"Apa! Kamu gila, Max! Aku baru saja keluar dari rumah sakit karena keguguran dan di mana kamu? Bersenang-senang dengan gadis itu! Gila!"
Amarah Camilla sudah tidak dapat dibendung lagi. Semua rasa kecewa, kesal, dan marah yang sudah dia pendam selama hampir satu minggu ini dia luapkan. "Aku sudah tidak tahu bagaimana menghadapimu, Max,"Suara wanita itu kini bergetar. Air matanya sudah tak dapat dia tahan lagi. "Kupikir kamu menyendiri dan berkabung. Tapi nyatanya, kamu malah ... Entahlah, Max,"Hening. Ruangan besar yang didominasi dengan warna putih itu hanya dipenuhi suara sesenggukan Camilla dan tarikan napas Max.Tak ada keinginan Max untuk menghampiri istrinya tersebut atau bahkan mendekapnya sama seperti dia mendekap erat Allora tadi."Kamu mau tahu apa yang kurasakan saat ini, Milla?" tanya Max. Pria itu akhirnya menghampiri Camilla dan menatap kedua manik istrinya dengan dingin.Camilla memberanikan diri membalas tatapan mata itu dan seketika itu juga dia tahu, tidak ada lagi cinta di mata Max. Jantungnya kini berdegup kencang seakan habis berlari bermil-mil jauhnya."Bukannya aku tidak mau menjengukmu. Aku, ...,""Stop, Max! Aku tidak ingin mendengarmu! Stop, kumohon!" pinta Camilla sambil menutup kedua telinga dan menggelengkan kepalanya kencang."Milla! Sekarang kamu yang bertingkah seperti orang gila! Dengarkan aku dulu! Lepaskan tanganmu!" Dengan kasar, Max melepaskan kedua tangan Camilla dan menggenggamnya.Air mata Camilla kini semakin bercucuran. Dia memejamkan mata dan menolak untuk menatap suaminya. "Aku tidak ingin mendengarmu, Max!""Harus! Aku ingin menjelaskan sesuatu kepadamu, Milla!" tukas Max tegas. "Milla, ayolah!""Camilla!"Bentakan Max membuat Camilla terkesiap. Dia membuka matanya dan menatap Max. "M-, Max? Kamu membentakku?"Habis sudah kesabaran Max. Dia berdiri dan berkacak pinggang di hadapan istrinya yang sudah tidak karuan bentuk wajahnya itu. "Maaf aku harus membentakmu! Kamu benar-benar seperti orang gila, Milla!""Sekarang katakan kepadaku, bagaimana caranya supaya aku bisa mencintaimu lagi. Sejak Allora datang kamu seolah menggila!" Suara Max masih cukup tinggi dan membuat perasaan Camilla semakin berkecamuk."K-, kamu sudah tidak mencintaiku lagi, Max? A-, apa karena Allora?" tanya Camilla takut-takut.Max menggelengkan kepalanya. "Karena kamu tidak menurut kepadaku, Milla. Itu tepatnya,""Seorang pria akan merasa dihargai dan dihormati jika, pasangannya menurut kepadanya. Tapi tidak denganmu, kamu membangkang dan bahkan tetap bersikeras ingin melahirkan anak itu,""Sekarang, lihatlah! Kamu mendapatkan hukuman dari Tuhan karena kamu sudah menjadi wanita pembangkang!" kata Max berapi-api.Kali ini wajah Camilla memerah bukan karena marah atas perlakuan Max, tetapi karena apa yang baru saja diucapkan oleh suaminya tersebut.Tanpa dia sadari, tangan kanannya melayang, dan mendarat sempurna di wajah Max. "Tarik ucapanmu, Max!""Itu hanya alasanmu saja! Aku tidak pernah berniat untuk melenyapkan anakku, baik itu perempuan atau laki-laki! Itu suatu kejahatan yang tak akan pernah kulakukan!" balas Camilla tak mau kalah.Napas wanita itu terlihat cepat dan memburu. "Allora! Gadis itu telah menyita cintamu! Dia gadis pencuri yang sanggup membuang suaminya!""Sekarang, apakah kamu ingin memberikanku satu kesempatan lagi untukku melahirkan seorang anak laki-laki untukmu?" tanya Camilla tegas.Max terdiam. "Silakan, coba saja. Kamu boleh mencobanya dengan pria manapun. Sudah kukatakan kepadamu, rasaku sudah hilang, bagaimana bisa kita membuat seorang anak?"Lagi-lagi tangan Camilla melayang di wajah tampan Max. "Kamu benar-benar jahat, Max!"Setelah itu, Camilla keluar dari kamarnya. Allora. Hanya satu nama itu yang ada di kepalanya. Maka dengan setengah berlari, dia bergegas menemui gadis yang telah merusak rumah tangganya itu."Allora!" tukas Camilla kasar.Gadis cantik yang sedang sibuk dengan barang-barangnya itu pun tersentak. "Ya?"Tanpa memedulikan Allora yang saat itu sedang mengandung, Camilla melayangkan tangannya ke pipi kemerahan gadis itu. "Pergi dari rumahku sekarang juga!""A-, apa maksudmu, Milla? Maaf, tapi aku tidak paham apa yang terjadi. Aku bahkan tak tahu ke mana kamu pergi selama satu minggu ini sampai suamimu menyanggupi permohonanku untuk menemaniku berkeliling kota," jawab Allora dengan wajah tak berdosa.Tubuh Camilla bergetar hebat karena emosi yang tidak dapat lagi bisa dia tahan. "Tanya saja pada suamiku! Dia sangat tahu apa yang terjadi denganku! Dia yang membunuh anakku!"Sekali lagi, tangan Camilla melayang di pipi Allora dan kali ini pukulan Camilla cukup telak."Camilla!"Max menuruni tangga dengan cepat dan segera menghampiri Allora untuk memastikan gadis itu baik-baik saja. "Kamu tidak apa-apa?"Allora mengangguk lemah. Setelah mengetahui kondisi Allora, dia segera berdiri, dan menampar balik wajah Camilla. "Pergi dari sini!""Sadar, Max, aku istrimu!" tukas Camilla. "Lagi pula, kamu tidak bisa mengusirku dari sini karena ini rumah ayahku, Max!"Seketika itu juga, Max tersadar. Dia baru menyadari kalau rumah yang mereka tempati saat ini adalah rumah pemberian dari Dean Shawn sebagai hadiah atas pernikahan mereka.Max menelan salivanya. "Baik, aku dan Allora yang akan pergi,""Ayo, Sayang, berpeganglah kepadaku! Kita ke rumah sakit sekarang. Kita akan mengecek apakah anakmu baik-baik saja," sambung Max kali ini. Wajahnya tampak sangat khawatir.Lalu, pria itu mengalihkan pandanganya ke arah Camilla lagi. "Sejak Allora kehilangan suaminya, tongkat tanggung jawab itu berpindah ke pundakku. Jadi, Allora dan anaknya sudah kuanggap sebagai bagian dari hidupku!""Aku tidak tahu apa yang membuatmu berpikiran seperti itu, Max! Kamu suamiku dan bisa-bisanya kamu menghadirkan sosok wanita lain di dalam hidupmu! Entahlah, aku rasa aku kalah, tapi ...! Aku tidak akan pernah menyerah!" tukas Camilla.Tiba-tiba saja dia merasakan sebuah kekuatan yang muncul dari dalam dirinya. "Aku akan mencari suamimu, Allora, dan akan kukembalikan kehidupan kita seperti semula!"Wanita cantik itu mengusap air matanya dan berdiri dengan gagah. "Dominic Cortez. Kamu ingat nama itu, kan, Max? Semoga kamu belum melupakan nama Cortez. Akan kucari dia dan kubawa saudaramu ke sini! Aku bersumpah!"Tekad Camilla sudah kuat saat dia mengucapkan kata-kata maklumat itu. Matanya menatap lurus ke arah suaminya dan suaranya setenang air yang mengalir.Kini pandangan wanita itu berpindah. "Tunggu aku dan Miller Sillas datang, Allora. Kalau kamu masih mencintai suamimu, kamu tak akan sanggup berpaling darinya hanya karena wajah suamiku dan suamimu serupa,"Beberapa hari kemudian, Dean Shawn dikejutkan oleh kedatangan putrinya serta tujuannya datang ke sana. "Jangan gila, Milla! Jangan karena cinta, kamu terjun ke dalam bahaya! Kita belum tahu seberapa kejam Cortez ini!""Aku tau, tapi paling tidak, aku ingin datang ke lokasi kejadian tempat menghilangnya Miller Sillas, Ayah. Kupikir, kita bisa menemukan petunjuk atau apa pun di sana," jawab Camilla santai, lalu dia tersenyum sesaat. "Ya, kurasa aku gila, hahaha!""Tapi, aku tidak bisa membiarkanmu jalan sendiri ke sana!" kata Dean bersungguh-sungguh. Tentu saja pria setengah baya itu khawatir sesuatu terjadi dan menimpa putri tunggalnya. "Tidak, setelah aku kehilangan ibumu serta cucuku, Milla,"Camilla terdiam dan dia baru ingat kalau dirinya sedang berada dalam masa berkabung. Dia menghela napas panjang dan menggebrak meja cukup kencang. "Ouch!"Sembari mengibaskan tangannya, wanita berusia 30-an tahun itu berkata, "Life must goes on, kan, Yah? Aku tidak bisa berlama-lama bersedih seperti itu. Aku harus bergerak cepat untuk bisa mempertahankan apa yang ingin aku pertahankan, Ayah,"Dean mengangguk perlahan. "Pergilah bersama salah satu pengawalku dan kabari aku setiap detiknya. Ingat, selalu waspada, Sayang!"Camilla mengangguk dan memeluk ayahnya tersebut. "Pasti!"Dua hari kemudian, setelah mencari di mana keberadaan Dominic Cortez, Camilla pun meluncur ke kota kecil tempat kampung halaman Allora berasal." Tunggu aku, Max, aku tidak akan menyerah atasmu begitu saja, dan aku juga akan mengembalikanmu ke tempat asalmu, Allora! Tunggu saja!" ucap Camilla dalam hati sambil terus berharap.***Sementara itu, di kediaman Max Sillas. Allora baru saja terbangun dari tidurnya. Dia menatap Max yang tertidur pulas di sampingnya. "Sku tidak bermaksud untuk memperkeruh hubunganmu dengan, Camilla, Max. Sungguh, aku merasa bersalah,"Gumaman Allora itu ternyata membangunkan Max dari tidurnya. Pria itu tersenyum dan mengecup kening Allora dengan sayang. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Sayang?""Kita sedang menjalani cinta yang salah, Max. Terus terang saja, aku merasa bersalah pada istrimu," kata Allora dengan wajah tertunduk. Max menyandarkan kepala adik iparnya itu di pundaknya. "Tidak ada yang perlu disesali. Itu sudah keputusan Camilla sendiri. Aku pun kesal padanya! Lagi pula saat ini, aku sudah memilihmu. Jadi, lupakanlah dia!""Jadi?" tanya Allora untuk meyakinkan Max. Gadis yang usia kandungannya hampir memasuki usia tujuh bulan itu memang berharap suatu hari nanti, dia akan bisa hidup mewah tanpa kekurangan suatu apa pun seperti sekarang. Namun, dia ingin memastikan apakah
Di lain tempat, seorang wanita dengan rambut berekor kuda, serta kacamata bertengger di hidungnya nampak tenggelam di depan layar laptopnya. Wanita itu ditemani oleh seorang pria berbadan tegap dan duduk di sampingnya dengan wajah kaku. "Nyonya, apa tidak berbahaya duduk di depan cafe seperti ini?"Wanita itu tersenyum. "Mana mungkin bahaya. Ini kota kecil, Jack. Justru aku ingin menarik perhatian sehingga orang mendatangiku dan aku bisa mendapatkan informasi tentang Miller Sillas ataupun Dominic Cortez,""Jika Nyonya meminta bantuan saya, saya bersumpah akan menemukan kedua orang itu dan membawa mereka kepada Nyonya! Tapi, kenapa Nyonya ingin mencarinya sendiri?" tanya pria berbadan tegap dan besar itu. Lagi-lagi wanita itu hanya mengulas senyum. "Untuk apa? Ini masalahku bukan masalahmu atau masalah ayahku dan mau tidak mau, siap tidak siap, aku harus menyelesaikan masalahku sendiri,""Menurut tuan Shawan, tugas ini berbahaya, Nyonya. Maka dari itu, saya diminta untuk mengawal ke
"T-tenang dulu, Tuan Sillas! Aku Camilla Shawn, istri saudara kembarmu, Max Sillas," kata Camilla dengan takut-takut. Bagaimana tidak takut kalau seorang pria nyaris saja mendaratkan tinjunya di wajahmu? Itulah yang dialami Camilla tadi. Kening Miller berkerut-kerut. "Max? Kamu istri Max? Lalu, di mana istriku?"Perlahan-lahan, Camilla mendekati Miller lagi. Wajah bingung Miller mengingatkan wanita itu pada suaminya. Ya, mereka serupa saat kebingungan. "Istrimu aman di rumah kami, Tuan Sillas," jawab Camills. Sepertinya Miller semakin bingung. "Kenapa istriku bisa ada di rumahmu dan kamu ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi?"Camilla menyangsikan kalau Miller dapat mencerna segala sesuatu yang akan dia ceritakan dengan kondisinya yang masih seperti ini. "Kamu harus pulih dulu, Tuan Sillas. Setelah itu, akan kuceritakan segalanya," ucap Camilla dengan sabar. Miller tampak tak puas. Dia memberengut kesal dan alis matanya masih berkerut-kerut. Tak lama, dokter pun datang. "Tida
Tak dapat dielakkan lagi, Miller sangat bingung sekaligus marah mendengar kabar itu. "Babymoon! Astaga! Aku suaminya!"Segala sumpah serapah, caci maki, dan harapan yang terlewatkan keluar dari mulut pria tampan itu. "Brengsek, Max itu! Allora ... Kata-kata apa yang pantas kuucapkan padanya! Dia ibu dari anakku tapi mengapa bisa setega itu kepadaku?"Camilla dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Miller. Ya, mereka kini berada di perahu yang sama yang sedang terombang-ambing entah ke mana. "Miller, maafkan suamiku. Aku tidak tau bagaimana harus menghiburmu. Sekali lagi, aku minta maaf," ucap Camilla lirih. Miller memandang wanita itu dan seakan paham apa yang dirasakan oleh Camilla, dia menggelengkan kepalanya. "Kenapa kamu harus minta maaf kepadaku? Tunggu! Inikah sesuatu yang ingin kamu ceritakan padaku, Milla?"Camilla mengangguk lemah. "Ya,""Wow! Selama aku tidak ada, banyak sekali yang terjadi, ya. Padahal aku tidak sedang pergi berlibur! Kalau tau keadaannya seperti ini, leb
"Aaarrgghh! Apa yang sesungguhnya terjadi! Kenapa semua jadi seperti ini, Milla!" Miller mengacak-acak rambut belakangnya dan bertanya dengan nada tinggi. Tak sampai satu menit, energinya tiba-tiba menguap, dan dia terhenyak di kursi. Kedua tangan pria itu dia pakai untuk menutupi wajahnya. "Maaf, Milla. Aku tak bermaksud marah padamu. Aku hanya, ... Entahlah,"Camilla tersenyum. Dia paham apa yang dirasakan oleh Miller saat ini karena dia sudah lebih dulu merasakannya. "Tidak masalah. Aku tau rasa itu,""Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Miller. Wajahnya terlihat putus asa, lebih putus asa dari sewaktu dia diculik oleh Dominic Cortez. "Bicara. Saat ini, hanya itu yang bisa kita lakukan, walaupun kemungkinannya kecil, tapi, paling tidak, kita sudah berusaha," jawab Camilla. Kedua orang itu saling berpandangan dalam diam. Masing-masing memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Hari itu, hujan turun dengan sangat deras. Namun, hati dan otak mereka justru lebih berisik
"Tidak, Miller! Kondisi tubuhmu belum benar-benar pulih sepenuhnya! Tidak! Tidak! Tetap di sini! Lagi pula ...,"Hari itu, dengan hanya mengenakan pakaian tidur, dia turun ke bawah untuk mencegah kepergian Miller dari rumahnya. Pria itu memutuskan untuk mundur sebentar dan memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk membawa Allora kembali. Selain itu, dia juga ingin mempersiapkan hatinya, jika Allora benar-benar memutuskan untuk bercerai. "Kamu tidak ingin aku menyerah?" tanya Miller berusaha membaca pikiran kakak iparnya itu. Camilla menggelengkan kepalanya. "Lagi pula, aku membutuhkan teman di sini. Aku sudah lama sendirian dalam situasi seperti ini,"Miller menatap kakak iparnya. Di situlah dia baru menyadari bahwa kejadian ini sudah berlangsung cukup lama. "Apa yang sudah kulewatkan? Apakah istriku berubah menjadi gadis kejam? Apakah dia menyakitimu?""Tidak ada yang menyakitiku. Seandainya pun ada, aku tidak ingin mengungkitnya karena akan membuat lukaku kembali terbuka," ucap
"Tuan, saya mendapatkan informasi bahwa istri dari Sillas akan segera melahirkan," ucap seorang pria dengan kedua tangan saling bertautan dan kepala tertunduk. Sang penerima informasi menghisap cerutu tembakaunya yang tampak mahal. Namun, dia terlihat kurang puas dengan laporan itu. "Kedua istri Sillas memang sedang mengandung. Tapi, kabar yang kuterima dari salah satu informanku mengatakan kalau istri Sillas mengalami keguguran. Mana yang benar?""Apakah kalian berniat menipu dan mempermainkanku?" Dominic menyambung pertanyaannya kembali. Pria pemberi informasi itu semakin tertunduk dan seolah meringkuk ketakutan. "T-tidak, Tuan. Saya berani menjamin kalau informasi yang saya berikan benar adanya,"Dominic mendengus. Dominic Cortez adalah sosok pria berperawakan tinggi dan besar. Wajahnya sedikit ketimuran dengan cincin di beberapa jari-jarinya. Pria itu memiliki beberapa bisnis yang cukup besar, baik itu di kota kecil ataupun di kota besar. Jumlah kekayaannya pun tak main-main.
"Selamat, Tuan Sillas. Putra Anda telah lahir dengan selamat pada pukul 13.30 siang ini. Bayinya sehat, tampan seperti ayahnya, dan ibunya juga tinggal menunggu proses pemulihan," kata seorang dokter kandungan yang membantu proses persalinan Allora siang itu. Sang dokter berbicara kepada Miller, alih-alih Max. Tentu saja, sebagai pria yang mengaku sebagai ayah si bayi, Max sedikit tersinggung. Wajah Miller pun terlihat bahagia terlepas dari masalah yang sedang mereka hadapi. Dia berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada dokter serta perawat yang membantu proses persalinan istrinya itu. Sesaat setelah mereka diperbolehkan masuk ke dalam ruangan, Max berjalan mendahului saudara kembarnya yang notabene memiliki DNA anak laki-laki tersebut. "Sayang," ucap Allora sambil menggendong bayi laki-lakinya. Bayi mungil itu memiliki rambut yang cukup lebat. Seperti kata Dokter tadi, wajahnya tampan, dan kulitnya putih bersih. Merasa nama kesayangan dipanggil, Miller pun maju menemui Allora
"Fix, kamu masih mencintai mantan suamimu, Milla!" Aaron mengetuk bolpoin bermerk ternama miliknya di atas meja. Wajahnya berkerut-kerut dan sedikit menegang. "Apa yang membuatmu masih mencintainya, Milla? Aku tak habis pikir denganmu, ckckck."Aaron menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya di hari itu. "ckckck! Apalagi saat kamu menyerang gadis bernama Allora itu, mantanmu membela dia alih-alih kamu."Wanita cantik yang sedang membaringkan kepala di atas lengannya itu berdecih pelan. Sesekali dia mengelap air mata yang hendak turun dari sudut matanya. Tadi malam, setelah Camilla menyerang Allora, Miller justru membela Allora habis-habisan. "Turun dari tubuh suamiku sekarang juga, Jalang!" Camilla menarik rambut Allora saat itu. Gadis itu pun memekik kesakitan dan terguling dari atas kasur. "Sialan kamu, Wanita Tua! Dia bukan suamimu lagi! Lepaskan rambutku!"Tangan Allora menggapai-gapai liar sampai akhirnya dia sanggup membalas Camilla dengan menarik rambut wanita itu juga.
"Aku rasa dia gila!" ucap Camilla berbicara dengan ponselnya. Setelah momen perkenalan dengan Emilly, mantan istri dokter pribadinya, Camilla mendapatkan kabar kalau ayahnya telah mendengar desas-desus yang sedang hangat diperbincangkan beberapa hari terakhir ini. Yang membuat wanita itu kesal adalah mengapa ayahnya tidak bertanya langsung padanya? Mengapa harus bertanya kepada Miller?"Aarrgghh! Kepalaku pecah rasanya!" tukas Camilla sembari menarik rambutnya sendiri. Wanita itu merubuhkan kepalanya di atas meja dan terisak-isak. Lalu, terlintas kenangan tentang Emilly dan dirinya malam itu. Setelah berkenalan dengan Emilly yang ramah, Camilla memutuskan untuk menjadikan wanita itu sebagai mentor sekaligus sahabatnya. "Aku mau, Milla! Aku justru merasa terhormat karena kamu memilihku untuk menjadi sahabatmu." Emilly memeluk sahabat barunya itu sebagai tanda kasih untuknya. Begitulah pada akhirnya, persahabatan yang cukup aneh itu pun terjalin. Namun, tak ada yang lebih aneh se
"Apa maksud ucapanmu itu, Miller? Kamu dan Milla sudah berpisah?" tanya Max menghentikan pukulannya. Miller menyeka sepercik darah yang ada di sudut bibirnya, lalu, dia mengangguk singkat. "Ya!""Melihat perlakuanmu pada Allora, aku dapat mengambil keputusan kalau kamu sudah tidak mencintainya lagi. Apalagi tadi aku sempat mendengar kata selingkuh. Kamu mengkhianatinya?" tanya Miller angkuh. Tiba-tiba saja, Miller bertepuk tangan. "Huh! Hebat sekali kakakku ini! Pria Buaya! Menikah sudah dua kali, masih kurang puas. Apa yang kamu cari, Max?""Bagaimana denganmu? Lagi pula, kamu belum mengenal siapa Gadis Ular yang kamu nikahi selama ini!" Max memandang sengit wajah Allora yang terlihat ketakutan. Jari telunjuknya terulur ke arah gadis itu. "Kamu tau siapa yang menyebabkan hidupku hancur? Kamu tau siapa yang menyebabkan Camilla kehilangan bayinya dua kali? Kamu tau siapa yang menyebabkan Camilla kecelakaan?""Dia! Dia, Miller! Iblis Jalang itu yang melakukannya!" tukas Max menyambun
Camilla tertegun menatap anak laki-laki yang memakai kemeja bersuspender itu. "P-papa? Apa om ini papamu, Nak?" tanya Camilla. Dia merendahkan tubuhnya hingga setinggi anak laki-laki tersebut. Pria kecil itu mengangguk. "Ya, ini papaku. Tante siapa?"Sebelum Camilla menjawab, seorang wanita cantik bertubuh langsing dengan rambut cokelat berdiri di belakang anak itu. "Archie! Mama sudah bilang, jangan suka pergi sendiri! Nanti kalau hilang bagaimana!" Wanita itu terlihat cemas dan segera mengangkat Aaron junior ke dalam dekapannya. Kedua matanya bertemu dengan manik Camilla. Dia tersenyum. "Hahaha! Maaf, anakku ini memang suka keluyuran dan mengganggu orang lain. Maaf, ya, Nyonya."Camilla membalas senyuman wanita itu. "Oh, tidak apa-apa, kami sama sekali tidak merasa terganggu, kok."Anak laki-laki itu kembali menunjuk Aaron dengan jari mungilnya. "Mama, itu papa!"Mata wanita itu berlari ke arah pria yang terlihat gugup. "Aaron? Sedang apa kamu di sini? Apakah ini ... Oh, jangan
"Aku ingin kembali!" ucap seorang pria saat menemui seorang wanita yang sedang berjemur di tepi kolam renang sebuah hotel bintang lima. Wanita itu melepaskan kacamata hitamnya dan menatap pria yang berdiri sambil berkacak pinggang. "Why?"Pria itu menghela napas dan menjawab dengan nada gusar, "Oh, come on, Milla! Kita tidak mungkin satu bulan berada di sini hanya untuk sibuk masing-masing, kan?""Lalu? Toh, kita tetap bisa di sini, Miller! Apa alasanmu ingin kembali?" Wanita bernama Camilla itu mendesak supaya sang pria untuk tetap tinggal. Suara riak kolam renang serta cicit burung seakan menenggelamkan mereka berdua ke dalam pikiran masing-masing. Miller memandang kosong pada kolam renang. Tak lama, dia mengembuskan napasnya. "Kenapa kamu menahan kepergianku?""Aku tau ke mana kamu akan pulang dan aku tidak mau kamu pulang padanya." Camilla menjawab pertanyaan itu dengan datar. Dugaan Camilla memang benar. Miller akan kembali pada gadis yang pernah dinikahinya. "Karena kamu mas
Di saat hati Camilla carut marut, hati Allora justru sedang merindu. Gadis itu membutuhkan sosok pria yang dapat dia jadikan sebagai tempat bertumpu. Tidak seperti Dominic, yang hanya menjadikannya sebagai pemuas nafsu belaka. "Kapan kamu kembali, Max? Aku ingin bicara padamu. Aku sudah menunggumu di rumah kita." Allora menulis pesan singkat pada suaminya yang tak kunjung membalas. Setelah setengah hari berada di ruangan petugas keamanan, Allora menyerah. Dia kembali ke rumah dan memutuskan untuk menunggu Max di sana. Hatinya melonjak senang, saat dia mendengarkan suara mesin halus dari sebuah kendaraan. "Itu Max! Max! Max!"Gadis itu berlarian menyambut kedatangan suaminya. "Max, akhirnya kamu pulang juga!""Apa kamu tau aku sedang ada rapat penting? Apa kamu tau kalau semua pesan, telepon, dan kedatanganmu sungguh mengganggu dan membuatku tidak nyaman?" tanya Max bertubi-tubi. Allora memberengut. "Hei, ada apa denganmu, Max? Kamu bahkan tidak memberikanku kesempatan untuk bicar
Desir semilir angin hangat menerpa lembut wajah seorang wanita yang tengah berjemur pagi hari itu. "Tenang sekali di sini. Rasanya aku tidak ingin pulang." Wanita itu terdengar berbicara dengan seorang pria. Pria itu tertawa. ("Hahaha! Apa kamu tidak ingin membagi pengalamanmu selama di sana?")"Aku sudah mengirimkan beberapa foto serta laporan kalau aku terus meminum obatku dengan baik," balas wanita itu dengan suaranya yang riang. Tak lama, datang seorang pria yang lain membawakan sehelai handuk serta segelas jus jeruk untuknya. "Asik sekali. Dengan siapa kamu berbicara, Milla?" tanya pria itu. Wanita itu menjawab tanpa suara. Bibirnya membentuk sebuah kata yang sulit dipahami oleh pria yang sedang bersamanya itu. "Hei, nanti akan kukabari lagi. See you when we meet again, Aaron." Wanita itu meletakkan ponselnya dan menyeruput jus jeruk yang dibawakan oleh pria yang kini duduk di sampingnya itu. "Cih! Itu doktermu atau kekasihmu?" Pria itu mencebik sembari menyugar rambutnya
"Max, kita perlu bicara! Aku akan ke kantormu hari ini. Ayo, kita bertemu!" Allora menulis pesan kepada Max pagi hari itu. Setelah mendengar penjelasan dari Dominic Cortez tentang sekretaris pribadinya suaminya yang baru, Gladys Knight, Allora pun memutuskan untuk pergi menemui Max. Mungkinkah Max tidak tahu tentang Gladys Knight? Tidak mungkin Max tidak mencari tahu! Benak Allora menjadi lebih berisik dari sebelumnya. Tanpa menunggu balasan dari Max, gadis itu segera pergi ke perusahaan suaminya itu. Sebelum pergi, Dominic sempat mengatakan sesuatu yang menambah beban pikiran Allora. "Kamu cemburu? Hehehe, kupikir kamu tidak punya hati, Sayang, tapi, ternyata aku salah." Dominic terkekeh. Saat itu, Allora hanya terdiam tanpa benar-benar mendengarkan kelakar dari pria bertubuh kekar itu. Diamnya Allora menjadi pertanda kalau ucapan Dominic mengandung kebenaran."Aku tidak tau apakah aku mencintai dia atau tidak! Tapi, aku tidak suka dengan kedekatan mereka!" Allora bermonolog d
Selama beberapa hari, Allora terus mencari tahu tentang siapa itu Gladys Knight. Menurut Allora, Gladys adalah sosok yang misterius dan sulit sekali mendapatkan informasi tentang dirinya."Huft! Ke mana lagi aku harus mencari tentang Gladys Knight yang sombong itu!" keluh Allora suatu hari. Biasanya, jika dia sedang banyak pikiran, dia akan pergi menemui Dominic. Walaupun hanya bercinta, tetapi, pria itu sanggup membuat aktivitas itu menjadi menyenangkan. Namun, hari itu dia tidak ingin bersama dengan tuan Cortez. "Aarrgghh! Kepalaku pusing!""Kalau dia hanya ingin membantu Max, mengapa dia mau berhubungan dengan Max? Pasti ada sesuatu yang dia inginkan, kan?" Allora memiringkan kepalanya. Tak lama, gadis itu kembali mengerang sambil memijat pelipisnya. "Arrghh! Sialan!"Lama dia duduk terdiam dengan hanya ditemani oleh sebatang rokok yang menyala. "Aku butuh teman!"Sudah lama, dia tidak mendengar kabar dari Miller. Yang dia tahu, Miller dan Camilla sedang berlibur satu bulan lama