Sudah dua hari yang lalu sejak kejadian itu, Aku masih bimbang apa yang akan ia lakukan dengan pernikahannya. Akhirnya tamu yang kutunggu pun datang. Aku sangat penasaran pengakuan macam apa yang akan mereka bicarakan disini.Ibu terlihat gemetar, tangannya tampak kurang nyaman membawa sebuah nampan. Bukan karena takut, tapi ibu tengah menahan amarahnya agar tak tumpah saat ini."Kita nggak bisa asal membatalkan pernikahan ini" Ujar seorang ibu paruh bayaAku tersentak dengan pernyataannya barusan. Bagaimana bisa setelah anaknya menikahi wanita yang telah dihamilinya, kini ia memaksaku untuk tetap bersedia menjadi madu di rumah tangga anaknya."maksud ibu? anak saya menjadi isteri kedua Radit? maaf ya bu, meskipun Nayra menjadi isteri sah sekalipun tetap saja notabenya dia adalah isteri kedua. Saya sangat tidak rela" bela ibuAku menunduk, pikiranku kalut tak bisa memutuskan apapun."bu, saya sayang sama Nayra. Saya akan adil, toh Nayra lah isteri sah sa
"Bagaimana bisa kamu tidak mau membatalkan pernikahan ini? kamu pikir saya mainan? kenapa kamu jadi egois gini mas?" aku terisak"saya sudah putuskan, pernikahan ini akan saya batalkan" jawab ibu"terus bagaimana dengan semua persiapannya?" Lagi-lagi mas Radit masih saja melontarkan pertanyaan bodoh yang sebenarnya dia sendiri sudah tau jawabannya."Mohon maaf ya bu, dit. Sepertinya inti dari perbincangan kita sudah sangat jelas dan apapun yang kalian kuatirkan sama sekali kita pikirkan. kami tidak masalah dengan semua persiapan yang sudah ada. Mohon untuk mengerti perasaan kami dan menghargai keputusan kami. Jika tidak ada yang akan dibahas lagi saya mohon maaf, saya dan Nayra harus pergi karena ada urusan yang jauh lebih penting" Akhirnya ibu mengeluarkan kata-kata itu. Rasanya lega jika dua orang ini pergi dari rumahku."Baik kalo begitu, saya harap ibu dan Nayra tidak pernah menyesal dengan apa yang sudah diputuskan" jawab mantan calon mertuakuAku ter
"besok??!" Mei makin menganga dengan ucapan Rifki. Dia memang suka becanda, tapi ajakan menikah bukanlah sebuah ucapan yang pantas untuk dijadikan bahan candaan."aku serius, sangat serius. bukan karena terlalu banyak saingan untuk mendapatkan Nayra. ataupun karena kamu belum punya pasangan. Tapi, karena memang aku nyaman dan suka kepribadianmu saat ini." "tapi, rasanya kurang tepat ki. Nayra, temen kita sedang tidak baik-baik saja tapi kenapa kita malah gini heemmss?" Mei menghela nafas"iya aku tau, nggak harus sekarang kok kasih jawabannya. kamu pikir dulu baik-baik"Rifki menatap lekat wajah gadis didepannya. Mei tak berani membalas, mata Rifki seolah akan menerkamnya. Entah perasaan apa yang dia rasakan saat ini. Semua sangat sulit dijelaskan."kasih aku waktu ya ki, aku masih bingung dan kaget" jawab Mei"oke, kasih tau aku apapun jawaban kamu ya. jangan sungkan" Rifki tersenyum.Meski perbincangan
Radit pergi menyusuri jalanan ibukota. Sepeti biasa, ia akan berkendara tanpa tujuan jika pikirannya tengah kalut.Matahari siang itu sangat menyengat, tapi tak lebih panas dari apa yang dia rasakan didalam hatinya.Tiinnnn!!!! bruukkkk....Radit tersungkur, motornya terpeleset ke trotoar menghindari seseorang yang tengah menyebrang saat itu.Ramai orang menghampiri, mereka berbondong-bondong ingin membantu. Beberapa hanya sibuk merekam dan memotret dengan ponsel mereka."ibu nggak papa?" tanya Radit pada seseorang yang hampir ditabraknya."Innalillahi,Ibu nggak papa bu?" seseorang panik dan membangunkan ibu yang terjatuh itu.Seorang ibu masih duduk di aspal dengan posisi kursi roda roboh. Ibu Ilma, beliau baru saja pulang kontro dari rumah sakit dengan diantar Deni. Deni tengah mendorong sang mertua menyebrangi jalan sebelum sebuah motor dengan laju cukup cepat menerobos lampu merah."Mas Deni?" tanya Rad
Radit menarik tanganku ke ruang depan. Rasanya ia sudah tidak butuh persetujuan apakah aku mau berbicara dengannya atau tidak. Baginya sekarang ia hanya akan mengungkapkan apa yang ada dipikirannya. Atau lebih tepatnya memaksakan yang menjadi kehendaknya."apa-apaan sih? saya masih mau sama Tiara loh" gerutuku"aku cuma mau bilang, jangan batalkan pernikahan kita. aku mohon. aku akan menceraikan Dini setelah dia melahirkan, toh Dia hanya isteri siri jadi mudah untuk menceraikannya" jelas Radit yakinPLAakkk !!!Telapak tanganku mendarat tepat dipipi kiri Radit. Rasanya puas sekali bisa menampar laki-laki ini."jahat banget kamu mas. Setelah kamu nyakitin aku, kamu masih berniat nyakitin Dini? dia sedang hamil anakmu loh. cukup aku yang jadi korban disini, anakmu jangan" ocehku"tapi aku nggak cinta sama Dini, Nay" Radit mulai ngeles"terlepas kamu cinta atau tidak, intinya Dini tengah mengandung anakmu. Anak itu tid
Mas Radit dan Mas Deni sama terkejutnya dengan pernyataan yang baru saja aku lontarkan. "nggak usah becanda dan mencari pelarian Nay" celetuk mas Radit.Mukanya sangat kesal. kali ini ia tak melihatkan raut ngototnya. ia lebih penasaran dan berharap apa yang aku ucapkan adalah omong kosong."Aku tidak pernah main-main dengan sebuah keputusan. Sebelumnya aku sempat menolak wasiat dari Almarhumah Ilma, karena aku saat itu sangat mencintai kamu. Tapi, ternyata Ilma lebih tau tentang kebusukan apa yang kamu sembunyikan. Dan sekarang perasaanku sudah hilang bersama dengan terbongkarnya semua kebohonganmu mas" aku menjawab mantap"tapi kamu nggak mungkin menikah dengan orang sama sekali nggak kamu cintai""nggak masalah aku mencintai mas Deni atau tidak, toh memilih menikah dengan orang yang aku cintai justru lebih menyakitkan" jawabkuMas Radit diam, tak lama lalu beranjak pergi dengan menggedor daun pintu. Bahkan ia tak menunju
"kamu tega banget sih sama aku. bisa-bisanya kamu nampar aku didepan mantan kamu itu" teriak Dini didepan pintu"sebegitu cintanya kamu sama dia, sampai-sampai kamu lupa pada statusnya yang cuma mantan. Kamu sampai lupa kalau isterimu ini sedang hamil" lanjut Dini"Diam!!!" pekik Radit Radit terlihat semakin marah mendengar Dini terus saja mengoceh mengungkit-ungkit perihal anak dalam kandungannya."apa tidak cukup aku menikahinya?"pikir Radit"semakin hari kamu semakin menunjukan watak aslimu mas. Kamu dulu sangat manis, lemah lembut tapi sekarang saat aku sudah hamil seperti ini kamu keliatan kasar" Dini makin nyerocosBraaakkkk !!! Radit melempar sebuah pot yang berada diatas meja di teras rumahnya. Dini tersentak, diam seketika."selalu saja begitu!!" isak Dini meninggalkan Radit yang duduk dikursi terasDini menangis tersedu dikamarnya. Rasanya bukan seperti ini yang ia harapkan, bayangannya
"kapan rencana pernikahan kalian?" tanyaku penasaran"sepuluh hari lagi Nay" jawab Mei tersipu"cepet banget?" tanyaku"iya, orang tua kita nyaranin buat nikah secepatnya Nay. Maaf sebelumnya orang tua kamu takut kalo..." Rifki meliriku, wajahnya tertunduk"aku ngerti, aku malah setuju kalo kalian secepetnya nikah. kalian nggak usah ngerasa nggak enak gitu" terangku"gini aja, karena pernikahan kalian udah mepet banget waktunya. jadi gimana kalo kalian pake WO dan gedung yang sebelumnya aku pesan. Maaf, kalian jangan tersinggung tapi daripada kalian cari kan pasti waktunya nggak keburu" aku mencoba menawarkan"bukannya kamu sendiri mau nikah sama mas Deni?" Deg!!! pertanyaan Rifki membuatku panik. Jadi mereka diam bukan karena belum tahu. tapi mereka hanya mencari momen yang tepat agar aku mengakuinya sendiri.Aku kelimpungan mencari alasan. Tidak mungkin kalau aku bilang itu hanya untuk alasan, karena tentu ak
"Hen, besok kamu bisa nganterin Nay....""yuk bu, kita pulang. Lagian Mei sudah ijab qobul" potongku"nganterin kemana tan?" tanya Hendi"eh anu nggak kemana-mana. Mungkin maksud ibu, nganterin pulang sekarang. Tapi aku mau pulang sama ibu aja. ya kan bu?" Aku mengedip-ngedipkan mataku sebagai kode. Rupanya ibu baru sadar ia baru saja hampir keceplosan."e-iya Hen, tadinya tante mau minta tolong anterin Nayra pulang. Tapi nggak usah deh, biar pulang sama tante aja naik taksi online" jelas ibuAku menghela nafas lega. Tapi, Hendi seolah tak percaya dengan alasan ibu. Sorot matanya penuh keingintahuan, gerak-geriknya penuh rasa penasaran. Bahkan aku sempat melihat ia membuntuti kami hingga masuk ke dalam taksi online. Aku memergokinya dari balik pantulan kaca mobil.[tan, maaf. Saya pulang dulu ya. Ada urusan yang harus saya selesaikan][iya, Nay nggak papa. Maaf ya tadi nggak sempet nemenin kamu sama ibu]Aku menutup sambungan telephon, dan mobil mulai melaju. Dari arah depan, ku liha
Mas Radit, benar saja aku seperti mengenali suaranya. Ia meraih tanganku yang tengah membersihkan jas.nya. Jarak kami begitu dekat membuat jantungku berdegup kencang. Aku mengatur ulang nafasku, agar tak segugup ini."eh maaf mas, jasmu jadi kotor" tegurku seraya berusaha melepaskan genggaman tangannya.Tapi sialnya, entah kenapa ujung jilbabku tersangkut dijam tangannya. Pandangan kami saling tertaut, seperti terjebak pada satu titik. Hingga beberapa detik kami saling memandang kosong satu sama lain."maaf, jilbabku tersangkut" kataku membuyarkan fokusnya"bentar, pelan-pelan aja Nay nanti jilbabmu sobek kalo dipaksa"Aku menurut saja, tangannya segera mengambil alih berusaha melepas jilbabku. Tapi, dari adah lain Dini datang. Dan...kreekkk!!!Ia menggunting jilbabku,"gitu aja kok repot, nggak usah dilama-lamain biar bisa ambil kesempatan deketin suami orang!" ucapnya keras.'ya Alloh, jilbab kesayanganku pemberian Ilma' batinku"nggak perlu cari-cari alasan biar bisa deket sama m
"nggak papa kok mah" jawab Mei tersenyumAku sendiri telah paham kenapa sahabatku ini tak mau aku mendampinginya . Aku bahkan tidak keberatan ataupun merasa tersinggung, justru aku senang karena aku bisa leluasa menyembunyikan diriku jika saja ada tamu yang tak ingin ku temui.*****Akhirnya hari pernikahan Mei dan Rifki tiba, beberapa orang sudah mulai mendatangi lokasi."Nay, kok mukanya sedih? aku nikah sama Rifki loh, kita bertiga bakal tetep temenan. Kita tetep bisa pergi bareng-bareng"Mei menggenggam tanganku erat, seperti paham dengan apa yang aku rasakan. "janji ya Mei, sekarang temenku cuma kamu" ucapkuMei menatapku lekat, matanya yang sudah penuh riasan hampir meneteskan air mata. Cepat-cepat tangannya mengelap dengan tisu sebelum berhambur jatuh kepipi. Kami berpelukan sambil menahan tangis masing-maning. Aku menghela nafas, mencoba melonggarkan dada agar tak sesak oleh perasaan sedih. Mei pergi meninggalkan meja rias, ia bersiap ketempat akad. Wajahnya begitu ayu dengan
Siang hari terasa menyengat dari biasanya. Seseorang wanita paruh baya terlihat tengah menjemur beberapa lembar pakaian, tangannya nampak kesulitan."MasyaAlloh bu, biar saya bantu""biarin Den, ini tinggal satu aja kok"Deni meraih selembar pakaian yang masih dalam genggaman bu Nani."biar ibu aja Den" cegah sang mertuaDeni mendorong kursi roda bu Nani kedalam rumah. Lalu, ia duduk menekuk setengah lutut dihadapannya, Tangannya menggenggam jari sang mertua."bu, ibu nggak usah ngerjain kerjaan rumah kayak tadi ya. Saya takut ibu kecapean" terang Deni"tapi, ibu nggak enak Den, masa ibu cuma makan tidur aja. Lagian kan cuma beres-beres rumah""kalo ibu ngrasa nggak enak ke saya berarti ibu nganggep saya sebagai orang lain"Bu Nani terdiam, tangannya mengusap peluh di dahinya. "Bu, saat ini saya nggak lagi nganggep ibu sebagai mertua tapi sudah menjadi ibu bagi saya. Ibu adalah keluarga saya satu-satunya disini. Cuma ibu sama pakdhe Narto yang saya punya" Deni masih menatapnya dalam,
Akhirnya hari ini aku diharuskan datang kepernikahan mas Radit dengan Dini. Walau aku sudah tak punya perasaan apapun pada mas Radit, tetap saja bayang-bayang penghianatannya masih menyisakan sakit. Aku memaksa diriku untuk kuat hanya sekedar mengucapkan selamat, daripada Dini akan mengecapku sebagai orang yang masih mengharapkan suaminya itu."selamat ya Din" ucapkuDini menarik badanku, memelukku. Alih-alih sikapnya seperti sahabat, ia justru membisikkan sesuatu."pernikahanmu batal ya? yang sabar ya" ucapnya lirih tapi cukup didengar beberapa orang disekitar kamiAku menelan ludah, menarik nafas panjang sembari menekan emosiku."selamat ya mas" Aku ngeluyur dari hadapan Dini, bahkan aku mengabaikan mas Radit yang sudah mengulurkan tangan.Dihari bahagianya pun ia masih sempat meledek nasibku. "Andai Mei, Rifki atau minimal Hendi disini, mungkin mereka tidak akan membiarkan Dini mengucapkan pertanyaan itu" gumamkuSeorang kerabat Dini mempersilahkan aku mengambil hidangan. Karena
Sebuah toko tampak mulai berbenah, karena memang sudah mulai larut."iya deh calon manten, seharian semangat banget kerjanya" ledek HendiRifki hanya tertawa kecil."makaya nikah dong Hen, eh lupa jomblo" ledek Rifki"sialan. Liat aja ntar kalo aku nikah kamu bakal kaget" jawab Hendi percaya diri"udahlah aku mau pulang" lanjut HendiIa melangkah, tapi tak langsung memacu motornya. Ia duduk diemperan toko membuka Ponselnya yang sedari tadi didalam tas.Tangannya membuka aplikasi biru, wajahnya seketika muram. Melihat sebuah foto dalam aplikasi."kamu wanita baik, cantik. Tapi, kenapa laki-laki selalu bermain-main dengan perasaanmu" batinnyaHendi terus menatapi gambar Nayra. Gambar yang manis dengan balutan senyum yang sederhana. Tapi senyum itu tak seceria dulu. Baru dua menit foto itu diposting, dia segera meninggalkan jempolnya di foto Nayra. Seperti itu setiap hari, Hendi memastikan keadaan Nayra dari media sosial. Seperti dulu."kenapa sih kamu nggak jujur aja sama Nayra?" "eh k
"kenapa harus bertemu dia dua kali sepagi ini?" gumamku"Hai juga Mei" sapaya ceria"kamu ngapain disini Din?" tanya Mei"kan nyiapin acara pernikahanku, cuma beda satu hari sama kamu, tapi aku duluan hehe" jelasnya terkekehMei senyum kecut melihat tingkah serta penjelasannya."maksudmu peresmian pernikahanmu?" ledek Mei"apapun itu, intinya pernikahanku sama mas Radit" jawabnyaIa terlalu percaya diri bahkan saat tengah mempersiapkan pernikahan dengan kondisi perut yang sudah membesar. Seolah ia malah memamerkannya laksana sebuah kebanggaan."jangan lupa dateng ya Nay" jawabnya sembari berlalu"pasti" jawabkuLangkahnya yang sok anggun membuat Mei terlihat muak, dia terus saja mengusikku bahkan disaat aku sudah tak peduli dengan kehidupannya bersama mas Radit.Dari arah depan mas Radit menyambut sang isteri, tapi sikapnya berubah kikuk saat mendapati aku dan Mei ditempat itu juga. Dia melempar senyum, tapi aku membalas dengan tatapan datar tanpa ekspresi.Aku terus menemani Mei mem
Aku tak begitu peduli dengan mas Radit dan Dini, karena memang aku sudah tak mau terlibat masalah dengan mereka.Rifki menjemputku untuk menemani Mei menuju kantor urusan agama. Tidak, lebih tepatnya kami kesana untuk urusan masing-masing. Rifki kembali ke tokonya setelah aku sudah bersama Mei."ayo Nay" Aku menaiki motornya. Tiap langkah kami, kukumpulkan tekad beserta tujuanku. Membatalkan pernikahan untuk kedua kalinya adalah sesuatu yang membuatku malu. Tapi, itulah seharusnya."kenapa kamu nggak nunggu mas Deni ngasih keputusan lagi Nay, kemarin dia ngomong gitu karena suasana hatinya sedang sedih" ucap Mei"kenapa aku harus menunggu untuk sesuatu yang sudah diputuskan?" tanyaku balik"aku malu Mei, kok terkesannya aku yang ngejar-ngejar mas Deni. Padahal aku mau nikah sama dia juga karena wasiat dari almarhumah Ilma" lanjutku"Ya udah, tapi kamu jangan sedih ya" jawabnyaKami terus melaju pada tempat yang kami tuju. Seorang ibu berseragam coklat menyambut kami, ia begitu sumrin
Sepulang dari desa kaliwangi, aku belum lagi ke rumah bu dhe. Rasanya ada rasa sungkan bertemu mas Deni. Ibu masih di sana, mungkin sampai acara tujuh hari selesai. "Nanti malam kamu kesini ya Nay" ucap ibu pada sambungan telephon."InsyaAlloh bu" Aku menutup telephon, lalu melanjutkan sholat subuh. Masih terlalu pagi, tapi ibu sudah mengingatkan banyak acara untuk hari ini. Dimulai ke kantor urusan agama untuk kembali membatalkan pernikahanku, membantu persiapan pernikahan Mei, belum lagi aku harus ke rumah mas Deni, Itu adalah bagian yang paling berat bagiku.Setelah selesai beres-beres rumah dan menyiapkan sarapan, aku melongok jam bundar didinding. Sudah pukul tujuh. Aku bergegas, langkahku mantap menuju kantor urusan agama. Mungkin petugas disana akan menganggap aku bermain-main dengan pernikahan karena ini kali kedua aku membatalkan pernikahan.Tok tok tok !!!Terdengar Suara ketukan dari arah pintu depan, aku cepat-cepat menuju ruang tamu."mungkin ibu pulang, dia kan belum k