemen Jones. Dia hendak memecet lagi saat Jones tak kunjung menyahut dari dalam, tapi diurungkan oleh kedatangan Franklin.Franklin mengerutk
Waktu berjalan begitu cepat, dan saat yang paling ditunggu-tunggu Edgar akhirnya datang juga. Honeymoonnya dengan Lolita.Lolita yang awalnya ingin menunggu Winter berusia tiga tahun dulu, barulah dia dan Edgar akan pergi honeymoon. Memundurnya lagi satu tahun, karena dia begitu sibuk merawat Winter. Dan sekarang, tepatnya hari ini Lolita dan Edgar memutuskan akan pergi honeymoon ke Hawaii setelah sempat tertunda.Minggu lalu mereka baru saja merayakan ulang tahun Winter yang ke empat tahun. Mereka juga sudah memberitahukan rencana berlibur mereka pada Winter, tapi tidak mengatakan kalau sebenarnya yang mereka akan lakukan adalah honeymoon. Winter mengiyakannya, meski dengan syarat Edgar harus membelikan banyak mainan baru untuknya saat pulang nanti. Tentu, itu permintaan yang sangat gampang bagi Edgar. Dia langsung menyanggupi permintaan Winter dengan enteng.Kini Lolita dan Edgar pergi bersama Winter kecil ke apartemen Jones."Jones," panggil Edgar saat dia sudah sampai di depan apa
"Tidak!" tolak Edgar dengan satu kata yang tegas, singkat, dan tak terbantahkan saat Jones meminta izin padanya untuk membawa Winter selama satu hari.Jones mendengus kecewa. "Satu jam saja kalau begitu," ucapnya memelas.Edgar sekali lagi bergeleng. "Aku tidak akan mengizinkan kau membawa Winterku, Jones. Kau hanya boleh melihatnya di apartemenku seperti sekarang ini."Jones mendengus sekali lagi. "Baiklah. Benar kata Roy, kau lebih posesif."Edgar berkacak pinggang. "Kau baru tahu, huh?""Tidak. Aku sudah tahu dari dulu," balas Jones datar. Dia lalu mendekati Winter lagi."Winter, ini Om Jones," ucap Jones tersenyum lebar. Dia melambaikan tangan pada Winter, berharap bayi mungil itu melihat ke arahnya dan tersenyum untuknya.Edgar bergeleng pelan mendapati apa yang Jones lakukan. Dia berderap ke samping Jones. "Winter baru saja lahir, pandangannya masih kurang jelas. Jadi, kau tak perlu berharap Winter bisa membalas senyummu itu."Jones mengangguk paham. "Iya. Aku akan menunggu dia
Delapan bulan berlalu. Nola dan Robert kini sedang berada di rumah sakit, menanti kelahiran bayi mereka. Jones menunggu dengan tak sabaran bersama Franklin di ruang tunggu.Semenjak berita Gio dan keluarga Brown ditangkap karena kasus penyelundupan narkoba, Jones merasa tenang karena keadaan perusahaannya menjadi lebih baik dan lebih kondusif.Jones menoleh pada Franklin yang sibuk bermain dengan ponselnya. "Bagaimana? Apa Lolita juga akan melahirkan?" Franklin menurunkan ponselnya dari pandangannya. "Lolita masih melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Dokter memperkirakan Lolita akan melahirkan besok pagi."Jones mengangguk paham. Dia spontan menatap pintu ruangan di mana Nola ditangani, karena tiba-tiba suara bayi menangis terdengar dari arah sana."Aku akan benar-benar dipanggil Om setelah ini," tukas Jones tersenyum.Robert keluar dari ruangan dengan senyum bahagianya. Dia menutup pintu ruangan kembali dan langsung berlari ke arah Jones."Tuan Jones, Tuan Franklin. Boy sudah lahir
"Apa yang sudah kau lakukan selama ini, Gio? Kenapa kau lengah, huh? Apa kau tahu semua orang-orang Daddy dipecat secara tidak terhormat oleh Jones?"Gio membulatkan matanya saat mendengar ucapan ayahnya. Dia sedikit berbisik agar Jones dan Valen tidak mendengar perkataannya. "Bagaimana bisa hal itu terjadi, Dad? Setahuku Jones akhir-akhir ini lebih sering menghabiskan waktunya bersama wanita-wanitanya. Dia bahkan tidak pernah pergi ke perusahaan selama aku mengikutinya.""Kau bodoh! Jadi, pekerjaanmu hanya mengikutinya saja?!" Suara ayah Gio membalas dengan suara yang keras. "Huh … aku menyesal sudah memilihmu, Gio. Aku harusnya menyerahkan semuanya pada anak kakakku, dan bukan kau. Kau hanya beban bagi keluarga Brown."Gio menggigit bibir bawahnya keras-keras. Dia menurunkan ponselnya dari telinganya setelah ayahnya memutuskan telepon sepihak. Dia mengepalkan kedua tangannya sambil terus berpikir, bagaimana bisa Jones melakukan itu? Bagaimana pria yang tahunya hanya bersenang-senang