Di Kantor kepala desa telah ramai orang-orang untuk membicarakan kehamilan Dyra. Di Desa diyakini bahwa wanita hamil diluar nikah membuat para leluhur marah, dan paling ironisnya mereka takut terjadi bencana yang akan melanda desa."Anak itu tidak boleh dilahirkan.""Anak haram membawa kesialan bagi desa kita.""Anak gadis yang belum menikah sudah hamil diluar nikah, terus mencari uang dengan menjual diri."Ucapan para warga menunjuk-nunjuk ke wajah Dyra."Tenang para warga sekalian, kita dengarkan dulu penjelasan Dyra,” ucap kepala desa."Dyra apa betul kamu sedang hamil, terus siapa laki-laki itu?” tanya kepala desa baik-baik."Untuk apa ditanya lagi, semua sudah jelas bahkan kami sudah memeriksanya ke rumah sakit." Salah satu warga."Gugurkan anak itu, atau kamu pergi dari desa ini." Ucap warga lain.Mendengar itu Dyra tidak sanggup, membayangkan membunuh anaknya yang belum lahir."Tidak, aku tidak mau menggugurkannya,” ucap Dyra berdiri dari kursi.Dyra yang melihat ayahnya dilu
Warga terkejut mendengar teriakan dan ancamannya, mereka melepaskan tangan Dyra, warga menoleh ke arah suara berasal.Dyra masih terbaring di tanah, wajahnya yang menengadah ke tanah dan tangan serta tubuhnya gemetaran bahkan suara tangisannya masih terdengar walau samar-samar.Tidak sanggup melihat keadaan Dyra, pria itu ikut menangis. "Dyra,,, Adikku. Apa yang terjadi padamu?" Pria itu menangis sambil mengangkat tubuh Dyra kedalam pelukannya.Dyra dengan hampir kehilangan kesadaran, berpikir bahwa sentuhan itu dari warga. "Kumohon lepaskan aku, tolong kasihani aku,” ucapnya menangis tersedu-sedu berusaha melepaskan diri dari pelukan orang itu.Pria itu berusaha menyadarkan Dyra, dia berusaha menunjukkan wajahnya. "Tenanglah Dek, Ini kakak. kak Raka," ucapnya lembut.Dyra perlahan mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Raka, wajah yang selama ini ia rindukan, suara yang selama ini dirindukan. Dyra masih tidak percaya dengan penglihatannya.Apakah sekarang aku sudah tiada, sehing
Flashback.Ingatan Raka 15 tahun yang lalu.Waktu itu Raka berumur 15 tahun sedangkan Dyra berumur 5 tahun.Ibu Raka bekerja sebagai penjahit dan ayahnya masih tetap sebagai pedagang. Keluarga mereka tampak bahagia namun semenjak ibu Raka sakit. Sedikit demi sedikit terjadi perubahan terhadap sikap Ayahnya.Uhuk,,, uhuk,,,uhuk suara batuk Ibu Raka."Ibu baik-baik saja,” ucap Raka sambil membawakan teh hangat untuk ibunya."Ibu baik-baik saja. Apa ayahmu belum pulang." Tanya ibunya."Belum bu, mungkin nanti sore baru pulang.""Dyra mana, dari tadi ibu gk lihat.""Sedang tidur bu dikamar."Ketika itu penyakit ibu Raka semakin parah dan harus dibawah ke rumah sakit besar.***Malam hari ketika makan malam sekeluarga."Ayah sepertinya ibu harus dibawa kerumah sakit yang lebih besar,” ucap Raka sambil menyuapi adiknya Dyra."Ayah sibuk dan tidak sempat membawa ibumu ke rumah sakit,” ucap ayahnya."Biar Raka yang bawa ibu ke rumah sakit.""Tidak usah nak, kamu masih harus sekolah gk baik
Ayah Raka berusaha melerai dan melepaskan tangan Raka dari rambut wanita selingkuhannya itu.Sementara Raka tidak ingin berlama-lama disana langsung pergi. Melihat Dyra sedang bermain sendirian, Raka menghampiri adik kecilnya."Kakak, Ibu mana?” tanya Dyra kecil pada Raka."Ibu sekarang sudah pergi jauh, Dyra harus jadi anak yang baik biar bisa ketemu ibu,” ucap Raka tak tahu menjelaskan kepergiaan ibunya pada adiknya."Hiks,,, hiks,,,hiks mau ibu,,, ibu." Menangis mencari ibunya."Jangan nangis kalau nangis Dyra akan jadi anak jahat dan gak bisa ketemu ibu." Menenangkan Dyra.Semenjak kematian ibunya Raka menggantikan sosok seorang ibu bagi Dyra. Terkadang karena Dyra rewel bahkan tidak mau sekolah, terpaksa Raka membawa Dyra bersamanya ke sekolah.Ayah Raka hanya sebentar mengenang kematiaan istrinya, setelah istrinya meninggal ayahnya teterangan membuka hubungannya dengan Rossy, tiga tahun kepergian ibu kandung Dyra dan Raka. Ayahnya memutuskan untuk menikah lagi."Ayah akan menik
Melihat kakaknya yang tak ada lagi disampingnya Dyra bangun dan mencari keberadaan kakaknya. Tepat berada di ruang tengah Dyra mendengar semua kejadian yang tak pernah diketahuinya. Selama ini kepergian ibunya hanyalah semata-mata karena sakit, pernikahan ayahnya dikarenakan ayahnya masih membutuhkan pendamping. Tapi hari ini Dyra tau rasa sakit ibunya tidak dicintai lagi oleh ayahnya sendiri."Kak Raka, aku ingin pergi dari disini,” ucap Dyra berdiri dibelakang.Raka yang mendengar suara Dyra menoleh dan melihat adiknya tengah berdiri di belakangnya."Besok kita akan segera pergi dari sini." Mendekati adiknya dan menenangkan hatinya."Kamu harus istirahat dulu, biar kakak mengantarmu ke kamar,” ucap Raka kembali sambil merangkul Dyra ke kamar."Kakak jangan tinggalkan aku." Menahan tangan kakaknya untuk tidak pergi."Kakak tidak akan pergi lagi. Tidurlah. Kakak akan menemanimu." Mengambil tikar sebagai alas tidur dilantai.Raka yang melihat Dyra tertidur memikirkan sesuatu.Kakak j
Robin mulai menceritakan pertengkaran Dyra dengan ayahnya. Selama pertengkaran Dyra harus bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri begitu juga pertemuaan Dyra dengan Aoran mulai masuk ke dalam cerita. Semua tentang Aoran yang diketahui oleh Robin diceritakan pada Raka, namun satu hal yang tidak diketahui Robin yaitu sejauh mana hubungan Dyra dan Aoran."Dimana sekarang Aoran laki-laki baj**gan itu,” ucap cap Raka penuh kemarahan."Tidak tahu kak, kami hanya tahu Aoran seorang turis tapi untuk selengkapnya aku juga tidak tahu kak,” ucap Robin."Aneh kenapa Dyra tidak mengucapkan nama Aoran sedikitpun, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka. Dyra bahkan tidak menyebut nama Aoran." Raka bingung."Atau mungkin ada sesuatu yang tidak saya ketahui antara Aoran dan Dyra," ucapnya balik menyahut perkataan Raka dan ikut berpikir."Sudahlah mas nggak usah dipikirkan, sebaiknya sekarang kita berusaha untuk membuat Dyra melupakan kesedihannya." Lisa memegang pundak suaminya."Kamu benar Lis
Perkataan warga terus terngiang di pikiran Dyra hingga membuatnya sulit untuk tidur.***Waktu berjalan cepat tak terasa Dyra sudah sekitar 2 bulan tinggal dengan kakaknya."Mas aku mau ajak Dyra jalan-jalan ke mall bersama Robin" Melihat kearah Raka."Perlu ku temani? " tanya Raka."Tidak usah mas, kami tidak lama kok,” saut Lisa kembali pada suaminya."Kalian hati-hati dijalan,” ucap Raka ketika melihat mereka beranjak pergi.Lisa mengajak Dyra dan Robin ke mall.Pemandangan desa dan kota sangat berbeda bagi mereka berdua, berada di mall membuat Dyra gugup, ketika pertama kali naik lift jalan. Dyra dan Robin yang sama-sama bingung dan takut melangkahkan kakinya.Lisa yang melihat Dyra yang kaku ketika menaiki lift langsung meraih tangan Dyra."Berpegangan padaku Dek." Menggandeng tangan Dyra dan diikuti Robin dari belakang.Lift mulai berjalan pemandangan yang belum pernah dilihat Robin dan Dyra selama di desa."Tempatnya bagus ya kak,” ucap Dyra."Kamu suka?" tanya Lisa tersenyum
Menjelang pagi Dyra bangun dari tidurnya, dia mengingat ajakan kakaknya untuk pergi ketaman, Dyra bersiap-siap lebih awal karena tak ingin kakaknya menunggu lama.Di cermin Dyra berdiri dan melihat dirinya sudah rapi dengan mengenakan jaket berwarna tosca rambutnya terikat rapi. Walau wajahnya tak terlalu ceria tapi Dyra berusaha untuk terlihat baik-baik."Sudah siap dek?" tanya Raka baru datang dari arah ruang tengah.“Sudah kak,” saut Dyra dari dalam kamar.Raka membuka pintu kamar Dyra, pakaiannya terlihat rapi mengenakan kemeja bercorak garis biru dan diikuti dengan Lisa dari belakang membawa tas."Dek Robin, tolong jaga rumah ya," ucap Lisa meminta tolong pada Robin."Ok kak, Rumah aman denganku." Senyum Robin memberikan isyarat ok pada kedua jari nya.Mereka berangkat menaiki mobil berwarna hitam yang telah parkir didepan rumah, tujuan mereka sebenarnya kerumah sakit, namun sebelum ke rumah sakit mereka membawa Dyra ketaman agar suasana hati Dyra lebih baik. Dyra yang di dalam
"Aoran."Aoran menyebutkan namanya sendiri. Mendengar Ardella memanggil namanya dengan langsung, Aoran sangat tidak suka.Ardella yang tengah terlentang di sofa dibawah tubuh Aoran yang kekar meronta-ronta, dia berusaha untuk terlepas dari genggaman Aoran.Ardella meronta hingga memukul dada bidang Aoran, tetap saja pukulan Ardella tidak membuat Aoran melepaskan dirinya. Semakin Ardella melawan semakin membuat Aoran bertambah agresif. Secepat kilat Aoran menggerakan mulutnya ke bibir Ardella.Dikejutkan dengan serangan Aoran, mata Ardella terbelalak lebar, mulutnya terbungkam oleh lidah Aoran. "Mum." Masih dalam keadaan berontak, Ardella mendorong Aoran.Aoran sama sekali tidak peduli dengan perlawanan Ardella, ciuman di bibir Aoran terasa kasar di mulut Ardella."Auh!" Seru Aoran menyentuh bibirnya. Ardella menggigit Aoran. Dengan tatapan acuh, Aoran kembali menyerang Ardella.Tidak hanya sampai disitu, satu persatu Aoran membuka kancing baju Ardella."Aoran! kau gila. Aku akan mel
Di tengah perjalanan menuju pulang. Aoran menyetir dengan cepat. Sepanjang jalan Aoran hanya memikirkan Ardella yang dibencinya.Ckitt.Tiba dirumah Aoran langsung melangkah masuk kedalam rumah."Kak Aoran." Panggil Anasya dari bawah tangga. Kebetulan Anasya yang belum tidur melihat Aoran melangkah dengan terburu-buru naik keatas lantai dua.Mendengar panggilan Anasya Aoran berbalik. "Kenapa belum tidur jam segini?" Aoran melirik jam tangannya."Aku terbangun karena haus kak." Anasya mendekat kearah Aoran. "Kak Aoran bau alkohol." Mencium bau alkohol, Anasya menutup hidungnya."Kembali lah tidur, kakak ingin istirahat juga," ucap Aoran tanpa melanjutkan pembicaraan lagi."Iya kak,” saut Anasya dengan lembut.Aoran masih dalam suasana hati marah, dia melemparkan dirinya ke atas tempat tidur. Dengan posisi tengkurap Aoran terbaring diatas kasur. "Ardella aku lelah, aku ingin berhenti. " Sangat melelahkan untuk membenci orang yang kita pernah cintai, seandainya bisa memilih Aoran lebih
Dengan memainkan gelas yang berisikan wine, Aoran melirik Ardella yang berdiri di depannya."Aku merasa bosan, berikan aku hiburan." Ucapnya meneguk minumannya."Hiburan. Siapa kamu yang mewajibkan aku menghiburmu. Sungguh menyebalkan. " Kata Ardella dalam hati."Maaf tuan, saya tidak bisa menghibur anda." Suara Ardella sungguh ramah dan manis didengar. "Kalau mau dihibur cari saja wanita seksi yang bisa menghiburmu." Gumamnya menyeret suaranya.Meski mendengar ucapan Ardella, tetap saja Aoran bersikeras mau dihibur. "Ayolah, kamu bisa menari, kalau tidak menyanyi untuk menghiburku." Saut Aoran meminta.Menari? aku tidak mau menari dihadapan cowok rese ini, sepertinya menyanyi lebih baik. Ardella membatin."Baiklah, aku akan menyanyi. Tapi kamu tidak boleh tertawa." Memastikan bahwa Aoran tidak akan tertawa. Bakat Ardella sangat terpancar jika menari, tapi menyanyi bisa dikatakan kurang memenuhi syarat."Ok." Senyum Aoran yakin.Ardella mengambil mikrofon yang ada di sudut meja, mikr
Flashback.Sebelum melihat dengan mata kepala sendiri, Aoran merasa tidak tenang, dia memastikan sendiri Ardella aman bekerja di bar."Apa ini barnya?" tanya Aoran pada Parto."Iya Bos," saut Parto yakin.Pupil mata Aoran mengerut ketika melihat ke arah bar. Alis matanya terangkat tajam menandakan hatinya dalam suasana suram.Parto yang berdiri di samping Aoran merasa merinding. Mungkin sebentar lagi akan ada kejadian buruk. Mengenal sifat Aoran dengan tempramental buruk, tanpa sadar dia menggelengkan kepalanya."Parto." Panggil Aoran dengan tatapan mematikan. "Apa maksudnya kamu menggelengkan kepala," tanya Aoran dengan suara bergetar."Aku yakin Bos, sebentar lagi akan ada kekacauan disini,” sautnya tanpa menyaring perkataannya. Parto tertawa menunjukkan giginya.Raut muka Aoran berubah menjadi mengkerut. "Berhentilah bercanda denganku, sebelum kurontokkan semua gigimu." Nada datar tapi bermakna dari suara berat Aoran."Maaf Bos." Secepatnya Parto merapatkan bibirnya.Pertama kali m
Pagi hari.Terdengar suara langkah ribut dari kejauhan.Srek.Edward naik ke atas kasur Ardella. Menatap tantenya masih tidur dia menggelengkan kepala."Tante bangun." Edward membangunkan Ardella, dengan tangan kecilnya di menggoyang-goyang tubuh Ardella yang masih tidur dibawah selimut.Akibat lembur dari semalaman kelopak mata Ardella masih berat, dia menarik tubuh Edward kepelukannya. "Sepuluh menit lagi. Tante masih mengantuk." Ardella masih memejamkan matanya dengan rapat.Edward membalas pelukan Ardella, dengan tenang dia menunggu tantenya untuk bangun. "Ok. Waktunya bangun." Ardella menendang selimutnya, ketika membuka matanya terbuka lebar dia melihat tatapan Edward yang sangat menggemaskan."Aduhh, keponakan tante yang satu ini." Ardella mencium pipi Edward dengan gemes. "Ayo, bangun,” ucap Ardella ketika masih melihat Edward berbaring dengan santai di atas kasurnya."Huh, beratnya. " Menggendong Edward di pangkuannya."Aku tidak suka tante pulang malam." Kata Edward menunj
Malam hari.Ketika tiba dirumah Ardella disambut oleh kakak iparnya. Dengan wajah tersenyum Lisa menghampiri Ardella. "Dek, suruhan Aoran datang lagi." "Apalagi yang diinginkan cowok bre*ngsek itu." Gumamnya pelan. Ardella mengitari tubuh Lisa."Ada apa dek?" tanya Lisa ketika melihat Ardella membalikkan tubuhnya."Untung kakak ipar baik-baik saja, aku hanya takut mereka melukai kakak ipar." Suara lega terdengar dari hembusan nafas Ardella.Teringat dengan amplop yang diberikan oleh Parto. "Orang itu juga menitipkan ini." Amplop yang masih berada diatas meja diserahkan pada Ardella.Tidak lama kemudian Lisa juga membahas masalah kontrak rumah yang ditawarkan oleh Parto. Penjelasan Lisa sangat panjang dan detail."Sungguh kak." Terkejut mendengar penjelasan kakak iparnya."Iya dek, bahkan surat kontraknya sudah dibuat." Lisa menunjukkan isi kontrak pada Ardella.Membaca isi surat kontrak sepertinya tidak ada masalah, Ardella juga memikirkan betapa rumitnya mereka harus berkemas dan
Mencari pekerjaan di kota metropolitan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berjalan kesana kemari untuk mencari kerja tapi masih saja belum mendapatkan pekerjaan. Rasa frustasi sedikit tersirat di benak Ardella yang sedang mencari pekerjaan.Sudah beberapa kali Ardella menerima penolakan dari perusahaan lain. Kakinya begitu lelah dan sulit untuk berjalan, dia menghembuskan nafas dengan pelan. "Huh. Lelah sekali." Gumamnya.Karena merasa kakinya sedikit pegal, Ardella ingin beristirahat terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanannya. Ardella yang sedang berdiri dipinggir jalan melihat ke arah sekitarnya, melihat warung kecil di depannya dengan langkah kecil Ardella beranjak ke arah warung.Setibanya di warung Ardella duduk dengan meluruskan kakinya lebih condong ke depan. Melihat pemilik warung yang sedang berjualan Ardella merasa tidak enak hati hanya menumpang duduk, dia pun membeli beberapa cemilan kecil untuk dimakan.Sambil duduk Ardella melihat kembali sekelilingnya, di
Hari berikutnya.Semua kembali seperti semula. Menjalani kehidupan masing-masing. Pepatah mengatakan jika karena mengalami hal terpuruk membuat dirimu lebih kuat, maka bagi Ardella merasa semuanya tidak masalah, asalkan dia masih berada dekat dengan orang dia sayangi.Jika untuk sementara diriku kehilanganmu, maka aku akan terima dengan lapang dada. Tapi kumohon jangan pergi lebih lama lagi. Mungkin aku akan berubah lebih buruk dari ini. Aoran membiarkan Ardella bernafas untuk sejenak, dia tidak mengganggu Ardella untuk sementara waktu.***Pagi hari.Tak,, tak,,, tak. Suara langkah Aoran mengitari lapangan golf.Seperti biasa Aoran selalu melakukan olahraga kecil. Halaman taman di kediaman Aoran begitu luas, di sekitar pekarangan rumah terdapat lapangan golf seluas tiga ribu meter. Lapangan beralaskan rumput hijau dan beratapkan langit biru menjadi tempat santai bagi Aoran. Terkadang Aoran menghabiskan waktu bermain golf ketika waktunya senggang. Dipagi hari Aoran selalu memanjakan
Aoran sendiri tertegun dengan ucapan Ardella. Memperhatikan Ardella yang saat ini berdiri di hadapannya, Aoran masih merasa hatinya bergetar untuk Ardella. Tetapi sekarang dia berusaha menolak hatinya untuk menerima Ardella kembali.Disisi lain, Ardella merasa dirinya bagaikan sebuah bayangan untuk Aoran. Mungkin kah bayangan wanita itu menjadikan alasan semua perbuatan Aoran terhadapnya.Keduanya berbicara didalam hati masing-masing. Di Ruangan sunyi tanpa suara, detak jantung terdengar di telinga mereka sendiri. Aoran dan Ardella kini saling menatap, sesama melihat ke arah mata masing-masing. Keduanya hanya membentuk pola pikiran rumit."Jika saja aku wanita itu, maka sekarang aku akan melihatmu dengan rasa jijik,” ucap Ardella dingin. Dirinya masih dalam keadaan tidak terima Aoran menganggapnya sebagai wanita mainan."Mungkinkah kamu sendiri yang meninggalkan wanita itu, atau sebenarnya dari awal kamu memang tidak mencintainya,” ucap Ardella sembarangan menebak. Mungkin diantara m