Lalu Ratna melihat Erlangga berdiri agak jauh di belakang Sabrina dan sedang tersenyum padanya.
"Mama," panggil Erlangga seraya melambaikan tangan pada Ratna. Bergegas Ratna mengakhiri pembicaraannya dengan Sabrina sebelum Erlangga menghampirinya.
"Ingat baik-baik, jangan pernah ganggu kehidupan Erlangga lagi." Bisikan yang terdengar lembut tapi mampu menusuk hati Sabrina hingga dalam dan terasa ngilu.
Kemudian Erlangga menggandeng tangan Mamanya ke dokter spesialis langganan Ratna periksa kesehatan.
"Mama mengenal wanita tadi?" tanya Erlang saat mereka berjalan di lorong.
"Tidak. Mama tidak mengenalnya. Tadi secara tidak sengaja Mama menabraknya dan kami sedikit berbincang," jawab Ratna berbohong.
"Memangnya kenapa?" Ratna bertanya lagi.
"Tidak. Hanya tanya."
Erlang tidak percaya dengan jawaban ibunya. Wajahnya sulit diartikan. Erlangga tahu jika Mamanya berbohong dan memilih tidak mengatakan kalau dia kenal dengan Sabrina.
Tanpa berkatapun, Erlangga dapat melihat dari sorot mata mamanya yang jernih. Dia memilih tidak bertanya lagi dan memasukkan tangannya ke saku celana seraya berpikir. Kenapa ibunya berbohong?
Setelah Ratna menemui dokter spesialis yang merawatnya, Erlang beralasan untuk keluar dari ruangan dokter itu dan menemui Sabrina.
Erlangga melihat Sabrina terburu–buru pergi setelah selesai berbincang dengan pria muda yang tak lain adalah karyawannya–Ilham. Dia mengikuti Sabrina dan baru memanggilnya saat Sabrina sampai di lorong yang sepi.
"Tunggu!"
Suara bariton Erlangga yang tak asing di telinga Sabrina membuatnya berhenti melangkah. Sabrina berbalik badan dan berusaha tenang di hadapan Erlangga.
"Bolehkah saya bertanya?" ujar Erlang seraya berjalan mendekati Sabrina.
"Ada apa?" jawab Sabrina ketus. Lalu wanita itu kembali berjalan. Namun tidak secepat tadi.
"Apa yang kamu bicarakan dengan Ibu saya tadi di dekat meja administrasi?" Erlang mengikuti langkah Sabrina.
"Kenapa anda bertanya pada saya? Bukankah lebih baik anda bertanya pada Ibu anda?"
"Saya ingin bertanya padamu. Apakah ada masalah?"
"Ya. Anda telah menganggu waktu saya. Maaf saya buru–buru!" tekan Sabrina lalu mempercepat langkahnya.
Dari lubuk hatinya yang dalam, Sabrina berharap. Erlang mendatanginya lalu memeluknya untuk menguatkannya di saat putrinya terbaring berjuang melawan maut. Tapi… dia telah melupakan Sabrina dan semua kenangan dulu. Apakah dia amnesia, atau hanya pura-pura?
Erlang bingung karena Sabrina justru menangis seraya meninggalkannya. Dia berlari mengejar Sabrina.
"Hei, tunggu! Kenapa kamu malah menangis?" gerutu Erlang yang membuat Sabrina semakin terisak.
"Kamu jahat! Kamu jahat! Kamu jahat, Mas! Kenapa kamu meninggalkan aku? Kenapa? Hah!" Sabrina semakin histeris, dia memukul dada bidang Erlang dan pria itu semakin bingung.
"Kamu tahu? Mama merebutmu dan satu putri kita! Dia memisahkan kita. Sepertinya ini memang skandal yang dibuatnya. Dalam kecelakaan lima tahun lalu, katanya kamu meninggal! Mama menyalahkan aku atas meninggalnya kamu. Mama juga tidak mengizinkan aku untuk melihat jenazahmu waktu itu. Bodohnya, aku percaya dengan perkataannya dan mengira memang aku yang menyebabkan kamu mati. Lima tahun aku selalu dihantui rasa bersalah, Mas. Tapi … sekarang aku melihatmu berdiri tegap dan tidak sedikitpun kamu mengingatku! Atau memang kamu sengaja? Hah! Kalian ingin kembali menghancurkan hidupku. Hu… hu… huu… ." Sabrina tergugu dan meluapkan emosi pada pria di depannya.
Setelah puas berbicara, kaki Sabrina lemas dan membuat tubuhnya luruh ke lantai. Tubuhnya bergetar dan pundaknya naik turun.
"Aku berjuang merawat putri kita tanpamu, Mas. Kamu tahu … betapa berat aku melewatinya tanpamu? Aku merindukanmu, Mas. Sangat merindukanmu, hu … hu … hu … ." Sabrina kembali mengatakan isi hatinya.
Hati Erlang serasa tercubit mendengar suara Sabrina. Seakan dia ikut merasakan sakit.
Meskipun begitu, Erlang tidak tega melihatnya, lalu dia berjongkok, kemudian memeluk Sabrina dan menenangkannya. Tidak ada penolakan dari Sabrina karena memang dia amat sangat merindukan Erlang.
"Tenanglah! Aku tidak tahu apa masalahmu, tapi aku berjanji, aku akan berusaha membantumu." Suara Erlang begitu lembut terdengar, diiringi tangannya yang membelai surai hitam Sabrina.
Mendengar perkataan Erlang, Sabrina menyadari kalau Erlang yang memeluknya berbeda dengan Erlang yang dulu. Dia melepas pelukan pria itu dan berdiri.
"Maaf! Sebaiknya anda melupakan apa yang saya katakan tadi! Saya terbawa emosi," cicit Sabrina namun bisa didengar oleh Erlang.
Erlang semakin bingung hingga sepuluh kali lipat.
"Ada apa dengannya? Apakah aku memiliki hubungan dengannya di masa lalu?"
Erlangga hendak mengejar Sabrina. Akan tetapi, ponselnya berdering. Tentu saja panggilan dari Ratna. Akhirnya dia memilih untuk kembali.
Sabrina menangis di balik tembok. Bahunya berguncang dan tangisnya bersuara setelah mendengar langkah Erlangga menjauh.
"Kenapa Mama tega melakukan ini? Apa salahku?" Sabrina kembali menutup wajahnya.
Setelah puas menangis, dia segera kembali ke depan IGD untuk menunggu putrinya.
Tepat setelah dia duduk di bangku tunggu, seorang dokter yang menangani Tari keluar.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Sabrina seraya menghampiri dokter muda tersebut.
"Pasien baik–baik saja, kepalanya hanya terbentur sedikit, memerlukan beberapa jahitan dan kakinya patah tidak sampai amputasi. Sebulan dua bulan akan pulih. Tidak ada luka yang serius dari hasil rotgennya, tapi saranku besok saja pulangnya. Sepertinya, pasien itu sedikit syok. Makanya dia pingsan."
Sabrina menghela napas lega. "Boleh aku menemuinya?"
Dokter itu mengangguk. Setelah beberapa menit, Tari dipindahkan ke kamar rawat.
Tari terbangun dari pingsannya setelah mamanya beberapa menit terlelap. Meskipun tidak parah, tapi karena guncangan syok, masa pingsannya lebih lama.
Sabrina setia menunggu di sisi putrinya hingga tak sadar tertidur dengan kepala yang disandarkan pada brankar dekat tangan Tari.
"Mama," panggil Tari yang baru saja sadar.
Sabrina tidak mendengar karena nyenyak. Sehingga Tari mengusap kepala Mamanya, baru Sabrina terbangun.
"Eummm… kamu sudah bangun, Sayang?" Sabrina bergegas mengusap mata dan wajahnya untuk mengusir rasa kantuk.
"Mama, tadi aku mimpi. Papa datang mengunjungiku bersama seorang anak kecil yang tingginya sama denganku, Ma." Tari langsung bercerita tentang mimpi yang dialaminya.
"Tapi aku lupa wajah Papa seperti apa. Kalau anak kecil yang bersama Papa wajahnya sangat mirip denganku," lanjutnya dengan suara yang masih lemah.
Wajahnya terlihat memaksa membuat senyuman. Namun sorot mata yang bahagia terlihat secara alami.
Sabrina bingung hendak menanggapi apa. Yang pasti dia ikut tersenyum dan mengelus kepala yang di peran itu.
"Benarkah?" hanya itu yang mampu keluar dari bibir Sabrin.
Lalu suara pintu terbuka. Erlangga dan Bulan masuk membawa buah tangan yang banyak. Erlangga menenteng dua keranjang buah–buahnya yang dihias dan beberapa camilan. Sedangkan Bulan membawa buket bunga lily yang indah dan bucket coklat.
Sabrina dan Tari terkejut. Akan tetapi, Sabrina lebih parah.
"Bagaimana dia tahu kalau Tari berada di sini? seingatku tadi sewaktu bertemu aku tidak mengatakan apapun dan dia juga tidak membahas soal Tari," tanya Sabrina dalam hati.
"Maaf, tadi aku egois. Bukannya bertanya siapa yang sakit, tapi malah menanyakan hal yang membuatku penasaran," celetuk Erlang setelah supir nya keluar dan dua bocah perempuan itu mengobrol sendiri. Bulan menarik satu kursi, kemudian dia naik dan berdiri agar menyamai posisi Tari.
"Tadi sebelum pulang aku bertanya pada resepsionis. Jadi setelah mengantar Mamaku pulang aku berencana menjenguk Tari bersama Bulan," lanjutnya seakan mengetahui apa yang berada di benak Sabrina.
"Aku juga minta maaf. Masalah tadi di lorong… sebaiknya lupakan saja."
"Sebenarnya aku masih penasaran apa alasanmu memeluk … ."
Kalimat Erlangga menggantung karena mendapat pelototan mata dari Sabrina. Wanita itu khawatir jika kedua anak gadis yang masih polos ini berpikir yang tidak–tidak. Tari dan Bulan juga sontak menoleh ke Erlangga saat dia mengatakan kata 'memeluk'. Tentu saja pemikiran keduanya tidak polos lagi. Mereka justru mengharapkan jika Sabrina dan Erlangga bersama. "Cieee, maksud Papa, Tante Sabrina meluk Papa ya?" goda Bulan dengan menyipitkan mata dan lengkungan senyum. "Mama suka sama Papanya Bulan ya?" Tari ikut–ikutan menggoda kedua orang dewasa itu. Pipi Sabrina memerah seperti kepiting rebus. Sedangkan Erlangga tersenyum canggung dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Kalian masih kecil, jangan berpikir yang tidak–tidak. Bulan, jangan dengarkan Papa kamu. Dan kamu Tari, jangan menggoda Mama lagi, atau Mama akan panggil dokter biar kamu disuntik lagi." ***Keesokan harinya, Tari sudah diperbolehkan pulang. Semalam, Susi datang menjenguk sekalian membawa baju ganti untuk Sabrina. S
Wanita berbadan ramping itu mendongakkan kepalanya untuk menatap langit. Lalu dia memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak–banyaknya. Saat matanya terpejam, muncul wajah Erlangga, Tari dan Bulan tersenyum kepadanya. "Aku harus bagaimana, Mas? Harus kah aku pergi jauh darimu, setelah mengetahui kalau kamu masih hidup?" "Kenapa pula kamu lupa ingatan?" Setelah dua hari berlalu, Sabrina sudah memikirkan matang–matang keputusan tentang Erlang. Saat ini juga, Tari sudah pergi ke sekolah. Gadis kecil itu benar–benar tak sabar untuk kembali ke sekolah. Padahal dia baru sehari masuk. "Bulan!" teriak Tari saat melihat Bulan turun dari mobil. Lalu Erlang juga turun setelah Bulan. Kedua orang yang usianya terpaut jauh itu menatap Tari dan Sabrina secara bergantian. Bulan menatap Sabrina sekilas lalu beralih pada Tari yang masih diperban bagian tangannya. Sementara Erlang, menatap Tari sekilas lalu menatap Sabrina dengan senyuman yang menawan. "Tari sudah sembuh?" tanya Erlan
Sabrina tersenyum canggung saat wanita itu berujar. "Emm, maaf ya, Mamanya Felix! Sebenarnya kami bukan satu keluarga." "Yah, padahal kalian itu cocok banget loh. Apalagi Tari dan Bulan memiliki wajah yang serupa, sudah seperti saudara kembar. Cocok banget menjadi keluarga kecil," ujar Hesti yang merupakan teman Riri–Mamanya Felix. "Sebenarnya, kami memang satu keluarga, Bun," ujar Sabrina dalam hati. Tidak mungkin dia mengucapkan itu melalui lisannya, karena Erlangga ada di sampingnya. Jadi, Sabrina hanya memaksakan senyuman. "Doakan saja Bu–Ibu, semoga nanti kami menjadi satu keluarga yang samawa," sahut Erlangga tiba-tiba. Dan itu membuat Sabrina tertegun beberapa saat. Serempak para ibu–ibu disana mengucapkan 'amin'. "Yukk, kita pulang!" ajak Erlang yang kemudian menggandeng tangan Sabrina yang masih sedikit nge-blank. Tari dan Bulan sudah dulu berjalan di depan mereka. Kedua gadis itu saling bergandengan tangan. "Kamu kenapa?" tanya Erlangga saat melihat ekspresi Sabrin
"Nekat kamu ya? Tapi tidak masalah. Karena kamu memilih untuk memperjuangkan anak saya, maka bersiaplah untuk kehilangan kedua anakmu." Dengan sinis Ratna mengatakan itu pada Sabrina. Kemudian dia mengambil blackcard yang berada diatas meja dan pergi. Jus yang dipesannya bahkan belum disentuh sama sekali. Sabrina mengembuskan napas kasar. Seakan dia baru saja keluar dari tahanan yang pengap udara. "Ya Tuhan, balikkan hati Mama untuk menerimaku dan Tari kembali." Sabrina memutuskan untuk pulang. Dan Sesampainya di rumah, dia langsung memeluk Tari. "Eumm, wanginya anak Mama. Sudah mandi ya?" tanya Sabrina yang masih berjongkok di depan Tari. "Sudah dong, Mbak Bela tadi yang mandiin aku." "Yaudah, Mama mandi dulu ya. Nanti kita makan siang bersama." Sabrina berdiri dan bersiap untuk berdiri lagi. "Oke, Ma." Tari mengacungkan jempolnya pada Sabrina lalu berlanjut main boneka lagi. Karena pertemuan dengan mantan mertuanya cukup lama, Sabrina memilih untuk memesan makanan me
"Mama kenapa?" Ratna menjadi salah tingkah karena tiba–tiba menggebrak meja. "Maaf! Mama rasa, migrain Mama kambuh," ujar Ratna berbohong. Tentu saja dia takut kalau Sabrina mengatakan hal yang tidak–tidak dan membuat Erlangga curiga padanya. "Benarkah?" Ratna mengangguk karena ingin segera pulang. "Bisakah kita pulang sekarang?" "Papa, aku masih mau main sama Tari. Boleh ya, Pa?" "Tidak! Bulan ikut pulang Oma sama Papa!" tolak Ratna kasar secara refleks. Wajah Bulan menjadi sangat, menyedihkan. Matanya mengembun dan bersiap untuk menangis. "Waktu saya sedang luang, Nyonya. Bulan boleh ikut ke rumah saya untuk bermain dengan Tari. Kebetulan, anak saya itu suka usil sama kalau di rumah. Ya, karena dia tidak memiliki teman." Mata kecil Bulan langsung berbinar saat mendengar Ratna tidak keberatan. "Tidak! Oma bilang tidak ya tidak!" Lagi–lagi, Ratna membentak Bulan hingga membuat Tari bersembunyi di belakang Sabrina. Akan tetapi, Bulan berbeda, Dai tidak mendengark
Pipi Sabrina memerah setelah tatapannya dengan tatapan Erlangga bertemu. Buru–buru dia menundukkan pandangannya agar tidak semakin kentara perasaan tak menentu ini. "Bu Bos, ada seseorang yang datang dan katanya adalah mitra bisnis Bu Bos." Luna tiba-tiba datang dan menganggu reuni keluarga kecil yang hanya Sabrina yang mengetahuinya. "Siapa?" Seorang pria berpakaian setelan jas hitam datang dan berdiri di belakang Luna. "Selamat sore, Bu Sabrina," sapa pria tersebut. Luna sangat terkejut karena tiba-tiba pria itu sudah di belakangnya. Erlangga menautkan dua alisnya. Begitupun pria itu saal melihat Erlangga dan Bulan. "Elvano?" "Om El!" Seru Erlangga dan Bulan secara bersamaan. "Kalian kenal?" tanya Sabrina bingung. "Kak Erlangga adalah sepupuku," jawab pria yang bernama Elvano itu. Sabrina membulatkan mulutnya dan membentuk huruf 'o'. Tanpa di persilahkan, Elvano duduk di samping Erlangga. Dia sudah seperti layaknya kerabat Tuan rumah. "Tari, Bulan, kalian
"Iya, dulu kami adalah keluarga yang bahagia." "Mertuamu masih hidup?" tanya Erlangga yang terlihat peduli. "Beliau masih hidup. Akan tetapi, sekarang beliau membenciku karena alasan yang tidak aku tahu. Astaga, maaf!" Sabrina memukul kepalanya dengan jari telujuknya pelan. "Tidak masalah," jawab Elvano dan Erlangga bersamaan. Sabrina tersenyum, lalu berguman, "Kenapa aku jadi menceritakan itu pada mereka?" Namun, hanya dia sendiri yang mendengar gumanan itu. Sedangkan Erlangga dan Elvano kembali perang mata secara diam–diam. Hanya kedua orang itu yang tahu. Setelah itu, suasana makan jadi hening. Tari dan Bulan yang biasa berceloteh kini senyap. Selesai makan malam, ketiga pria yang berada disana mulai pamit. Ilham pamit duluan karena jam kerjanya juga sudah selesai. Sementara Erlangga dan Elvano terus saja meributkan hal sepele sehingga menunda kepulangan mereka. Sabrina merasa kesal karena hal itu. Setelah melewati beberapa episode perdebatan, baru akhirnya mereka de
"Oma… !" Bulan juga berseru saat melihat Ratna. Mata Ratna yang tadinya setajam samurai saat menatap Sabrina, kini berubah Cera saat beralih menatap Erlangga yang menggendong Bulan. "Mama juga mendapat undangan?" tanya Erlangga saat mereka sudah saling berhadapan. "Iya, Susi teman Mama mengundang Mama, dan ternyata dia adalah ibunya mertuanya Riri mamanya Felix." Ratna menjawab seraya menarik Erlangga dan Bulan untuk menemui temannya yang dimaksud, dan meninggalkan Sabrina yang menggendong Tari. "Loh, Ma! Memangnya Neneknya Bulan tidak suka dengan kita ya? Kok kita tidak diajak kesana?" tanya Tari polos. Memang benar kata pepatah, jika anak kecil itu lebih peka perasaan nya daripada orang dewasa. "Tidak baik berburuk sangka, Sayang. Mungkin, Nenek Ratna sudah tidak sabar untuk bertemu dengan temannya dan mengobrol," jawab Sabrina memberi pengertian. Meskipun dia tahu kalau Ratna tidak menukainya, tidak mungkin 'kan untuk mengajari anak tentang kebencian? Sabrina membaw
"Mama!" "Papa!" Teriak Tari dan Bukan secara bersamaan. Mereka berlari sembari merentangkan tangan pada Bia dan Erlangga. Meskipun baru pulang dari rumah sakit, kondisi Erlangga benar-benar sehat saat ini. Jadi dia memutuskan untuk menjemput kedua gadis kecilnya. Tentu saja dengan meminta bantuan sopir untuk menjemput. Erlangga dan Bia sama-sama berlutut untuk menyambut masing-masing putrinya. "Umm, ceria sekali dua putri Mama," ujar Bia yang mencium pipi Tari. Kemudian, Tari beralih memeluk Erlangga dan begitupun pada Bulan. Kembaran Tari itu ganti memeluk Bia. Erlangga membantu kedua gadis kecil itu masuk ke mobil sembari mereka bercerita tentang kegiatan di sekolah. "Ma, tadi Tari dapat bintang lima loh! Kata Bu Guru, hasil mewarnai Tari rapi dan bagus.""Bulan, juga! Bulan, juga! Bulan juga mendapat bintang lima. Bu Guru juga memuji gambar Bulan." "Benarkah? Karena kedua putri Papa mendapat nilai bagus, bagaimana kalau kita merayakannya?" sahut Erlangga yang antusias deng
"Apa katamu?" Erlangga menyerengit. Dia tidak terlalu mendengar karena suara Bia sangat pelan. "Aku tadi mengucapkan semoga cinta kita bisa langgeng. Kenapa?" Bia mengira Erlangga tidak mendengar gumanannya yang samar. Jadi hatinya dag-dig-dug takut Erlangga benar-benar mendengar. "Benarkah?" "Memangnya kamu mendengar aku berkata apa?" Bia berusaha untuk tidak gugup. "Lupakan saja! Ayo kita mandi lalu makan. Aku yakin kamu pasti belum makan." Wanita itu bersyukurlah, Erlangga benar-benar tidak jelas mendengar. "Hum. Aku sangat lapar sekarang." ***Wajah Ratna memerah bak tomat menahan marah melihat putra dan menantunya, turun dari tangga bergandengan tangan dan bercengkrama. Tangannya yang berada di atas sofa terkepal erat hingga buku-buku tangan terlihat. "Selamat siang, Ma!" sapa Erlangga. Ratna kembali melipat koran yang dibaca setelah Bia dan Erlangga sudah di samping sofa. Wanita yang telah melahirkan Erlangga itu hanya menatap keduanya dengan wajah sinis tanpa senyum.
Erlangga terus menatap pintu dan menunggu sosok yang diharapkan datang. Akan tetapi, setelah dua detik waktu yang terlewat dari waktu yang diberitahukan, orang itu belum juga muncul. "Bia kemana sih?" gerutunya sambil berkali-kali mengecek ponsel. "Harus berapa kali Mama bilang kalau istrimu itu tidak akan datang. Tadi pagi aja, waktu Mama ke kamarmu untuk memberitahunya, dia masih tidur pulas," sahut Ratna yang mengemas pakaian Erlangga. Erlangga hanya diam karena sulit percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Menurutnya, Sabrina tidak seperti itu. "Tuh kan! Kamu tidak percaya dengan ucapan Mama." Ratna kembali berucap sinis. Keadaan menjadi hening. Bahkan sampai di depan rumah, ibu dan anak itu hanya bicara seperlunya. Saat memasuki rumah, Erlangga mendapati keadaan rumah yang sepi. Dia heran karena tidak biasanya seperti ini. Hanya Sumi yang menyambutnya di depan pintu. "Bi, kemana Bia dan anak-anak?" tanya Erlangga padanya sedikit sinis. "Neng Bia masih di kamar, Den
Saat senja mulai tampak, Fredy memutuskan untuk kembali. "Cepatlah sembuh! Maaf jika nanti, mungkin Papa tidak bisa mengunjungimu lagi." Pria paruh baya itu tersenyum sangat manis pada Erlangga. "Ini adalah uang terakhir tabungan Papa. Jika uang itu sudah habis, mungkin Papa tidak bisa menengokmu lagi." "Kenapa terburu-buru, Pa. Memang Papa tidak merindukan Tari dan Bulan? Mereka berdua sangat merindukanmu." Meskipun ada masalah diantara mereka, tetapi Erlangga masih enggan menerima kalau kenyataan kalau Fredy memilih untuk hidup sederhana di kota kecil yang mungkin terpencil."Papa titip pesan, bilang kalau kakeknya ini juga merindukan mereka. Tapi kamu yakin tidak ada masalah dengan istrimu? Papa hanya khawatir kalau Mamamu kembali membuat ulah." Fredy sedikit menurunkan nada bicaranya. Memang, Ratna tidak berada disana. Namun dia tetap takut ada orang lain yang mendengar. "Nanti setelah pulang, aku akan menyelidiknya, Pa." "Ya sudah, jaga dirimu dan juga keluargamu baik-baik
Tabrakan tak bisa di hindari. Mobil Erlangga terpenjal jauh dan berguling ke depan. Jika tidak ada pembatas, sudah dipastikan akan jatuh ke jurang. Beberapa saat lalu saat berada di kios sate padang, ada seseorang yang membututi mereka di belakang. Seperti kejadian saat mereka makan mie ayam bakso. Namun pria misterius itu tidak mempotret atau memfoto mereka diam-diam. Melainkan melakukan sesuatu pada mobil Erlangga. "Akhirnya punya kesempatan juga. Kalau tidak, sudah pasti Bos Elvano yang akan menggorok leherku." Hanya beberapa menit pria itu selesai mengutik mobil Erlangga. Pria yang mengenakan hodie hitam itu memotong kabel rem mobil. Erlangga dan Sabrina sama sekali tidak curiga karena tidak ada yang mencurigakan. Pria itu sama sekali tidak meninggalkan jejak yang membuat curiga. Rencana Elvano semakin sukses saat ada sopir truk dari arah yang berlawanan sedang mengantuk. Kedua mobil itu sama–sama tidak bisa menghindar dan saling bertabrakan. Erlangga sudah berusaha sekuat
Susi mengatakan itu sembari menatap Sekar dan Leon secara bergantian. Mata jelas penuh harap. Sementara Sekar dan Leon saling padang dan diam sesaat. Tanpa diduga, kemudian mereka tertawa cukup keras. Membuat Susi mengerut heran. Awalnya dia mengira akan banyak pertimbangan dari keduanya. Siapa sangka dugaannya salah. "Tentu saja kami setuju, Sayang. Kami sudah mengenal Farhan. Semenjak kamu pergi, Kakakmu sering mengajak temannya berkunjung ke rumah." Saat itu, Susi dan Aldo tidak mengumbar hubungannya pada siapapun termasuk para sahabat masing-masing. Aldo tidak mengenalkan Susi dengan sahabatnya. Waktu kuliah, Aldo adalah orang yang paling tertutup diantara ketiga sahabatnya. Pun ketiga sahabatnya itu tidak pernah mempertanyakan masalah Aldo. Prinsip mereka, tidak akan ikut campur jika tidak diminta. Makanya, persahabatan itu selalu langgeng sampai sekarang."Terima kasih, Bunda, Papi. Kalau begitu aku panggil Farhan kesini ya?" tanya Susi. Terdengar memang meminta persetujua
Sekar menangis dan tangisan itu menular pada Susi. Keduanya menangis hingga menimbulkan suara. Seakan keduanya lupa dengan banyak orang yang berada di gedung ini. Leon juga terkejut saat melihat Susi berdiri disana bersama temannya Aldo. Melihat istrinya dan Susi berpelukan, Leon juga ikut memeluk mereka. Sontak, semua orang disana memandang ketiga orang yang sedang berpelukan itu. "Maafkan Bunda, Sayang!" lirih Sekar sekali lagi. "Maafkan Papi juga, Nak!" "Susi juga minta maaf, Bunda, Papi. Maafkan Susi karena hal itu, Susi marah dengan kalian." Orang-orang di sekeliling mereka merasa haru. Namun, Zaskia dan Papinya merasa aneh. Apa hubungan keluarga Richard dengan calon istri Farhan? Santoso-ayahnya Zaskia juga bertanya-tanya dalam hati. "Keluarga kalian mengenal temannya Kak Bia?" tanya Zaskia setelah menyenggol Aldo. "Susi adik angkatku," jawab Aldo datar yang tatapannya tetap tertuju pada orang tuanya dan Susi. "Apa?" Zaskia dan Santoso tertegun sejenak. Setelah puas
Erlangga memukul stir mobil saat sudah berada di depan rumahnya. Dia benar–benar tidak menyangka kalau Elvano akan mengkhianatinya seperti ini. Padahal, saat Fredy memilih untuk mengundurkan diri dan pergi bersama istri barunya, dia sudah memiliki rencana untuk membujuk Ratna agar meminta Elvano yang mengurus perusahaan itu. Biar bagaimana pun, Elvano juga berhak atas perusahaan itu. Karena dia juga sama-sama cucu dari keluarga Kusuma. Ratna dan ibunya Elvano adalah kakak beradik, meskipun dari ibu yang berbeda. Selain itu, Erlangga juga memiliki perusahaannya sendiri. Dia sama sekali tidak serakah. Namun, Elvano terlalu tidak sabar. Bahkan dia juga berani ingin merebut Sabrina darinya.Untuk mengatasi hal seperti ini, teman yang bisa diandalkan Erlangga hanya lah Aldo. Dia satu–satunya teman yang memiliki koneksi pada bidang mafia dan hacker yang mumpuni. "Pasti dia sedang sibuk dengan rencana pernikahannya. Seharusnya aku tidak menganggunya sekarang." Monolognya sembari kembal
Erlangga mengerutkan keningnya seraya menatap nomor yang tertera di layar ponselnya. Pikirannya seakan sedang memikirkan sesuatu yang rumit. Pria itu berjalan keluar. Saat melawati ruangan sekretarisnya dia mengatakan, "Anggia, undur rapatnya menjadi jam sebelas siang." "Baik, Pak!" Sesampainya di dalam mobil, Erlangga kembali mendapat pesan dari nomor misterius tadi. (Kamu ingin menemuiku bukan? Aku berada di Vila dekat pesisir pantai dua kelapa.)Erlangga membaca pesan itu tanpa berniat membalasnya. Kemudian dia melajukan mobilnya ke alamat yang di dalam chat. Awalnya dia ingin meminta bantuan Aldo untuk melacak nomor misterius itu. ***Sementara itu, pria yang berada di villa sedang meneguk segelas kecil vodka. Wajahnya terlihat mengerut setelah meminumnya. "Anak muda, kamu telah menjalankan tugasmu dengan baik. Sekarang katakan, apa yang kamu inginkan?" tanya pria paruh baya yang baru saja meneguk minuman beralkohol itu. "Permintaan saya tidak banyak, Tuan Redd. Saya hanya