Percaya atau tidak, setiap manusia hanya mengikuti garis takdir yang telah ditentukan, tak peduli warna kulit, cantik, tampan, jelek, pintar atau pun tidak.
Orang menyebut itu sebagai keberuntungan yang berpihak, atau sebaliknya. Semua hanya mengikuti perputaran roda kehidupan.“Kita makan dulu, Delia?” Kualihkan melankolia yang melingkupi suasana.“Sudah adzan, Tuan. Saya shalat dulu.“Nanti saja di rumah, Isya panjang waktunya,” perintahku.“Menunda kewajiban itu membuat tidak nyaman, Tuan. Menjadi beban pikiran, padahal cuma sepuluh menit. Nanti atau sekarang sama-sama dikerjakan. Mau shalat sekalian?”Seperti gelegar halilintar yang meremukkan isi dada, hangus dan berbau sangit. Kata-katanya sungguh mencabik-cabik harga diriku, meluluh lantakkan kehormatan kesatria penolong berbaju zirah, terkapar tak berdaya bukan karena tusukan pedang azimat, tapi hanya karena pertanyaan seorang bocah.Puluhan tahun aku menggugat tiang-tiang Arsy, menanyakan perihal keadilan Tuhan yang disuarakan dengan lantang oleh ustadz-ustadz kondang.Bapak berpulang ketika aku pun belum mampu mengeja nama, sehingga ibu harus menyulihi tanggungjawabnya mengais rejeki. Menggadaikan kemudaan demi menghidupiku, melupakan tawaran cinta yang datang bertubi-tubi untuk menggantikan kekasih yang pergi.Ibu berkeliling berjualan jamu gendong, diwarnai isu-isu miring yang menyertai statusnya sebagai janda muda. Mereka tak pernah mau tahu, bagaimana setiap malam ibu meratap, menampung air mata pada tengadah tangannya, mengadu pada Rabbul Izzati, atas mulut-mulut pedas yang menuding tanpa kompromi.Ibu juga yang mengajariku tentang tauhid, tentang alif bengkong sampai ya’, juga tentang kesabaran dan keikhlasan menerima takdir baik dan buruk, dan waktu itu aku percaya.Ternyata, kecintaan ibu juga direnggut paksa, saat aku sedang menggarap skripsi semester akhir. Sebuah panggilan telepon mewartakan kondisi beliau yang kritis akibat tabrak lari, ketika menjalani rutinitasnya menjajakan jamu. Aku pulang lintang pukang dengan perasaan tercabik-cabik dan pikiran buruk yang bekejar-kejaran menghantui.Aku meratap sambil menggenggam tangannya, berjongkok di samping tubuh perempuan segala cinta yang terbujur dalam diam itu, sementara darah terus mengalir dari telinganya. Gegar otak, begitu dokter IGD menjelaskan.“Ibu … ini Pram, ibu kuat yaa! Jangan tinggalkan Pram sendirian, Pram butuh ibu, Pram sayang banget sama ibu,” ucapku nyaris tersendat di tenggorokan.Ibu merespon, mengeratkan genggaman, dan berusaha tersenyum, masih dengan mata terpejam. Darah tiba-tiba mengalir makin deras dari kedua telinganya disertai tangan yang terkulai. Aku panik dan meraung memanggil dokter, lalu mendawamkan talqin di telinganya dengan perasaan hancur berkeping. Tak akan lekang dari ingatan senyum terakhir yang ia berikan dengan susah payah.Guguran bunga kamboja adalah teman dalam diam yang menemaniku setiap sore di pusara ibu. Hingga suatu hari, seorang penjaga makam menasehatiku untuk bangkit, mewujudkan cita-cita di mana peluh ibu tercurah sebagai bayaran. “Jangan disia-siakan, Le,” ujarnya kala itu. Aku yang lulus dengan predikat summa cum laude tiga bulan kemudian, duduk sendirian sebagai yatim piatu di aula besar, di mana mahasiswa dan orang tua berkumpul menghadiri wisuda. Aku hanya mampu terisak ketika lagu Gaudeamus Igiturdinyanyikan sekelompok vokal grup dengan perasaan tersayat. Berusaha tersenyum saat naik ke podium, untuk menerima bingkisan sebagai mahasiswa dengan nilai terbaik, tanpa pelukan dan ucapan selamat dari handai taulan, “Ibu, Pram lulus,” ucapku getir.Predikat sebagai lulusan terbaik bukanlah jaminan untuk segera mendapatkan kerja dengan gaji layak. Setiap mengetuk pintu kantor, pewawancara selalu bertanya, “Sudah pernah kerja di mana?” Bagaimana aku akan mendapat pengalaman jika kalian tidak memberiku kesempatan?Tak sekali aku harus menahan lambung yang perih karena tak mampu membeli barang sebungkus nasi. Tetap terseok meniti jalan dan tak putus harap mengetuk dan mengetuk kembali setiap pintu kantor yang tersisa. Hingga Dewi Fortuna akhirnya menyapa. Sebuah perusahaan kontraktor menerimaku sebagai karyawan rendahan. Tak apa, asal bisa membayar sewa kamar dan makan seadanya.Aku bekerja tak kenal siang malam, meraih setiap kesempatan yang diberikan hingga karir naik perlahan.Hingga suatu ketika, dengan keberanian yang tersisa aku putuskan untuk melamar gadis pujaan, anak ibu kantin langganan, agar aku tak kesepian dan berjuang sendirian. Gayung bersambut, pesta pernikahan pun dihelat sangat sederhana.Menyandang gelar karyawan teladan kala itu, perusahaan memberi hadiah pernikahan berupa voucher menginap di President Suite Room hotel berbintang lima di Puncak, satu-satunya momen terbaik yang bisa kuberikan pada Gayatri selama menjadi istriku. Selebihnya, ia menerima dengan senyum penuh cinta semua kesederhanaan yang kusuguhkan. Betapapun, bersamanya aku kembali merasakan berartinya hidup, apalagi tiga bulan kemudian benih cinta mulai tersemai dalam garbanya.Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, suluh hidupku itu kembali direnggut dengan cara menyakitkan, sekaligus buah cinta yang belum sempat kudekap. Langit serasa runtuh dan aku tenggelam dalam gulita yang pekat.Bekerja dan bekerja adalah pelarian dari kekecewaan atas hidup yang kujalani, menyemai harap pada pangkat dan harta, seyogyanya bisa sedikit menghibur, dan memantik semangat hidup, meski senyatanya yang kutemui tetaplah kehampaan.Aku mulai meninggalkan ritual penghambaan yang cuma omong-kosong. Di mana keadilan-Nya, kalau sejak belajar berjalan tertatih aku hanya disuguhi kepahitan demi kepahitan? Sementara aku sudah diajari untuk ruku’ dan sujud bahkan sejak belum baligh.Mulai saat itu aku sering pergi ke Puncak, menginap di kamar hotel yang sama ketika rindu meraja. Menganyam kenangan seorang diri, bercinta bersama sepi, ditemani desau angin dingin, yang dikirim puncak Gunung Salak yang berdiri angkuh dan setia, seperti ingatanku pada manisnya cinta Gayatri yang tak surut.Berapa pun banyaknya kaum hawa menggoda, aku tak pernah goyah, karena aku yakin itu bukan cinta, melainkan hanya hawa nafsu melihat pangkat dan gelimang harta. Sementara hatiku kadung terkubur bersama pusara kekasih tercinta. Hingga kemarin, seseorang mengirimiku gadis kecil itu, di kamar hotel yang sama, dan aku mulai goyah.“Saya sudah selesai, Tuan,” ucapnya halus meski tak urung membuatku kaget dari lamunan panjang. Wajah terbasuh wudhu itu makin terlihat segar.Kami lalu makan dalam diam. Atas usulnya juga ia membawa pulang makanan yang tak habis, meminta pelayan untuk membungkus, betapapun aku melarang.“Buat apa, Delia? Di rumah banyak makanan.” Ia hanya tersenyum dan tak menjawab.Di pinggir trotoar, sejenak ia minta berhenti, memberikan sekotak makanan itu kepada ibu tua penjual keripik pisang, yang duduk termenung sambil memandang dagangannya yang masih penuh. Senyum semringah menghiasi wajahnya, mengucap terima kasih berkali-kali diiringi doa yang panjang ketika menerima pemberian itu.“Kami tahu persis bagaimana rasanya lapar, Tuan. Mungkin lidahnya belum pernah merasakan makanan enak seperti tadi. Tak baik membuang makanan, mubadzir.”Aku terharu melihat laku yang ia suguhkan. Kamu tak tahu, aku juga pernah merasakan hidup berteman lapar, Delia. Dulu, dulu sekali.“Orang hanya bisa menghujat, mencibir dan berkata jijik tanpa tahu seperti apa beratnya kehidupan yang kami jalani, Tuan. Mereka menuding tanpa berniat menolong sedikit pun. Ibu kadang pulang dengan bilur di sekujur tubuhnya akibat disiksa pelanggan dan tak ada yang bisa saya lakukan selain menangis.”Perjalanan pulang dihiasi kesunyian yang menggigit dan hatiku gerimis. Kehidupan kadang memang sekejam itu.***Keesokan hari selepas pulang kantor, kuajak Mang Sugi ke Puncak, ke alamat yang Delia tunjukkan kemarin.Perjalanan beberapa jam terasa begitu lama, ketika rasa penasaran meminta haknya untuk mendapat jawaban. Akhir pekan seperti ini, naik ke Puncak ibarat memarkirkan mobil di tengah jalan, padat dan merayap.Berbekal petunjuk GPS dan bertanya pada kiri kanan, melalui jalan sempit dan agak terisolir dari rumah penduduk, kami menemukan alamat yang dimaksud.Ada mobil kepolisian sedang terparkir di halaman rumah lokalisasi itu dengan lampu sirene berputar-putar menyala di atas kap, juga beberapa kendaraan pribadi.Aku turun dengan perasaan ingin tahu yang kuat. Ada apa gerangan?“Selamat malam, Pak. Sedang ada apa, ya?” sapaku sesopan mungkin.“Selamat malam. Sedang dilakukan penggerebekan tempat-tempat prostitusi liar, Pak. Anda pelanggan di sini?”Tenggorokanku tercekat dan udara terasa menjadi sangat dingin.Beberapa petugas berseragam sibuk hilir mudik sambil menggiring beberapa orang yang diborgol dan dinaikkan ke mobil bak terbuka, mereka adalah perempuan-perempuan berbedak tebal dan berpakaian minim kain juga beberapa laki-laki muda maupun setengah baya. Sebagian tertunduk, sebagian meronta, berteriak, menjerit, dan menangis memohon dibebaskan.Satu sisi hatiku bersyukur, manusia-manusia tak bermoral ini diciduk untuk dilakukan pembinaan, meski di sisi lain aku khawatir dengan keadaanku sendiri. Bagaimana caraku menjelaskan kepada polisi situasi yang kuhadapi dan cara mendapatkan kebenaran informasi tentang Mami Irene? Disamping itu, jawaban atas asal usul Delia yang sebenarnya belum dapat kuungkap.Lalu, apa jadinya jika polisi justru menangkapku dengan tuduhan sebagai pelanggan, pengguna human trafficking seorang gadis yang masih berstatus anak-anak? Tamat sudah riwayatku.Apapun kejadian yang bakal kuhadapi ke depan, jika memang ini benar, Delia dipastikan terbebas dari perbudakan dan perdagangan perempuan. Lantas bagaimana nasib ibunya, dan ... kalau ini bukan alamat yang benar, ke mana aku harus menuntut jawab? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku.**Kenyataan sering tak sejalan dengan rencana yang sudah dibuat matang.Aku tergeragap ketika bapak berseragam itu mengulangi pertanyaanya dengan tatapan tajam penuh selidik.“Pak! Anda pelanggan di sini?”“Ng … bukan, Pak, eh, anu ….” Aku berdehem sebentar, menetralisir serbuan perasaan deg-degan dan kata-kata yang tersendat di tenggorokan. “Maksud saya … saya bisa jelaskan semuanya. Bisa saya bertemu pimpinan operasi ini?” ucapku grogi dengan bahasa yang belepotan.“Bapak ada keperluan apa?”“Tolong! Ada hal penting yang harus saya sampaikan.”“Tunggu di sini!” perintahnya kemudian.Bapak petugas itu menjauh, lantas berbincang dengan sesama laki-laki berseragam yang sedang sibuk dengan Handy Talky di tangan. Keduanya lalu menatap lurus ke arahku. Hatiku menciut. Entah kenapa aku jadi setakut ini.Ketika pada akhirnya keduanya melangkah mendekat, ingin rasanya aku mengambil langkah seribu. Tapi kabur tanpa tanggung jawab bukan keputusan bijak. Meski kesatria berbaju zirah ini sudah kal
Apakah ini teguran? Atau azab atas sikapku selama ini? Segala rasa dan kecemasan bercampur aduk, berputar-putar membingungkan.Aku jadi teringat nasihat ibu, takaran ujian manusia sesuai dengan tingkat keimanan seseorang. Sebagai bentuk kecintaan Tuhan agar ia berjalan di atas muka bumi tanpa dosa, karena ujian dan kesakitan adalah untuk menghapus tiap kesalahan. Sementara, dicoba seperti ini saja, aku berontak dan menjauh, melupakan fitrah bahwa manusia diciptakan untuk menyembah Tuhannya.Ia justru menganugerahiku kemudahan. Ujian selanjutnyakah ini, atau istidraj? Kesenangan dan nikmat yang diberikan sebagai azab yang membuatku semakin lalai dan mati dalam kesia-siaan.Hatiku gerimis, serasa diremas, pedih dan menyesakkan. Jebol sudah tanggul keangkuahku selama ini, seiring air mata yang luruh membasahi pipi.“Bapak kenapa?” Mang Sugi bertanya sambal melirik kaca spion di atas dashboard. “Nggak usah cemas, Pak. Insyaallah nggak terjadi apa-apa,” sambungnya menenangkanku.Shit! Kena
Tuhan mengaruniakan air mata itu untuk melerai beban dan kesedihan yang bertumpuk menyesakkan.Menangislah, Delia. Kaummu dianugerahi persediaan air mata lebih, karena kodrat kalian yang harus melakukan banyak hal mempergunakan rasa, meski tak sekali, laki-laki juga butuh menangis. Alam raya diciptakan dengan keseimbangan yang dinamis, ada pelampiasan yang bisa dilakukan atas setiap hal yang berlaku.Aku hanya duduk dan menunggu, hingga kesedihannya benar-benar reda.“Mau jadi apa kalau nggak nerusin sekolah, Delia?” ujarku akhirnya.“Buat apa lagi saya sekolah, Tuan?” Ia tertunduk, memainkan jarinya di pangkuan sambil sesekali masih menyusut air mata dengan ujung jilbab.“Untuk dirimu sendiri, orang-orang di sekitarmu dan biar nggak bernasib seperti ibumu, maaf. Kamu masih punya harapan bertemu, ‘kan? Aku juga pernah hancur ketika ibu meninggal saat aku sedang menempuh pendidikan, sementara bapak sudah mendahului sejak aku masih bayi. Aku tahu rasanya, Delia.”Kepalanya terangkat da
Ujian demi ujian datang menyapa.Aku terkejut alang-kepalang melihat apa yang tersaji di depan mata. Sementara Delia menghambur dan membenamkan wajahnya di dadaku. Dua kejadian luar biasa yang datang secara bersamaan. Perasaanku campur aduk antara kaget dan berbunga-bunga, penuh menyesaki rongga dada. “Tak apa, Delia,” ujarku sambil menepuk pundaknya beberapa kali.Menyadari yang baru saja ia lakukan, Delia tergesa mengangkat wajah dan langkahnya surut ke belakang.“Tuan, maaf.” Ia tersipu.“Siapa yang mengirim ini?” ujarku, lebih seperti bergumam pada diri sendiri.Seekor ayam mati ditancapkan ke pintu menggunakan sebilah belati, sementara darahnya berceceran di lantai yang putih, sehingga memperlihatkan warna mencolok. Ada tulisan ‘TUNGGU PEMBALASAN!’ di samping genangan darah tanpa ada petunjuk lain. Siapa gerangan pelakunya dan apa maksud semua ini? Rasanya selama ini aku tak memiliki musuh.Kupikir, tak mungkin ada penyusup masuk lewat portal depan yang dijaga satpam. Apakah ula
Pada waktunya, semua hanya akan menjadi kenangan.Tapi, aku belum sanggup kehilangan semua momen ini. Terlebih selama belasan tahun hari-hari hanya berteman sepi yang bisu, tak ada keinginan-keinginan, untuk kehidupan yang sungguh-sungguh hidup. Jika kamu pergi Delia, rumah ini akan masuk dalam musim dingin yang panjang kembali.Hatiku mendadak ngilu, membayangkan kehilangan yang menyakitkan sekali lagi. Tapi, demi melihat asa yang terlukis dari pancaran kejoranya yang menatap lekat-lekat, aku tak tega memupus harapan yang meletup-letup di sana.“Tuan, yaa?” Sekali lagi ia meminta sungguh-sungguh.“Berkemaslah. Kita berangkat besok pagi.”Selarik senyum ia sematkan dengan mata yang menyapu wajahku beberapa jeda. “Terima kasih banyak, Tuan. Anda memang yang terbaik,” ujarnya, sebelum membuka pintu mobil dan menghilang di teras rumah, meninggalkanku yang masih termangu sambil memegang kemudi, dengan perasaan campur aduk.***“Tuan?”“Hmm?”“Anda dulu nikah muda?”“Setahun setelah selesa
Rumah besar ini kembali lengang. Sepi seperti tak bertuan.Mak Yayah kini sering duduk termenung sendirian. Sama sepertiku, barangkali ia juga kehilangan. Meski selama di sini, Delia lebih banyak diam, tapi bersama Mak Yayah mereka bisa ngobrol banyak sambil melakukan pekerjaan rumah bersama-sama. Setiap kularang, jawabannya tetap sama, “Saya adalah sahaya yang ditebus, Tuan. Biarkan saya melakukan apa yang harus saya lakukan di rumah ini.”Lalu aku membiarkannya melakukan apa saja, membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, merapikan taman, termasuk jika ia tenggelam bersama buku-buku tebalnya itu.“Pak, kopinya!” Mak Yayah tiba-tiba datang mengantarkan secangkir cappuccino yang kupesan.“Taruh di meja.”“Kalau Neng Delia pindah, rumah jadi sepi lagi.” Ada nada kerinduan tersirat.“Disuruh sekolah sama nininya di sana. Pekan depan aku harus urus surat pindahnya,” jawabku nyaris putus asa. “Padahal anak itu baik. Sering ngomongin Bapak kalau sama saya.”Telingaku tiba-tiba melebar.“Ngo
Tidak ada yang abadi, meski sukma yang mengurat pada leher dan nadi sekali pun. Usahaku diambang kehancuran, tapi tidak dengan cita-cita dan harapan yang kutabur di sepanjang hari Delia. Ia tidak boleh patah arang, meski kehidupan menjanjikan mimpi setinggi gunung kemudian mengempaskan ke dasar jurang-jurangnya yang dalam dan sempit.Delia harus jadi ‘orang.'[Pembalasan on going!]Sebuah pesan dari nomor asing kuterima dari aplikasi WA. Seseorang atau mungkin sekelompok orang sedang berusaha menjatuhkan. Teror ayam mati itu? Bisa jadi. Meski, aku belum mendapatkan gambaran siapa pelakunya. Jawabannya masih teka-taki, sebelum kutemukan dan mematahkan leher Zainal.“Tuan, Anda melamun?”Suara gadis itu menyadarkanku yang sedang termangu di teras depan.“Duduklah,” pintaku.Kejoranya merebak dan seperti penuh sesal ketika kuceritakan semua yang terjadi.“Semua? Tidak ada yang tersisa, Tuan?”“Semua. Bahkan uang di brankas kantor juga raib, dua invoice yang sudah cair juga tanpa jejak.”
Cinta wanita diuji ketika prianya tidak memiliki apa-apa, sementara cinta pria diuji justru ketika memiliki segalanya. Aku pernah membaca itu di suatu tempat. Entah di mana. Ketika aku sibuk menerka-nerka dan penasaran dengan jawaban gadis itu, “Mak! Sarung yang di belakang pintu kemarin mana?!” teriak Mang Sugi membuyarkan semuanya.Aku bergegas melangkah ke kamar mandi. Sialan!“Dicuci! Udah apek, seminggu lebih dipakai wae,” jawab Mak Yayah terdengar kesal.Rasa penasaranku menguap di udara.***Matahari senja merangkak ke peraduan, meninggalkan bias jingga di ufuk barat. Aku tercenung menikmati setiap asa yang berkelindan di sanubari. Rindu yang tak beranjak.Aku masih termangu di belakang setir, di bundaran tempat banyak kantor beroperasi. Berharap ada notifikasi orderan penumpang. Kantorku, dulu ada di jajaran gedung menjulang itu. Semakin hari, persaingan semakin ketat. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Orang tak punya pilihan selain banting stir. Alih profesi d
‘Welcome to the jungle’ adalah kalimat sakti yang sering diucapkan seorang teman ketika kita mengakhiri masa lajang. Pernikahan merupakan separuh dien, keseluruhannya dicatat sebagai ibadah. Hanya yang kuat yang mampu bertahan.Berat? Pasti. Setiap ibadah banyak cobaan. Sebentar lagi, aku harus melepaskan gadis kecil itu ke pelaminan, sementara aku sendiri nyaris tak pernah memberikan bekal pendidikan perkawinan padanya.Bagaimana akan mengajarinya sementara ilmu dan pengalamanku nyaris tak punya. Pernikahan yang hanya seumur jagung dan aku pun gagal menjadi suami yang baik.Umum dalam sebuah pernikahan, hal-hal kecil bisa menjadi pemantik pertengkaran besar. Handuk yang ditaruh sembarangan di atas tempat tidur misalnya, bisa menjadi penyebab perang Batarayudha. Ada Setan Dasim yang selalu menggoda dan berbisik, meniup-niup api perselisihan dan membenci pasangan. Prestasi terbaik mereka adalah jika mampu menceraikan sebuah pernikahan. Mungkin, nasehat penting itu perlu kusampaikan nan
Manusia hanya berencana, tetapi Tuhan jua yang menentukan akhir kejadian, karena tidak ada kebetulan dalam takdir.Niat hati menangkap Zainal, apa lacur, diri justru berujung tergeletak di kamar perawatan rumah sakit setempat. Kepalaku masih sangat pusing, tiga buah jahitan menghias pelipis kiri.“Kondisi bapak sudah stabil, tanda vital normal, tidak ada perdarahan telinga, hidung, mual maupun muntah. Tapi, kami harus melakukan observasi selama dua puluh empat jam, sambil menunggu hasil rontgen kepala dan CT scan keluar. Karena ada indikasi pusing dan hematoma perio orbital akibat benturan. Apalagi bapak sempat pingsan hampir dua jam,” terang petugas tadi pagi.“Apa itu hematoma?” “Memar yang mengakibatkan bercak perdarahan di sekitar mata.” Ia menerangkan sambil memberikan cermin. Mata kiriku ternyata merah dan pandangan memang sedikit kabur. Kuraih hape di meja kabinat hendak mengabari gadis kecilku ketika terdengar bunyi panggilan dan nama Kejora terpampang di sana. Mungkinkah in
Lagi, lagi dan lagi. Tidak ada kebetulan dalam hidup. Sekilas kulihat sesuatu melayang cepat, mengarah ke kepala, dan tidak sempat menghindar.Prook!!Serangan tak terduga sungguh di luar perkiraanku, batu sebesar genggaman tangan menghantam tanpa ampun. Nyeri luar biasa menyebar ke seluruh kepala lalu gelap … gelap … gelap. Kemudian, tubuh seperti ditarik keluar dan terasa ringan. Badanku terlihat tersungkur dekat parit dengan darah mengalir di pelipis. Meringkuk tak berdaya.Kenapa aku berpisah dengan jasad? Matikah ini? Sejenak, panik melanda. Orang-orang makin ramai berkerumun dan saling berteriak. Gaduuh! Allah! Allah! Allah! Jangan sekarang, Pramono belum siap mati. Apa yang akan kubawa jika kembali dalam keadaan seperti ini? Dadaku sesak dan ngilu.Mondar mandir aku berjalan sambil berteriak minta tolong, tapi suaraku bagai di telan keributan yang terjadi. Tak ada seorang pun yang menghiraukan, selengking apapun teriak yang kubisa lakukan. Kuraih pundak salah satu mereka, beru
Jodoh sejatinya adalah rahasia Sang Pemilik Kehidupan.Betapapun besarnya rasa ingin, akhirnya semua tunduk kepada takdir yang sudah tertulis di Lauh Mahfudz sebelum semesta diciptakan.Kususut kembali genangan di sudut mata yang tak hendak diajak kompromi, seiring belati yang menikam jantung. Nyeri.Terlalu banyak sudah jejak parut di hati semenjak ditinggalkan orang-orang terkasih. Aku tak sanggup kehilangan sekali lagi. Bapak, yang kata ibu meninggal jatuh dari gedung tinggi tempatnya mengais rezeki, membangun istana kokoh untuk orang-orang berduit--sebagai kuli bangunan--tentu saja, disusul ibu dengan alasan yang sama, menjemput takdir demi menghidupiku. Lalu Gayatri dan Aurora, menemui maut untuk satu alasan, pembuktian cinta pada laki-laki yang berjanji membahagiakannya. Aku.Mungkin, pasrah adalah jalan terbaik atas apa pun takdir yang tertulis. Tapi, tak akan ada kata maaf pada diriku sendiri jikalau cinta dan rasa ingin memiliki Delia menjadi penyebab ia menemui Malaikat Maut
Waktu mungkin bisa menghapus rasa sakit, tapi tidak kenangan. Ia akan abadi. Meski tersimpan di alam bawah sadar, suatu ketika akan muncul ke permukaan jika ada pemantik. Tiga hari setelah kejadian itu, semua kembali normal. Tapi tidak dengan hati, meski aku berkaca dan sadar diri. Kartika beberapa kali berkunjung dan tak putus berucap terima kasih. Menitipkan beberapa rupiah untuk bekal Delia. Tak seberapa memang, tapi kesungguhan terlihat jelas di sana.“Meski kita seumuran, Tuan. Saya rela kalau anda jadi menantu saya.”Aku tersenyum masam mendengarnya.“Delia pantas mendapatkan yang lebih baik. Ia punya teman yang sedang mendekatinya,” elakku.“Saya ibunya, Tuan. Saya tahu seperti apa Delia. Saya tahu yang dia rasakan.” Ia tersenyum.“Aku tak ingin memanfaatkan kesempatan, Kartika. Orang bilang itu modus.”Ia menatapku dan kembali tersenyum. ***Delia berdiri di hadapanku dengan dua amplop berwarna hijau di tangannya.“Undangan wisuda, Tuan.” Ia tersenyum. Matanya berkaca-kac
Cinta wanita diuji ketika prianya tidak memiliki apa-apa, sementara cinta pria diuji justru ketika memiliki segalanya. Aku pernah membaca itu di suatu tempat. Entah di mana. Ketika aku sibuk menerka-nerka dan penasaran dengan jawaban gadis itu, “Mak! Sarung yang di belakang pintu kemarin mana?!” teriak Mang Sugi membuyarkan semuanya.Aku bergegas melangkah ke kamar mandi. Sialan!“Dicuci! Udah apek, seminggu lebih dipakai wae,” jawab Mak Yayah terdengar kesal.Rasa penasaranku menguap di udara.***Matahari senja merangkak ke peraduan, meninggalkan bias jingga di ufuk barat. Aku tercenung menikmati setiap asa yang berkelindan di sanubari. Rindu yang tak beranjak.Aku masih termangu di belakang setir, di bundaran tempat banyak kantor beroperasi. Berharap ada notifikasi orderan penumpang. Kantorku, dulu ada di jajaran gedung menjulang itu. Semakin hari, persaingan semakin ketat. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Orang tak punya pilihan selain banting stir. Alih profesi d
Tidak ada yang abadi, meski sukma yang mengurat pada leher dan nadi sekali pun. Usahaku diambang kehancuran, tapi tidak dengan cita-cita dan harapan yang kutabur di sepanjang hari Delia. Ia tidak boleh patah arang, meski kehidupan menjanjikan mimpi setinggi gunung kemudian mengempaskan ke dasar jurang-jurangnya yang dalam dan sempit.Delia harus jadi ‘orang.'[Pembalasan on going!]Sebuah pesan dari nomor asing kuterima dari aplikasi WA. Seseorang atau mungkin sekelompok orang sedang berusaha menjatuhkan. Teror ayam mati itu? Bisa jadi. Meski, aku belum mendapatkan gambaran siapa pelakunya. Jawabannya masih teka-taki, sebelum kutemukan dan mematahkan leher Zainal.“Tuan, Anda melamun?”Suara gadis itu menyadarkanku yang sedang termangu di teras depan.“Duduklah,” pintaku.Kejoranya merebak dan seperti penuh sesal ketika kuceritakan semua yang terjadi.“Semua? Tidak ada yang tersisa, Tuan?”“Semua. Bahkan uang di brankas kantor juga raib, dua invoice yang sudah cair juga tanpa jejak.”
Rumah besar ini kembali lengang. Sepi seperti tak bertuan.Mak Yayah kini sering duduk termenung sendirian. Sama sepertiku, barangkali ia juga kehilangan. Meski selama di sini, Delia lebih banyak diam, tapi bersama Mak Yayah mereka bisa ngobrol banyak sambil melakukan pekerjaan rumah bersama-sama. Setiap kularang, jawabannya tetap sama, “Saya adalah sahaya yang ditebus, Tuan. Biarkan saya melakukan apa yang harus saya lakukan di rumah ini.”Lalu aku membiarkannya melakukan apa saja, membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, merapikan taman, termasuk jika ia tenggelam bersama buku-buku tebalnya itu.“Pak, kopinya!” Mak Yayah tiba-tiba datang mengantarkan secangkir cappuccino yang kupesan.“Taruh di meja.”“Kalau Neng Delia pindah, rumah jadi sepi lagi.” Ada nada kerinduan tersirat.“Disuruh sekolah sama nininya di sana. Pekan depan aku harus urus surat pindahnya,” jawabku nyaris putus asa. “Padahal anak itu baik. Sering ngomongin Bapak kalau sama saya.”Telingaku tiba-tiba melebar.“Ngo
Pada waktunya, semua hanya akan menjadi kenangan.Tapi, aku belum sanggup kehilangan semua momen ini. Terlebih selama belasan tahun hari-hari hanya berteman sepi yang bisu, tak ada keinginan-keinginan, untuk kehidupan yang sungguh-sungguh hidup. Jika kamu pergi Delia, rumah ini akan masuk dalam musim dingin yang panjang kembali.Hatiku mendadak ngilu, membayangkan kehilangan yang menyakitkan sekali lagi. Tapi, demi melihat asa yang terlukis dari pancaran kejoranya yang menatap lekat-lekat, aku tak tega memupus harapan yang meletup-letup di sana.“Tuan, yaa?” Sekali lagi ia meminta sungguh-sungguh.“Berkemaslah. Kita berangkat besok pagi.”Selarik senyum ia sematkan dengan mata yang menyapu wajahku beberapa jeda. “Terima kasih banyak, Tuan. Anda memang yang terbaik,” ujarnya, sebelum membuka pintu mobil dan menghilang di teras rumah, meninggalkanku yang masih termangu sambil memegang kemudi, dengan perasaan campur aduk.***“Tuan?”“Hmm?”“Anda dulu nikah muda?”“Setahun setelah selesa