Pagi yang cerah menjadi awal dari pagi seluruh siswa dan siswi yang akan memulai hari mereka di sekolah. Namun, tak seberapa penting cerahnya hari ini, Dirga keluar dari rumahnya dengan tatapan agak sayu saat melihat Chika yang telah pergi meninggalkan rumah.
"Lagi," ucap Dirga.Tak lama, laki-laki itu juga keluar dari rumahnya. Entah kenapa, setelah hari itu Chika selalu menjauh darinya. Bahkan, saat pergi tadi, gadis itu tak melihat ke arahnya sedikitpun.Dua puluh menit berlalu, Dirga telah tiba di sekolahnya. Dia berjalan usai memarkirkan motor, dengan melihat tiap papan kelas, laki-laki itu mencari kelasnya. Hanya saja, kedua tungkainya terhenti saat dia bertemu dengan Chika di depan kelas. Dan tetap, Chika memalingkan wajahnya dengan melangkah masuk.Bukan hanya Dirga, tetapi Chika juga terkejut dengan keberadaan Dirga di sekolahnya. "Kok dia di sini?" tanyanya dalam hati.Dia bahkan tak berani menatap keluar kelas, menunggu beberapa menit sebelum akhirnya dia berbicara dengan temannya. "Kelas kita ada murid baru, ya?" tanya Chika.Temannya yang bernama Rachel itu mengerutkan dahinya, dia menggeleng dengan yakin atas pertanyaan Chika. "Nggak ada," jawabnya. Gadis itu juga mengamati bagaimana air muka Chika saat ini. "Laki-laki tadi? Kayaknya bukan kelas ini," kata Rachel seakan bisa membaca isi pikiran Chika.Chika sama sekali tak mengetahui kalau Dirga akan bersekolah di sini. Memang, tadi dia melihat tetangganya itu di depan rumah, hanya dari ekor matanya, tapi Chika sama sekali tidak menyadari jika mereka memiliki seragam yang sama. Dirinya menepuk dahi sendiri, merasa jika hal ini bagian dari kebodohannya. Bagaimanapun juga, Chika akan lebih sering bertemu dengannya. Entah itu di rumah, maupun di sekolah."Gue harap, nggak sering ketemu dia di sini,"Itu adalah doa yang dia rapalkan usai melihat Dirga. Pasalnya, sulit bagi Chika untuk terus-terusan bertemu dengan laki-laki itu. Di rumah saja, Chika milih untuk tidak keluar—setidaknya untuk akhir-akhir ini.Atau mungkin, hal yang dia lakukan di rumah tak bisa dia lakukan di sekolah. Baru saja jam istirahat pertama dimulai, Chika telah dipanggil oleh wali kelasnya untuk mendatangi ruang guru. Tak ada pilihan lain untuknya selain keluar dari kelasnya. Namun, dia tak ingin sendiri, bersama dengan teman sebangkunya dia menuju ruang guru.Hanya dengan alasan untuk membagi tugas kelas, Chika akhirnya selesai menemui wali kelasnya. Pun tak memakan banyak waktu."Kenapa tadi nggak ngomong di kelas aja? Kenapa mesti manggil gue?" tanyanya yang juga didengar Rachel."Namanya juga guru, kalau males jalan, panggil aja muridnya," timpal Rachel.Dengan helaan nafas panjang, akhirnya kedua gadis tersebut melanjutkan langkah mereka. Salah satu pergelangan tangan Chika digenggam oleh Rachel, ditarik menuju kantin. Memang, temannya itu sulit terlepas dengan makanan."Gantian, sekarang lo temenin gue," kata Rachel."Jangan lama-lama,"Mengikuti kemauan temannya itu tidak sulit, namun yang membuatnya sulit ketika di persimpangan dia bertemu dengan Dirga. Laki-laki itu tak sendirian, bersama dengan teman yang sering ia lihat—walaupun tak ia kenal.Tanpa berucap, Chika melepas genggaman tangan Rachel, dia memutar langkahnya menuju kelas sendirian. Gadis itu tak menoleh ke belakang, atau bahkan melihat Rachel yang terdiam di tempat bersama dengan kebingungannya."Ternyata dia kakak kelas," gumamnya sembari terus membawa langkahnya.Selama berjalan, dia terus menggigit jarinya, padahal tak ada penyebab yang membuatnya merasa getir. Chika duduk di bangkunya, bersandar pada dinding kelas masih dengan jari yang digigit.Jika ia rasakan lebih dalam, gadis itu sama sekali belum pernah berada di posisi seperti ini. Seorang laki-laki yang dengan tegas mengatakan bahwa ia menyukainya. Apalagi Dirga juga mengetahui bagaimana perbuatannya di luar sekolah."Gimana ini?"* * *Dirga berjalan ke bangkunya, baru saja meletakkan bantalan duduk, ada beberapa siswa yang berlarian melewati depan kelasnya. Pun teman sebangkunya yang baru datang itu langsung berucap."Sekolah dapet laporan adanya pelaku kriminal di sekolah ini,"Detik itu juga Dirga bangkit dari tempat duduknya, berlari keluar kelas mengikuti yang lainnya. Maniknya bergerak ke segala arah, mencari gerombolan yang ia lihat sebelumnya.Tiba di ruang konseling, banyak murid yang tengah menonton, menjadikan Dirga bergabung bersama mereka. Pikirannya hanya terarah pada Chika yang sangat memungkinkan tertangkap oleh pihak sekolah di hari pertamanya ini. Walau dari luar, kedua matanya bergerak dengan teliti saat mencari gadis itu. Sayangnya, Dirga sama sekali tak menemukannya."Ada berapa banyak pelaku kriminal di sekolah ini?" tanya dalam hati.Dengan decakan ringan, kedua tungkainya membawa laki-laki itu pergi menjauh dari sana. Banyak nafas yang terbuang begitu saja, sampai dia berhenti di tempat yang sepi dan sedikit orang berlalu-lalang. Duduk bersandar pada dinding dengan salah satu kaki yang tertekuk."Perkara sikapnya yang berubah, gue jadi kebingungan sendiri," gumamnya. "Padahal, niat gue nggak begitu," katanya lagi sebelum akhirnya dia bangkit.Tepat setelah dia menyugar rambutnya, ia menoleh dan terdiam saat tatapannya bertemu dengan Chika. Ya, sejak tadi Dirga berada di belakang kelas gadis itu. Dirga baru saja mengetahuinya. Namun, dengan cepat Chika menutup jendelanya dengan korden, membuat pandangan mereka terputus. Dirga hanya mendengus melihatnya.Selama berhari-hari keduanya tak saling berbicara, bahkan tak akan ada yang percaya jika mereka bertetangga—hanya karena keduanya tak pernah bertegur sapa.Sampai jam pulang, Chika bergerak cepat untuk mengambil motornya dan meninggalkan sekolah. Tidak mau lagi harus bertemu secara kebetulan. Akan tetapi, arah yang dibawa Chika bukanlah mengarah rumahnya, dia melewati gang rumahnya sendiri. Hanya satu tempat yang dia tahu."Ngapain lo ke sini? Tumben,"Itu adalah kalimat yang keluar dari mulut Dimas ketika melihat temannya duduk di sofa dengan tubuh yang disandarkan, serta kedua tangan terlentang."Gue males pulang," jawab Chika."Berantem lagi sama nyokap?""Nggak. Emang lagi males aja,"Dimas mendiaminya, namun maniknya tak berhenti menelisik lebih dalam setiap gerak-gerik gadis di depannya itu. Karena memang tak biasanya dia seperti ini—hanya ketika mendapat masalah. Laki-laki itu sampai melipat kedua tangannya di depan dada, masih menatap Chika.Dia perhatikan, Chika bahkan enggan menatap kedua matanya. Seluruh jari gadis itu mendadak memainkan bantal sofa, serta mata yang mengerjap beberapa kali. Tatapan intimidasi ini sukses membuat Chika gugup."Ja-jangan natap gue begitu. Biasa aja," ucap Chika."Gue cuma natap biasa. Tapi, kalau sampai lo ngomong begitu, pasti ada sesuatu," timpal Dimas.Tubuhnya seakan membeku, bola matanya bergerak acak saat dia ketahuan. Sekilas menggigit bibir bawahnya sebelum mengaku dengan helaan nafas panjang. "Bener apa yang lo bilang,""Soal?""Soal Dirga suka sama gue,"Tanpa mengubah posisinya, Dimas tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. "Terus, kenapa lo yang begini?""Karena gue nggak terbiasa sama situasi ini," jawab Chika dengan suara parau.Dengan langkah yang begitu tegas, Dimas berjalan menghampiri seseorang di seberang jalan. Tanpa ragu dia melayangkan sebuah pukulan pada presensi tersebut. Dia juga menarik kuat kerah pakaiannya, serta dengan tatapan yang menyalang."Apa lagi mau lo!? Belom cukup manfaatin Chika?!"Dirga yang tengah berada di depan minimarket itu cukup terkejut dengan pukulan yang ia dapatkan barusan. Laki-laki itu sama sekali tak bereaksi saat melihat siapa yang memukulnya. Iya, tentu saja Dirga mengenalnya. Bahkan, dirinya masih membiarkan Dimas menarik kerah bajunya."Perasaan suka gue, bukan gue yang minta. Itu dateng dengan sendirinya," jawab Dirga.Cengkeraman kerahnya semakin kuat, menandakan emosi Dimas yang semakin meluap. Keduanya juga saking melempar tatapan tajam, terlihat seperti akan memangsa satu sama lain. Hingga akhirnya Dimas melepas cengkeraman tangannya, menghempaskan tubuh Dirga."Apa yang gua lakuin ke dia, tujuan gue cuma bantu dia," Dirga menjeda kalimatnya, rahangnya menegas s
Chika mengerjap beberapa kali selepas mendengar pertanyaan itu. Guratan tipis di wajah Dimas seakan menjelaskan keseriusannya."Jelas gue mikirin perasaan lo. Gue juga yakin, kalau lo bisa ngehindar dari hukuman," kata gadis itu.Beberapa detik tak ada jawaban, Dimas menganggukkan kepalanya. "Iya, gue emang bisa menghindar," jawab Dimas sekenanya.Bisa dikatakan, jawaban Dimas barusan adalah jawaban sebagai pihak yang mengalah. Enggan untuk memulai perdebatan yang terasa sia-sia—untuk saat ini. Pun dengan senyuman singkatnya, Dimas menerima situasi yang dia dapatkan.* * *Kehidupan Chika saat ini terasa jauh lebih baik. Pasalnya, usai dia mengatakan apa yang mengganjal dalam hatinya, gadis itu kembali bersikap seperti sebelumnya. Bahkan, sekalipun berada di rumah, Chika tetaplah gadis yang ceria. Apalagi saat berada di sekolah, bertemu dengan Dirga bukanlah masalah lagi."Hai,"Itu adalah sapaannya pada kakak kelas sekaligus tetangganya untuk pertama kalinya disertai salah satu telapa
Sebuah buku catatan yang tertumpuk banyaknya buku pelajaran baru saja ditarik Chika. Peletakkannya di sana memang dia sengaja untuk menghindari sang ibu menyentuhnya. Kini ia berjalan ke meja belajarnya, membuka buku tersebut pada halaman yang telah dia beri batas. Nafasnya terbuang cukup panjang melihat profil seseorang."Kurang ajar apa nggak, ya? Dia yang paling tua," bimbangnya.Chika menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan tatapan ragu. Dia banyak mendesis ketika berusaha menggunakan otaknya. Pun dengan decakan kecil, Chika mengambil selembar kertas kosong untuk membuat skema awal.Tak peduli jika dia telah masuk tahun pelajaran, prioritas Chika terhadap balas dendamnya ini tetap berjalan. Lagipula, siapa yang bisa melihat orang tua yang tidak bersalah tapi dijebak dan dijerumuskan ke dalam penjara? Jika memang hukum lemah terhadap orang-orang kuat, maka Chika sendiri yang akan membuat orang-orang tersebut lemah.Keningnya mulai basah, lantaran dia menumpahkan seluruh fokusnya
Tunggu! Bagaimana Chika harus menafsirkan situasi saat ini? Atau mungkin indera pendengarannya terganggu?"Kencan?"Dirga menganggukkan kepalanya sebelum kembali bertanya. "Mau, nggak?"Sempat terbata, Chika justru mendorong tubuh Dirga. Dia juga tertawa canggung, seakan perkataan Dirga adalah lelucon belaka."Lo sendiri juga bilang tadi, seharusnya gue ngajak lo kalau mau dateng ke sini. Dan lo udah di sini," tutur Dirga."I-itu.."Chika sungguh gugup dan gagap saat ingin memberikan pembelaan. Bahkan, bisa dikatakan jika Chika tak bisa membela dirinya sendiri, lantaran dia mengakui apa yang dikatakan Dirga. Dia hanya bisa mengerjapkan maniknya, sesekali melirik ke arah Dirga yang masih menunggu jawabannya.Isi kepala gadis itu hanya ada dua jawaban yang harus dia pilih salah satunya. Namun, di sanalah letak masalahnya, Chika tak tahu harus memilih satu diantara keduanya."Itu berarti lo mau," kata Dirga yang langsung menarik pergelangan tangan Chika.Tanpa perlawanan, Chika juga hany
Sebuah lembar kertas yang tergulung tengah dibuka oleh pemiliknya. Di sana menampilkan adanya rencana untuk target mereka berikutnya. Di hadapan Chika, terdapat teman yang selalu ikut ambil bagian dalam setiap rencana.Keduanya tampak begitu sibuk, dengan apa yang Chika jelaskan. Dimas sendiri juga benar-benar meletakkan seluruh fokusnya untuk memahami setiap kata dan kalimat yang Chika ucapkan. Bahkan gerakan tangan gadis itu juga memberikan penjelasan lebihnya."Kemungkinan, yang ini bakal makan waktu lebih lama. Prosesnya nggak bisa cepet. Inipun udah paling cepet," tutur Chika."Kenapa gitu?"Chika melipat kedua tangannya, lantas menyandarkan tubuhnya dengan helaan nafas panjang. "Dia bukan orang yang gampang ditipu," jawabnya. Lantas menekuk alisnya sebelum kembali berbicara. "Penjagaannya juga agak ketat,"Dua penipu itu terdiam, dengan Chika yang masih menggunakan otaknya. Kedua manik gadis itu kembali menatap skemanya, tangannya bermain dengan pulpen yang dia benturkan ke waja
Perlahan keramaian tersebut semakin berkurang, yang mana membuat Chika juga segera meninggalkan tempat supaya tak menampilkan dirinya pada Dirga. Toh, yang terpenting adalah hasil dari balapan tersebut sudah cukup membuatnya kagum dengan kemampuan balapan tetangganya itu.Gadis itu berjalan keluar lokasi sirkuit, hendak mencari taksi. Hanya saja, semua taksi yang dicarinya melalui ponsel menolak pesanannya. Memang Chika akui, jarak antara sirkuit hingga rumahnya cukuplah jauh, ditambah banyak dari penonton balapan yang juga memesan taksi untuk mengantar mereka pulang."Di sini nggak ada taksi biasa yang lewat," ucapnya.Dengan pasrah, Chika berniat untuk berjalan sedikit jauh guna mencari taksi yang bisa dia tumpangi. Dia menghela lesu, tak ada satupun orang yang dia kenal ataupun mengenalnya yang bisa memberikannya tumpangan. Atau minimal sampai dia mendapatkan transportasi umum.Chika berjalan sembari memperhatikan kedua kakinya, sesekali menendang kerikil yang ada di depannya. Saki
Nafasnya tersengal saat berhasil membuat laki-laki yang membawa Chika itu menyerah dan pergi. Dengan seluruh tubuh yang basah akan keringat, Dirga segera berlari pada gadis yang masih terbaring di sebelah motornya.Dengan banyak cara Dirga menyadarkan Chika, sampai berniat untuk segera membawanya ke rumah sakit—apalagi dengan bekas kemerahan pada leher gadis itu. Namun, hanya selang beberapa menit setelahnya Chika membuka kedua matanya."Chika?" panggil Dirga.Pandangan keduanya bertemu, Dirga segera membantu Chika untuk duduk dan membiarkan gadis itu mengumpulkan seluruh kesadarannya. Betapa leganya Dirga ketika gadis itu tersadar. Dirga mengajak Chika untuk ke rumah sakit, namun gadis itu menolaknya dengan segera.Chikq menggelengkan kepalanya agar Dirga tidak membawa dirinya ke rumah sakit. Pasalnya, menurut Chika sendiri, tidak ada luka yang serius, sehingga meminta laki-laki itu untuk mengantarnya pulang."Pulang aja," pinta Chika.Dengan helaan nafasnya yang pasrah, akhirnya lak
Dengan seragam sekolah yang lengkap, Chika keluar dari rumahnya lebih awal. Hanya saja, usai berkendara beberapa meter, Chika justru mengambil jalur lain yang berlawanan dari jalurnya yang biasa dia lewati saat berangkat sekolah. Sepertinya tujuan awalnya memang bukan sekolah.Dan tempat yang ia datangi sepagi ini adalah rumah temannya, Dimas. Tiba-tiba sekali."Dim, masih tidur?" panggil Chika dari depan pintu.Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada, dia menunggu pintu tersebut sampai terbuka dan menampilkan Dimas yang tampak baru bangun dari tidurnya. Bahkan, dia masih mengumpulkan seluruh nyawanya ketika salah satu matanya terbuka dan mendapati Chika di sana."Pagi-pagi ngapain dateng ke sini?" tanyanya bersamaan dengan mulut yang menguap.Keduanya duduk berhadapan dengan penampilan yang berbeda. Chika masih mempertahankan posisi tangannya saat meletakkan bantalan duduknya."Gue mau nanya sesuatu," kata Chika. "Kalau laki-laki suka sama perempuan, tapi dia nggak ada niat b
Dari pupilnya, Chika menangkap manik Dirga yang bergetar ragu dengan apa yang dia katakan barusan. "Nggak bisa, kan? Biar gue yang ngelakuin," timpal Chika.Tanpa berniat menimpalinya lagi, Chika menyalakan mesin motor hendak meninggalkan mantan kekasihnya itu. Bahkan, Dirga sama sekali tak bergerak hanya untuk memberikan reaksi atas permintaannya. Hanya saja, sebelum Chika benar-benar pergi, tangan Dirga menyentuh motornya guna menghentikan pergerakan gadis itu."Gimana kalau gue bisa? Apa lo mau maafin gue? Balik lagi ke gue?" tanya Dirga."Iya, gue bakal balik ke lo," tandas Chika yang segera menyingkirkan tangan Dirga.Gadis itu meninggalkan Dirga sejauh mungkin, tatapannya melemah sampai cukup merasakan kehangatan dari genangan air matanya. Dia sadar sikapnya terhadap Dirga saat ini bukanlah dari dalam hatinya. Namun, mengingat bagaimana sang ayah harus berada di dalam jeruji besi karena ayah Dirga, gadis itu membunuh belas kasihnya pada sang mantan kekasih. Kehilangan Dirga lebi
Mungkin bisa dikatakan ini adalah kali pertama bagi ayah Dirga terganggu akan perkataan putranya sendiri. Pribadi itu tak mengetahui jika Dirga telah mengetahui Abraham sejauh itu. Malamnya sampai terganggu lantaran tak dapat melepaskan pemikiran itu dari kepalanya. Lantas menatap sosok wanita yang terlelap di sebelahnya, laki-laki tersebut bangkit dari ranjangnya berniat keluar dari ruangan tersebut. Hanya saja, suara gesekan itu justru membangunkan sang istri.Terdengar helaan nafas ringan ketika setengah selimut telah tersingkir dari sebagian tubuh. Pribadi itu kembali membawa kedua tungkainya turun dari ranjang, berjalan keluar, namun suara istrinya menghentikan langkah di ambang pintu."Kenapa aku baru tau dari Dirga?""Tentang apa?""Ayah Chika,"Tak ada balasan apapun, ayah Dirga justru abai dan membawa langkahnya tetap keluar kamar. Sedangkan sang istri hanya terdiam di balik selimut sembari menatap punggung suaminya yang menghilang dari pintu. Tatapan nanar terpancar dari man
Apa yang Dirga lakukan ketika ditinggal sendirian? Dia hanya memejamkan kedua matanya dengan tangan yang berada di atas lutut. Entah berapa banyak decakan yang keluar dari mulutnya, lantaran Dirga tak bisa melampiaskan kemarahannya saat ini. Setibanya di rumah, dengan suasana hati yang berantakan, laki-laki itu melempar helmnya cukup kasar tatkala memasuki kamarnya.Dirinya duduk di lantai dengan perasaan kalut, tak memiliki minat terhadap kegiatan apapun. Menyadari betapa hancurnya dia hari ini, tak ada satupun hal yang bisa dia pikirkan selain perkataan Chika. Terlalu menyakitkan untuk hati dan pikirannya, sampai Dirga mengabaikan panggilan sang ibu hingga wanita itu mendatangi kamarnya."Dirga," panggil sang ibu.Langkah sang ibu semakin mendekat, sedikit khawatir lantaran Dirga yang tak mengubah posisi sama sekali. Terlebih ketika Dirga menggerakkan bola matanya menatap sang ibu, wanita tersebut sampai tak bisa melihat adanya kehidupan dalam manik putranya sendiri. Pun kedua tanga
Berapa banyak decakan hari ini, Dirga berkendara seorang diri menelusuri jalanan. Dia menoleh ke segala arah, mencari lokasi kekasihnya yang mendadak menghilang. Jangan katakan Dirga tak berniat untuk menghubungi, itu sudah terbesit di kepala, namun sangat yakin jika gadis itu tak akan menjawabnya.Sungguh, kepalanya terasa pening tatkala harus menemukan keberadaan sang gadis yang entah kemana. Pribadi itu telah menyusuri jalan yang pasti dilewati oleh Chika, hanya saja dia masih tak dapat menemukannya. Dia sejenak berhenti di pinggir jalan, seraya berpikir tempat-tempat yang harus dia kunjungi untuk menemukan kekasihnya itu."Ey, mana mungkin dia ke sana," ucapnya setelah sebuah tempat terlintas di kepalanya.Dirga menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya berada di pinggang seraya berpikir, memutuskan tempat yang ada di kepalanya saat ini. Dengan helaan nafas terakhir, Dirga segera membawa dirinya menuju lokasi tersebut. Tentunya dengan kecepatan penuh, dia tak ingin jika gadis itu
Ini adalah kesalahannya, dimana Dirga terlalu menutupi fakta yang membuatnya ada di situasi saat ini. Sedikitpun, Dirga tak berani mengarahkan pandangannya pada Chika yang masih menunggu dengan kedua tangan dilipat. Dia menghela nafas sampai menghela nafas panjang sebelum terpejam beberapa saat."Foto orang-orang yang ada di dalam memori itu.." Dirga tertunduk, sulit untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. "Salah satu dari mereka adalah bokap gue," imbuhnya.Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu memori dari dompetnya untuk diberikan pada Dimas. Tentu saja, secara tidak langsung Dirga menyuruh laki-laki itu untuk membuka kembali, menunjukkan salah satu diantara banyaknya pelaku kejahatan itu. Pun dengan wajah yang sama terkejutnya, Dimas kembali menunjukkan foto yang mereka temukan.Dirga sama sekali tak menatap layar laptop Dimas, dia memilih untuk menunduk seraya menyesali perbuatan ayahnya. Ya, walau bukan Dirga pelakunya, namun dia malu atas perlakuan sang ayah terhadap ayah Chika.
Membeli pakaian sudah, dan kini Dirga mengajak kekasihnya untuk menjelajahi toko-toko lainnya di sana. Dirga merangkul pundak Chika yang hanya sebatas bawah dadanya. Keduanya sama-sama memasang senyuman, seakan tak memikirkan sisa waktu yang keduanya miliki. Bahkan, Chika terus menggenggam tangan Dirga yang berada di pundaknya.Walau keduanya tak membeli banyak barang, pasangan tersebut seperti merasakan kebahagiaan yang tak akan ada habisnya. Keduanya juga saling melempar tawa saat melihat atau mendengar sesuatu yang menggelitik. Sungguh, Dirga benar-benar menggunakan waktu saat ini untuk kenangannya bersama Chika—karena dia tak tahu, apa yang akan terjadi besok, atau beberapa hari kedepan."Ayo, kita cari photo booth. Kita buat kenangan juga di sana," ajak Chika.Tentu saja, Dirga hanya menurut kemana kekasihnya itu menarik pergelangan tangannya. Pribadi itu hanya mengikuti setiap perkataan Chika, bahkan sampai gaya untuk berfoto Dirga telah diatur oleh gadis itu. Akan Dirga akui, j
Sesuai dengan ajakan beberapa hari lalu, Dirga menjemput kekasihnya yang baru saja keluar dari sekolahnya. Ya, memang pada akhirnya mereka menjadi pusat perhatian banyak orang—terlebih pada gadis-gadis yang menjadi penggemar Dirga. Namun, memang tak banyak yang bisa mereka lakukan selain ternganga mendapati pemandangan tersebut.Bersama dengan kuda besi itu, keduanya pergi menuju sebuah pusat perbelanjaan dengan tujuan membali barang-barang yang Dirga butuhkan. Masih ada beberapa minggu, laki-laki itu sengaja menyicil semua persiapannya ditemani dengan sang kekasih yang kini meletakkan dagunya pada salah satu bahu. Tentu saja, hal ini sekalian dijadikan kenangan kecil untuk Dirga pergi nantinya."Sebentar lagi gue ditinggal," kata Chika.Dirga yang baru saja menarik sebuah pintu itu tersenyum tanpa menimpali kalimat gadis tersebut. Dia terus merangkul pundak kekasihnya, menuju sebuah tempat yang menjual banyaknya pakaian tebal. Memasuki tempat tersebut, Dirga sama sekali tak memiliki
Motor yang baru saja terparkir di depan rumah itu menandakan kepulangan Chika dari sekolahnya. Gadis itu melihat perawakan kekasihnya yang baru saja memasuki rumah. Dia rasa, Dirga selesai memandikan kuda besinya, terlihat jelas dari halaman rumah yang tampak berair dan sabun. Chika hanya tersenyum tipis sebagai reaksi tipisnya.Dia membawa masuk dirinya ke dalam rumah, masih dengan tas yang menggantung di punggungnya. Seperti biasa kamar adalah tujuan utamanya untuk merebahkan punggung. Lantas mengambil ponselnya dari saku rok, membaca pesan yang baru saja dibalah oleh temannya. Iya, pesan berisikan jawaban atas pertanyaannya tadi pagi."Nanyanya tadi pagi, balesnya sore. Dasar Dimas," kata Chika.Kedua maniknya membaca rentetan tulisan yang dikirim oleh Dimas. Hanya sedikit penjelasan yang dikatakan oleh temannya itu. Mungkin memang tak ada sesuatu yang aneh terjadi pada kekasihnya. Namun, saat Chika melihat pesannya pada Dirga tadi pagi, kekasihnya masih belum membalas. Entahlah, C
Pagi-pagi Dirga telah berada di pelataran rumahnya, pribadi itu baru saja tiba setelah bermalam di rumah Dimas. Namun, dia tak benar-benar bermalam ketika foto tersebut malah mengacaukan malamnya. Dia melihat mobil sang ayah terparkir di depan rumah, menandakan jika ayahnya telah pulang dari pekerjaan luar kotanya.Dirga hanya berdiri di sebelah motornya, salah satu tangan memegang tangki bensin bersamaan dia menghela nafas berat. Pun Dirga melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan membuka perlahan supaya tak mengganggu kedua orang tuanya. Namun, itu tak sesuai dengan ekspektasi, dimana dia telah mendapati sang ayah duduk di ruang tamu."Percuma," ucapnya lirih.Pribadi itu berdiri dengan kepala yang tertunduk, sengaja menghindari tatapan sang ayah yang tampak tersorot tajam padanya. Mungkin Dirga juga sudah tahu apa yang akan menjadi penyebab ayahnya marah. Dirga tak akan terkejut setelah ini."Mau jadi apa?! Pulang jam segini?!" kata sang ayah.Dirga masih bungkam, dia enggan menyulu