Chika mengerjap beberapa kali selepas mendengar pertanyaan itu. Guratan tipis di wajah Dimas seakan menjelaskan keseriusannya.
"Jelas gue mikirin perasaan lo. Gue juga yakin, kalau lo bisa ngehindar dari hukuman," kata gadis itu.Beberapa detik tak ada jawaban, Dimas menganggukkan kepalanya. "Iya, gue emang bisa menghindar," jawab Dimas sekenanya.Bisa dikatakan, jawaban Dimas barusan adalah jawaban sebagai pihak yang mengalah. Enggan untuk memulai perdebatan yang terasa sia-sia—untuk saat ini. Pun dengan senyuman singkatnya, Dimas menerima situasi yang dia dapatkan.* * *Kehidupan Chika saat ini terasa jauh lebih baik. Pasalnya, usai dia mengatakan apa yang mengganjal dalam hatinya, gadis itu kembali bersikap seperti sebelumnya. Bahkan, sekalipun berada di rumah, Chika tetaplah gadis yang ceria. Apalagi saat berada di sekolah, bertemu dengan Dirga bukanlah masalah lagi."Hai,"Itu adalah sapaannya pada kakak kelas sekaligus tetangganya untuk pertama kalinya disertai salah satu telapak tangan yang terangkat. Membuat Dirga hanya melihatnya tanpa memberikan reaksi apapun. Gadis itu melewati Dirga yang sedang duduk di depan kelasnya.Namun, baru beberapa langkah melewati laki-laki itu, kedua manik Dirga mendadak menangkap langkah Chika yang berubah mundur. Dengan tangan yang menyatu di depan tubuh, serta senyuman tipis, gadis itu berdiri di hadapan Dirga. Entah kenapa, Chika juga memiringkan kepalanya sebelum bersuara."Kenapa?" tanya Dirga."Gue punya penawaran bagus," jawabnya."Penawaran apa?"Senyumannya semakin lebar, membuat kedua pipinya semakin membulat. Kedua tangannya berpindah ke belakang sebelum menjawabnya."Lo belum pakai permintaan apapun ke gue," sejenak menjeda kalimatnya, Chika berdeham singkat. "Gimana kalau permintaan itu dihapus, dan gue bakal tutup mulut soal balapan lo?"Keningnya mengerut, sedikit terkejut dengan perkataan gadis itu. "Tau dari mana soal balapan gue?" tanya Dirga."Orang nggak dikenal aja bisa gue ubek-ubek informasinya, apalagi lo yang tetangga gue," jawab gadis itu.Dirga terdiam, dia tengah menggunakan kepalanya dengan penawaran yang diminta oleh Chika. Terlihat gadis itu yang memasang wajah cerah, seperti menunggu persetujuannya. Namun, beberapa menit selepasnya, Dirga menggeleng, dan salah satu tangannya ikut melambai guna mendukung penolakannya.Tentu saja, hal itu membuat harapan Chika hancur seketika. Wajahnya tertekuk kecut, melipat kedua tangan di depan dada. "Kenapa nggak mau? Rahasia gue aman, rahasia lo juga aman. Sama-sama menguntungkan, kan?""Lebih untung di lo, sih,""Gue jadi ragu lo suka sama gue," kata Chika.Dirga tertawa mendengarnya, dia menatap Chika yang masih memasang wajah kesalnya. Salah satu tangannya diletakkan pada kepala Chika, memberikan usapan lembut di sana."Rasa suka gue, nggak ada hubungannya sama penawaran itu," ucap Dirga sebelum memberikan tepukan ringan pada sisi kepala Chika.Belum saja tangan Dirga menjauh dari kepalanya, Chika justru menahan pergelangan tangan Dirga. Gadis itu menyadari Dirga menggunakan tangan kirinya, bersamaan dengan pandangannya yang terarah pada luka di pelipis kanan Dirga.Bukan hanya itu, Chika juga teringat akan luka yang berada di sudut bibir kiri Dimas. Entah kenapa, dia ingin mencurigai kedua laki-laki itu, hanya saja cukup ragu untuk bisa membuktikannya."Kenapa?" tanya Dirga mendadak.Mengedipkan matanya beberapa kali, Chika tersadar. Dia menggeleng dan melepaskan tangan laki-laki itu. Lantas dengan cepat Chika mengesampingkannya, kembali membahas persoalan mereka sejak awal."Kalau gitu, lo juga harus ngabulin tiga permintaan gue. Biar adil," pintanya."Ya udah, iya," Dirga memalingkan pandangannya. "Asal nggak minta gue buat ikut aksi lo," katanya."Lo salah, itu justru satu dari tiga permintaan gue," pungkas Chika yang langsung meninggalkan laki-laki itu.Chika menggigit jarinya saat kecurigaannya kembali muncul. Bagaimana bisa secara tiba-tiba Chika mencurigai Dimas yang memberikan luka di pelipis Dirga? Tapi, bagaimana dengan luka Dimas? Bahkan, Chika tak tahu apakah Dirga juga sama kidalnya dengan Dimas atau tidak.Gadis itu sedikit menjambak rambutnya saat sulit memikirkan hal tersebut. Toh, tak ada hubungannya dengan dia. Rasanya juga mustahil untuk mereka bertemu dan bertengkar. Pun dengan satu decakan kecil, Chika menghilangkan hal yang tak seharusnya dia pikirkan itu.Sedangkan Dirga yang masih berada di posisinya itu terdiam usai bertemu dengan Chika. "Mungkin ada bagusnya dia salah paham sama gue," gumam Dirga.Tubuhnya bersandar, lantas melipat kedua tangannya dengan hembusan nafas cukup panjang. Laki-laki itu hanya memikirkan cara supaya Chika tetap percaya bahwa dia menyukainya. Dia juga mulai memikirkan permintaan yang akan dia minta pada gadis itu."Apa dua permintaan lainnya, ya?" ucapnya yang masih bingung dengan sisa dua permintaan yang harus dikabulkan Chika.Dirga lelah dengan pemikiran tak berujungnya itu. Dia menepuk kedua pahanya sebelum bangkit dari tempatnya duduk guna berjalan masuk ke dalam kelasnya. Namun, baru saja meletakkan bantalan duduknya, teman sebangkunya melontarkan kalimat yang membuatnya menoleh kebingungan."Baru berapa hari sekolah di sini, udah dapet pacar aja," kata teman sebangku Dirga. "Adek kelas," ucapnya lagi.Ah, Dirga tahu siapa yang dimaksud temannya itu. Pun dengan begitu santai dia menjawabnya. "Oh dia. Hm, gue emang suka sama dia. Tingkahnya imut," kata Dirga disertai dengan anggukkan kepalanya.Temannya itu tersenyum senang, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dirga sendiri juga hanya menanggapi reaksi itu sekenanya. Toh, ini juga memperkuat rencananya untuk memastikan Chika tetap percaya dengan perasaannya."Udah berapa lama pacaran?""Belum pacaran. Gue juga baru sebulan suka dia,""Sebulan? Berarti udah kenal lama?"Dirga menaikkan alisnya sebelum memberikan jawaban terakhirnya itu. "Sekitar sebulan lebih sedikit. Karena gue baru jadi tetangganya dia," pungkasnya.Konversasi itu berlalu begitu saja, pembahasan tentang asmara Dirga juga telah berakhir. Akan tetapi, rasa penasarannya akan sesuatu tiba-tiba muncul. Pribadi itu tak bisa menahannya."Gue boleh nanya sesuatu, nggak?" tanya Dirga."Tanyain aja. Gue tau banyak tentang sekolah ini,"Senyuman singkat Dirga mendorong dirinya untuk tetap bertanya. "Kayak kejadian beberapa hari lalu, apa pernah ada murid sini yang dapet laporan dari luar sekolah?" tanya Dirga."Nggak banyak yang dapet. Biasanya mereka dari anak-anak pejabat, pengusaha, ya sejenisnya penguasa banyak duit," jawab temannya itu."Apa aja yang mereka lakuin di luar sekolah?"Laki-laki yang menjadi teman sebangku Dirga itu mengubah posisi duduknya menghadap Dirga sebelum menjawab pertanyaan itu. "Sejauh ini yang ketahuan cuma kekerasan. Tapi, sisa kejahatan lainnya belum terungkap, karena kurangnya bukti," jelasnya.Ini dia yang membuat Dirga bertanya-tanya kenapa Chika juga melakukan tindakan kriminal di luar sekolah. Mengingat perkataan Dimas tentang ayah Chika yang merupakan narapidana atas tuduhan penipuan."Apa yang bokapnya lakuin? Dan siapa bokapnya dia?" tanyanya dalam hati.Entah kenapa, Dirga merasa jika tak ada yang tahu siapa ayah Chika, atau bahkan perbuatan apa yang dilakukan ayahnya. Chika juga tak mendapat surat laporan apapun dari luar sekolah. Bukankah Chika masih distatus aman dari laporan?Sebuah buku catatan yang tertumpuk banyaknya buku pelajaran baru saja ditarik Chika. Peletakkannya di sana memang dia sengaja untuk menghindari sang ibu menyentuhnya. Kini ia berjalan ke meja belajarnya, membuka buku tersebut pada halaman yang telah dia beri batas. Nafasnya terbuang cukup panjang melihat profil seseorang."Kurang ajar apa nggak, ya? Dia yang paling tua," bimbangnya.Chika menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan tatapan ragu. Dia banyak mendesis ketika berusaha menggunakan otaknya. Pun dengan decakan kecil, Chika mengambil selembar kertas kosong untuk membuat skema awal.Tak peduli jika dia telah masuk tahun pelajaran, prioritas Chika terhadap balas dendamnya ini tetap berjalan. Lagipula, siapa yang bisa melihat orang tua yang tidak bersalah tapi dijebak dan dijerumuskan ke dalam penjara? Jika memang hukum lemah terhadap orang-orang kuat, maka Chika sendiri yang akan membuat orang-orang tersebut lemah.Keningnya mulai basah, lantaran dia menumpahkan seluruh fokusnya
Tunggu! Bagaimana Chika harus menafsirkan situasi saat ini? Atau mungkin indera pendengarannya terganggu?"Kencan?"Dirga menganggukkan kepalanya sebelum kembali bertanya. "Mau, nggak?"Sempat terbata, Chika justru mendorong tubuh Dirga. Dia juga tertawa canggung, seakan perkataan Dirga adalah lelucon belaka."Lo sendiri juga bilang tadi, seharusnya gue ngajak lo kalau mau dateng ke sini. Dan lo udah di sini," tutur Dirga."I-itu.."Chika sungguh gugup dan gagap saat ingin memberikan pembelaan. Bahkan, bisa dikatakan jika Chika tak bisa membela dirinya sendiri, lantaran dia mengakui apa yang dikatakan Dirga. Dia hanya bisa mengerjapkan maniknya, sesekali melirik ke arah Dirga yang masih menunggu jawabannya.Isi kepala gadis itu hanya ada dua jawaban yang harus dia pilih salah satunya. Namun, di sanalah letak masalahnya, Chika tak tahu harus memilih satu diantara keduanya."Itu berarti lo mau," kata Dirga yang langsung menarik pergelangan tangan Chika.Tanpa perlawanan, Chika juga hany
Sebuah lembar kertas yang tergulung tengah dibuka oleh pemiliknya. Di sana menampilkan adanya rencana untuk target mereka berikutnya. Di hadapan Chika, terdapat teman yang selalu ikut ambil bagian dalam setiap rencana.Keduanya tampak begitu sibuk, dengan apa yang Chika jelaskan. Dimas sendiri juga benar-benar meletakkan seluruh fokusnya untuk memahami setiap kata dan kalimat yang Chika ucapkan. Bahkan gerakan tangan gadis itu juga memberikan penjelasan lebihnya."Kemungkinan, yang ini bakal makan waktu lebih lama. Prosesnya nggak bisa cepet. Inipun udah paling cepet," tutur Chika."Kenapa gitu?"Chika melipat kedua tangannya, lantas menyandarkan tubuhnya dengan helaan nafas panjang. "Dia bukan orang yang gampang ditipu," jawabnya. Lantas menekuk alisnya sebelum kembali berbicara. "Penjagaannya juga agak ketat,"Dua penipu itu terdiam, dengan Chika yang masih menggunakan otaknya. Kedua manik gadis itu kembali menatap skemanya, tangannya bermain dengan pulpen yang dia benturkan ke waja
Perlahan keramaian tersebut semakin berkurang, yang mana membuat Chika juga segera meninggalkan tempat supaya tak menampilkan dirinya pada Dirga. Toh, yang terpenting adalah hasil dari balapan tersebut sudah cukup membuatnya kagum dengan kemampuan balapan tetangganya itu.Gadis itu berjalan keluar lokasi sirkuit, hendak mencari taksi. Hanya saja, semua taksi yang dicarinya melalui ponsel menolak pesanannya. Memang Chika akui, jarak antara sirkuit hingga rumahnya cukuplah jauh, ditambah banyak dari penonton balapan yang juga memesan taksi untuk mengantar mereka pulang."Di sini nggak ada taksi biasa yang lewat," ucapnya.Dengan pasrah, Chika berniat untuk berjalan sedikit jauh guna mencari taksi yang bisa dia tumpangi. Dia menghela lesu, tak ada satupun orang yang dia kenal ataupun mengenalnya yang bisa memberikannya tumpangan. Atau minimal sampai dia mendapatkan transportasi umum.Chika berjalan sembari memperhatikan kedua kakinya, sesekali menendang kerikil yang ada di depannya. Saki
Nafasnya tersengal saat berhasil membuat laki-laki yang membawa Chika itu menyerah dan pergi. Dengan seluruh tubuh yang basah akan keringat, Dirga segera berlari pada gadis yang masih terbaring di sebelah motornya.Dengan banyak cara Dirga menyadarkan Chika, sampai berniat untuk segera membawanya ke rumah sakit—apalagi dengan bekas kemerahan pada leher gadis itu. Namun, hanya selang beberapa menit setelahnya Chika membuka kedua matanya."Chika?" panggil Dirga.Pandangan keduanya bertemu, Dirga segera membantu Chika untuk duduk dan membiarkan gadis itu mengumpulkan seluruh kesadarannya. Betapa leganya Dirga ketika gadis itu tersadar. Dirga mengajak Chika untuk ke rumah sakit, namun gadis itu menolaknya dengan segera.Chikq menggelengkan kepalanya agar Dirga tidak membawa dirinya ke rumah sakit. Pasalnya, menurut Chika sendiri, tidak ada luka yang serius, sehingga meminta laki-laki itu untuk mengantarnya pulang."Pulang aja," pinta Chika.Dengan helaan nafasnya yang pasrah, akhirnya lak
Dengan seragam sekolah yang lengkap, Chika keluar dari rumahnya lebih awal. Hanya saja, usai berkendara beberapa meter, Chika justru mengambil jalur lain yang berlawanan dari jalurnya yang biasa dia lewati saat berangkat sekolah. Sepertinya tujuan awalnya memang bukan sekolah.Dan tempat yang ia datangi sepagi ini adalah rumah temannya, Dimas. Tiba-tiba sekali."Dim, masih tidur?" panggil Chika dari depan pintu.Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada, dia menunggu pintu tersebut sampai terbuka dan menampilkan Dimas yang tampak baru bangun dari tidurnya. Bahkan, dia masih mengumpulkan seluruh nyawanya ketika salah satu matanya terbuka dan mendapati Chika di sana."Pagi-pagi ngapain dateng ke sini?" tanyanya bersamaan dengan mulut yang menguap.Keduanya duduk berhadapan dengan penampilan yang berbeda. Chika masih mempertahankan posisi tangannya saat meletakkan bantalan duduknya."Gue mau nanya sesuatu," kata Chika. "Kalau laki-laki suka sama perempuan, tapi dia nggak ada niat b
Satu kaleng minuman isotonik adalah solusi terbaik untuk menghilangkan lelah dan hausnya usai melakukan olahraga untuk tetap membentuk tubuhnya. Keringatnya menetes, dengan nafas yang juga tersengal. Ini adalah salah satu caranya untuk meluapkan kekesalannya dengan apa yang ia tahu akhir-akhir ini.Masih mengatur nafasnya, secara mendadak salah satu pemain futsal lainnya datang dan mendekati laki-laki tersebut. Dan anehnya, laki-laki yang tidak dia kenal itu menyerahkan sebuah amplop berisikan foto-foto Chika yang sempat hampir diculik."Apa maksudnya?" tanya Dimas dengan kedua alis bertautan."Itu yang dialamin teman kamu beberapa hari lalu. Setelah dia nonton balapan, seseorang ingin menculiknya," tutur sosok tersebut.Dimas semakin mengerutkan dahinya, mendengar apa yang tak dia ketahui sama sekali—bahkan dari Chika sendiri. Dirinya sampai tak bisa berkata-kata, lantaran kelewat terkejut mengetahui hal ini. Apalagi dia adalah orang terakhir yang mengetahuinya."Terus, kenapa dikasi
Berhentinya Dirga di samping mobil hitam itu adalah karena rasa penasarannya. Pasalnya, Dirga merasa aneh dengan kedatangan mobil tersebut yang tampak mencurigakan."Permisi," kata Dirga sembari mengetuk kaca mobil tersebut.Laki-laki itu terus mengetuknya sampai akhirnya kaca mobil tersebut turun. Menampilkan adanya beberapa laki-laki di sana."Maaf, kalian dari mana?" tanya Dirga.Para pria di dalam sana justru saling menatap satu sama lain, seakan tak memiliki jawaban untuk pertanyaan tersebut. Namun, di sana Dirga masih tetap bersikap tenang, dan terus mencari tahu tujuan mereka berhenti."Kita cuma numpang parkir," kata salah satu pria di dalam mobil itu.Dirga terdiam beberapa saat, dia juga kembali mengamati para pria tersebut. Sempat beberapa kali menoleh ke dalam mobil guna melihat barang-barang yang mereka bawa—kalau-kalau membahayakan. Namun, laki-laki itu paham jika ada maksud lain yang ingin dilakukan para pria tersebut.Pun dengan satu anggukan, Dirga meninggalkan mereka
Dari pupilnya, Chika menangkap manik Dirga yang bergetar ragu dengan apa yang dia katakan barusan. "Nggak bisa, kan? Biar gue yang ngelakuin," timpal Chika.Tanpa berniat menimpalinya lagi, Chika menyalakan mesin motor hendak meninggalkan mantan kekasihnya itu. Bahkan, Dirga sama sekali tak bergerak hanya untuk memberikan reaksi atas permintaannya. Hanya saja, sebelum Chika benar-benar pergi, tangan Dirga menyentuh motornya guna menghentikan pergerakan gadis itu."Gimana kalau gue bisa? Apa lo mau maafin gue? Balik lagi ke gue?" tanya Dirga."Iya, gue bakal balik ke lo," tandas Chika yang segera menyingkirkan tangan Dirga.Gadis itu meninggalkan Dirga sejauh mungkin, tatapannya melemah sampai cukup merasakan kehangatan dari genangan air matanya. Dia sadar sikapnya terhadap Dirga saat ini bukanlah dari dalam hatinya. Namun, mengingat bagaimana sang ayah harus berada di dalam jeruji besi karena ayah Dirga, gadis itu membunuh belas kasihnya pada sang mantan kekasih. Kehilangan Dirga lebi
Mungkin bisa dikatakan ini adalah kali pertama bagi ayah Dirga terganggu akan perkataan putranya sendiri. Pribadi itu tak mengetahui jika Dirga telah mengetahui Abraham sejauh itu. Malamnya sampai terganggu lantaran tak dapat melepaskan pemikiran itu dari kepalanya. Lantas menatap sosok wanita yang terlelap di sebelahnya, laki-laki tersebut bangkit dari ranjangnya berniat keluar dari ruangan tersebut. Hanya saja, suara gesekan itu justru membangunkan sang istri.Terdengar helaan nafas ringan ketika setengah selimut telah tersingkir dari sebagian tubuh. Pribadi itu kembali membawa kedua tungkainya turun dari ranjang, berjalan keluar, namun suara istrinya menghentikan langkah di ambang pintu."Kenapa aku baru tau dari Dirga?""Tentang apa?""Ayah Chika,"Tak ada balasan apapun, ayah Dirga justru abai dan membawa langkahnya tetap keluar kamar. Sedangkan sang istri hanya terdiam di balik selimut sembari menatap punggung suaminya yang menghilang dari pintu. Tatapan nanar terpancar dari man
Apa yang Dirga lakukan ketika ditinggal sendirian? Dia hanya memejamkan kedua matanya dengan tangan yang berada di atas lutut. Entah berapa banyak decakan yang keluar dari mulutnya, lantaran Dirga tak bisa melampiaskan kemarahannya saat ini. Setibanya di rumah, dengan suasana hati yang berantakan, laki-laki itu melempar helmnya cukup kasar tatkala memasuki kamarnya.Dirinya duduk di lantai dengan perasaan kalut, tak memiliki minat terhadap kegiatan apapun. Menyadari betapa hancurnya dia hari ini, tak ada satupun hal yang bisa dia pikirkan selain perkataan Chika. Terlalu menyakitkan untuk hati dan pikirannya, sampai Dirga mengabaikan panggilan sang ibu hingga wanita itu mendatangi kamarnya."Dirga," panggil sang ibu.Langkah sang ibu semakin mendekat, sedikit khawatir lantaran Dirga yang tak mengubah posisi sama sekali. Terlebih ketika Dirga menggerakkan bola matanya menatap sang ibu, wanita tersebut sampai tak bisa melihat adanya kehidupan dalam manik putranya sendiri. Pun kedua tanga
Berapa banyak decakan hari ini, Dirga berkendara seorang diri menelusuri jalanan. Dia menoleh ke segala arah, mencari lokasi kekasihnya yang mendadak menghilang. Jangan katakan Dirga tak berniat untuk menghubungi, itu sudah terbesit di kepala, namun sangat yakin jika gadis itu tak akan menjawabnya.Sungguh, kepalanya terasa pening tatkala harus menemukan keberadaan sang gadis yang entah kemana. Pribadi itu telah menyusuri jalan yang pasti dilewati oleh Chika, hanya saja dia masih tak dapat menemukannya. Dia sejenak berhenti di pinggir jalan, seraya berpikir tempat-tempat yang harus dia kunjungi untuk menemukan kekasihnya itu."Ey, mana mungkin dia ke sana," ucapnya setelah sebuah tempat terlintas di kepalanya.Dirga menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya berada di pinggang seraya berpikir, memutuskan tempat yang ada di kepalanya saat ini. Dengan helaan nafas terakhir, Dirga segera membawa dirinya menuju lokasi tersebut. Tentunya dengan kecepatan penuh, dia tak ingin jika gadis itu
Ini adalah kesalahannya, dimana Dirga terlalu menutupi fakta yang membuatnya ada di situasi saat ini. Sedikitpun, Dirga tak berani mengarahkan pandangannya pada Chika yang masih menunggu dengan kedua tangan dilipat. Dia menghela nafas sampai menghela nafas panjang sebelum terpejam beberapa saat."Foto orang-orang yang ada di dalam memori itu.." Dirga tertunduk, sulit untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. "Salah satu dari mereka adalah bokap gue," imbuhnya.Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu memori dari dompetnya untuk diberikan pada Dimas. Tentu saja, secara tidak langsung Dirga menyuruh laki-laki itu untuk membuka kembali, menunjukkan salah satu diantara banyaknya pelaku kejahatan itu. Pun dengan wajah yang sama terkejutnya, Dimas kembali menunjukkan foto yang mereka temukan.Dirga sama sekali tak menatap layar laptop Dimas, dia memilih untuk menunduk seraya menyesali perbuatan ayahnya. Ya, walau bukan Dirga pelakunya, namun dia malu atas perlakuan sang ayah terhadap ayah Chika.
Membeli pakaian sudah, dan kini Dirga mengajak kekasihnya untuk menjelajahi toko-toko lainnya di sana. Dirga merangkul pundak Chika yang hanya sebatas bawah dadanya. Keduanya sama-sama memasang senyuman, seakan tak memikirkan sisa waktu yang keduanya miliki. Bahkan, Chika terus menggenggam tangan Dirga yang berada di pundaknya.Walau keduanya tak membeli banyak barang, pasangan tersebut seperti merasakan kebahagiaan yang tak akan ada habisnya. Keduanya juga saling melempar tawa saat melihat atau mendengar sesuatu yang menggelitik. Sungguh, Dirga benar-benar menggunakan waktu saat ini untuk kenangannya bersama Chika—karena dia tak tahu, apa yang akan terjadi besok, atau beberapa hari kedepan."Ayo, kita cari photo booth. Kita buat kenangan juga di sana," ajak Chika.Tentu saja, Dirga hanya menurut kemana kekasihnya itu menarik pergelangan tangannya. Pribadi itu hanya mengikuti setiap perkataan Chika, bahkan sampai gaya untuk berfoto Dirga telah diatur oleh gadis itu. Akan Dirga akui, j
Sesuai dengan ajakan beberapa hari lalu, Dirga menjemput kekasihnya yang baru saja keluar dari sekolahnya. Ya, memang pada akhirnya mereka menjadi pusat perhatian banyak orang—terlebih pada gadis-gadis yang menjadi penggemar Dirga. Namun, memang tak banyak yang bisa mereka lakukan selain ternganga mendapati pemandangan tersebut.Bersama dengan kuda besi itu, keduanya pergi menuju sebuah pusat perbelanjaan dengan tujuan membali barang-barang yang Dirga butuhkan. Masih ada beberapa minggu, laki-laki itu sengaja menyicil semua persiapannya ditemani dengan sang kekasih yang kini meletakkan dagunya pada salah satu bahu. Tentu saja, hal ini sekalian dijadikan kenangan kecil untuk Dirga pergi nantinya."Sebentar lagi gue ditinggal," kata Chika.Dirga yang baru saja menarik sebuah pintu itu tersenyum tanpa menimpali kalimat gadis tersebut. Dia terus merangkul pundak kekasihnya, menuju sebuah tempat yang menjual banyaknya pakaian tebal. Memasuki tempat tersebut, Dirga sama sekali tak memiliki
Motor yang baru saja terparkir di depan rumah itu menandakan kepulangan Chika dari sekolahnya. Gadis itu melihat perawakan kekasihnya yang baru saja memasuki rumah. Dia rasa, Dirga selesai memandikan kuda besinya, terlihat jelas dari halaman rumah yang tampak berair dan sabun. Chika hanya tersenyum tipis sebagai reaksi tipisnya.Dia membawa masuk dirinya ke dalam rumah, masih dengan tas yang menggantung di punggungnya. Seperti biasa kamar adalah tujuan utamanya untuk merebahkan punggung. Lantas mengambil ponselnya dari saku rok, membaca pesan yang baru saja dibalah oleh temannya. Iya, pesan berisikan jawaban atas pertanyaannya tadi pagi."Nanyanya tadi pagi, balesnya sore. Dasar Dimas," kata Chika.Kedua maniknya membaca rentetan tulisan yang dikirim oleh Dimas. Hanya sedikit penjelasan yang dikatakan oleh temannya itu. Mungkin memang tak ada sesuatu yang aneh terjadi pada kekasihnya. Namun, saat Chika melihat pesannya pada Dirga tadi pagi, kekasihnya masih belum membalas. Entahlah, C
Pagi-pagi Dirga telah berada di pelataran rumahnya, pribadi itu baru saja tiba setelah bermalam di rumah Dimas. Namun, dia tak benar-benar bermalam ketika foto tersebut malah mengacaukan malamnya. Dia melihat mobil sang ayah terparkir di depan rumah, menandakan jika ayahnya telah pulang dari pekerjaan luar kotanya.Dirga hanya berdiri di sebelah motornya, salah satu tangan memegang tangki bensin bersamaan dia menghela nafas berat. Pun Dirga melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan membuka perlahan supaya tak mengganggu kedua orang tuanya. Namun, itu tak sesuai dengan ekspektasi, dimana dia telah mendapati sang ayah duduk di ruang tamu."Percuma," ucapnya lirih.Pribadi itu berdiri dengan kepala yang tertunduk, sengaja menghindari tatapan sang ayah yang tampak tersorot tajam padanya. Mungkin Dirga juga sudah tahu apa yang akan menjadi penyebab ayahnya marah. Dirga tak akan terkejut setelah ini."Mau jadi apa?! Pulang jam segini?!" kata sang ayah.Dirga masih bungkam, dia enggan menyulu