"Apa katamu, Darling? Adikmu hilang? Maksudmu kembaranmu itu?" tanya seorang wanita cantik yang sedang menyesap susu hangatnya dengan jari Kelin sedikit terangkat anggun.
Pria yang baru saja meletakan gawainya mengangguk. "Ya, sepertinya rival kita salah sasaran. Huh! Bodoh sekali!"Kerutan di wajah sang wanita terukir dengan jelas. Tampak terlihat dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh suaminya. "Rival? Cortez maksudmu?"Tak sampai satu menit, wanita itu bersedekap dan menutup mulut sambil menggelengkan kepalanya. "No way! Jangan katakan ... Tidak mungkin! Bukankah saudaramu berada jauh dari kota?""Huh! Orang bodoh akan selamanya bodoh! Lagi pula kudengar, ada kasak-kusuk yang mengatakan aku bersembunyi di desa sejak peristiwa itu dan celah itu dipakai oleh Cortez untuk memata-matai saudaraku. Bodoh sekali, sudah jelas kami berbeda!" tukas suami dari wanita itu.Wajahnya tampak mengeras sekaligus khawatir. Sudah lama juga dia tidak mendengar kabar tentang saudara kembarnya itu. "Sepertinya aku harus ke desa itu pagi ini,""Untuk apa?" tanya wanita itu lagi dengan singkat. Kerutan di wajahnya belum menghilang. Matanya tak lepas dari suaminya."Dia sudah menikah setahun yang lalu dan istrinya terancam bahaya jika masih berada di sana," jawab sang suami.Si wanita yang tampak sedang mengandung itu mengernyitkan keningnya. "Menikah? Tapi, dia tidak pernah memberitahukanmu ataupun mengundang kita ke pesta pernikahannya,"Seringai kesal sekaligus tak suka tersirat jelas di wajah si suami. "Huh! Dia berbeda denganku. Banyak yang berkata seperti itu dan aku benci jika sudah dibandingkan dengannya. Kita lihat saja seperti apa istrinya? Kurasa, dia hanya menikah dengan seorang gadis desa kampungan yang tidak menarik,""Tenang saja, aku akan meminta dia bekerja di sini. Pendidikannya pun aku pikir tidak tinggi," sambung pria itu lagi dengan senyum picik.Setelah menghabiskan kopi pahitnya, laki-laki tampan itu menyambar kunci mobil, dan segera bergegas keluar dari ruang makan. "Baiklah, aku pergi sekarang supaya tidak membuang waktu! Camilla, kunci pintu, tutup semua jendela, dan jangan angkat telepon dari nomor yang tak dikenal! Aku akan kerahkan semua pengawal untuk menjagamu selama aku pergi."Wanita bernama Camilla itu mengangguk. "Ta-, tapi, bagaimana dengan janji kita untuk bertemu dokter kandungan besok?""Aku akan meminta doktermu datang ke sini, tentu saja setelah melalui pemeriksaan status aman dari penjagaku." Pria itu kemudian masuk ke dalam mobil dan mengecup bibir istrinya singkat. "Aku pergi, kabari aku tentang apa pun yang menurutmu tidak biasa. Oke!"Camilla mengangguk. "B-, baiklah. Kamu juga hati-hati, Max,""Pasti!" jawab Max dengan cepat.Tak lama, kendaraan besi beroda empat itu pun meluncur menembus ramainya jalanan di pagi hari menuju suatu tempat yang cukup jauh dari kota.Sementara itu, Camilla Shawn istri dari Max Sillas menunggu di rumah dengan cemas. Dia tak tahu apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi nanti. "Ah, kepalaku benar-benar terasa mau pecah,"Malam itu, Max menelepon dan menghubungi Camilla hanya untuk mengatakan kalau dia tidak dapat pulang malam itu. Hati Camilla pun tak menentu, tetapi di lain sisi dia menghela napas lega.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Camilla sudah bangun dan bersiap menunggu Max datang. Dia meminta pelayan untuk menyiapkan semua makanan yang disukai oleh suaminya."Baik, Nyonya," kata pelayan tersebut setelah menerima perintah dari tuannya.Sembari menunggu, Camilla sudah mempersiapkan diri dengan memakai gaun berwarna merah muda serta hiasan kepala berwarna senada. Berkali-kali dia merapikan gaunnya dan mengembuskan napas panjang.Tak lama, suara seorang pria yang sudah lama dinanti-nantikannya pun terdengar. "Milla, aku pulang,""Itu Max!" ucap Camilla setengah berlari.Wajah Camilla sudah hampir serupa dengan gaun yang dipakainya karena terlalu bersemangat menyambut sang suami tercinta. Dipeluknya tubuh Max. "Selamat datang,"Walaupun keningnya berkerut-kerut, Max tetap membalas pelukan Camilla. Sesaat setelah itu, dia mendorongnya perlahan. "Milla, perkenalkan, ini Allora Twig,"Seorang gadis mungil nan cantik seolah muncul tiba-tiba dari belakang Max. Wajah gadis itu bersemu kemerahan dan terlihat malu-malu. "I-, ini istrimu?""Ya, apa aku belum bercerita kepadamu kalau aku sudah menikah?" tanya Max sambil menyeringai lebar dan memperlihatkan jari manis kanannya. "Ini istriku, Allora,"Camilla mengerjapkan-ngerjapkan mata dan mengulurkan tangannya kepada gadis itu. "Hai, Nyonya Sillas, aku Camilla Shawn,""Twig. Panggil aku dengan Allora Twig," kata gadis itu dengan wajah mengeras."Baiklah, Nyonya Twig," balas Camilla mengalah. Dia memperhatikan gadis itu. Ada yang berbeda dengan tubuh gadis yang tampaknya berumur kisaran 20-an tahun itu. "Apa kamu sedang mengandung?"Alih-alih Allora, Max menjawabnya untuk Camilla. "Ya, dia sedang mengandung juga. Maka dari itu, sejak kemarin, dia menjadi tanggung jawabku juga,""Masuklah, Allora! Anggap saja ini rumahmu sendiri dan buatlah dirimu senyaman mungkin," kata Max lagi sambil merangkul bahu Allora.Melihat pemandangan serta respon dari Max yang terlihat begitu senang dengan kehadiran Allora, Camilla hanya menatap suami serta adik iparnya dengan heran. Firasat buruk pun segera menyeruak masuk ke dalam hatinya. "Max!"Camilla mengejar suaminya masuk ke dalam. Bukan tanpa alasan wanita itu merasa dikucilkan, karena sejak Allora menginjakan kakinya di rumah mereka, perhatian Max dengan cepat teralihkan."Max, kemarin kamu mengatakan kalau istri adikmu itu, ...?" tanya Camilla sore itu sambil tetap berharap sang suami akan menyadari warna pakaian serta dandanannya.Max menatap wajah istrinya dengan malas. "Kemarin ya kemarin, hari ini, ya, hari ini, Milla. Mana aku tau kalau dia sedang mengandung. Apa aku tega mempekerjakan dia di sini? Tidak, kan?"Camilla masih tidak puas dengan jawaban dari suaminya. Bukan tanpa sebab Camilla bersikap seperti itu. Pasalnya, sikap Max kemarin dan hari ini sangat berbeda. "Ta-, tapi, ...,""Tidak ada tapi-tapi, Milla! Berbuat baiklah padanya, itu yang bisa kamu lakukan untukku!" tukas Max dan tiba-tiba saja matanya menangkap pemandangan yang tak biasa dari istrinya tersebut. "Merah muda? Ada apa gerangan?"Wanita yang sedang mengandung itu duduk di hadapan suaminya dan menggenggam kedua tangan Max. Dengan takut-takut , Camilla menjawab, "Ini tentang anak kita,"Seakan membaca pikiran sang istri, Max menggelengkan kepalanya perlahan sambil menyunggingkan senyumnya. "No! Jangan katakan kalau anak kita-,""Ya, perempuan," lirih Camilla.Napas wanita itu seakan tercekat menunggu respon suaminya setelah sang suami mengetahui jenis kelamin dari anak yang sedang berada di dalam kandungannya itu. "D-, Darling ... Max? Kita akan menerima dia, kan? Kita akan membesarkan di-,""Gugurkan! Aku tidak mau anak perempuan! Bisa apa dia nanti! Gugurkan!" titah Max sambil menyentak tangan Camilla.Sedetik kemudian, tubuh Camilla bergetar. "M-, Max ... Kumohon, jangan mengatakan hal yang keji seperti itu. Ini anak kita, Max,""Aku tidak peduli! Akan kuakui anak kita kalau anak itu laki-laki! Gugurkan, Milla!" tukas Max dengan nada lebih tinggi.Setelah berbicara seperti itu, Max keluar kamar dengan membanting pintu dengan cukup kencang. Bahu Camilla bergetar, begitu pula dengan tubuhnya. Bulir-bulir bening dengan cepat berjatuhan dari sudut matanya.Perlahan, wanita itu mengusap perutnya, menahan pedih. "Mama akan tetap mempertahankanmu, Nak. Jangan takut!"***Sakit hati Camilla tak sampai di situ. Semenjak Max mengetahui jenis kelamin anak mereka, sikap Max pun berubah menjadi dingin dan berbicara kepada Camilla seperlunya saja. Hal itu tentu saja tak lepas dari kehadiran Allora Twig."Hai, Allora. Apa kamu ada waktu menemaniku sore ini?" tanya Camilla suatu sore. Allora tertegun sesaat, lalu kemudian dia kembali menguasai dirinya sendiri. "Dengan senang hati,"Tak lama, meja makan kecil berbentuk lingkaran itu sudah dipenuhi dengan sepoci teh dan dua cangkir kecil, serta berbagai macam kudapan manis. "Silakan," kata Camilla mempersilakan Allora untuk mengambil secangkir teh. Gadis yang tengah hamil muda itu mengangguk kecil. Dia mengambil cangkir tehnya dan menyesapnya perlahan. "Terima kasih. Bagaimana kabarmu, Nyonya? Kita belum pernah berbicara berdua seperti ini sebelumnya,""Milla. Panggil saja Milla," jawab Camilla sambil tersenyum manis. "Maka dari itu, kita harus sering-sering mengangkrabkan diri seperti ini. Ya, kan?"Senyum t
Tak pernah ada yang tahu apa isi hati seseorang. Begitu pula dengan Camilla, wanita itu sama sekali tidak bisa mengetahui ataupun menebak apa isi hati suaminya. Bagi Camilla, Max adalah pusat kehidupannya. "D-, Darling, ... A-, maksudku, ... Hmmm ...,""Apa yang ingin kamu coba katakan, Milla?" tanya Max tanpa mengalihkan pandangannya dari sebuah dokumen yang tengah asyik dia baca. Dengan langkah ragu, Camilla mendekati suaminya dan memijat pundak lebar Max. "Hmmm, Darling, kemarin kenapa kamu tidak meneleponku dulu?"Max mengembuskan napas panjang lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa berlengan itu. "Oh, Allora? Aku hanya ingin memastikan kalau dia dan bayi yang dikandungnya sehat,""Lalu?" Camilla memberanikan diri untuk bertanya kembali. "Tidak ada lalu, Milla Sayang," jawab Max. Tak lama, dia tersenyum, wajahnya tampannya tak sanggup menyembunyikan kebahagiaan. "Anak yang dikandung Allora anak laki-laki. Fiuuh, hebat sekali, bukan?"Deg!Jantung Camilla seakan berhenti,
"Tuan Shawn, maafkan kami. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi pada akhirnya, tetap Sang Penciptalah yang berkehendak," kata seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan operasi. Seorang pria dengan rambut yang hampir sepenuhnya memutih segera berdiri berhadapan dengan dokter tersebut. "Bagaimana dengan putri dan cucu saya?""Putri Anda selamat, tapi tidak dengan cucu Anda. Kami kehilangan bayi kecil itu," jawab sang dokter menundukkan kepalanya. Pria yang disapa Tuan Shawn itu, mengembuskan napas dan memijat pelipisnya perlahan. Tampak sekali kesedihan mendalam di wajahnya. "Boleh saya bertemu dengan putri saya, Dokter?" tanya Tuan Shawn cepat. Dokter itu mengangguk dan mempersilakan Tuan Shawn bertemu dengan putri kesayangannya. "Mari saya antar,"Di dalam ruangan operasi itu, tampaklah seorang wanita cantik dengan wajah pucat pasi. Wanita itu tersenyum saat melihat Tuan Shawn masuk ke dalam. "Ayah. Aku tidak tahu kalau Ayah akan datang," kata wanita itu sambil ber
"Apa! Kamu gila, Max! Aku baru saja keluar dari rumah sakit karena keguguran dan di mana kamu? Bersenang-senang dengan gadis itu! Gila!" Amarah Camilla sudah tidak dapat dibendung lagi. Semua rasa kecewa, kesal, dan marah yang sudah dia pendam selama hampir satu minggu ini dia luapkan. "Aku sudah tidak tahu bagaimana menghadapimu, Max,"Suara wanita itu kini bergetar. Air matanya sudah tak dapat dia tahan lagi. "Kupikir kamu menyendiri dan berkabung. Tapi nyatanya, kamu malah ... Entahlah, Max,"Hening. Ruangan besar yang didominasi dengan warna putih itu hanya dipenuhi suara sesenggukan Camilla dan tarikan napas Max. Tak ada keinginan Max untuk menghampiri istrinya tersebut atau bahkan mendekapnya sama seperti dia mendekap erat Allora tadi. "Kamu mau tahu apa yang kurasakan saat ini, Milla?" tanya Max. Pria itu akhirnya menghampiri Camilla dan menatap kedua manik istrinya dengan dingin. Camilla memberanikan diri membalas tatapan mata itu dan seketika itu juga dia tahu, tidak ada l
Sementara itu, di kediaman Max Sillas. Allora baru saja terbangun dari tidurnya. Dia menatap Max yang tertidur pulas di sampingnya. "Sku tidak bermaksud untuk memperkeruh hubunganmu dengan, Camilla, Max. Sungguh, aku merasa bersalah,"Gumaman Allora itu ternyata membangunkan Max dari tidurnya. Pria itu tersenyum dan mengecup kening Allora dengan sayang. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Sayang?""Kita sedang menjalani cinta yang salah, Max. Terus terang saja, aku merasa bersalah pada istrimu," kata Allora dengan wajah tertunduk. Max menyandarkan kepala adik iparnya itu di pundaknya. "Tidak ada yang perlu disesali. Itu sudah keputusan Camilla sendiri. Aku pun kesal padanya! Lagi pula saat ini, aku sudah memilihmu. Jadi, lupakanlah dia!""Jadi?" tanya Allora untuk meyakinkan Max. Gadis yang usia kandungannya hampir memasuki usia tujuh bulan itu memang berharap suatu hari nanti, dia akan bisa hidup mewah tanpa kekurangan suatu apa pun seperti sekarang. Namun, dia ingin memastikan apakah
Di lain tempat, seorang wanita dengan rambut berekor kuda, serta kacamata bertengger di hidungnya nampak tenggelam di depan layar laptopnya. Wanita itu ditemani oleh seorang pria berbadan tegap dan duduk di sampingnya dengan wajah kaku. "Nyonya, apa tidak berbahaya duduk di depan cafe seperti ini?"Wanita itu tersenyum. "Mana mungkin bahaya. Ini kota kecil, Jack. Justru aku ingin menarik perhatian sehingga orang mendatangiku dan aku bisa mendapatkan informasi tentang Miller Sillas ataupun Dominic Cortez,""Jika Nyonya meminta bantuan saya, saya bersumpah akan menemukan kedua orang itu dan membawa mereka kepada Nyonya! Tapi, kenapa Nyonya ingin mencarinya sendiri?" tanya pria berbadan tegap dan besar itu. Lagi-lagi wanita itu hanya mengulas senyum. "Untuk apa? Ini masalahku bukan masalahmu atau masalah ayahku dan mau tidak mau, siap tidak siap, aku harus menyelesaikan masalahku sendiri,""Menurut tuan Shawan, tugas ini berbahaya, Nyonya. Maka dari itu, saya diminta untuk mengawal ke
"T-tenang dulu, Tuan Sillas! Aku Camilla Shawn, istri saudara kembarmu, Max Sillas," kata Camilla dengan takut-takut. Bagaimana tidak takut kalau seorang pria nyaris saja mendaratkan tinjunya di wajahmu? Itulah yang dialami Camilla tadi. Kening Miller berkerut-kerut. "Max? Kamu istri Max? Lalu, di mana istriku?"Perlahan-lahan, Camilla mendekati Miller lagi. Wajah bingung Miller mengingatkan wanita itu pada suaminya. Ya, mereka serupa saat kebingungan. "Istrimu aman di rumah kami, Tuan Sillas," jawab Camills. Sepertinya Miller semakin bingung. "Kenapa istriku bisa ada di rumahmu dan kamu ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi?"Camilla menyangsikan kalau Miller dapat mencerna segala sesuatu yang akan dia ceritakan dengan kondisinya yang masih seperti ini. "Kamu harus pulih dulu, Tuan Sillas. Setelah itu, akan kuceritakan segalanya," ucap Camilla dengan sabar. Miller tampak tak puas. Dia memberengut kesal dan alis matanya masih berkerut-kerut. Tak lama, dokter pun datang. "Tida
Tak dapat dielakkan lagi, Miller sangat bingung sekaligus marah mendengar kabar itu. "Babymoon! Astaga! Aku suaminya!"Segala sumpah serapah, caci maki, dan harapan yang terlewatkan keluar dari mulut pria tampan itu. "Brengsek, Max itu! Allora ... Kata-kata apa yang pantas kuucapkan padanya! Dia ibu dari anakku tapi mengapa bisa setega itu kepadaku?"Camilla dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Miller. Ya, mereka kini berada di perahu yang sama yang sedang terombang-ambing entah ke mana. "Miller, maafkan suamiku. Aku tidak tau bagaimana harus menghiburmu. Sekali lagi, aku minta maaf," ucap Camilla lirih. Miller memandang wanita itu dan seakan paham apa yang dirasakan oleh Camilla, dia menggelengkan kepalanya. "Kenapa kamu harus minta maaf kepadaku? Tunggu! Inikah sesuatu yang ingin kamu ceritakan padaku, Milla?"Camilla mengangguk lemah. "Ya,""Wow! Selama aku tidak ada, banyak sekali yang terjadi, ya. Padahal aku tidak sedang pergi berlibur! Kalau tau keadaannya seperti ini, leb
"Fix, kamu masih mencintai mantan suamimu, Milla!" Aaron mengetuk bolpoin bermerk ternama miliknya di atas meja. Wajahnya berkerut-kerut dan sedikit menegang. "Apa yang membuatmu masih mencintainya, Milla? Aku tak habis pikir denganmu, ckckck."Aaron menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya di hari itu. "ckckck! Apalagi saat kamu menyerang gadis bernama Allora itu, mantanmu membela dia alih-alih kamu."Wanita cantik yang sedang membaringkan kepala di atas lengannya itu berdecih pelan. Sesekali dia mengelap air mata yang hendak turun dari sudut matanya. Tadi malam, setelah Camilla menyerang Allora, Miller justru membela Allora habis-habisan. "Turun dari tubuh suamiku sekarang juga, Jalang!" Camilla menarik rambut Allora saat itu. Gadis itu pun memekik kesakitan dan terguling dari atas kasur. "Sialan kamu, Wanita Tua! Dia bukan suamimu lagi! Lepaskan rambutku!"Tangan Allora menggapai-gapai liar sampai akhirnya dia sanggup membalas Camilla dengan menarik rambut wanita itu juga.
"Aku rasa dia gila!" ucap Camilla berbicara dengan ponselnya. Setelah momen perkenalan dengan Emilly, mantan istri dokter pribadinya, Camilla mendapatkan kabar kalau ayahnya telah mendengar desas-desus yang sedang hangat diperbincangkan beberapa hari terakhir ini. Yang membuat wanita itu kesal adalah mengapa ayahnya tidak bertanya langsung padanya? Mengapa harus bertanya kepada Miller?"Aarrgghh! Kepalaku pecah rasanya!" tukas Camilla sembari menarik rambutnya sendiri. Wanita itu merubuhkan kepalanya di atas meja dan terisak-isak. Lalu, terlintas kenangan tentang Emilly dan dirinya malam itu. Setelah berkenalan dengan Emilly yang ramah, Camilla memutuskan untuk menjadikan wanita itu sebagai mentor sekaligus sahabatnya. "Aku mau, Milla! Aku justru merasa terhormat karena kamu memilihku untuk menjadi sahabatmu." Emilly memeluk sahabat barunya itu sebagai tanda kasih untuknya. Begitulah pada akhirnya, persahabatan yang cukup aneh itu pun terjalin. Namun, tak ada yang lebih aneh se
"Apa maksud ucapanmu itu, Miller? Kamu dan Milla sudah berpisah?" tanya Max menghentikan pukulannya. Miller menyeka sepercik darah yang ada di sudut bibirnya, lalu, dia mengangguk singkat. "Ya!""Melihat perlakuanmu pada Allora, aku dapat mengambil keputusan kalau kamu sudah tidak mencintainya lagi. Apalagi tadi aku sempat mendengar kata selingkuh. Kamu mengkhianatinya?" tanya Miller angkuh. Tiba-tiba saja, Miller bertepuk tangan. "Huh! Hebat sekali kakakku ini! Pria Buaya! Menikah sudah dua kali, masih kurang puas. Apa yang kamu cari, Max?""Bagaimana denganmu? Lagi pula, kamu belum mengenal siapa Gadis Ular yang kamu nikahi selama ini!" Max memandang sengit wajah Allora yang terlihat ketakutan. Jari telunjuknya terulur ke arah gadis itu. "Kamu tau siapa yang menyebabkan hidupku hancur? Kamu tau siapa yang menyebabkan Camilla kehilangan bayinya dua kali? Kamu tau siapa yang menyebabkan Camilla kecelakaan?""Dia! Dia, Miller! Iblis Jalang itu yang melakukannya!" tukas Max menyambun
Camilla tertegun menatap anak laki-laki yang memakai kemeja bersuspender itu. "P-papa? Apa om ini papamu, Nak?" tanya Camilla. Dia merendahkan tubuhnya hingga setinggi anak laki-laki tersebut. Pria kecil itu mengangguk. "Ya, ini papaku. Tante siapa?"Sebelum Camilla menjawab, seorang wanita cantik bertubuh langsing dengan rambut cokelat berdiri di belakang anak itu. "Archie! Mama sudah bilang, jangan suka pergi sendiri! Nanti kalau hilang bagaimana!" Wanita itu terlihat cemas dan segera mengangkat Aaron junior ke dalam dekapannya. Kedua matanya bertemu dengan manik Camilla. Dia tersenyum. "Hahaha! Maaf, anakku ini memang suka keluyuran dan mengganggu orang lain. Maaf, ya, Nyonya."Camilla membalas senyuman wanita itu. "Oh, tidak apa-apa, kami sama sekali tidak merasa terganggu, kok."Anak laki-laki itu kembali menunjuk Aaron dengan jari mungilnya. "Mama, itu papa!"Mata wanita itu berlari ke arah pria yang terlihat gugup. "Aaron? Sedang apa kamu di sini? Apakah ini ... Oh, jangan
"Aku ingin kembali!" ucap seorang pria saat menemui seorang wanita yang sedang berjemur di tepi kolam renang sebuah hotel bintang lima. Wanita itu melepaskan kacamata hitamnya dan menatap pria yang berdiri sambil berkacak pinggang. "Why?"Pria itu menghela napas dan menjawab dengan nada gusar, "Oh, come on, Milla! Kita tidak mungkin satu bulan berada di sini hanya untuk sibuk masing-masing, kan?""Lalu? Toh, kita tetap bisa di sini, Miller! Apa alasanmu ingin kembali?" Wanita bernama Camilla itu mendesak supaya sang pria untuk tetap tinggal. Suara riak kolam renang serta cicit burung seakan menenggelamkan mereka berdua ke dalam pikiran masing-masing. Miller memandang kosong pada kolam renang. Tak lama, dia mengembuskan napasnya. "Kenapa kamu menahan kepergianku?""Aku tau ke mana kamu akan pulang dan aku tidak mau kamu pulang padanya." Camilla menjawab pertanyaan itu dengan datar. Dugaan Camilla memang benar. Miller akan kembali pada gadis yang pernah dinikahinya. "Karena kamu mas
Di saat hati Camilla carut marut, hati Allora justru sedang merindu. Gadis itu membutuhkan sosok pria yang dapat dia jadikan sebagai tempat bertumpu. Tidak seperti Dominic, yang hanya menjadikannya sebagai pemuas nafsu belaka. "Kapan kamu kembali, Max? Aku ingin bicara padamu. Aku sudah menunggumu di rumah kita." Allora menulis pesan singkat pada suaminya yang tak kunjung membalas. Setelah setengah hari berada di ruangan petugas keamanan, Allora menyerah. Dia kembali ke rumah dan memutuskan untuk menunggu Max di sana. Hatinya melonjak senang, saat dia mendengarkan suara mesin halus dari sebuah kendaraan. "Itu Max! Max! Max!"Gadis itu berlarian menyambut kedatangan suaminya. "Max, akhirnya kamu pulang juga!""Apa kamu tau aku sedang ada rapat penting? Apa kamu tau kalau semua pesan, telepon, dan kedatanganmu sungguh mengganggu dan membuatku tidak nyaman?" tanya Max bertubi-tubi. Allora memberengut. "Hei, ada apa denganmu, Max? Kamu bahkan tidak memberikanku kesempatan untuk bicar
Desir semilir angin hangat menerpa lembut wajah seorang wanita yang tengah berjemur pagi hari itu. "Tenang sekali di sini. Rasanya aku tidak ingin pulang." Wanita itu terdengar berbicara dengan seorang pria. Pria itu tertawa. ("Hahaha! Apa kamu tidak ingin membagi pengalamanmu selama di sana?")"Aku sudah mengirimkan beberapa foto serta laporan kalau aku terus meminum obatku dengan baik," balas wanita itu dengan suaranya yang riang. Tak lama, datang seorang pria yang lain membawakan sehelai handuk serta segelas jus jeruk untuknya. "Asik sekali. Dengan siapa kamu berbicara, Milla?" tanya pria itu. Wanita itu menjawab tanpa suara. Bibirnya membentuk sebuah kata yang sulit dipahami oleh pria yang sedang bersamanya itu. "Hei, nanti akan kukabari lagi. See you when we meet again, Aaron." Wanita itu meletakkan ponselnya dan menyeruput jus jeruk yang dibawakan oleh pria yang kini duduk di sampingnya itu. "Cih! Itu doktermu atau kekasihmu?" Pria itu mencebik sembari menyugar rambutnya
"Max, kita perlu bicara! Aku akan ke kantormu hari ini. Ayo, kita bertemu!" Allora menulis pesan kepada Max pagi hari itu. Setelah mendengar penjelasan dari Dominic Cortez tentang sekretaris pribadinya suaminya yang baru, Gladys Knight, Allora pun memutuskan untuk pergi menemui Max. Mungkinkah Max tidak tahu tentang Gladys Knight? Tidak mungkin Max tidak mencari tahu! Benak Allora menjadi lebih berisik dari sebelumnya. Tanpa menunggu balasan dari Max, gadis itu segera pergi ke perusahaan suaminya itu. Sebelum pergi, Dominic sempat mengatakan sesuatu yang menambah beban pikiran Allora. "Kamu cemburu? Hehehe, kupikir kamu tidak punya hati, Sayang, tapi, ternyata aku salah." Dominic terkekeh. Saat itu, Allora hanya terdiam tanpa benar-benar mendengarkan kelakar dari pria bertubuh kekar itu. Diamnya Allora menjadi pertanda kalau ucapan Dominic mengandung kebenaran."Aku tidak tau apakah aku mencintai dia atau tidak! Tapi, aku tidak suka dengan kedekatan mereka!" Allora bermonolog d
Selama beberapa hari, Allora terus mencari tahu tentang siapa itu Gladys Knight. Menurut Allora, Gladys adalah sosok yang misterius dan sulit sekali mendapatkan informasi tentang dirinya."Huft! Ke mana lagi aku harus mencari tentang Gladys Knight yang sombong itu!" keluh Allora suatu hari. Biasanya, jika dia sedang banyak pikiran, dia akan pergi menemui Dominic. Walaupun hanya bercinta, tetapi, pria itu sanggup membuat aktivitas itu menjadi menyenangkan. Namun, hari itu dia tidak ingin bersama dengan tuan Cortez. "Aarrgghh! Kepalaku pusing!""Kalau dia hanya ingin membantu Max, mengapa dia mau berhubungan dengan Max? Pasti ada sesuatu yang dia inginkan, kan?" Allora memiringkan kepalanya. Tak lama, gadis itu kembali mengerang sambil memijat pelipisnya. "Arrghh! Sialan!"Lama dia duduk terdiam dengan hanya ditemani oleh sebatang rokok yang menyala. "Aku butuh teman!"Sudah lama, dia tidak mendengar kabar dari Miller. Yang dia tahu, Miller dan Camilla sedang berlibur satu bulan lama