Share

Mas Ganteng

Author: Airin Ahmad
last update Last Updated: 2023-03-03 23:09:20

Kenyataan sering tak sejalan dengan rencana yang sudah dibuat matang.

Aku tergeragap ketika bapak berseragam itu mengulangi pertanyaanya dengan tatapan tajam penuh selidik.

“Pak! Anda pelanggan di sini?”

“Ng … bukan, Pak, eh, anu ….” Aku berdehem sebentar, menetralisir serbuan perasaan deg-degan dan kata-kata yang tersendat di tenggorokan. “Maksud saya … saya bisa jelaskan semuanya. Bisa saya bertemu pimpinan operasi ini?” ucapku grogi dengan bahasa yang belepotan.

“Bapak ada keperluan apa?”

“Tolong! Ada hal penting yang harus saya sampaikan.”

“Tunggu di sini!” perintahnya kemudian.

Bapak petugas itu menjauh, lantas berbincang dengan sesama laki-laki berseragam yang sedang sibuk dengan Handy Talky di tangan. Keduanya lalu menatap lurus ke arahku. Hatiku menciut. Entah kenapa aku jadi setakut ini.

Ketika pada akhirnya keduanya melangkah mendekat, ingin rasanya aku mengambil langkah seribu. Tapi kabur tanpa tanggung jawab bukan keputusan bijak. Meski kesatria berbaju zirah ini sudah kalah telak oleh seorang bocah ingusan, pantang bagiku untuk tidak menyelesaikan apa yang sudah dimulai.

“Selamat malam, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa laki-laki yang dipanggil komandan sama teman satunya itu ramah sambil mengulurkan tangan.

Berbungkus rasa khawatir, kuceritakan seluruh kronologi kejadian tanpa terkecuali, sementara bapak berseragam menyimak, menulis sesuatu pada catatan, dan sesekali bertanya.

“Sekarang anaknya di mana?” Ia menginterogasi lagi.

“Ada di rumah sama pembantu saya, Pak. By the way, benar ini lokalisasi Mami Irene? Delia bilang ibunya disekap agar Delia mau dijual,” tanyaku penuh rasa penasaran.

“Siapa nama ibunya?”

Sial! Bodohnya, aku lupa menanyakan siapa nama ibunya.

“Waduh, saya lupa menanyakannya, Pak. Kejadiannya baru dua hari ini, dan saya belum sempat ngobrol banyak. Saya ke sini buat memastikan, jangan sampai nanti kenapa-kenapa.”

“Sementara, Anda meninggalkannya di rumah hanya berdua dengan pembantu?”

Ya, ampun. Kenapa aku jadi sebodoh ini? Pikiranku lalu bercabang ke mana-mana. Rasa khawatir akan keselamatan Mak Yayah menghantam kesadaranku. Apa kabar rumah?

“Gimana ini, Mang?!”

Seketika aku panik. Mang Sugi tersenyum tenang seperti biasanya.

“Nanti biar saya yang telepon, kita berdoa yang terbaik, semoga Allah jaga. Berhusnuzon sama Allah, karena Ia sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Bapak selesaikan dulu yang di sini,” ucapnya menenangkan.

Lalu, untuk pertama kali setelah belasan tahun aku berdoa dan berharap. Ada trauma yang membekas, takut kehilangan orang-orang dekatku lagi. Ya, Allah, lindungi Mak Yayah. Tiba-tiba hatiku diselimuti ketakutan yang sangat.

“Kita ke sana!” Pak polisi itu mengajakku mendekati orang-orang di bak mobil yang sebagian masih diserang panik. Bau alkohol menguar dari segala penjuru.

“Siapa yang bernama Mami Irene?”

Seorang perempuan tambun berbaju sama seksinya buka suara.

“Aku, Pak Pol,” jawabnya masih dengan kegenitan yang sama seperti saat kutelepon.

“Kenal yang namanya Delia?” tanya sang komandan.

Sesaat kekagetan mewarnai wajah menor itu. Ia terdiam dengan wajah pucat pasi di bawah sorot lampu mobil.

“Jawab! Atau?” Pak polisi itu mengangkat tangannya, menggertak Mami Irene dengan tangan terkepal di udara.

“Eh, copot-copot! Jangan galak-galak napa, sih, Pak Pol?” Suaranya masih mendayu.

“Delia ada sama saya.” sahutku.

“Nah, tuh, sama Mas Ganteng Delianya. Mas yang kemarin telepon minta nambah hari karena ketagihan, kan? Eh, copoot!” Ia memekik dan menutup mulutnya lekas-lekas, sadar telah keceplosan.

‘Mana ibunya?” Pak Polisi memberondong dengan pertanyaan lanjut.

“Aiii! Mamamiaa! Si Tika mana? Kartika mana?!” ia berteriak panik dengan wajah makin pias, matanya berpendar-pendar menatap anak buahnya yang duduk berhimpit-himpit di kursi yang sempit.

Mereka lalu kasak-kusuk saling bertanya. Seorang perempuan lantas angkat bicara dengan intonasi takut, “Kartika sedang sakit, Pak. Lalu dikurung Mami di kamar paling ujung. Tadi pas Bapak datang, saya dobrak pintunya dan Kartika kabur.”

“Aiiii! Mampus aku!” Kaki Mucikari itu menghentak-hentak lantai mobil sehingga tubuh tambunnya berguncang-guncang, sementara matanya melotot pada anak buah berbaju kuning yang tadi buka suara.

“Turun kamu!” teriak Pak Polisi pada gundik itu dengan wajah geram.

Takut-takut ia meloncat turun dan hampir terjerembab karena sepatu berhak tinggi yang dikenakan. Alas kaki itu hampir tak mampu menahan beban tubuhnya.

Pak petugas lantas bertanya tentang banyak hal, juga tentang Delia dan ibunya. Kecentilan perempuan itu seperti embun pagi yang terkena sinar mentari, menguap tak berbekas. Ia menjawab pertanyaan dengan suara terbata dan bergetar-getar. Aku berdiri menyimak, berharap mendapatkan titik terang atas semua masalah ini. Sementara petugas lain menyisir setiap sudut rumah untuk menemukan jejak Kartika.

Hasilnya nihil. Ibunya Delia raib bagai sembunyikan makhuk gaib.

“Tunjukkan kamar Kartika,” bentak petugas lagi.

Mami Irene berjalan terseok-seok disiksa sepatu yang sepertinya sudah patah akibat meloncat tadi, diikuti Pak Polisi dan aku. Kami memasuki rumah besar yang bersekat-sekat. Terdapat mini bar dan ruang karaoke di bagian depan, dengan lampu disko yang masih menyala berpendar-pendar, warna-warni menghiasi setiap sudut ruang. Bagian dalam ada kamar berderet-deret, barangkali kamar para kupu-kupu malam atau mungkin ruang pelayanan untuk transaksi para hidung belang. Perutku tiba-tiba mual.

Mami Irene berhenti di kamar paling ujung dan berkata, “Ini kamarnya, Pak.” tunjuknya sambil menunduk.

Pak Komandan Polisi menerobos masuk, menghidupkan lampu dan memindai ruangan memprihatinkan itu. Aroma parfum murah segera menusuk penghidu.

Sebuah kamar sederhana berlantai ubin putih dan dinding bercat kuning gading yang mengelupas di beberapa bagian. Ada dipan sederhana, dua pasang bantal guling, sebuah lemari plastik dua pintu, dan mukena usang tergantung di balik pintu. Beberapa alat rias berantakan di depan meja kaca, dan berpasang-pasang sepatu berserak di sudut. Para petugas itu lantas menggeledah, menemukan tumpukan buku-buku pelajaran dan sebuah map plastik di atas lemari, sebuah al quran usang dan beberapa kitab. Aku mencuri lihat tulisan rapi yang dibubuhkan di dalam buku tulis khas anak sekolah, kukira itu milik Delia.

Ironi. Banyak rumah megah dengan penghuni terhormat atau merasa terhormat yang lupa diri, kitab suci hanya sebagai koleksi, berdebu karena lupa disentuh, sarung dan mukena yang tetap tersusun rapi di lemari. Sementara di kamar menyedihkan ini, Tuhan diagungkan dengan begitu bersahaja. Betapapun bangsat di mata manusia, bukankah semua tergantung akhirnya?

Perlahan map dibuka, ada beberapa lembar surat penting, kartu keluarga atas nama Kartika Cahyani dan dua orang anggota keluarga, raport sekolah, ijazah dan akte kelahiran. Sebuah pas foto ditempel di bagian depan ijazah. Meski masih anak-anak, aku tak asing dengan wajah terbingkai di dalam kertas ukuran tiga kali empat itu. Semua atas satu nama ‘Adelia Alfarouq.’

Sebuah nama yang indah, seindah pemiliknya. Ketegangan dan kecemasan yang tadi menderaku seakan terangkat begitu saja, digantikan perasaan hangat. Ah, tiba-tiba aku merindukan bocah itu.

Aku undur diri setelah mendapatkan jawaban. “Saya tunggu di luar, Pak,” ucapku memberi tahu petugas.

“Siap. Jangan ke mana-mana!” perintahnya tegas.

Aku melangkah keluar sambil meyulut sebatang rokok. Menghampiri Mang Sugi yang berdiri dalam gigil di depan mobil.

“Ada kabar apa dari rumah, Mang?” Kulihat mata tua itu berusaha tenang, meski tak mampu menyembunyikan sorot kecemasan.

“Saya telepon beberapa kali tidak ada nada sambung, Pak.”

“Coba lagi,” perintahku.

Mang Sugi kembali menelepon meski tidak ada respon dari seberang.

“Coba telepon rumah,” perintahku lagi.

“Sudah, Pak. Tidak diangkat.”

Hatiku kembali mencelos. Kelegaan dan kebahagiaan yang baru saja membuncah, tiba-tiba lari terbirit-birit menerima kenyataan yang baru saja kuketahui.

Aku berdiri, duduk, dan berjalan-jalan di sekitar mobil dengan perasaan tak keruan, menunggu petugas selesai dengan pekerjaannya. Waktu bagai undur-undur yang berjalan surut ke belakang.

***

Hari menjelang pagi ketika konvoi kendaraan meninggalkan lokasi. Suara sirine mengaung-ngaung membelah dini hari yang dingin, membangunkan orang-orang dari lelap tidur. Sebagian ada yang masih duduk-duduk dipinggir jalan, memakai sarung, dan senter di tangan, sambil menyanding tulisan sederhana di atas karton, menjajakan jasa penginapan villa. Demi selembar dua lembar rupiah, orang rela begadang dan melakukan apa saja untuk bertahan hidup.

Pasar tradisional mulai menggeliat, mengabaikan kabut yang masih pekat menghalagi pandangan, dan titik-titik embun yang luruh di atas daun-daun. Aneka sayuran segar dijajakan penuh pengharapan, membawa laba demi asap dapur tetap mengepul. Orang-orang di pasar itu serentak menatap iring-iringan dengan pandangan penuh tanya.

Atas perintah pak polisi pula, aku harus tetap ikut ke kantor. Betapapun aku ingin menjelaskan kepada para aparat itu, perkara telepon rumah yang tidak diangkat, tapi aku bungkam. Andai terjadi apa-apa, aku pasti akan menerima akibat dari kelalaianku. Kenapa semua menjadi serumit ini?

Mang Sugi mengendalikan laju kendaraan dengan hati-hati mengikuti rangkaian. “Nyalakan Fog Lamp, Mang,” perintahku mengingatkan, supaya kendaraan lain bisa menjaga jarak karena pandangan yang dibatasi kabut.

Sementara pikiranku tertuju pada nasib Mak Yayah yang tak ada kabar. Bagaimana nasib perempuan paruh baya yang sudah mendedikasikan hidupnya belasan tahun kepadaku bersama sang suami? Apa yang dilakukan Delia pada perempuan yang kuhormati dan sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri itu? Semua pertanyaan bergaung memenuhi rongga kepala, sementara hatiku dirajam perasaan takut.

Kucoba menelepon sekali lagi, kali ini suara operator menjawab, bahwa nomor yang kutuju sedang tidak aktif. Ya Allah, kusebut lagi Ia dalam pengharapan yang besar, disertai rasa malu karena selama ini meninggalkan-Nya.

Riak-riak masalah yang tadi kuanggap remeh, kini menggulungku serupa ombak, mengempaskan serupa badai di tengah laut.

**

Related chapters

  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Panik Itu Konyol

    Apakah ini teguran? Atau azab atas sikapku selama ini? Segala rasa dan kecemasan bercampur aduk, berputar-putar membingungkan.Aku jadi teringat nasihat ibu, takaran ujian manusia sesuai dengan tingkat keimanan seseorang. Sebagai bentuk kecintaan Tuhan agar ia berjalan di atas muka bumi tanpa dosa, karena ujian dan kesakitan adalah untuk menghapus tiap kesalahan. Sementara, dicoba seperti ini saja, aku berontak dan menjauh, melupakan fitrah bahwa manusia diciptakan untuk menyembah Tuhannya.Ia justru menganugerahiku kemudahan. Ujian selanjutnyakah ini, atau istidraj? Kesenangan dan nikmat yang diberikan sebagai azab yang membuatku semakin lalai dan mati dalam kesia-siaan.Hatiku gerimis, serasa diremas, pedih dan menyesakkan. Jebol sudah tanggul keangkuahku selama ini, seiring air mata yang luruh membasahi pipi.“Bapak kenapa?” Mang Sugi bertanya sambal melirik kaca spion di atas dashboard. “Nggak usah cemas, Pak. Insyaallah nggak terjadi apa-apa,” sambungnya menenangkanku.Shit! Kena

    Last Updated : 2023-03-04
  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Kamu Cemburu?

    Tuhan mengaruniakan air mata itu untuk melerai beban dan kesedihan yang bertumpuk menyesakkan.Menangislah, Delia. Kaummu dianugerahi persediaan air mata lebih, karena kodrat kalian yang harus melakukan banyak hal mempergunakan rasa, meski tak sekali, laki-laki juga butuh menangis. Alam raya diciptakan dengan keseimbangan yang dinamis, ada pelampiasan yang bisa dilakukan atas setiap hal yang berlaku.Aku hanya duduk dan menunggu, hingga kesedihannya benar-benar reda.“Mau jadi apa kalau nggak nerusin sekolah, Delia?” ujarku akhirnya.“Buat apa lagi saya sekolah, Tuan?” Ia tertunduk, memainkan jarinya di pangkuan sambil sesekali masih menyusut air mata dengan ujung jilbab.“Untuk dirimu sendiri, orang-orang di sekitarmu dan biar nggak bernasib seperti ibumu, maaf. Kamu masih punya harapan bertemu, ‘kan? Aku juga pernah hancur ketika ibu meninggal saat aku sedang menempuh pendidikan, sementara bapak sudah mendahului sejak aku masih bayi. Aku tahu rasanya, Delia.”Kepalanya terangkat da

    Last Updated : 2023-03-05
  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Teror

    Ujian demi ujian datang menyapa.Aku terkejut alang-kepalang melihat apa yang tersaji di depan mata. Sementara Delia menghambur dan membenamkan wajahnya di dadaku. Dua kejadian luar biasa yang datang secara bersamaan. Perasaanku campur aduk antara kaget dan berbunga-bunga, penuh menyesaki rongga dada. “Tak apa, Delia,” ujarku sambil menepuk pundaknya beberapa kali.Menyadari yang baru saja ia lakukan, Delia tergesa mengangkat wajah dan langkahnya surut ke belakang.“Tuan, maaf.” Ia tersipu.“Siapa yang mengirim ini?” ujarku, lebih seperti bergumam pada diri sendiri.Seekor ayam mati ditancapkan ke pintu menggunakan sebilah belati, sementara darahnya berceceran di lantai yang putih, sehingga memperlihatkan warna mencolok. Ada tulisan ‘TUNGGU PEMBALASAN!’ di samping genangan darah tanpa ada petunjuk lain. Siapa gerangan pelakunya dan apa maksud semua ini? Rasanya selama ini aku tak memiliki musuh.Kupikir, tak mungkin ada penyusup masuk lewat portal depan yang dijaga satpam. Apakah ula

    Last Updated : 2023-03-06
  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Perpisahan

    Pada waktunya, semua hanya akan menjadi kenangan.Tapi, aku belum sanggup kehilangan semua momen ini. Terlebih selama belasan tahun hari-hari hanya berteman sepi yang bisu, tak ada keinginan-keinginan, untuk kehidupan yang sungguh-sungguh hidup. Jika kamu pergi Delia, rumah ini akan masuk dalam musim dingin yang panjang kembali.Hatiku mendadak ngilu, membayangkan kehilangan yang menyakitkan sekali lagi. Tapi, demi melihat asa yang terlukis dari pancaran kejoranya yang menatap lekat-lekat, aku tak tega memupus harapan yang meletup-letup di sana.“Tuan, yaa?” Sekali lagi ia meminta sungguh-sungguh.“Berkemaslah. Kita berangkat besok pagi.”Selarik senyum ia sematkan dengan mata yang menyapu wajahku beberapa jeda. “Terima kasih banyak, Tuan. Anda memang yang terbaik,” ujarnya, sebelum membuka pintu mobil dan menghilang di teras rumah, meninggalkanku yang masih termangu sambil memegang kemudi, dengan perasaan campur aduk.***“Tuan?”“Hmm?”“Anda dulu nikah muda?”“Setahun setelah selesa

    Last Updated : 2023-03-07
  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Kolaps

    Rumah besar ini kembali lengang. Sepi seperti tak bertuan.Mak Yayah kini sering duduk termenung sendirian. Sama sepertiku, barangkali ia juga kehilangan. Meski selama di sini, Delia lebih banyak diam, tapi bersama Mak Yayah mereka bisa ngobrol banyak sambil melakukan pekerjaan rumah bersama-sama. Setiap kularang, jawabannya tetap sama, “Saya adalah sahaya yang ditebus, Tuan. Biarkan saya melakukan apa yang harus saya lakukan di rumah ini.”Lalu aku membiarkannya melakukan apa saja, membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, merapikan taman, termasuk jika ia tenggelam bersama buku-buku tebalnya itu.“Pak, kopinya!” Mak Yayah tiba-tiba datang mengantarkan secangkir cappuccino yang kupesan.“Taruh di meja.”“Kalau Neng Delia pindah, rumah jadi sepi lagi.” Ada nada kerinduan tersirat.“Disuruh sekolah sama nininya di sana. Pekan depan aku harus urus surat pindahnya,” jawabku nyaris putus asa. “Padahal anak itu baik. Sering ngomongin Bapak kalau sama saya.”Telingaku tiba-tiba melebar.“Ngo

    Last Updated : 2023-03-08
  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Buron Polisi

    Tidak ada yang abadi, meski sukma yang mengurat pada leher dan nadi sekali pun. Usahaku diambang kehancuran, tapi tidak dengan cita-cita dan harapan yang kutabur di sepanjang hari Delia. Ia tidak boleh patah arang, meski kehidupan menjanjikan mimpi setinggi gunung kemudian mengempaskan ke dasar jurang-jurangnya yang dalam dan sempit.Delia harus jadi ‘orang.'[Pembalasan on going!]Sebuah pesan dari nomor asing kuterima dari aplikasi WA. Seseorang atau mungkin sekelompok orang sedang berusaha menjatuhkan. Teror ayam mati itu? Bisa jadi. Meski, aku belum mendapatkan gambaran siapa pelakunya. Jawabannya masih teka-taki, sebelum kutemukan dan mematahkan leher Zainal.“Tuan, Anda melamun?”Suara gadis itu menyadarkanku yang sedang termangu di teras depan.“Duduklah,” pintaku.Kejoranya merebak dan seperti penuh sesal ketika kuceritakan semua yang terjadi.“Semua? Tidak ada yang tersisa, Tuan?”“Semua. Bahkan uang di brankas kantor juga raib, dua invoice yang sudah cair juga tanpa jejak.”

    Last Updated : 2023-03-09
  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Cinta Masa Lalu

    Cinta wanita diuji ketika prianya tidak memiliki apa-apa, sementara cinta pria diuji justru ketika memiliki segalanya. Aku pernah membaca itu di suatu tempat. Entah di mana. Ketika aku sibuk menerka-nerka dan penasaran dengan jawaban gadis itu, “Mak! Sarung yang di belakang pintu kemarin mana?!” teriak Mang Sugi membuyarkan semuanya.Aku bergegas melangkah ke kamar mandi. Sialan!“Dicuci! Udah apek, seminggu lebih dipakai wae,” jawab Mak Yayah terdengar kesal.Rasa penasaranku menguap di udara.***Matahari senja merangkak ke peraduan, meninggalkan bias jingga di ufuk barat. Aku tercenung menikmati setiap asa yang berkelindan di sanubari. Rindu yang tak beranjak.Aku masih termangu di belakang setir, di bundaran tempat banyak kantor beroperasi. Berharap ada notifikasi orderan penumpang. Kantorku, dulu ada di jajaran gedung menjulang itu. Semakin hari, persaingan semakin ketat. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Orang tak punya pilihan selain banting stir. Alih profesi d

    Last Updated : 2023-03-10
  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Ikhlas Itu Berat

    Waktu mungkin bisa menghapus rasa sakit, tapi tidak kenangan. Ia akan abadi. Meski tersimpan di alam bawah sadar, suatu ketika akan muncul ke permukaan jika ada pemantik. Tiga hari setelah kejadian itu, semua kembali normal. Tapi tidak dengan hati, meski aku berkaca dan sadar diri. Kartika beberapa kali berkunjung dan tak putus berucap terima kasih. Menitipkan beberapa rupiah untuk bekal Delia. Tak seberapa memang, tapi kesungguhan terlihat jelas di sana.“Meski kita seumuran, Tuan. Saya rela kalau anda jadi menantu saya.”Aku tersenyum masam mendengarnya.“Delia pantas mendapatkan yang lebih baik. Ia punya teman yang sedang mendekatinya,” elakku.“Saya ibunya, Tuan. Saya tahu seperti apa Delia. Saya tahu yang dia rasakan.” Ia tersenyum.“Aku tak ingin memanfaatkan kesempatan, Kartika. Orang bilang itu modus.”Ia menatapku dan kembali tersenyum. ***Delia berdiri di hadapanku dengan dua amplop berwarna hijau di tangannya.“Undangan wisuda, Tuan.” Ia tersenyum. Matanya berkaca-kac

    Last Updated : 2023-03-11

Latest chapter

  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Taaruf

    ‘Welcome to the jungle’ adalah kalimat sakti yang sering diucapkan seorang teman ketika kita mengakhiri masa lajang. Pernikahan merupakan separuh dien, keseluruhannya dicatat sebagai ibadah. Hanya yang kuat yang mampu bertahan.Berat? Pasti. Setiap ibadah banyak cobaan. Sebentar lagi, aku harus melepaskan gadis kecil itu ke pelaminan, sementara aku sendiri nyaris tak pernah memberikan bekal pendidikan perkawinan padanya.Bagaimana akan mengajarinya sementara ilmu dan pengalamanku nyaris tak punya. Pernikahan yang hanya seumur jagung dan aku pun gagal menjadi suami yang baik.Umum dalam sebuah pernikahan, hal-hal kecil bisa menjadi pemantik pertengkaran besar. Handuk yang ditaruh sembarangan di atas tempat tidur misalnya, bisa menjadi penyebab perang Batarayudha. Ada Setan Dasim yang selalu menggoda dan berbisik, meniup-niup api perselisihan dan membenci pasangan. Prestasi terbaik mereka adalah jika mampu menceraikan sebuah pernikahan. Mungkin, nasehat penting itu perlu kusampaikan nan

  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Trauma Capitis

    Manusia hanya berencana, tetapi Tuhan jua yang menentukan akhir kejadian, karena tidak ada kebetulan dalam takdir.Niat hati menangkap Zainal, apa lacur, diri justru berujung tergeletak di kamar perawatan rumah sakit setempat. Kepalaku masih sangat pusing, tiga buah jahitan menghias pelipis kiri.“Kondisi bapak sudah stabil, tanda vital normal, tidak ada perdarahan telinga, hidung, mual maupun muntah. Tapi, kami harus melakukan observasi selama dua puluh empat jam, sambil menunggu hasil rontgen kepala dan CT scan keluar. Karena ada indikasi pusing dan hematoma perio orbital akibat benturan. Apalagi bapak sempat pingsan hampir dua jam,” terang petugas tadi pagi.“Apa itu hematoma?” “Memar yang mengakibatkan bercak perdarahan di sekitar mata.” Ia menerangkan sambil memberikan cermin. Mata kiriku ternyata merah dan pandangan memang sedikit kabur. Kuraih hape di meja kabinat hendak mengabari gadis kecilku ketika terdengar bunyi panggilan dan nama Kejora terpampang di sana. Mungkinkah in

  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Pertemuan

    Lagi, lagi dan lagi. Tidak ada kebetulan dalam hidup. Sekilas kulihat sesuatu melayang cepat, mengarah ke kepala, dan tidak sempat menghindar.Prook!!Serangan tak terduga sungguh di luar perkiraanku, batu sebesar genggaman tangan menghantam tanpa ampun. Nyeri luar biasa menyebar ke seluruh kepala lalu gelap … gelap … gelap. Kemudian, tubuh seperti ditarik keluar dan terasa ringan. Badanku terlihat tersungkur dekat parit dengan darah mengalir di pelipis. Meringkuk tak berdaya.Kenapa aku berpisah dengan jasad? Matikah ini? Sejenak, panik melanda. Orang-orang makin ramai berkerumun dan saling berteriak. Gaduuh! Allah! Allah! Allah! Jangan sekarang, Pramono belum siap mati. Apa yang akan kubawa jika kembali dalam keadaan seperti ini? Dadaku sesak dan ngilu.Mondar mandir aku berjalan sambil berteriak minta tolong, tapi suaraku bagai di telan keributan yang terjadi. Tak ada seorang pun yang menghiraukan, selengking apapun teriak yang kubisa lakukan. Kuraih pundak salah satu mereka, beru

  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Titik Terang

    Jodoh sejatinya adalah rahasia Sang Pemilik Kehidupan.Betapapun besarnya rasa ingin, akhirnya semua tunduk kepada takdir yang sudah tertulis di Lauh Mahfudz sebelum semesta diciptakan.Kususut kembali genangan di sudut mata yang tak hendak diajak kompromi, seiring belati yang menikam jantung. Nyeri.Terlalu banyak sudah jejak parut di hati semenjak ditinggalkan orang-orang terkasih. Aku tak sanggup kehilangan sekali lagi. Bapak, yang kata ibu meninggal jatuh dari gedung tinggi tempatnya mengais rezeki, membangun istana kokoh untuk orang-orang berduit--sebagai kuli bangunan--tentu saja, disusul ibu dengan alasan yang sama, menjemput takdir demi menghidupiku. Lalu Gayatri dan Aurora, menemui maut untuk satu alasan, pembuktian cinta pada laki-laki yang berjanji membahagiakannya. Aku.Mungkin, pasrah adalah jalan terbaik atas apa pun takdir yang tertulis. Tapi, tak akan ada kata maaf pada diriku sendiri jikalau cinta dan rasa ingin memiliki Delia menjadi penyebab ia menemui Malaikat Maut

  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Ikhlas Itu Berat

    Waktu mungkin bisa menghapus rasa sakit, tapi tidak kenangan. Ia akan abadi. Meski tersimpan di alam bawah sadar, suatu ketika akan muncul ke permukaan jika ada pemantik. Tiga hari setelah kejadian itu, semua kembali normal. Tapi tidak dengan hati, meski aku berkaca dan sadar diri. Kartika beberapa kali berkunjung dan tak putus berucap terima kasih. Menitipkan beberapa rupiah untuk bekal Delia. Tak seberapa memang, tapi kesungguhan terlihat jelas di sana.“Meski kita seumuran, Tuan. Saya rela kalau anda jadi menantu saya.”Aku tersenyum masam mendengarnya.“Delia pantas mendapatkan yang lebih baik. Ia punya teman yang sedang mendekatinya,” elakku.“Saya ibunya, Tuan. Saya tahu seperti apa Delia. Saya tahu yang dia rasakan.” Ia tersenyum.“Aku tak ingin memanfaatkan kesempatan, Kartika. Orang bilang itu modus.”Ia menatapku dan kembali tersenyum. ***Delia berdiri di hadapanku dengan dua amplop berwarna hijau di tangannya.“Undangan wisuda, Tuan.” Ia tersenyum. Matanya berkaca-kac

  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Cinta Masa Lalu

    Cinta wanita diuji ketika prianya tidak memiliki apa-apa, sementara cinta pria diuji justru ketika memiliki segalanya. Aku pernah membaca itu di suatu tempat. Entah di mana. Ketika aku sibuk menerka-nerka dan penasaran dengan jawaban gadis itu, “Mak! Sarung yang di belakang pintu kemarin mana?!” teriak Mang Sugi membuyarkan semuanya.Aku bergegas melangkah ke kamar mandi. Sialan!“Dicuci! Udah apek, seminggu lebih dipakai wae,” jawab Mak Yayah terdengar kesal.Rasa penasaranku menguap di udara.***Matahari senja merangkak ke peraduan, meninggalkan bias jingga di ufuk barat. Aku tercenung menikmati setiap asa yang berkelindan di sanubari. Rindu yang tak beranjak.Aku masih termangu di belakang setir, di bundaran tempat banyak kantor beroperasi. Berharap ada notifikasi orderan penumpang. Kantorku, dulu ada di jajaran gedung menjulang itu. Semakin hari, persaingan semakin ketat. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Orang tak punya pilihan selain banting stir. Alih profesi d

  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Buron Polisi

    Tidak ada yang abadi, meski sukma yang mengurat pada leher dan nadi sekali pun. Usahaku diambang kehancuran, tapi tidak dengan cita-cita dan harapan yang kutabur di sepanjang hari Delia. Ia tidak boleh patah arang, meski kehidupan menjanjikan mimpi setinggi gunung kemudian mengempaskan ke dasar jurang-jurangnya yang dalam dan sempit.Delia harus jadi ‘orang.'[Pembalasan on going!]Sebuah pesan dari nomor asing kuterima dari aplikasi WA. Seseorang atau mungkin sekelompok orang sedang berusaha menjatuhkan. Teror ayam mati itu? Bisa jadi. Meski, aku belum mendapatkan gambaran siapa pelakunya. Jawabannya masih teka-taki, sebelum kutemukan dan mematahkan leher Zainal.“Tuan, Anda melamun?”Suara gadis itu menyadarkanku yang sedang termangu di teras depan.“Duduklah,” pintaku.Kejoranya merebak dan seperti penuh sesal ketika kuceritakan semua yang terjadi.“Semua? Tidak ada yang tersisa, Tuan?”“Semua. Bahkan uang di brankas kantor juga raib, dua invoice yang sudah cair juga tanpa jejak.”

  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Kolaps

    Rumah besar ini kembali lengang. Sepi seperti tak bertuan.Mak Yayah kini sering duduk termenung sendirian. Sama sepertiku, barangkali ia juga kehilangan. Meski selama di sini, Delia lebih banyak diam, tapi bersama Mak Yayah mereka bisa ngobrol banyak sambil melakukan pekerjaan rumah bersama-sama. Setiap kularang, jawabannya tetap sama, “Saya adalah sahaya yang ditebus, Tuan. Biarkan saya melakukan apa yang harus saya lakukan di rumah ini.”Lalu aku membiarkannya melakukan apa saja, membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, merapikan taman, termasuk jika ia tenggelam bersama buku-buku tebalnya itu.“Pak, kopinya!” Mak Yayah tiba-tiba datang mengantarkan secangkir cappuccino yang kupesan.“Taruh di meja.”“Kalau Neng Delia pindah, rumah jadi sepi lagi.” Ada nada kerinduan tersirat.“Disuruh sekolah sama nininya di sana. Pekan depan aku harus urus surat pindahnya,” jawabku nyaris putus asa. “Padahal anak itu baik. Sering ngomongin Bapak kalau sama saya.”Telingaku tiba-tiba melebar.“Ngo

  • Gadis Kecil Di Kamar Hotel   Perpisahan

    Pada waktunya, semua hanya akan menjadi kenangan.Tapi, aku belum sanggup kehilangan semua momen ini. Terlebih selama belasan tahun hari-hari hanya berteman sepi yang bisu, tak ada keinginan-keinginan, untuk kehidupan yang sungguh-sungguh hidup. Jika kamu pergi Delia, rumah ini akan masuk dalam musim dingin yang panjang kembali.Hatiku mendadak ngilu, membayangkan kehilangan yang menyakitkan sekali lagi. Tapi, demi melihat asa yang terlukis dari pancaran kejoranya yang menatap lekat-lekat, aku tak tega memupus harapan yang meletup-letup di sana.“Tuan, yaa?” Sekali lagi ia meminta sungguh-sungguh.“Berkemaslah. Kita berangkat besok pagi.”Selarik senyum ia sematkan dengan mata yang menyapu wajahku beberapa jeda. “Terima kasih banyak, Tuan. Anda memang yang terbaik,” ujarnya, sebelum membuka pintu mobil dan menghilang di teras rumah, meninggalkanku yang masih termangu sambil memegang kemudi, dengan perasaan campur aduk.***“Tuan?”“Hmm?”“Anda dulu nikah muda?”“Setahun setelah selesa

DMCA.com Protection Status