Happy Reading*****Sebelum prosesi akad dilanjutkan, beberapa orang masuk dengan didampingi karyawan yang dipekerjakan oleh keluarga Rini. Ternyata sang pemilik rumah sengaja mengundang beberapa tetangga untuk menyaksikan prosesi pernikahan putri semata wayang mereka yang terbilang sederhana.Rini duduk di sofa terpisah dari Agung. Para wanita juga melakukan hal sama,mereka berkumpul di ruang tengah sambil menunggu Agung mengucapkan akad. "Baiklah karena semua ornag sudah hadir, kita bisa lanjut lagi prosesinya," kata sang penghulu yang mendapat angukan serta ucapan setuju dari semua orang.Agung benar-benar tidak menyangka jika pernikahannya akan berlangsung mendadak seperti pernikahan Kiran dan Amir. Dia sedih sekaligus bahagia. Sedih karena tidak bisa memberikan pernikahan yang berkesan dan bahagia karena statusnya sebentar lagi akan berubah menjadi suami.Setelah mengucap basmalah, papanya Rini mulai mengucap akad dipandu oleh sang penghulu yang duduk tepat di sampingnya. Tak bu
Happy Reading*****Setelan rok cokelat tua dan juga blazer dengan warna lebih muda dipadu dengan jilbab senada membuat perempuan pemilik nama Kirani Aina Apsarini mantap memasuki kantor baru. Sudah lama si gadis mengajukan perpindahan pada sang atasan agar bisa berkumpul satu kantor dengan sahabatnya yang bernama Fitriya. Sebelum turun dari motor, Kiran melirik arloji yang terpasang pada tangan sebelah kiri. "Alhamdulillah, aku enggak telat karena musibah tadi," katanya sendirian.Harusnya, gadis itu bisa datang lebih awal jika tidak ada tragedi ban bocor. Melangkah dengan mantap disertai bacaan basmalah, dia masuk ke kantor baru. Sampai di depan meja resepsionis, terdengar suara menggelegar oleh inderanya. "Kalian niat kerja apa nggak? Gimana perusahaan mau maju jika karyawan bekerja seenak udelnya. Dengar, ya! Disiplin itu kunci sukses. Jangan sepelekan!" ucap seorang lelaki dengan kemeja warna kuning gading. Keras disertai sorot tajam dan wajah menyeramkan. Kiran berdiri memat
Happy Reading*****Keluar dari ruangan si Bos, sekujur tubuh Kiran dibanjiri keringat. Jilbab yang dikenakannya saja terlihat basah di bagian kepala padahal dia menggunakan dalaman jilbab. Si gadis berjalan gontai menuju ruang produksi yang disiapkan untuknya, diantar Syaif. Satu senyuman diberikan oleh sang manajer HRD pada seorang perempuan yang mejanya bersebelahan dengan meja Kiran. Gadis itu melirik dan saat itulah wajahnya berubah. Dua perempuan itu saling melempar senyum."Apa kalian saling mengenal?" tanya Syaif."Dia sahabat saya, Pak," jawab gadis di hadapan si manajer yang bernama Fitriya."Oo, begitu. Tolong bantu dia, Fit. Jelaskan apa-apa yang harus dikerjakan di sini. Walau di pusat dia sudah ahlinya, tapi keadaan di cabang berbeda.""Siap, Pak." Fitri antusias menyambut sahabatnya. "Saya tinggal dulu. Selamat bekerja, semoga kamu betah berada di cabang ini," kata Syaif sambil mengulurkan tangan pada Kiran. Namun, ditolak secara halus oleh gadis dengan menangkupkan
Happy Reading*****"Saya, Pak," ucap Kiran gemetaran disertai jari telunjuk yang mengarah ke wajah. Amir menutup teleponnya dan menatap gadis itu lekat. "Iya kamu. Siapa lagi yang ada di sini selain dirimu, dasar cewek aneh.""Ada apa, Pak?" Kiran masih gemetaran, tangannya meremas ujung blazer. "Taruh kunci ini di meja ruanganku," kata Amir yang langsung berbalik arah menuju parkiran. Namun, beberapa langkah kemudian, dia berbalik menoleh pada Kiran. "Terima kasih." Setelahnya dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari si gadis."Untung dia enggak marah karena kejadian tadi," kata Kiran. Gadis itu bernapas lega karena si bos tidak mengungkit kejadian di kafe tadi.Sepeningal si bos, Kiran tak langsung memenuhi permintaan tersebut. Gadis itu memilih berdiam di pos satpam beberapa menit, berusaha menetralkan ketakutannya. Beberapa saat setelahnya, barulah masuk dan menuju ruangan si bos. Takut-takut perempuan berjilbab itu membuka pintu berwarna biru wardah yang bertuliskan
Happy Reading*****Kiran memukul lengan sahabatnya pelan. Gemas sekali karena Fitri terus mengolok-oloknya memiliki hubungan spesial dengan si bos. Mereka berdua terus bersenda gurau hingga Kiran mendapat chat dari Wijananto."Kerja, yuk. Big Father udah ngasih warning," ucap Kiran."Sayang banget kayaknya beliau sama kamu. Jangan-jangan, kamu benar-benar punya hubungan spesial sama sang putra mahkota." Fitri mencolek dagu sahabatnya, menggoda Kiran."Berhenti, enggak!" Tangan Kiran siap memukul Fitri, sengaja menakuti gadis itu. Fitri menjulurkan lidah ketika pukulan sahabatnya bisa ditangkis. Dia lebih cepat menggerakkan kursi, pindah posisi."Kerja ... kerja biar nggak ditelpon si bos lagi. Ntar dikata kita bercanda terus," ucap Fitri setelah puas menggoda sahabatnya."Hmm, padahal dia sendiri yang ngajak guyon dari tadi," sahut Kiran. Walau mulutnya berkata demikian, tetapi tangannya sudah mulai menari dia tas keyboard komputer, menyelesaikan tugas dari sang atasan di pusat.Ke
Happy Reading*****Pulang dengan rasa jengkel, Kiran melajukan motornya dengan cepat. "Kok, ada lelaki menyebalkan seperti itu?" gerutunya sepanjang perjalanan. Mungkin, jika bukan karena ingin dekat dengan Fitri, Kiran akan minta mutasi lagi ke pusat. Dia tidak mau bekerja dalam tekanan dan bertemu dengan Amir setiap hari.Mengucap salam ketika memasuki rumah, Kiran melihat wajah teduh perempuan yang telah melahirkannya. Segera memeluk perempuan paruh baya itu dengan segenap jiwa. "Eh, ini kenapa?""Bentar saja, Bu." Kiran mengeratkan pelukannya."Tumben, sih." Perempuan paruh baya dengan daster rumahan itu mengajak putrinya duduk di sofa ruang tengah sambil memeluk. "Lagi ada masalah di kantor, ya? Nggak biasanya kamu pulang kerja manja gini."Bukannya malu dikatakan manja, Kiran malah meletakkan kepalanya di pangkuan sang ibu. "Enggak ada masalah, Bu. Cuma agak capek saja. Maklum, pertama kerja di kantor baru, butuh banyak penyesuaian."Selalu, Kiran berusaha menutupi semua yan
Happy Reading*****Semua mata kini tertuju pada si gadis berjilbab. Wajah Kiran memucat seperti kekurangan darah. Dia tidak bisa lagi mengelak. Melihat sang sahabat dengan keadaan menyedihkan seperti itu, Fitriya bangkit dari tempat duduk, mendekati sahabatnya. "Ran, kenapa kamu melakukan kesalahan ini?" bisik Fitriya ketika berhasil memeluk sang sahabat.Kiran berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Tatapannya kini mengarah pada si bos. Sekuat tenaga, Kiran bersikap kuat dan tidak takut."Saya cuma mau ke toilet. Apa pantas Bapak bertanya sekeras tadi?" Kiran langsung membuka pintu ruang meeting tanpa mendengar jawaban dari Amir. Amir menatap kepergian Kiran dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Mencoba menetralkan suasana dengan melanjutkan pembahasan sebelumnya. Suasana ruangan tersebut kembali tegang. Si bos bersikukuh untuk melanjutkan peraturan baru yang sudah dia utarakan sebelumnya. Walau banyak yang keberatan, nyatanya hal tersebut tidak membuat Amir menguba
Happy Reading*****"Auw," ucap Kiran. Memegang lututnya yang terasa begitu nyeri. "Hati-hati, Mbak," ucap salah satu karyawan bagian pengemasan yang berada tak jauh dari Kiran."Iya, Bu. Terima kasih sudah membantu." Kiran langsung berjalan cepat menjauh Amir padahal jelas-jelas kakinya terseok-seok saat berjalan."Sepertinya, dia ketakutan ketika bertemu Pak Amir. Siapa dia?" tanya tamu yang dibawa Amir tadi."Dia salah satu karyawan saya yang mengepalai bagian produksi," terang si bos. Berusaha menjawab pertanyaan tamunya senormal munkin karena dia sendiri tidak tahu sebab pastinya mengapa Kiran selalu bertinkah aneh saat bertemu."Oh. Harusnya, dia nggak perlu lari seperti tadi. Jika dia menyapa Anda dan berkolaborasi untuk menjelaskan semua detail produksi yang dilakukan di perusahaan ini, tentunya akan semakin bagus. Saya pasti lebih puas mendengar penjelasan dari kalian berdua." Lelaki berkemeja navy itu tersenyum."Dia masih baru di sini, Pak. Walau sudah lama bekerja di kant
Happy Reading*****Sebelum prosesi akad dilanjutkan, beberapa orang masuk dengan didampingi karyawan yang dipekerjakan oleh keluarga Rini. Ternyata sang pemilik rumah sengaja mengundang beberapa tetangga untuk menyaksikan prosesi pernikahan putri semata wayang mereka yang terbilang sederhana.Rini duduk di sofa terpisah dari Agung. Para wanita juga melakukan hal sama,mereka berkumpul di ruang tengah sambil menunggu Agung mengucapkan akad. "Baiklah karena semua ornag sudah hadir, kita bisa lanjut lagi prosesinya," kata sang penghulu yang mendapat angukan serta ucapan setuju dari semua orang.Agung benar-benar tidak menyangka jika pernikahannya akan berlangsung mendadak seperti pernikahan Kiran dan Amir. Dia sedih sekaligus bahagia. Sedih karena tidak bisa memberikan pernikahan yang berkesan dan bahagia karena statusnya sebentar lagi akan berubah menjadi suami.Setelah mengucap basmalah, papanya Rini mulai mengucap akad dipandu oleh sang penghulu yang duduk tepat di sampingnya. Tak bu
Happy Reading*****Agung mulai resah, pasalnya tidak pernah menyangka kalau akan ditodong dengan pertanyaan seperti tadi. Selain itu, dirinya juga tidak memiliki persiapan apa pun juga untuk menikah. Melihat ke arah ibunya, Nur cuma menjawab dengan senyuman. Mungkin sama seperti dirinya, perempuan paruh baya itu juga syok mendengar permintaan papanya Rini. Agung pun beralih menatap Kiran dan Amir, mereka berdua langsung menganggukkan kepala tanda setuju. Demikian juga dengan Farel, si bungsu juga mengangguk sebagai tanda persetujuan dengan rencana papanya Rini."Jadi, gimana Mas Agung?" tanya sang kepala keluarga, memastikan bahwa putri dimiliki oleh orang yang tepat ketika dia meninggalkan negaranya."Ehmm," gumam Agung sambil menggaruk kepala yang tak gatal."Gini aja, Gung. Kalau kamu ragu dengan mahar yang diberikan pada dokter Rini, kamu bisa memberikan cincin berlian yang tadi dibawa sebagai maharnya," saran Wijananto seolah mengerti keresahan hati sulung keluarga Kiran.Senyu
Happy Reading*****Ketika sampai di rumahnya, Nur tidak diperkenankan sama sekali ikut berbelanja oleh-oleh yang akan dibawa ke rumah Rini. Sebagai gantinya, pihak keluarganya meminta bantuan Laila. "Kenapa, sih, Ibu nggak boleh ikut? Ibu, kan juga pengen memilih barang-barang yang akan diberikan pada calon istrimu, Mas," protes Nur pada putra sulungnya."Ibu di rumah saja, kan, belum benar-benar sehat. Nanti, kalau Ibu ikut nyari oleh-oleh terus kecapean dan sakit lagi. Mas, juga akan kena marah sama calon menantu Ibu. Kiran sama Farel pasti ikut memarahi, Mas," jelas Agung."Hmm, padahal calon menantu Ibu sendiri yang ngomong kalau kondisi Ibu sudah sangat sehat," protes Nur, masih kekeh supaya diperkenankan ikut berbelanja. "Kalau Ibu ikut kami berbelanja sekarang, nanti malam nggak bisa ikut ke rumahnya Dokter Rini, ya," sahut Kiran yang sudah berdiri di belakang saudara sulungnya. "Ibu sama Farel aja. Adik, nggak ikut, kok. Mbak Kiran juga nggak ikut," tambah si bungsu. "Kam
Happy Reading*****Semua orang menjadi tegang setelah mendengar suara lelaki paruh baya yang diketahui adalah papanya Rini. Kiran bahkan sampai memeluk suaminya erat saking takutnya mendengar perkataan tadi. Trauma yang dimilikinya belum sepenuhnya sembuh, Kiran terkadang masih sedikit bergetar ketika mendengar suara keras yang dikeluarkan seseorang. "Mas, kenapa papanya dokter Rini, kok, marah," kata Kiran di pelukan sang suami. "Mas, juga nggak tahu kenapa, Sayang. Sstt. Jangan takut, ya.Pasti ada kesalahpahaman, kita lihat saja," bisik Amir sambil mengelus puncak kepala sang istri penuh kasih sayang.Sementara itu, Agung menatap Satya penuh permohonan supaya ponsel yang dipegang beralih ke tangannya. Rini sendiri juga kaget melihat dan mendengar reaksi sang papa yang terkesan marah padahal semalam lelaki berkumis itu begitu bahagia mendengar semua ceritanya tentang Agung.Satya menjulurkan ponselnya pada saudara tertua Kiran. Ketika Agung bisa bertatap muka secara langsung denga
Happy Reading*****Satya melepaskan tangannya dari leher si dokter tampan. Senyumnya makin lebar ketika mendengar penuturan Agung. Dia semakin yakin jika lelaki di sebelahnya itu adalah orang yang tepat untuk mendampingi adiknya. Memberikan isyarat mata untuk segera pergi, Agung mengikuti langkah calon kakak iparnya. Di persimpangan lorong rumah sakit, mereka berpisah setelah Satya memberikan kontaknya."Aku tunggu kedatanganmu di rumah Papa," ucap si dokter sebelum benar-benar meninggalkan Agung."Insya Allah, besok sore aku akan berkunjung. Sampaikan salamku pada kedua orang tua dokter Rini," sahut Agung.Kembali ke ruang UGD untuk mengecek keadaan ibunya, Agung tak menemukan satu pun anggota keluarganya. "Eh, ke mana mereka semua?" gumam Agung. Mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi salah satu anggota keluarganya, Agung memutuskan menelepon Farel."Ya, Mas," kata Farel di seberang sana."Dik, kalian ada di mana? Kenapa Mas nggak melihat Ibu dan lainnya.""Ibu sudah dipindahkan
Happy Reading*****Kali ini, reaksi berbeda ditunjukkan oleh Rini. Perempuan itu terlihat seperti takut dan tidak nyaman mendengar sapaan seorang dokter lelaki berperawakan tinggi serta berkacamata."Masih berani gangguin adikku?" kata Satya dengan raut muka marah dan menyeramkan."Siapa juga yang gangguin adikmu. Aku cuma menyapa saja. Apa nggak boleh?" Bukannya takut, lelaki yang berprofesi sama seperti Rini dan Satya itu malah memasang senyuman."Nggak boleh. Ingat, ya, aku bisa saja melaporkan lagi perbuatanmu yang dulu itu," sahut Rini sambil menggeser posisi berdirinya agak ke belakang sehingga tubuh saudara sepersusuannya menjadi tameng penghalang dari lelaki yang baru saja menyapanya.Sementara itu, Agung masih diam terpaku di tempatnya berdiri sambil menatap dan mendengarkan apa yang diobrokan oleh ketiga dokter di depannya. Dia juga mulai menyimpulkan sendiri bahwa dokter yang baru saja menyapa Rini tersebut pasti memiliki suatu hubungan di masa lalau dengan gadis yang ingi
Happy Reading*****Agung dengan cepat menjulurkan tangannya. "Kenalkan, nama saya Agung. Saya adalah lelaki yang sedang mencoba mendekati Dokter Rini dan berniat menjadikan beliau istri," ucapnya penuh percaya diri.Perempuan berpakaian serba putih itu membulatkan mata ketika mendengar pengakuan Agung. Heran juga kenapa lelaki yang baru dikenalnya itu bisa begitu percaya diri mengatakan hal demikian. "Saya, Satya," ucap lelaki yang berpakaian sama seperti Rini. Setelah memperkenalkan diri dan menjabat tangan Agung. Lelaki pemilik nama Satya itu menoleh pada Rini. "Selamat, ya, Dek. Akhirnya ada lelaki yang berani dengan tegas mengatakan sedang ingin mendekatimu.""Ih, Mas Satya apaan, sih." Rini terlihat makin manja dengan melingkarkan kedua tangannya pada pergelangan Satya.Tangan Agung terkepal. Walau perempuan di depannya belum resmi mengakatan menerima ajakannya menikah, tetapi tal seharusnya dia bertindak kelewat mesra di depan Agung seperti sekarang. Lelaki mana yang tidak ak
Happy Reading*****Sang dokter menarik garis bibirnya setinggi mungkin, pipinya mulai terasa panas. Mungkin saat ini sudah kemerahan akibat perkataan Agung dan pertanyaan Kiran tadi."Dok, apa benar yang dikatakan putra saya?" tegas Nur. Kebahagiaan itu tidak bisa membohongi, raut wajahnya bersinar walau keadaan tubuh sedang tidak baik-baik saja.Sang dokter yang beberapa saat lalu sempat berbincang tentang masalah pribadi dengan Agung, mulai bingung harus menjawab apa. Pasalnya, dia belum mengatakan apa pun keputusannya dan si lelaki juga tidak pernah mengatakan bahwa dia akan melamarnya. Jadi, mana mungkin dokter bernama Rini itu akan mengiyakan perkataan Nur.Melihat kebingungan Rini, Kiran nyeletuk, "Mas saya asal bicara kayaknya. Maaf, ya, Dok.""Ish, Mas," kesal Laila pada putra sulungnya. "Kenapa mesti berbohong, sih?""Mas, nggak bohong, Bu. Cuma, mungkin dokter Rini malu kalau ditodong pertanyaan secara langsung seperti tadi," sahut Agung, "iya, kan, Dok?""Mas, bukan begitu
Happy Reading*****Kiran menatap benci pada perempuan yang telah berteriak tadi. Amir langsung menghampiri sang istri dan merangkulnya. Lelaki itu tidak ingin Kiran meluapkan semua emosinya."Sayang, sabar," bisik Amir.Kiran menipis rangkulan sang suami. Lalu, menatap sang lelaki dengan kesal. "Mas, aku cuma membela keluargaku. Jangan sampai ada orang sepertinya yang mengatakan seenaknya saja. Apa salahnya Farel sampai dia berkata sekasar tadi?""Oh, rupanya kamu yang sudah menghasut sepupuku ini untuk memenjarakan mamaku?" tanya si perempuan sinis pada Kiran."Tutup mulutmu, Rin!" bentak Farel. Emosinya mulai naik akibat perkataan si perempuan yang sejak tadi berkata dengan keras.Agung menepuk bahu si bungsu. "Sabar, Dik. Ingat, ini rumah sakit," bisiknya. Lalu, lelaki yang seumuran Amir itu menatap perempuan berambut kecokelatan dengan tajam. "Siapa kamu sebenarnya? Jangan asal menuduh orang. Kamu bisa dikenakan pasal pencemaran nama baik. Kiran nggak pernah menghasut siapa pun