Jodoh sejatinya adalah rahasia Sang Pemilik Kehidupan.Betapapun besarnya rasa ingin, akhirnya semua tunduk kepada takdir yang sudah tertulis di Lauh Mahfudz sebelum semesta diciptakan.Kususut kembali genangan di sudut mata yang tak hendak diajak kompromi, seiring belati yang menikam jantung. Nyeri.Terlalu banyak sudah jejak parut di hati semenjak ditinggalkan orang-orang terkasih. Aku tak sanggup kehilangan sekali lagi. Bapak, yang kata ibu meninggal jatuh dari gedung tinggi tempatnya mengais rezeki, membangun istana kokoh untuk orang-orang berduit--sebagai kuli bangunan--tentu saja, disusul ibu dengan alasan yang sama, menjemput takdir demi menghidupiku. Lalu Gayatri dan Aurora, menemui maut untuk satu alasan, pembuktian cinta pada laki-laki yang berjanji membahagiakannya. Aku.Mungkin, pasrah adalah jalan terbaik atas apa pun takdir yang tertulis. Tapi, tak akan ada kata maaf pada diriku sendiri jikalau cinta dan rasa ingin memiliki Delia menjadi penyebab ia menemui Malaikat Maut
Lagi, lagi dan lagi. Tidak ada kebetulan dalam hidup. Sekilas kulihat sesuatu melayang cepat, mengarah ke kepala, dan tidak sempat menghindar.Prook!!Serangan tak terduga sungguh di luar perkiraanku, batu sebesar genggaman tangan menghantam tanpa ampun. Nyeri luar biasa menyebar ke seluruh kepala lalu gelap … gelap … gelap. Kemudian, tubuh seperti ditarik keluar dan terasa ringan. Badanku terlihat tersungkur dekat parit dengan darah mengalir di pelipis. Meringkuk tak berdaya.Kenapa aku berpisah dengan jasad? Matikah ini? Sejenak, panik melanda. Orang-orang makin ramai berkerumun dan saling berteriak. Gaduuh! Allah! Allah! Allah! Jangan sekarang, Pramono belum siap mati. Apa yang akan kubawa jika kembali dalam keadaan seperti ini? Dadaku sesak dan ngilu.Mondar mandir aku berjalan sambil berteriak minta tolong, tapi suaraku bagai di telan keributan yang terjadi. Tak ada seorang pun yang menghiraukan, selengking apapun teriak yang kubisa lakukan. Kuraih pundak salah satu mereka, beru
Manusia hanya berencana, tetapi Tuhan jua yang menentukan akhir kejadian, karena tidak ada kebetulan dalam takdir.Niat hati menangkap Zainal, apa lacur, diri justru berujung tergeletak di kamar perawatan rumah sakit setempat. Kepalaku masih sangat pusing, tiga buah jahitan menghias pelipis kiri.“Kondisi bapak sudah stabil, tanda vital normal, tidak ada perdarahan telinga, hidung, mual maupun muntah. Tapi, kami harus melakukan observasi selama dua puluh empat jam, sambil menunggu hasil rontgen kepala dan CT scan keluar. Karena ada indikasi pusing dan hematoma perio orbital akibat benturan. Apalagi bapak sempat pingsan hampir dua jam,” terang petugas tadi pagi.“Apa itu hematoma?” “Memar yang mengakibatkan bercak perdarahan di sekitar mata.” Ia menerangkan sambil memberikan cermin. Mata kiriku ternyata merah dan pandangan memang sedikit kabur. Kuraih hape di meja kabinat hendak mengabari gadis kecilku ketika terdengar bunyi panggilan dan nama Kejora terpampang di sana. Mungkinkah in
‘Welcome to the jungle’ adalah kalimat sakti yang sering diucapkan seorang teman ketika kita mengakhiri masa lajang. Pernikahan merupakan separuh dien, keseluruhannya dicatat sebagai ibadah. Hanya yang kuat yang mampu bertahan.Berat? Pasti. Setiap ibadah banyak cobaan. Sebentar lagi, aku harus melepaskan gadis kecil itu ke pelaminan, sementara aku sendiri nyaris tak pernah memberikan bekal pendidikan perkawinan padanya.Bagaimana akan mengajarinya sementara ilmu dan pengalamanku nyaris tak punya. Pernikahan yang hanya seumur jagung dan aku pun gagal menjadi suami yang baik.Umum dalam sebuah pernikahan, hal-hal kecil bisa menjadi pemantik pertengkaran besar. Handuk yang ditaruh sembarangan di atas tempat tidur misalnya, bisa menjadi penyebab perang Batarayudha. Ada Setan Dasim yang selalu menggoda dan berbisik, meniup-niup api perselisihan dan membenci pasangan. Prestasi terbaik mereka adalah jika mampu menceraikan sebuah pernikahan. Mungkin, nasehat penting itu perlu kusampaikan nan
Rasa yang selalu memaksaku untuk kembali, meski menyadari kenyataan yang pernah ada selalu menguak lara. Kata yang menyedotku ke masa lalu, memaksa hati bergemuruh penuh letupan nyeri.President Suite Room yang sama, view favorit bernuansa Gunung Salak menjulang di kejauhan, ditingkahi kabut putih, samar menaungi lembah-lembah. Aroma kebun teh yang merambat perlahan memasuki lorong-lorong kalbu, terbawa angin yang terhempas dinding bukit, membingkis dingin yang menggigit tulang. Kita berdiri mematung, menatap hijaunya dedaunan nun jauh dari balik jendela yang kain gordennya sengaja dibuka lebar, dengan kekasih hati dalam dekapan, rapat bertelanjang kaki. Menikmati harum sampo yang menguar dari legam rambutnya yang basah terurai. Ah, memori yang selalu seolah-olah nyata kurasa.Kuremas rambut sambil berdiri di tempat yang sama, di balik jendela kaca, mengisap dalam-dalam sebatang rokok yang tinggal separuh. Selalu ada rasa sakit yang ingin selalu diulang tersebab rindu yang tak terper
Betapapun kerasnya kucoba terlelap, meletakkan sejenak keruwetan dan keras persaingan hidup pada malam yang selalu memeluk dalam diam, otak tetap tak henti berputar. Apa yang akan terjadi esok hari? Ke mana harus menyembunyikan bocah itu? Bagaimana cara melepaskannya dari lingkaran setan bisnis prostitusi dan merebut kembali sang ibu? Apa kata orang-orang? Apa komentar para kolega dan rekan bisnis? Pramono Wicaksono menerima gratifikasi dan menjadi pedhofilia! Sungguh memuakkan!Akan tetapi, apa peduliku? Tetangga bukan, saudara apalagi. Pulangkan saja, selesai urusan.Telinga masih menangkap suara gerakan yang menjauh dan pintu kamar mandi yang dibuka, sebagai penanda bahwa di kamar ini aku memang tak sendirian. Kutarik selimut menutupi muka, memejamkan mata rapat-rapat, menafikan bayangan yang menggoda kepala, dan berusaha tidak mendengar apapun.“Aaa!!”Jeritan Delia dari kamar mandi sontak membuat jantung melompat. Kenapa lagi bocah itu? Kuseret langkah tergesa mendekatinya.“De
Penghambaan terindah hanyalah untuk Sang pemilik jagad.Aku melengos, menatap dasar cangkir kopi yang sepenuhnya kosong, kemudian beranjak menjauh, membuka pintu menuju balkon, menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam. Menikmati malam bergulir mengikuti keteraturan, meski telah jatuh pada gigil yang menusuk. Alam, selalu memiliki desain sempurna yang membuat manusia merasa kecil dan tak berdaya.Tidak ada satu pun kebetulan, bukan? Akan tetapi, aku masih meraba kelam tanpa setitik pun cahaya dengan kejadian saat ini. Semua orang harus bertanggung jawab atas keputusannya sendiri, sebagaimana ia siap menerima resiko dari apa yang dialaminya.“Tuan?” Ia berjalan perlahan mengikutiku, masih dengan isak yang sama.“Aku tak mungkin membawamu, Delia.”“Saya mau jadi apa saja, Tuan. Pembantu Anda pun tak masalah, yang penting tidak menjadi seperti ibu.”“Aku sudah punya di rumah.”“Ng ... gratis, Tuan. Asal saya bisa makan dan ada tempat bernaung.”“Karena kalau kau ikut, aku yan
Orang bijak pernah berkata, ‘Terkadang tempat teraman justru berada di pusat badai’, dan itulah yang dilakukan bocah ini sekarang.“Masuk!” Tergesa aku turun dan membuka pintu mobil sambil memandang liar sekitar, berharap tak ada seorang pun menjadi saksi peristiwa ganjil yang terjadi. Katanya dipulangkan, nyatanya dibawa serta. Senyum dikulum tercetak jelas pada wajahnya yang ranum, ketika menyandarkan kepalanya di jok mobil.Sementara pendar-pendar rasa tersemai di rongga dada. ‘Pramono, dia masih bocah,’ sebuah suara bergema dalam batok kepala, menjagaku tetap waras.Rinai hujan mendaraskan lantunan zikir, memenuhi tingkap-tingkap langit hingga ke Sidratul Muntaha, ketika kendaraan melaju pelan membelah aspal jalanan. Mang Sugi melempar senyum penuh arti melalui kaca spion di atas dasboard, disusul dendang lawas tembang penyesalan yang mengalun dari speaker mobil. Sempurna!Kau datang padaku saatku lukaLuka dengan sejuta kecewaYang hempaskan tubuh remukkan dadaNamun lembut belai
‘Welcome to the jungle’ adalah kalimat sakti yang sering diucapkan seorang teman ketika kita mengakhiri masa lajang. Pernikahan merupakan separuh dien, keseluruhannya dicatat sebagai ibadah. Hanya yang kuat yang mampu bertahan.Berat? Pasti. Setiap ibadah banyak cobaan. Sebentar lagi, aku harus melepaskan gadis kecil itu ke pelaminan, sementara aku sendiri nyaris tak pernah memberikan bekal pendidikan perkawinan padanya.Bagaimana akan mengajarinya sementara ilmu dan pengalamanku nyaris tak punya. Pernikahan yang hanya seumur jagung dan aku pun gagal menjadi suami yang baik.Umum dalam sebuah pernikahan, hal-hal kecil bisa menjadi pemantik pertengkaran besar. Handuk yang ditaruh sembarangan di atas tempat tidur misalnya, bisa menjadi penyebab perang Batarayudha. Ada Setan Dasim yang selalu menggoda dan berbisik, meniup-niup api perselisihan dan membenci pasangan. Prestasi terbaik mereka adalah jika mampu menceraikan sebuah pernikahan. Mungkin, nasehat penting itu perlu kusampaikan nan
Manusia hanya berencana, tetapi Tuhan jua yang menentukan akhir kejadian, karena tidak ada kebetulan dalam takdir.Niat hati menangkap Zainal, apa lacur, diri justru berujung tergeletak di kamar perawatan rumah sakit setempat. Kepalaku masih sangat pusing, tiga buah jahitan menghias pelipis kiri.“Kondisi bapak sudah stabil, tanda vital normal, tidak ada perdarahan telinga, hidung, mual maupun muntah. Tapi, kami harus melakukan observasi selama dua puluh empat jam, sambil menunggu hasil rontgen kepala dan CT scan keluar. Karena ada indikasi pusing dan hematoma perio orbital akibat benturan. Apalagi bapak sempat pingsan hampir dua jam,” terang petugas tadi pagi.“Apa itu hematoma?” “Memar yang mengakibatkan bercak perdarahan di sekitar mata.” Ia menerangkan sambil memberikan cermin. Mata kiriku ternyata merah dan pandangan memang sedikit kabur. Kuraih hape di meja kabinat hendak mengabari gadis kecilku ketika terdengar bunyi panggilan dan nama Kejora terpampang di sana. Mungkinkah in
Lagi, lagi dan lagi. Tidak ada kebetulan dalam hidup. Sekilas kulihat sesuatu melayang cepat, mengarah ke kepala, dan tidak sempat menghindar.Prook!!Serangan tak terduga sungguh di luar perkiraanku, batu sebesar genggaman tangan menghantam tanpa ampun. Nyeri luar biasa menyebar ke seluruh kepala lalu gelap … gelap … gelap. Kemudian, tubuh seperti ditarik keluar dan terasa ringan. Badanku terlihat tersungkur dekat parit dengan darah mengalir di pelipis. Meringkuk tak berdaya.Kenapa aku berpisah dengan jasad? Matikah ini? Sejenak, panik melanda. Orang-orang makin ramai berkerumun dan saling berteriak. Gaduuh! Allah! Allah! Allah! Jangan sekarang, Pramono belum siap mati. Apa yang akan kubawa jika kembali dalam keadaan seperti ini? Dadaku sesak dan ngilu.Mondar mandir aku berjalan sambil berteriak minta tolong, tapi suaraku bagai di telan keributan yang terjadi. Tak ada seorang pun yang menghiraukan, selengking apapun teriak yang kubisa lakukan. Kuraih pundak salah satu mereka, beru
Jodoh sejatinya adalah rahasia Sang Pemilik Kehidupan.Betapapun besarnya rasa ingin, akhirnya semua tunduk kepada takdir yang sudah tertulis di Lauh Mahfudz sebelum semesta diciptakan.Kususut kembali genangan di sudut mata yang tak hendak diajak kompromi, seiring belati yang menikam jantung. Nyeri.Terlalu banyak sudah jejak parut di hati semenjak ditinggalkan orang-orang terkasih. Aku tak sanggup kehilangan sekali lagi. Bapak, yang kata ibu meninggal jatuh dari gedung tinggi tempatnya mengais rezeki, membangun istana kokoh untuk orang-orang berduit--sebagai kuli bangunan--tentu saja, disusul ibu dengan alasan yang sama, menjemput takdir demi menghidupiku. Lalu Gayatri dan Aurora, menemui maut untuk satu alasan, pembuktian cinta pada laki-laki yang berjanji membahagiakannya. Aku.Mungkin, pasrah adalah jalan terbaik atas apa pun takdir yang tertulis. Tapi, tak akan ada kata maaf pada diriku sendiri jikalau cinta dan rasa ingin memiliki Delia menjadi penyebab ia menemui Malaikat Maut
Waktu mungkin bisa menghapus rasa sakit, tapi tidak kenangan. Ia akan abadi. Meski tersimpan di alam bawah sadar, suatu ketika akan muncul ke permukaan jika ada pemantik. Tiga hari setelah kejadian itu, semua kembali normal. Tapi tidak dengan hati, meski aku berkaca dan sadar diri. Kartika beberapa kali berkunjung dan tak putus berucap terima kasih. Menitipkan beberapa rupiah untuk bekal Delia. Tak seberapa memang, tapi kesungguhan terlihat jelas di sana.“Meski kita seumuran, Tuan. Saya rela kalau anda jadi menantu saya.”Aku tersenyum masam mendengarnya.“Delia pantas mendapatkan yang lebih baik. Ia punya teman yang sedang mendekatinya,” elakku.“Saya ibunya, Tuan. Saya tahu seperti apa Delia. Saya tahu yang dia rasakan.” Ia tersenyum.“Aku tak ingin memanfaatkan kesempatan, Kartika. Orang bilang itu modus.”Ia menatapku dan kembali tersenyum. ***Delia berdiri di hadapanku dengan dua amplop berwarna hijau di tangannya.“Undangan wisuda, Tuan.” Ia tersenyum. Matanya berkaca-kac
Cinta wanita diuji ketika prianya tidak memiliki apa-apa, sementara cinta pria diuji justru ketika memiliki segalanya. Aku pernah membaca itu di suatu tempat. Entah di mana. Ketika aku sibuk menerka-nerka dan penasaran dengan jawaban gadis itu, “Mak! Sarung yang di belakang pintu kemarin mana?!” teriak Mang Sugi membuyarkan semuanya.Aku bergegas melangkah ke kamar mandi. Sialan!“Dicuci! Udah apek, seminggu lebih dipakai wae,” jawab Mak Yayah terdengar kesal.Rasa penasaranku menguap di udara.***Matahari senja merangkak ke peraduan, meninggalkan bias jingga di ufuk barat. Aku tercenung menikmati setiap asa yang berkelindan di sanubari. Rindu yang tak beranjak.Aku masih termangu di belakang setir, di bundaran tempat banyak kantor beroperasi. Berharap ada notifikasi orderan penumpang. Kantorku, dulu ada di jajaran gedung menjulang itu. Semakin hari, persaingan semakin ketat. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Orang tak punya pilihan selain banting stir. Alih profesi d
Tidak ada yang abadi, meski sukma yang mengurat pada leher dan nadi sekali pun. Usahaku diambang kehancuran, tapi tidak dengan cita-cita dan harapan yang kutabur di sepanjang hari Delia. Ia tidak boleh patah arang, meski kehidupan menjanjikan mimpi setinggi gunung kemudian mengempaskan ke dasar jurang-jurangnya yang dalam dan sempit.Delia harus jadi ‘orang.'[Pembalasan on going!]Sebuah pesan dari nomor asing kuterima dari aplikasi WA. Seseorang atau mungkin sekelompok orang sedang berusaha menjatuhkan. Teror ayam mati itu? Bisa jadi. Meski, aku belum mendapatkan gambaran siapa pelakunya. Jawabannya masih teka-taki, sebelum kutemukan dan mematahkan leher Zainal.“Tuan, Anda melamun?”Suara gadis itu menyadarkanku yang sedang termangu di teras depan.“Duduklah,” pintaku.Kejoranya merebak dan seperti penuh sesal ketika kuceritakan semua yang terjadi.“Semua? Tidak ada yang tersisa, Tuan?”“Semua. Bahkan uang di brankas kantor juga raib, dua invoice yang sudah cair juga tanpa jejak.”
Rumah besar ini kembali lengang. Sepi seperti tak bertuan.Mak Yayah kini sering duduk termenung sendirian. Sama sepertiku, barangkali ia juga kehilangan. Meski selama di sini, Delia lebih banyak diam, tapi bersama Mak Yayah mereka bisa ngobrol banyak sambil melakukan pekerjaan rumah bersama-sama. Setiap kularang, jawabannya tetap sama, “Saya adalah sahaya yang ditebus, Tuan. Biarkan saya melakukan apa yang harus saya lakukan di rumah ini.”Lalu aku membiarkannya melakukan apa saja, membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, merapikan taman, termasuk jika ia tenggelam bersama buku-buku tebalnya itu.“Pak, kopinya!” Mak Yayah tiba-tiba datang mengantarkan secangkir cappuccino yang kupesan.“Taruh di meja.”“Kalau Neng Delia pindah, rumah jadi sepi lagi.” Ada nada kerinduan tersirat.“Disuruh sekolah sama nininya di sana. Pekan depan aku harus urus surat pindahnya,” jawabku nyaris putus asa. “Padahal anak itu baik. Sering ngomongin Bapak kalau sama saya.”Telingaku tiba-tiba melebar.“Ngo
Pada waktunya, semua hanya akan menjadi kenangan.Tapi, aku belum sanggup kehilangan semua momen ini. Terlebih selama belasan tahun hari-hari hanya berteman sepi yang bisu, tak ada keinginan-keinginan, untuk kehidupan yang sungguh-sungguh hidup. Jika kamu pergi Delia, rumah ini akan masuk dalam musim dingin yang panjang kembali.Hatiku mendadak ngilu, membayangkan kehilangan yang menyakitkan sekali lagi. Tapi, demi melihat asa yang terlukis dari pancaran kejoranya yang menatap lekat-lekat, aku tak tega memupus harapan yang meletup-letup di sana.“Tuan, yaa?” Sekali lagi ia meminta sungguh-sungguh.“Berkemaslah. Kita berangkat besok pagi.”Selarik senyum ia sematkan dengan mata yang menyapu wajahku beberapa jeda. “Terima kasih banyak, Tuan. Anda memang yang terbaik,” ujarnya, sebelum membuka pintu mobil dan menghilang di teras rumah, meninggalkanku yang masih termangu sambil memegang kemudi, dengan perasaan campur aduk.***“Tuan?”“Hmm?”“Anda dulu nikah muda?”“Setahun setelah selesa