Sabrina tersenyum canggung saat wanita itu berujar.
"Emm, maaf ya, Mamanya Felix! Sebenarnya kami bukan satu keluarga."
"Yah, padahal kalian itu cocok banget loh. Apalagi Tari dan Bulan memiliki wajah yang serupa, sudah seperti saudara kembar. Cocok banget menjadi keluarga kecil," ujar Hesti yang merupakan teman Riri–Mamanya Felix.
"Sebenarnya, kami memang satu keluarga, Bun," ujar Sabrina dalam hati.
Tidak mungkin dia mengucapkan itu melalui lisannya, karena Erlangga ada di sampingnya. Jadi, Sabrina hanya memaksakan senyuman.
"Doakan saja Bu–Ibu, semoga nanti kami menjadi satu keluarga yang samawa," sahut Erlangga tiba-tiba.
Dan itu membuat Sabrina tertegun beberapa saat.
Serempak para ibu–ibu disana mengucapkan 'amin'.
"Yukk, kita pulang!" ajak Erlang yang kemudian menggandeng tangan Sabrina yang masih sedikit nge-blank.
Tari dan Bulan sudah dulu berjalan di depan mereka. Kedua gadis itu saling bergandengan tangan.
"Kamu kenapa?" tanya Erlangga saat melihat ekspresi Sabrina.
"Tidak, aku tidak apa-apa."
"Tapi kenapa wajahmu tidak seperti biasa? Apa karena perkataanku tadi ya?"
"Iya… ehhh, tidak, tidak, itu tidak benar. Aku biasa saja."
"Jadi, kalau kita menjadi satu keluarga, kamu tidak keberatan?"
Niat hati ingin menggoda Erlangga, tapi dia sendiri yang tergoda oleh lelaki itu.
Sabrina semakin tercengang dan tidak tahu harus menjawab apa.
"Tidak usah dipikirkan! Kalau kita berjodoh, pasti kita akan bersama suatu saat nanti." Lagi-lagi Erlangga membuat Sabrina bungkam.
Wanita yang saat ini mengenakan dress berwarna merah hati itu mematung sejenak.
Lalu saat menyadari dirinya tertinggal beberapa langkah dari Erlangga dan anak–anak, dia berlari mengejarnya.
"Apakah kamu mencintaiku?" tanya Sabrina spontan saat langkahnya sudah menyamai Erlangga.
"Mungkin, untuk saat ini belum. Akan tetapi, aku merasa, benih–benih itu mulai tersebar di sini," jawab Erlangga seraya meletakkan tangan kirinya ke dada.
Sabrina semakin tersipu dan wajahnya saat ini terlihat memerah.
"Kenapa? Apakah kamu merasakan hal yang sama?"
Tak terasa mereka sudah sampai depan gerbang. Kesempatan bagi Sabrina untuk menghindar dari pertanyaan pria bermata tajam setajam Elang.
"Aku pulang duluan," pamit Sabrina seraya mengait tangan Tari.
Dia mencegat taksi yang kebetulan lewat. Terlihat Tari melambaikan satu tangannya pada Bulan dan Erlangga.
Gadis itu juga berteriak saat taksi melewati Bulan dan Erlangga.
"Daaahh… Bulan! Daaahhh, Om Elang!" sembari kepalanya menyembul dari jendela pintu.
Erlangga dan Bulan juga melambaikan tangan pada mobil warna biru muda itu, yang sudah membelah jalan.
"Tari Sayang, nanti kamu di rumah sama Mbak Bela dan Mbak Luna ya. Mama ada urusan sebentar."
Sabrina berujar saat Tari sudah tidak menoleh ke belakang lagi.
"Mama mau kemana?"
"Ada pertemuan klien di Kaffe Mentari. Kamu nggak papa 'kan di rumah sama Mbak Luna?"
Di Kaffe Mentari, Sabrina sedang menunggu seseorang. Tadi, setelah sampai rumah, Tari langsung dititipkan pada karyawannya. Dan dia langsung pergi menggunakan taksi yang sama dengan taksi yang di tumpangi saat pulang dari paud.
Wanita berambut panjang yang terurai sampai ke pinggang itu, menyeruput jus alpukat yang baru saja di antar waiters.
Cukup lama dia menunggu. Sekitar tiga puluh menit, orang yang di tunggu baru tiba. Orang itu adalah mantan mertuanya.
Ratna memilih duduk di depan Sabrina. Kemudian dia melapas kaca mata yang bertengger di hidungnya dan meletakkan di atas meja.
"Cepat sekali kamu mengambil keputusan," ujar Ratna seraya bersedekap.
"Semoga keputusanmu sesuai dengan yang saya harapkan," tambahnya lagi lalu melambaikan tangan memanggil waiters.
Sabrina tersenyum manis dengan mata yang menatap ke jus pesanannya. Dia menunggu waiters itu pergi baru mengatakan keputusannya.
"Apa keputusanmu, cepat katakan?!" desak Ratna tak sabar.
"Saya sudah memikirkan matang–matang, Nyonya. Hingga semalam saya tidak bisa tidur nyenyak."
Perkataan Sabrina sengaja dijeda saat melihat pesanan Ratna datang.
Melihat Ratna yang mendengkus kesal, waiters yang mengantar minuman itu bergegas pergi setelah meletakkan pesanan di meja.
"Cepat katakan langsung! Tidak perlu bertele–tele."
Sabrina mengeluarkan kartu hitam yang kemarin diberikan oleh Ratna kepadanya.
"Silahkan ambil kembali kartu ini. Saya tidak memerlukan uang anda, Nyonya. Seperti yang saya bilang lima tahun lalu saat anda mengambil satu putri saya, saya sanggup menghidupi mereka berdua jika saja saat itu anda tidak mengambilnya."
Nada bicara Sabrina sedikit ditekan. Dia berhenti sejenak dan menghela napas, untuk menahan emosinya.
"Bahkan jika anda meminta ganti rugi karena telah membesarkan satu putri saya, pasti saya akan sanggup membayarnya." Tambahnya dengan sedikit sinis dan mengejek.
"Jangan sombong kamu! Kalau bukan karena suami saya yang ikut campur, usahamu ini tidak akan pernah berhasil."
"Apa maksud anda? Nyonya jangan mengada–ada ya. Toko ini adalah hasil kerja keras saya sendiri selama ini. Selama lima tahun ini, saya sudah tidak pernah menganggu hidup kalian lagi. Bahkan menginjakkan kaki di depan gerbang pintu rumah anda pun saya tidak pernah melakukannya."
"Kamu mengenal Elvano Smith 'kan? Saya rasa kamu bukan hanya mengenal, tapi juga berteman. Asal kamu tahu, dia adalah tangan kanan suami saya untuk membantumu. Andai saja saya bisa mencegahnya. Sudah dapat dipastikan kalau bisnis kamu tidak akan sebesar ini."
Sabrina ingin tak percaya dengan ucapan Ratna. Akan tetapi, dia benar mengenal Elvano yang merupakan rekan bisnisnya selama ini. Mungkinkan dia bekerja sama dengan mantan Papa mertuanya?
"Sudahlah, tujuan saya bukan membicarakan itu, tetapi apa alasanmu menolak tawaran saya?"
"Saya rasa, saya ingin membuat Mas Erlang kembali ke pelukan saya."
"Nekat kamu ya? Tapi tidak masalah. Karena kamu memilih untuk memperjuangkan anak saya, maka bersiaplah untuk kehilangan kedua anakmu." Dengan sinis Ratna mengatakan itu pada Sabrina. Kemudian dia mengambil blackcard yang berada diatas meja dan pergi. Jus yang dipesannya bahkan belum disentuh sama sekali. Sabrina mengembuskan napas kasar. Seakan dia baru saja keluar dari tahanan yang pengap udara. "Ya Tuhan, balikkan hati Mama untuk menerimaku dan Tari kembali." Sabrina memutuskan untuk pulang. Dan Sesampainya di rumah, dia langsung memeluk Tari. "Eumm, wanginya anak Mama. Sudah mandi ya?" tanya Sabrina yang masih berjongkok di depan Tari. "Sudah dong, Mbak Bela tadi yang mandiin aku." "Yaudah, Mama mandi dulu ya. Nanti kita makan siang bersama." Sabrina berdiri dan bersiap untuk berdiri lagi. "Oke, Ma." Tari mengacungkan jempolnya pada Sabrina lalu berlanjut main boneka lagi. Karena pertemuan dengan mantan mertuanya cukup lama, Sabrina memilih untuk memesan makanan me
"Mama kenapa?" Ratna menjadi salah tingkah karena tiba–tiba menggebrak meja. "Maaf! Mama rasa, migrain Mama kambuh," ujar Ratna berbohong. Tentu saja dia takut kalau Sabrina mengatakan hal yang tidak–tidak dan membuat Erlangga curiga padanya. "Benarkah?" Ratna mengangguk karena ingin segera pulang. "Bisakah kita pulang sekarang?" "Papa, aku masih mau main sama Tari. Boleh ya, Pa?" "Tidak! Bulan ikut pulang Oma sama Papa!" tolak Ratna kasar secara refleks. Wajah Bulan menjadi sangat, menyedihkan. Matanya mengembun dan bersiap untuk menangis. "Waktu saya sedang luang, Nyonya. Bulan boleh ikut ke rumah saya untuk bermain dengan Tari. Kebetulan, anak saya itu suka usil sama kalau di rumah. Ya, karena dia tidak memiliki teman." Mata kecil Bulan langsung berbinar saat mendengar Ratna tidak keberatan. "Tidak! Oma bilang tidak ya tidak!" Lagi–lagi, Ratna membentak Bulan hingga membuat Tari bersembunyi di belakang Sabrina. Akan tetapi, Bulan berbeda, Dai tidak mendengark
Pipi Sabrina memerah setelah tatapannya dengan tatapan Erlangga bertemu. Buru–buru dia menundukkan pandangannya agar tidak semakin kentara perasaan tak menentu ini. "Bu Bos, ada seseorang yang datang dan katanya adalah mitra bisnis Bu Bos." Luna tiba-tiba datang dan menganggu reuni keluarga kecil yang hanya Sabrina yang mengetahuinya. "Siapa?" Seorang pria berpakaian setelan jas hitam datang dan berdiri di belakang Luna. "Selamat sore, Bu Sabrina," sapa pria tersebut. Luna sangat terkejut karena tiba-tiba pria itu sudah di belakangnya. Erlangga menautkan dua alisnya. Begitupun pria itu saal melihat Erlangga dan Bulan. "Elvano?" "Om El!" Seru Erlangga dan Bulan secara bersamaan. "Kalian kenal?" tanya Sabrina bingung. "Kak Erlangga adalah sepupuku," jawab pria yang bernama Elvano itu. Sabrina membulatkan mulutnya dan membentuk huruf 'o'. Tanpa di persilahkan, Elvano duduk di samping Erlangga. Dia sudah seperti layaknya kerabat Tuan rumah. "Tari, Bulan, kalian
"Iya, dulu kami adalah keluarga yang bahagia." "Mertuamu masih hidup?" tanya Erlangga yang terlihat peduli. "Beliau masih hidup. Akan tetapi, sekarang beliau membenciku karena alasan yang tidak aku tahu. Astaga, maaf!" Sabrina memukul kepalanya dengan jari telujuknya pelan. "Tidak masalah," jawab Elvano dan Erlangga bersamaan. Sabrina tersenyum, lalu berguman, "Kenapa aku jadi menceritakan itu pada mereka?" Namun, hanya dia sendiri yang mendengar gumanan itu. Sedangkan Erlangga dan Elvano kembali perang mata secara diam–diam. Hanya kedua orang itu yang tahu. Setelah itu, suasana makan jadi hening. Tari dan Bulan yang biasa berceloteh kini senyap. Selesai makan malam, ketiga pria yang berada disana mulai pamit. Ilham pamit duluan karena jam kerjanya juga sudah selesai. Sementara Erlangga dan Elvano terus saja meributkan hal sepele sehingga menunda kepulangan mereka. Sabrina merasa kesal karena hal itu. Setelah melewati beberapa episode perdebatan, baru akhirnya mereka de
"Oma… !" Bulan juga berseru saat melihat Ratna. Mata Ratna yang tadinya setajam samurai saat menatap Sabrina, kini berubah Cera saat beralih menatap Erlangga yang menggendong Bulan. "Mama juga mendapat undangan?" tanya Erlangga saat mereka sudah saling berhadapan. "Iya, Susi teman Mama mengundang Mama, dan ternyata dia adalah ibunya mertuanya Riri mamanya Felix." Ratna menjawab seraya menarik Erlangga dan Bulan untuk menemui temannya yang dimaksud, dan meninggalkan Sabrina yang menggendong Tari. "Loh, Ma! Memangnya Neneknya Bulan tidak suka dengan kita ya? Kok kita tidak diajak kesana?" tanya Tari polos. Memang benar kata pepatah, jika anak kecil itu lebih peka perasaan nya daripada orang dewasa. "Tidak baik berburuk sangka, Sayang. Mungkin, Nenek Ratna sudah tidak sabar untuk bertemu dengan temannya dan mengobrol," jawab Sabrina memberi pengertian. Meskipun dia tahu kalau Ratna tidak menukainya, tidak mungkin 'kan untuk mengajari anak tentang kebencian? Sabrina membaw
Keringat Fredy mengucur deras. Mungkin sekarang punggungnya basah karena keringat itu. "Sharon Mecca. Kurasa nama itu sangat jauh jika diplesetkan menjadi Bia," desak Erlangga lagi. "Memang. Dahulu kamu sangat mencintai istrimu. Bia adalah panggilan sayang darimu. Karena kamu memanggilnya Bia, kami semua juga terbiasa memanggilnya Bia. Terlebih, teman Mamamu itu jarang di rumah dulunya. Jadi dia mengira nama mantan istrimu adalah Bia dan tidak tahu kalau itu panggilan sayang." Bukan keluarga Edward namanya kalau tidak pandai membuat skandal. Erlangga mengangguk. Namun terlihat tidak puas. Masih ada yang janggal menurutnya. "Baiklah, kali ini aku percaya." Erlangga beranjak dari duduknya. Fredy menghela napas setelah putranya pergi. "Aku yakin, pasti anak itu akn mencari tahu sendiri. Apakah aku memilih jalan yang salah karena mengikuti Ratna?" Dia berguman seraya memegang kedua pelipisnya. Sementara itu, Erlangga memukul stir mobil. Dia bingung harus darimana untuk memula
Kaca bening di mata Sabrina semakin tebal. Selang sekian detik bulir bening meluncur begitu saja dari sana. Pandangannya menjadi buram saat melihat pria di atas panggung. Tak sengaja, Erlangga juga menatapnya dari atas. Dia baru menyadari kalau Sabrina berada disini. "Sabrina?" gumannya. Erlangga berusaha tidak peduli. Akan tetapi, hatinya teramat sakit melihat raut muka Sabrina yang terluka. Sabrina bergegas keluar dari ruangan itu. Elvano menyadarinya saat Sabrina sudah tidak ada. Sama halnya Sabrina, dia tercengang karena sepupunya berada dilamar seseorang di atas panggung. Wanita yang masih memiliki darah biru keraton itu melepas tangisnya yang ditahannya. Beruntung kondisi saat sepi, karena semua orang sudah berada di dalam. "Ya Tuhan, jika Engkau tidak menakdirkan kami untuk bersama, kenapa Engkau mempertemukan kami kembali," ujarnya sesenggukan. Pada saat ini, keadaan sedang hujan. Angin sepoi membuat tubuh Sabrina menggigil. Akan tetapi, sama ekali dia tidak m
"Sebentar! Mama kamu yang bilang ya?" Bulan bingung, kemudian dia menatap Erlangga dan Tari secara bergantian. Sedangkan Tari menggelengkan kepalanya. "Tidak! Aku lihat di ponsel Mama, Om." Kemudian, bel berbunyi dan para pengajar anak–anak mulai memanggil anak didiknya. Tari teramat kecewa karena sebelum mendapat jawaban dari Erlangga, jam belajar sudah mulai. "Tari tunggu nanti, Om," ujar Tari datar lalu pergi ke Bunda yang menjadi Wali kelasnya. Tidak seperti biasa, Tari berjalan dulu tanpa menggandeng Bulan. Bulan sedikit kecewa, tetapi dia tetap berpikir positif. Hari ini adalah pelajaran mewarnai. Tari mendapatkan gambar buah apel yang harus diwarnai beserta tangkai dengan satu daun. Sedangkan Bulan mendapat gambar pisang. Kedua anak itu duduk dalam satu meja. Bersebelahan pula. Meja belajar mereka memutar seperti meja belajar di film kartun anak kembar botak yang berasal dari negara tetangga. "Tari, tadi… apa yang kamu ucapan benar? Soal Papa mau mencari mama baru u
"Mama!" "Papa!" Teriak Tari dan Bukan secara bersamaan. Mereka berlari sembari merentangkan tangan pada Bia dan Erlangga. Meskipun baru pulang dari rumah sakit, kondisi Erlangga benar-benar sehat saat ini. Jadi dia memutuskan untuk menjemput kedua gadis kecilnya. Tentu saja dengan meminta bantuan sopir untuk menjemput. Erlangga dan Bia sama-sama berlutut untuk menyambut masing-masing putrinya. "Umm, ceria sekali dua putri Mama," ujar Bia yang mencium pipi Tari. Kemudian, Tari beralih memeluk Erlangga dan begitupun pada Bulan. Kembaran Tari itu ganti memeluk Bia. Erlangga membantu kedua gadis kecil itu masuk ke mobil sembari mereka bercerita tentang kegiatan di sekolah. "Ma, tadi Tari dapat bintang lima loh! Kata Bu Guru, hasil mewarnai Tari rapi dan bagus.""Bulan, juga! Bulan, juga! Bulan juga mendapat bintang lima. Bu Guru juga memuji gambar Bulan." "Benarkah? Karena kedua putri Papa mendapat nilai bagus, bagaimana kalau kita merayakannya?" sahut Erlangga yang antusias deng
"Apa katamu?" Erlangga menyerengit. Dia tidak terlalu mendengar karena suara Bia sangat pelan. "Aku tadi mengucapkan semoga cinta kita bisa langgeng. Kenapa?" Bia mengira Erlangga tidak mendengar gumanannya yang samar. Jadi hatinya dag-dig-dug takut Erlangga benar-benar mendengar. "Benarkah?" "Memangnya kamu mendengar aku berkata apa?" Bia berusaha untuk tidak gugup. "Lupakan saja! Ayo kita mandi lalu makan. Aku yakin kamu pasti belum makan." Wanita itu bersyukurlah, Erlangga benar-benar tidak jelas mendengar. "Hum. Aku sangat lapar sekarang." ***Wajah Ratna memerah bak tomat menahan marah melihat putra dan menantunya, turun dari tangga bergandengan tangan dan bercengkrama. Tangannya yang berada di atas sofa terkepal erat hingga buku-buku tangan terlihat. "Selamat siang, Ma!" sapa Erlangga. Ratna kembali melipat koran yang dibaca setelah Bia dan Erlangga sudah di samping sofa. Wanita yang telah melahirkan Erlangga itu hanya menatap keduanya dengan wajah sinis tanpa senyum.
Erlangga terus menatap pintu dan menunggu sosok yang diharapkan datang. Akan tetapi, setelah dua detik waktu yang terlewat dari waktu yang diberitahukan, orang itu belum juga muncul. "Bia kemana sih?" gerutunya sambil berkali-kali mengecek ponsel. "Harus berapa kali Mama bilang kalau istrimu itu tidak akan datang. Tadi pagi aja, waktu Mama ke kamarmu untuk memberitahunya, dia masih tidur pulas," sahut Ratna yang mengemas pakaian Erlangga. Erlangga hanya diam karena sulit percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Menurutnya, Sabrina tidak seperti itu. "Tuh kan! Kamu tidak percaya dengan ucapan Mama." Ratna kembali berucap sinis. Keadaan menjadi hening. Bahkan sampai di depan rumah, ibu dan anak itu hanya bicara seperlunya. Saat memasuki rumah, Erlangga mendapati keadaan rumah yang sepi. Dia heran karena tidak biasanya seperti ini. Hanya Sumi yang menyambutnya di depan pintu. "Bi, kemana Bia dan anak-anak?" tanya Erlangga padanya sedikit sinis. "Neng Bia masih di kamar, Den
Saat senja mulai tampak, Fredy memutuskan untuk kembali. "Cepatlah sembuh! Maaf jika nanti, mungkin Papa tidak bisa mengunjungimu lagi." Pria paruh baya itu tersenyum sangat manis pada Erlangga. "Ini adalah uang terakhir tabungan Papa. Jika uang itu sudah habis, mungkin Papa tidak bisa menengokmu lagi." "Kenapa terburu-buru, Pa. Memang Papa tidak merindukan Tari dan Bulan? Mereka berdua sangat merindukanmu." Meskipun ada masalah diantara mereka, tetapi Erlangga masih enggan menerima kalau kenyataan kalau Fredy memilih untuk hidup sederhana di kota kecil yang mungkin terpencil."Papa titip pesan, bilang kalau kakeknya ini juga merindukan mereka. Tapi kamu yakin tidak ada masalah dengan istrimu? Papa hanya khawatir kalau Mamamu kembali membuat ulah." Fredy sedikit menurunkan nada bicaranya. Memang, Ratna tidak berada disana. Namun dia tetap takut ada orang lain yang mendengar. "Nanti setelah pulang, aku akan menyelidiknya, Pa." "Ya sudah, jaga dirimu dan juga keluargamu baik-baik
Tabrakan tak bisa di hindari. Mobil Erlangga terpenjal jauh dan berguling ke depan. Jika tidak ada pembatas, sudah dipastikan akan jatuh ke jurang. Beberapa saat lalu saat berada di kios sate padang, ada seseorang yang membututi mereka di belakang. Seperti kejadian saat mereka makan mie ayam bakso. Namun pria misterius itu tidak mempotret atau memfoto mereka diam-diam. Melainkan melakukan sesuatu pada mobil Erlangga. "Akhirnya punya kesempatan juga. Kalau tidak, sudah pasti Bos Elvano yang akan menggorok leherku." Hanya beberapa menit pria itu selesai mengutik mobil Erlangga. Pria yang mengenakan hodie hitam itu memotong kabel rem mobil. Erlangga dan Sabrina sama sekali tidak curiga karena tidak ada yang mencurigakan. Pria itu sama sekali tidak meninggalkan jejak yang membuat curiga. Rencana Elvano semakin sukses saat ada sopir truk dari arah yang berlawanan sedang mengantuk. Kedua mobil itu sama–sama tidak bisa menghindar dan saling bertabrakan. Erlangga sudah berusaha sekuat
Susi mengatakan itu sembari menatap Sekar dan Leon secara bergantian. Mata jelas penuh harap. Sementara Sekar dan Leon saling padang dan diam sesaat. Tanpa diduga, kemudian mereka tertawa cukup keras. Membuat Susi mengerut heran. Awalnya dia mengira akan banyak pertimbangan dari keduanya. Siapa sangka dugaannya salah. "Tentu saja kami setuju, Sayang. Kami sudah mengenal Farhan. Semenjak kamu pergi, Kakakmu sering mengajak temannya berkunjung ke rumah." Saat itu, Susi dan Aldo tidak mengumbar hubungannya pada siapapun termasuk para sahabat masing-masing. Aldo tidak mengenalkan Susi dengan sahabatnya. Waktu kuliah, Aldo adalah orang yang paling tertutup diantara ketiga sahabatnya. Pun ketiga sahabatnya itu tidak pernah mempertanyakan masalah Aldo. Prinsip mereka, tidak akan ikut campur jika tidak diminta. Makanya, persahabatan itu selalu langgeng sampai sekarang."Terima kasih, Bunda, Papi. Kalau begitu aku panggil Farhan kesini ya?" tanya Susi. Terdengar memang meminta persetujua
Sekar menangis dan tangisan itu menular pada Susi. Keduanya menangis hingga menimbulkan suara. Seakan keduanya lupa dengan banyak orang yang berada di gedung ini. Leon juga terkejut saat melihat Susi berdiri disana bersama temannya Aldo. Melihat istrinya dan Susi berpelukan, Leon juga ikut memeluk mereka. Sontak, semua orang disana memandang ketiga orang yang sedang berpelukan itu. "Maafkan Bunda, Sayang!" lirih Sekar sekali lagi. "Maafkan Papi juga, Nak!" "Susi juga minta maaf, Bunda, Papi. Maafkan Susi karena hal itu, Susi marah dengan kalian." Orang-orang di sekeliling mereka merasa haru. Namun, Zaskia dan Papinya merasa aneh. Apa hubungan keluarga Richard dengan calon istri Farhan? Santoso-ayahnya Zaskia juga bertanya-tanya dalam hati. "Keluarga kalian mengenal temannya Kak Bia?" tanya Zaskia setelah menyenggol Aldo. "Susi adik angkatku," jawab Aldo datar yang tatapannya tetap tertuju pada orang tuanya dan Susi. "Apa?" Zaskia dan Santoso tertegun sejenak. Setelah puas
Erlangga memukul stir mobil saat sudah berada di depan rumahnya. Dia benar–benar tidak menyangka kalau Elvano akan mengkhianatinya seperti ini. Padahal, saat Fredy memilih untuk mengundurkan diri dan pergi bersama istri barunya, dia sudah memiliki rencana untuk membujuk Ratna agar meminta Elvano yang mengurus perusahaan itu. Biar bagaimana pun, Elvano juga berhak atas perusahaan itu. Karena dia juga sama-sama cucu dari keluarga Kusuma. Ratna dan ibunya Elvano adalah kakak beradik, meskipun dari ibu yang berbeda. Selain itu, Erlangga juga memiliki perusahaannya sendiri. Dia sama sekali tidak serakah. Namun, Elvano terlalu tidak sabar. Bahkan dia juga berani ingin merebut Sabrina darinya.Untuk mengatasi hal seperti ini, teman yang bisa diandalkan Erlangga hanya lah Aldo. Dia satu–satunya teman yang memiliki koneksi pada bidang mafia dan hacker yang mumpuni. "Pasti dia sedang sibuk dengan rencana pernikahannya. Seharusnya aku tidak menganggunya sekarang." Monolognya sembari kembal
Erlangga mengerutkan keningnya seraya menatap nomor yang tertera di layar ponselnya. Pikirannya seakan sedang memikirkan sesuatu yang rumit. Pria itu berjalan keluar. Saat melawati ruangan sekretarisnya dia mengatakan, "Anggia, undur rapatnya menjadi jam sebelas siang." "Baik, Pak!" Sesampainya di dalam mobil, Erlangga kembali mendapat pesan dari nomor misterius tadi. (Kamu ingin menemuiku bukan? Aku berada di Vila dekat pesisir pantai dua kelapa.)Erlangga membaca pesan itu tanpa berniat membalasnya. Kemudian dia melajukan mobilnya ke alamat yang di dalam chat. Awalnya dia ingin meminta bantuan Aldo untuk melacak nomor misterius itu. ***Sementara itu, pria yang berada di villa sedang meneguk segelas kecil vodka. Wajahnya terlihat mengerut setelah meminumnya. "Anak muda, kamu telah menjalankan tugasmu dengan baik. Sekarang katakan, apa yang kamu inginkan?" tanya pria paruh baya yang baru saja meneguk minuman beralkohol itu. "Permintaan saya tidak banyak, Tuan Redd. Saya hanya