Ujian demi ujian datang menyapa.Aku terkejut alang-kepalang melihat apa yang tersaji di depan mata. Sementara Delia menghambur dan membenamkan wajahnya di dadaku. Dua kejadian luar biasa yang datang secara bersamaan. Perasaanku campur aduk antara kaget dan berbunga-bunga, penuh menyesaki rongga dada. “Tak apa, Delia,” ujarku sambil menepuk pundaknya beberapa kali.Menyadari yang baru saja ia lakukan, Delia tergesa mengangkat wajah dan langkahnya surut ke belakang.“Tuan, maaf.” Ia tersipu.“Siapa yang mengirim ini?” ujarku, lebih seperti bergumam pada diri sendiri.Seekor ayam mati ditancapkan ke pintu menggunakan sebilah belati, sementara darahnya berceceran di lantai yang putih, sehingga memperlihatkan warna mencolok. Ada tulisan ‘TUNGGU PEMBALASAN!’ di samping genangan darah tanpa ada petunjuk lain. Siapa gerangan pelakunya dan apa maksud semua ini? Rasanya selama ini aku tak memiliki musuh.Kupikir, tak mungkin ada penyusup masuk lewat portal depan yang dijaga satpam. Apakah ula
Pada waktunya, semua hanya akan menjadi kenangan.Tapi, aku belum sanggup kehilangan semua momen ini. Terlebih selama belasan tahun hari-hari hanya berteman sepi yang bisu, tak ada keinginan-keinginan, untuk kehidupan yang sungguh-sungguh hidup. Jika kamu pergi Delia, rumah ini akan masuk dalam musim dingin yang panjang kembali.Hatiku mendadak ngilu, membayangkan kehilangan yang menyakitkan sekali lagi. Tapi, demi melihat asa yang terlukis dari pancaran kejoranya yang menatap lekat-lekat, aku tak tega memupus harapan yang meletup-letup di sana.“Tuan, yaa?” Sekali lagi ia meminta sungguh-sungguh.“Berkemaslah. Kita berangkat besok pagi.”Selarik senyum ia sematkan dengan mata yang menyapu wajahku beberapa jeda. “Terima kasih banyak, Tuan. Anda memang yang terbaik,” ujarnya, sebelum membuka pintu mobil dan menghilang di teras rumah, meninggalkanku yang masih termangu sambil memegang kemudi, dengan perasaan campur aduk.***“Tuan?”“Hmm?”“Anda dulu nikah muda?”“Setahun setelah selesa
Rumah besar ini kembali lengang. Sepi seperti tak bertuan.Mak Yayah kini sering duduk termenung sendirian. Sama sepertiku, barangkali ia juga kehilangan. Meski selama di sini, Delia lebih banyak diam, tapi bersama Mak Yayah mereka bisa ngobrol banyak sambil melakukan pekerjaan rumah bersama-sama. Setiap kularang, jawabannya tetap sama, “Saya adalah sahaya yang ditebus, Tuan. Biarkan saya melakukan apa yang harus saya lakukan di rumah ini.”Lalu aku membiarkannya melakukan apa saja, membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, merapikan taman, termasuk jika ia tenggelam bersama buku-buku tebalnya itu.“Pak, kopinya!” Mak Yayah tiba-tiba datang mengantarkan secangkir cappuccino yang kupesan.“Taruh di meja.”“Kalau Neng Delia pindah, rumah jadi sepi lagi.” Ada nada kerinduan tersirat.“Disuruh sekolah sama nininya di sana. Pekan depan aku harus urus surat pindahnya,” jawabku nyaris putus asa. “Padahal anak itu baik. Sering ngomongin Bapak kalau sama saya.”Telingaku tiba-tiba melebar.“Ngo
Tidak ada yang abadi, meski sukma yang mengurat pada leher dan nadi sekali pun. Usahaku diambang kehancuran, tapi tidak dengan cita-cita dan harapan yang kutabur di sepanjang hari Delia. Ia tidak boleh patah arang, meski kehidupan menjanjikan mimpi setinggi gunung kemudian mengempaskan ke dasar jurang-jurangnya yang dalam dan sempit.Delia harus jadi ‘orang.'[Pembalasan on going!]Sebuah pesan dari nomor asing kuterima dari aplikasi WA. Seseorang atau mungkin sekelompok orang sedang berusaha menjatuhkan. Teror ayam mati itu? Bisa jadi. Meski, aku belum mendapatkan gambaran siapa pelakunya. Jawabannya masih teka-taki, sebelum kutemukan dan mematahkan leher Zainal.“Tuan, Anda melamun?”Suara gadis itu menyadarkanku yang sedang termangu di teras depan.“Duduklah,” pintaku.Kejoranya merebak dan seperti penuh sesal ketika kuceritakan semua yang terjadi.“Semua? Tidak ada yang tersisa, Tuan?”“Semua. Bahkan uang di brankas kantor juga raib, dua invoice yang sudah cair juga tanpa jejak.”
Cinta wanita diuji ketika prianya tidak memiliki apa-apa, sementara cinta pria diuji justru ketika memiliki segalanya. Aku pernah membaca itu di suatu tempat. Entah di mana. Ketika aku sibuk menerka-nerka dan penasaran dengan jawaban gadis itu, “Mak! Sarung yang di belakang pintu kemarin mana?!” teriak Mang Sugi membuyarkan semuanya.Aku bergegas melangkah ke kamar mandi. Sialan!“Dicuci! Udah apek, seminggu lebih dipakai wae,” jawab Mak Yayah terdengar kesal.Rasa penasaranku menguap di udara.***Matahari senja merangkak ke peraduan, meninggalkan bias jingga di ufuk barat. Aku tercenung menikmati setiap asa yang berkelindan di sanubari. Rindu yang tak beranjak.Aku masih termangu di belakang setir, di bundaran tempat banyak kantor beroperasi. Berharap ada notifikasi orderan penumpang. Kantorku, dulu ada di jajaran gedung menjulang itu. Semakin hari, persaingan semakin ketat. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Orang tak punya pilihan selain banting stir. Alih profesi d
Waktu mungkin bisa menghapus rasa sakit, tapi tidak kenangan. Ia akan abadi. Meski tersimpan di alam bawah sadar, suatu ketika akan muncul ke permukaan jika ada pemantik. Tiga hari setelah kejadian itu, semua kembali normal. Tapi tidak dengan hati, meski aku berkaca dan sadar diri. Kartika beberapa kali berkunjung dan tak putus berucap terima kasih. Menitipkan beberapa rupiah untuk bekal Delia. Tak seberapa memang, tapi kesungguhan terlihat jelas di sana.“Meski kita seumuran, Tuan. Saya rela kalau anda jadi menantu saya.”Aku tersenyum masam mendengarnya.“Delia pantas mendapatkan yang lebih baik. Ia punya teman yang sedang mendekatinya,” elakku.“Saya ibunya, Tuan. Saya tahu seperti apa Delia. Saya tahu yang dia rasakan.” Ia tersenyum.“Aku tak ingin memanfaatkan kesempatan, Kartika. Orang bilang itu modus.”Ia menatapku dan kembali tersenyum. ***Delia berdiri di hadapanku dengan dua amplop berwarna hijau di tangannya.“Undangan wisuda, Tuan.” Ia tersenyum. Matanya berkaca-kac
Jodoh sejatinya adalah rahasia Sang Pemilik Kehidupan.Betapapun besarnya rasa ingin, akhirnya semua tunduk kepada takdir yang sudah tertulis di Lauh Mahfudz sebelum semesta diciptakan.Kususut kembali genangan di sudut mata yang tak hendak diajak kompromi, seiring belati yang menikam jantung. Nyeri.Terlalu banyak sudah jejak parut di hati semenjak ditinggalkan orang-orang terkasih. Aku tak sanggup kehilangan sekali lagi. Bapak, yang kata ibu meninggal jatuh dari gedung tinggi tempatnya mengais rezeki, membangun istana kokoh untuk orang-orang berduit--sebagai kuli bangunan--tentu saja, disusul ibu dengan alasan yang sama, menjemput takdir demi menghidupiku. Lalu Gayatri dan Aurora, menemui maut untuk satu alasan, pembuktian cinta pada laki-laki yang berjanji membahagiakannya. Aku.Mungkin, pasrah adalah jalan terbaik atas apa pun takdir yang tertulis. Tapi, tak akan ada kata maaf pada diriku sendiri jikalau cinta dan rasa ingin memiliki Delia menjadi penyebab ia menemui Malaikat Maut
Lagi, lagi dan lagi. Tidak ada kebetulan dalam hidup. Sekilas kulihat sesuatu melayang cepat, mengarah ke kepala, dan tidak sempat menghindar.Prook!!Serangan tak terduga sungguh di luar perkiraanku, batu sebesar genggaman tangan menghantam tanpa ampun. Nyeri luar biasa menyebar ke seluruh kepala lalu gelap … gelap … gelap. Kemudian, tubuh seperti ditarik keluar dan terasa ringan. Badanku terlihat tersungkur dekat parit dengan darah mengalir di pelipis. Meringkuk tak berdaya.Kenapa aku berpisah dengan jasad? Matikah ini? Sejenak, panik melanda. Orang-orang makin ramai berkerumun dan saling berteriak. Gaduuh! Allah! Allah! Allah! Jangan sekarang, Pramono belum siap mati. Apa yang akan kubawa jika kembali dalam keadaan seperti ini? Dadaku sesak dan ngilu.Mondar mandir aku berjalan sambil berteriak minta tolong, tapi suaraku bagai di telan keributan yang terjadi. Tak ada seorang pun yang menghiraukan, selengking apapun teriak yang kubisa lakukan. Kuraih pundak salah satu mereka, beru
‘Welcome to the jungle’ adalah kalimat sakti yang sering diucapkan seorang teman ketika kita mengakhiri masa lajang. Pernikahan merupakan separuh dien, keseluruhannya dicatat sebagai ibadah. Hanya yang kuat yang mampu bertahan.Berat? Pasti. Setiap ibadah banyak cobaan. Sebentar lagi, aku harus melepaskan gadis kecil itu ke pelaminan, sementara aku sendiri nyaris tak pernah memberikan bekal pendidikan perkawinan padanya.Bagaimana akan mengajarinya sementara ilmu dan pengalamanku nyaris tak punya. Pernikahan yang hanya seumur jagung dan aku pun gagal menjadi suami yang baik.Umum dalam sebuah pernikahan, hal-hal kecil bisa menjadi pemantik pertengkaran besar. Handuk yang ditaruh sembarangan di atas tempat tidur misalnya, bisa menjadi penyebab perang Batarayudha. Ada Setan Dasim yang selalu menggoda dan berbisik, meniup-niup api perselisihan dan membenci pasangan. Prestasi terbaik mereka adalah jika mampu menceraikan sebuah pernikahan. Mungkin, nasehat penting itu perlu kusampaikan nan
Manusia hanya berencana, tetapi Tuhan jua yang menentukan akhir kejadian, karena tidak ada kebetulan dalam takdir.Niat hati menangkap Zainal, apa lacur, diri justru berujung tergeletak di kamar perawatan rumah sakit setempat. Kepalaku masih sangat pusing, tiga buah jahitan menghias pelipis kiri.“Kondisi bapak sudah stabil, tanda vital normal, tidak ada perdarahan telinga, hidung, mual maupun muntah. Tapi, kami harus melakukan observasi selama dua puluh empat jam, sambil menunggu hasil rontgen kepala dan CT scan keluar. Karena ada indikasi pusing dan hematoma perio orbital akibat benturan. Apalagi bapak sempat pingsan hampir dua jam,” terang petugas tadi pagi.“Apa itu hematoma?” “Memar yang mengakibatkan bercak perdarahan di sekitar mata.” Ia menerangkan sambil memberikan cermin. Mata kiriku ternyata merah dan pandangan memang sedikit kabur. Kuraih hape di meja kabinat hendak mengabari gadis kecilku ketika terdengar bunyi panggilan dan nama Kejora terpampang di sana. Mungkinkah in
Lagi, lagi dan lagi. Tidak ada kebetulan dalam hidup. Sekilas kulihat sesuatu melayang cepat, mengarah ke kepala, dan tidak sempat menghindar.Prook!!Serangan tak terduga sungguh di luar perkiraanku, batu sebesar genggaman tangan menghantam tanpa ampun. Nyeri luar biasa menyebar ke seluruh kepala lalu gelap … gelap … gelap. Kemudian, tubuh seperti ditarik keluar dan terasa ringan. Badanku terlihat tersungkur dekat parit dengan darah mengalir di pelipis. Meringkuk tak berdaya.Kenapa aku berpisah dengan jasad? Matikah ini? Sejenak, panik melanda. Orang-orang makin ramai berkerumun dan saling berteriak. Gaduuh! Allah! Allah! Allah! Jangan sekarang, Pramono belum siap mati. Apa yang akan kubawa jika kembali dalam keadaan seperti ini? Dadaku sesak dan ngilu.Mondar mandir aku berjalan sambil berteriak minta tolong, tapi suaraku bagai di telan keributan yang terjadi. Tak ada seorang pun yang menghiraukan, selengking apapun teriak yang kubisa lakukan. Kuraih pundak salah satu mereka, beru
Jodoh sejatinya adalah rahasia Sang Pemilik Kehidupan.Betapapun besarnya rasa ingin, akhirnya semua tunduk kepada takdir yang sudah tertulis di Lauh Mahfudz sebelum semesta diciptakan.Kususut kembali genangan di sudut mata yang tak hendak diajak kompromi, seiring belati yang menikam jantung. Nyeri.Terlalu banyak sudah jejak parut di hati semenjak ditinggalkan orang-orang terkasih. Aku tak sanggup kehilangan sekali lagi. Bapak, yang kata ibu meninggal jatuh dari gedung tinggi tempatnya mengais rezeki, membangun istana kokoh untuk orang-orang berduit--sebagai kuli bangunan--tentu saja, disusul ibu dengan alasan yang sama, menjemput takdir demi menghidupiku. Lalu Gayatri dan Aurora, menemui maut untuk satu alasan, pembuktian cinta pada laki-laki yang berjanji membahagiakannya. Aku.Mungkin, pasrah adalah jalan terbaik atas apa pun takdir yang tertulis. Tapi, tak akan ada kata maaf pada diriku sendiri jikalau cinta dan rasa ingin memiliki Delia menjadi penyebab ia menemui Malaikat Maut
Waktu mungkin bisa menghapus rasa sakit, tapi tidak kenangan. Ia akan abadi. Meski tersimpan di alam bawah sadar, suatu ketika akan muncul ke permukaan jika ada pemantik. Tiga hari setelah kejadian itu, semua kembali normal. Tapi tidak dengan hati, meski aku berkaca dan sadar diri. Kartika beberapa kali berkunjung dan tak putus berucap terima kasih. Menitipkan beberapa rupiah untuk bekal Delia. Tak seberapa memang, tapi kesungguhan terlihat jelas di sana.“Meski kita seumuran, Tuan. Saya rela kalau anda jadi menantu saya.”Aku tersenyum masam mendengarnya.“Delia pantas mendapatkan yang lebih baik. Ia punya teman yang sedang mendekatinya,” elakku.“Saya ibunya, Tuan. Saya tahu seperti apa Delia. Saya tahu yang dia rasakan.” Ia tersenyum.“Aku tak ingin memanfaatkan kesempatan, Kartika. Orang bilang itu modus.”Ia menatapku dan kembali tersenyum. ***Delia berdiri di hadapanku dengan dua amplop berwarna hijau di tangannya.“Undangan wisuda, Tuan.” Ia tersenyum. Matanya berkaca-kac
Cinta wanita diuji ketika prianya tidak memiliki apa-apa, sementara cinta pria diuji justru ketika memiliki segalanya. Aku pernah membaca itu di suatu tempat. Entah di mana. Ketika aku sibuk menerka-nerka dan penasaran dengan jawaban gadis itu, “Mak! Sarung yang di belakang pintu kemarin mana?!” teriak Mang Sugi membuyarkan semuanya.Aku bergegas melangkah ke kamar mandi. Sialan!“Dicuci! Udah apek, seminggu lebih dipakai wae,” jawab Mak Yayah terdengar kesal.Rasa penasaranku menguap di udara.***Matahari senja merangkak ke peraduan, meninggalkan bias jingga di ufuk barat. Aku tercenung menikmati setiap asa yang berkelindan di sanubari. Rindu yang tak beranjak.Aku masih termangu di belakang setir, di bundaran tempat banyak kantor beroperasi. Berharap ada notifikasi orderan penumpang. Kantorku, dulu ada di jajaran gedung menjulang itu. Semakin hari, persaingan semakin ketat. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Orang tak punya pilihan selain banting stir. Alih profesi d
Tidak ada yang abadi, meski sukma yang mengurat pada leher dan nadi sekali pun. Usahaku diambang kehancuran, tapi tidak dengan cita-cita dan harapan yang kutabur di sepanjang hari Delia. Ia tidak boleh patah arang, meski kehidupan menjanjikan mimpi setinggi gunung kemudian mengempaskan ke dasar jurang-jurangnya yang dalam dan sempit.Delia harus jadi ‘orang.'[Pembalasan on going!]Sebuah pesan dari nomor asing kuterima dari aplikasi WA. Seseorang atau mungkin sekelompok orang sedang berusaha menjatuhkan. Teror ayam mati itu? Bisa jadi. Meski, aku belum mendapatkan gambaran siapa pelakunya. Jawabannya masih teka-taki, sebelum kutemukan dan mematahkan leher Zainal.“Tuan, Anda melamun?”Suara gadis itu menyadarkanku yang sedang termangu di teras depan.“Duduklah,” pintaku.Kejoranya merebak dan seperti penuh sesal ketika kuceritakan semua yang terjadi.“Semua? Tidak ada yang tersisa, Tuan?”“Semua. Bahkan uang di brankas kantor juga raib, dua invoice yang sudah cair juga tanpa jejak.”
Rumah besar ini kembali lengang. Sepi seperti tak bertuan.Mak Yayah kini sering duduk termenung sendirian. Sama sepertiku, barangkali ia juga kehilangan. Meski selama di sini, Delia lebih banyak diam, tapi bersama Mak Yayah mereka bisa ngobrol banyak sambil melakukan pekerjaan rumah bersama-sama. Setiap kularang, jawabannya tetap sama, “Saya adalah sahaya yang ditebus, Tuan. Biarkan saya melakukan apa yang harus saya lakukan di rumah ini.”Lalu aku membiarkannya melakukan apa saja, membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, merapikan taman, termasuk jika ia tenggelam bersama buku-buku tebalnya itu.“Pak, kopinya!” Mak Yayah tiba-tiba datang mengantarkan secangkir cappuccino yang kupesan.“Taruh di meja.”“Kalau Neng Delia pindah, rumah jadi sepi lagi.” Ada nada kerinduan tersirat.“Disuruh sekolah sama nininya di sana. Pekan depan aku harus urus surat pindahnya,” jawabku nyaris putus asa. “Padahal anak itu baik. Sering ngomongin Bapak kalau sama saya.”Telingaku tiba-tiba melebar.“Ngo
Pada waktunya, semua hanya akan menjadi kenangan.Tapi, aku belum sanggup kehilangan semua momen ini. Terlebih selama belasan tahun hari-hari hanya berteman sepi yang bisu, tak ada keinginan-keinginan, untuk kehidupan yang sungguh-sungguh hidup. Jika kamu pergi Delia, rumah ini akan masuk dalam musim dingin yang panjang kembali.Hatiku mendadak ngilu, membayangkan kehilangan yang menyakitkan sekali lagi. Tapi, demi melihat asa yang terlukis dari pancaran kejoranya yang menatap lekat-lekat, aku tak tega memupus harapan yang meletup-letup di sana.“Tuan, yaa?” Sekali lagi ia meminta sungguh-sungguh.“Berkemaslah. Kita berangkat besok pagi.”Selarik senyum ia sematkan dengan mata yang menyapu wajahku beberapa jeda. “Terima kasih banyak, Tuan. Anda memang yang terbaik,” ujarnya, sebelum membuka pintu mobil dan menghilang di teras rumah, meninggalkanku yang masih termangu sambil memegang kemudi, dengan perasaan campur aduk.***“Tuan?”“Hmm?”“Anda dulu nikah muda?”“Setahun setelah selesa