Hujan dan petir terdengar nyaring saling sahut, sebuah rumah yang mewah dipenuhi dengan aura mencekam, di dalam rumah itu, seorang lelaki paruh baya sekitar 50 tahunan duduk di sofa.
Semua orang tengah berkumpul, sekitar empat orang di sana duduk saling berhadapan."Itu semua salahmu, jika bukan karenamu Anggara tidak akan mati," suara berat berbicara lebih dulu."Sudahlah kak, Ayah akan marah," seorang gadis dengan suara lembut menyahut.Sedangkan wanita paruh baya hanya meneteskan air mata tanpa bicara sepatah kata.Ashmore. Alih-alih mengatakan bahwa mereka adalah keturunan bangsawan yang berasal dari jerman. Sebulan lalu alih waris Ashmore yang bernama Anggara Ashmore wafat saat menjalankan bisnis.Didunia bisnis, kematian bisa saja menghampiri setiap saat."Mulai hari ini, kau akan menempati posisi Anggara, persiapkan dirimu sebagai ketua dari Ashmore," suara berat dan disertai batSetelah selesai makan mereka beristirahat sebentar, tiba-tiba salah satu karyawan wanita restoran memintanya foto bersama."Permisi, bisakah saya minta foto bersama." Ucapnya mendekat pada Aoran dan menyodorkan hpnya.Aoran dengan tatapannya tidak suka, dirinya hanya diam dan memperhatikan wanita itu berdiri tersipu malu. Gaya wanita seperti itu sudah sering dilihat Aoran, mereka hanya tertarik dengan ketampanan.Evan yang tahu bahwa Aoran kurang nyaman langsung mengambil kamera dan mengajak wanita itu foto bersamanya."Foto bersama saya saja." Evan meraih kamera dan berselfie bersama. "Sebaiknya jangan mengajaknya berfoto, dia itu sedikit pemarah." Berbisik setelah foto bersama.Mendengar perkataan Evan membuat karyawan itu langsung pergi dengan wajah kecewa.Evan melihat Aoran duduk dengan santai. "Ao sebaiknya besok lu pake masker aja pas jalan-jalan, kasihan gue lihat cewek-cewek yang minta foto
Pagi hari.Ayu yang baru saja datang dari kota berencana untuk menemui Dyra dan Robin.Dia berjalan keluar, saat tengah berjalan Ayu melihat sosok pria tampan ada di penginapannya. Pria itu tengah duduk di kursi deret dengan secangkir kopi hangat.Ayu yang penasaran langsung pergi menuju penginapan, dia bertanya pada karyawan di sana tentang tamu yang tengah duduk itu.Tentu karyawan itu jelas mengingat siapa dia. Pria tampan yang bernama Aoran itu tidak sulit diingat.Setelah mendengar penjelasan karyawan. Ayu mulai mendekat dan berdiri agak jauh memandangi wajah Aoran."Aduh, ada ya manusia setampan itu. Bahkan di kota aku gak pernah ketemu," gumam Ayu."Permisi, boleh saya lewat." Evan dengan secangkir kopi di tangannya."Oh. Maaf," ucap Ayu menyingkir.Ketika Ayu berbalik, Evan merasa tertarik dengan wajah manis Ayu. Dari tadi Evan tidak melihat ada gadis
Hari ketiga Aoran di pulau, seperti biasa dia sedang jogging, kali ini dia jogging lebih jauh dari penginapan hingga sampai ke pelabuhan. Aoran yang sedang jogging melewati pelabuhan dikejutkan dengan suara orang menangis.Aoran melihat seorang wanita berjongkok, wajahnya ditelengkup, Aoran tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Aoran yang berdiri dibelakangnya mendengar suara tangisan terisak sedih."Hiks. Sakit."Aoran mendengarnya merasa kasihan, namun dia juga tidak ingin berurusan dengan orang asing. Aoran mulai beranjak menjauh, diliriknya sekali lagi, kakinya terhenti."Huh, sial." Ucapnya pelan. Aoran ingin mengabaikannya tapi ntah kenapa Aoran berbalik arah dan mendekat. "Adik kecil, kamu kenapa menangis," ucap Aoran mendekat.Karena melihat tubuhnya kecil Aoran berpikir bahwa mungkin hanya seorang anak kecil. Ternyata suara wanita yang sedang menangis adalah Ardella. Waktu berjalan menuju pelabuhan
Keesokan hari.Aoran yang telah menunggu dua jam dipelabuhan berjalan bolak-balik melihat ke arah jalan. Aoran dengan setelan rapi dengan jaket abu-abu.Gadis yang ditunggunya bahkan belum muncul, dengan gelisah dan resah Aoran kembali mondar-mandir menatap sekeliling tetapi Ardella belum juga terlihat.Situasi Dyra.Dyra yang masih bertengkar dengan ayahnya membuatnya tidak terlalu betah dirumah, karena hari ini Dyra tidak pergi bekerja, dia ingin jalan-jalan kerumah Ayu.Tiba dirumah Ayu. Dilihatnya tidak ada seorangpun dirumah. Akhirnya Dyra memutuskan kepelabuhan lagi.Menuju pelabuhan Dyra berjalan dengan santai, diperjalanan Dyra melihat seorang nelayan mengangkat jaringnya, Dyra tertarik dan memperhatikan nelayan tersebut. Nelayan itu adalah asli penduduk setempat. Dyra memangil nelayan dengan sebutan paman.Nelayan yang melihat Dyra asyik memperhatikannya memutar balik kapal k
Pagi hari.Dikediaman Robin. Seperti biasanya Dyra akan menunggu Robin untuk berangkat kerja. Masih dalam keaadan menunggu Dyra duduk sebentar untuk menghilangkan rasa lelahnya karena berjalan dari rumah."Sudah siap Rob?" tanya Dyra ketika melihat Ririn keluar."Udah. Kita berangkat sekarang," saut Robin.Dyra dan Robin menuju ke perkebunan cengkeh.Sepanjang jalan Robin melihat Ardella. "Sampai kapan kamu begini, apa tidak bisa kamu dan ayahmu berbaikan," ucap Robin dengan sedih.Dyra melihat Robin mengerti apa yang dikatakan sahabatnya. "Tidak bisa Rob, aku sudah lelah bertengkar dengan ayahku, dan juga tidak mau diatur oleh ibu tiriku," Dyra yang tidak tahu harus mengucapkan apa pada sahabatnya."Memangnya kamu gk pernah berpikir untuk menikah aja. Daripada hidup seperti ini rasanya aku ingin ada seseorang disampingmu. Punya suami yang menghidupimu, punya anak yang imut. Merawat su
Robin dalam perjalanan bertanya pada Dyra tentang pertemuannya dengan laki-laki barusan."Kami hanya bertemu beberapa kali, hanya itu saja. Dia terus menggangguku," ucap Dyra kesal."Sebaiknya kamu menjauh darinya."*** Ayu didalam kamarnya sedang bersendung, dia terus menata rambutnya dan mengoleskan make up le wajahnya."Ayu cepat turun, Robin dan Dyra sudah datang," panggil Ibu Ayu."Ok Ma, sebentar lagi siap."Ayu keluar, saat dia baru saja keluar wangi parfum menyebar ke seluruh ruangan."Wangi sekali," ucap ibu Ayu."Anak gadis Ma, biar cepat kecentol jodoh," cengir Ayu.Dyra dan Robin sudah menunggu di ruang tamu, hari ini mereka ingin ngumpul-ngumpul dan bakar ayam untuk merayakan kepulangan Ayu.Acara bakar ayamnya di laksanakan di penginapan Ayu. Luas halaman yang biasa dipakai untuk pengunjung sangat nyaman untuk berkumpul d
Aoran sedang melakukan jogging di tempat biasa, berharap bahwa dia akan bertemu Dyra.Dyra berjalan dengan wajah cemberut, Aoran yang ada didekatnya tidak dilihat.Mengingat uangnya diambil Dyra ingin menambah pekerjaannya lagi, apapun itu yang penting Dyra bisa menghasilkan uang secepatnya."Hei!" panggil Aoran keras.Dyra menoleh. "Dia lagi," gumam Dyra kembali berbalik badan dan tetap berjalan.Aoran mengejar Dyra, kini mereka saling berjalan beriringan. "Kami kenapa? Sedang ada masalah ya?" tanya Aoran tanpa henti."Bukan urusanmu," saut Dyra.Gadis itu sungguh membuat hati Aoranenggenu, sikapnya yang cue membuat Aoran semakin penasara. Aoran tetap mengikuti Dyra dari belakang.Dyra yang mengira dirinya sendirian berteriak keras ke arah danau."Yahhh, enyahlah kalian semua," teriaknya keras. Lalu Dyra kembali beraut sedih. "Apa aku tidak me
Suara berat yang memanggilnya ialah Aoran."Kau masih disini?"Perlahan Dyra berjalan mendekat. Namun karena belum makan seharian, Dyra merasa pusing, langkah kakinya sempoyongan menuju Aoran.Langkah berikutnya Dyra Sudah ambruk, untungnya Aoran langsung menangkap Dyra."Dyra kamu kenapa?" Aoran mengguncang tubuh Dyra.Ayu dan Evan mendengar suara teriakan Aoran. Dengan sangat cepat Evan pergi memastikan.Dilihatnya Dyra tengah tidak sadarkan diri, ditambah wajahnya pucat."Dyra kamu kenapa?" Ayu terlihat cemas dengan kondisi Dyra.Dyra dibawa ke penginapan, Aoran tanpa segan membaringkan Dyra di atas kasurnya, dia berusaha memanggil nama Dyra, namu belum ada reaksi apapun dari Dyra.Ayu mencari bantuan, dia memanggil seorang dokter yang ada di desa.Evan dan Ayu pergi mencari dokter, sementara Aoran menjaga Dyra."Gadis kecil ban
"Aoran."Aoran menyebutkan namanya sendiri. Mendengar Ardella memanggil namanya dengan langsung, Aoran sangat tidak suka.Ardella yang tengah terlentang di sofa dibawah tubuh Aoran yang kekar meronta-ronta, dia berusaha untuk terlepas dari genggaman Aoran.Ardella meronta hingga memukul dada bidang Aoran, tetap saja pukulan Ardella tidak membuat Aoran melepaskan dirinya. Semakin Ardella melawan semakin membuat Aoran bertambah agresif. Secepat kilat Aoran menggerakan mulutnya ke bibir Ardella.Dikejutkan dengan serangan Aoran, mata Ardella terbelalak lebar, mulutnya terbungkam oleh lidah Aoran. "Mum." Masih dalam keadaan berontak, Ardella mendorong Aoran.Aoran sama sekali tidak peduli dengan perlawanan Ardella, ciuman di bibir Aoran terasa kasar di mulut Ardella."Auh!" Seru Aoran menyentuh bibirnya. Ardella menggigit Aoran. Dengan tatapan acuh, Aoran kembali menyerang Ardella.Tidak hanya sampai disitu, satu persatu Aoran membuka kancing baju Ardella."Aoran! kau gila. Aku akan mel
Di tengah perjalanan menuju pulang. Aoran menyetir dengan cepat. Sepanjang jalan Aoran hanya memikirkan Ardella yang dibencinya.Ckitt.Tiba dirumah Aoran langsung melangkah masuk kedalam rumah."Kak Aoran." Panggil Anasya dari bawah tangga. Kebetulan Anasya yang belum tidur melihat Aoran melangkah dengan terburu-buru naik keatas lantai dua.Mendengar panggilan Anasya Aoran berbalik. "Kenapa belum tidur jam segini?" Aoran melirik jam tangannya."Aku terbangun karena haus kak." Anasya mendekat kearah Aoran. "Kak Aoran bau alkohol." Mencium bau alkohol, Anasya menutup hidungnya."Kembali lah tidur, kakak ingin istirahat juga," ucap Aoran tanpa melanjutkan pembicaraan lagi."Iya kak,” saut Anasya dengan lembut.Aoran masih dalam suasana hati marah, dia melemparkan dirinya ke atas tempat tidur. Dengan posisi tengkurap Aoran terbaring diatas kasur. "Ardella aku lelah, aku ingin berhenti. " Sangat melelahkan untuk membenci orang yang kita pernah cintai, seandainya bisa memilih Aoran lebih
Dengan memainkan gelas yang berisikan wine, Aoran melirik Ardella yang berdiri di depannya."Aku merasa bosan, berikan aku hiburan." Ucapnya meneguk minumannya."Hiburan. Siapa kamu yang mewajibkan aku menghiburmu. Sungguh menyebalkan. " Kata Ardella dalam hati."Maaf tuan, saya tidak bisa menghibur anda." Suara Ardella sungguh ramah dan manis didengar. "Kalau mau dihibur cari saja wanita seksi yang bisa menghiburmu." Gumamnya menyeret suaranya.Meski mendengar ucapan Ardella, tetap saja Aoran bersikeras mau dihibur. "Ayolah, kamu bisa menari, kalau tidak menyanyi untuk menghiburku." Saut Aoran meminta.Menari? aku tidak mau menari dihadapan cowok rese ini, sepertinya menyanyi lebih baik. Ardella membatin."Baiklah, aku akan menyanyi. Tapi kamu tidak boleh tertawa." Memastikan bahwa Aoran tidak akan tertawa. Bakat Ardella sangat terpancar jika menari, tapi menyanyi bisa dikatakan kurang memenuhi syarat."Ok." Senyum Aoran yakin.Ardella mengambil mikrofon yang ada di sudut meja, mikr
Flashback.Sebelum melihat dengan mata kepala sendiri, Aoran merasa tidak tenang, dia memastikan sendiri Ardella aman bekerja di bar."Apa ini barnya?" tanya Aoran pada Parto."Iya Bos," saut Parto yakin.Pupil mata Aoran mengerut ketika melihat ke arah bar. Alis matanya terangkat tajam menandakan hatinya dalam suasana suram.Parto yang berdiri di samping Aoran merasa merinding. Mungkin sebentar lagi akan ada kejadian buruk. Mengenal sifat Aoran dengan tempramental buruk, tanpa sadar dia menggelengkan kepalanya."Parto." Panggil Aoran dengan tatapan mematikan. "Apa maksudnya kamu menggelengkan kepala," tanya Aoran dengan suara bergetar."Aku yakin Bos, sebentar lagi akan ada kekacauan disini,” sautnya tanpa menyaring perkataannya. Parto tertawa menunjukkan giginya.Raut muka Aoran berubah menjadi mengkerut. "Berhentilah bercanda denganku, sebelum kurontokkan semua gigimu." Nada datar tapi bermakna dari suara berat Aoran."Maaf Bos." Secepatnya Parto merapatkan bibirnya.Pertama kali m
Pagi hari.Terdengar suara langkah ribut dari kejauhan.Srek.Edward naik ke atas kasur Ardella. Menatap tantenya masih tidur dia menggelengkan kepala."Tante bangun." Edward membangunkan Ardella, dengan tangan kecilnya di menggoyang-goyang tubuh Ardella yang masih tidur dibawah selimut.Akibat lembur dari semalaman kelopak mata Ardella masih berat, dia menarik tubuh Edward kepelukannya. "Sepuluh menit lagi. Tante masih mengantuk." Ardella masih memejamkan matanya dengan rapat.Edward membalas pelukan Ardella, dengan tenang dia menunggu tantenya untuk bangun. "Ok. Waktunya bangun." Ardella menendang selimutnya, ketika membuka matanya terbuka lebar dia melihat tatapan Edward yang sangat menggemaskan."Aduhh, keponakan tante yang satu ini." Ardella mencium pipi Edward dengan gemes. "Ayo, bangun,” ucap Ardella ketika masih melihat Edward berbaring dengan santai di atas kasurnya."Huh, beratnya. " Menggendong Edward di pangkuannya."Aku tidak suka tante pulang malam." Kata Edward menunj
Malam hari.Ketika tiba dirumah Ardella disambut oleh kakak iparnya. Dengan wajah tersenyum Lisa menghampiri Ardella. "Dek, suruhan Aoran datang lagi." "Apalagi yang diinginkan cowok bre*ngsek itu." Gumamnya pelan. Ardella mengitari tubuh Lisa."Ada apa dek?" tanya Lisa ketika melihat Ardella membalikkan tubuhnya."Untung kakak ipar baik-baik saja, aku hanya takut mereka melukai kakak ipar." Suara lega terdengar dari hembusan nafas Ardella.Teringat dengan amplop yang diberikan oleh Parto. "Orang itu juga menitipkan ini." Amplop yang masih berada diatas meja diserahkan pada Ardella.Tidak lama kemudian Lisa juga membahas masalah kontrak rumah yang ditawarkan oleh Parto. Penjelasan Lisa sangat panjang dan detail."Sungguh kak." Terkejut mendengar penjelasan kakak iparnya."Iya dek, bahkan surat kontraknya sudah dibuat." Lisa menunjukkan isi kontrak pada Ardella.Membaca isi surat kontrak sepertinya tidak ada masalah, Ardella juga memikirkan betapa rumitnya mereka harus berkemas dan
Mencari pekerjaan di kota metropolitan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berjalan kesana kemari untuk mencari kerja tapi masih saja belum mendapatkan pekerjaan. Rasa frustasi sedikit tersirat di benak Ardella yang sedang mencari pekerjaan.Sudah beberapa kali Ardella menerima penolakan dari perusahaan lain. Kakinya begitu lelah dan sulit untuk berjalan, dia menghembuskan nafas dengan pelan. "Huh. Lelah sekali." Gumamnya.Karena merasa kakinya sedikit pegal, Ardella ingin beristirahat terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanannya. Ardella yang sedang berdiri dipinggir jalan melihat ke arah sekitarnya, melihat warung kecil di depannya dengan langkah kecil Ardella beranjak ke arah warung.Setibanya di warung Ardella duduk dengan meluruskan kakinya lebih condong ke depan. Melihat pemilik warung yang sedang berjualan Ardella merasa tidak enak hati hanya menumpang duduk, dia pun membeli beberapa cemilan kecil untuk dimakan.Sambil duduk Ardella melihat kembali sekelilingnya, di
Hari berikutnya.Semua kembali seperti semula. Menjalani kehidupan masing-masing. Pepatah mengatakan jika karena mengalami hal terpuruk membuat dirimu lebih kuat, maka bagi Ardella merasa semuanya tidak masalah, asalkan dia masih berada dekat dengan orang dia sayangi.Jika untuk sementara diriku kehilanganmu, maka aku akan terima dengan lapang dada. Tapi kumohon jangan pergi lebih lama lagi. Mungkin aku akan berubah lebih buruk dari ini. Aoran membiarkan Ardella bernafas untuk sejenak, dia tidak mengganggu Ardella untuk sementara waktu.***Pagi hari.Tak,, tak,,, tak. Suara langkah Aoran mengitari lapangan golf.Seperti biasa Aoran selalu melakukan olahraga kecil. Halaman taman di kediaman Aoran begitu luas, di sekitar pekarangan rumah terdapat lapangan golf seluas tiga ribu meter. Lapangan beralaskan rumput hijau dan beratapkan langit biru menjadi tempat santai bagi Aoran. Terkadang Aoran menghabiskan waktu bermain golf ketika waktunya senggang. Dipagi hari Aoran selalu memanjakan
Aoran sendiri tertegun dengan ucapan Ardella. Memperhatikan Ardella yang saat ini berdiri di hadapannya, Aoran masih merasa hatinya bergetar untuk Ardella. Tetapi sekarang dia berusaha menolak hatinya untuk menerima Ardella kembali.Disisi lain, Ardella merasa dirinya bagaikan sebuah bayangan untuk Aoran. Mungkin kah bayangan wanita itu menjadikan alasan semua perbuatan Aoran terhadapnya.Keduanya berbicara didalam hati masing-masing. Di Ruangan sunyi tanpa suara, detak jantung terdengar di telinga mereka sendiri. Aoran dan Ardella kini saling menatap, sesama melihat ke arah mata masing-masing. Keduanya hanya membentuk pola pikiran rumit."Jika saja aku wanita itu, maka sekarang aku akan melihatmu dengan rasa jijik,” ucap Ardella dingin. Dirinya masih dalam keadaan tidak terima Aoran menganggapnya sebagai wanita mainan."Mungkinkah kamu sendiri yang meninggalkan wanita itu, atau sebenarnya dari awal kamu memang tidak mencintainya,” ucap Ardella sembarangan menebak. Mungkin diantara m