"kamu tega banget sih sama aku. bisa-bisanya kamu nampar aku didepan mantan kamu itu" teriak Dini didepan pintu"sebegitu cintanya kamu sama dia, sampai-sampai kamu lupa pada statusnya yang cuma mantan. Kamu sampai lupa kalau isterimu ini sedang hamil" lanjut Dini"Diam!!!" pekik Radit Radit terlihat semakin marah mendengar Dini terus saja mengoceh mengungkit-ungkit perihal anak dalam kandungannya."apa tidak cukup aku menikahinya?"pikir Radit"semakin hari kamu semakin menunjukan watak aslimu mas. Kamu dulu sangat manis, lemah lembut tapi sekarang saat aku sudah hamil seperti ini kamu keliatan kasar" Dini makin nyerocosBraaakkkk !!! Radit melempar sebuah pot yang berada diatas meja di teras rumahnya. Dini tersentak, diam seketika."selalu saja begitu!!" isak Dini meninggalkan Radit yang duduk dikursi terasDini menangis tersedu dikamarnya. Rasanya bukan seperti ini yang ia harapkan, bayangannya
"kapan rencana pernikahan kalian?" tanyaku penasaran"sepuluh hari lagi Nay" jawab Mei tersipu"cepet banget?" tanyaku"iya, orang tua kita nyaranin buat nikah secepatnya Nay. Maaf sebelumnya orang tua kamu takut kalo..." Rifki meliriku, wajahnya tertunduk"aku ngerti, aku malah setuju kalo kalian secepetnya nikah. kalian nggak usah ngerasa nggak enak gitu" terangku"gini aja, karena pernikahan kalian udah mepet banget waktunya. jadi gimana kalo kalian pake WO dan gedung yang sebelumnya aku pesan. Maaf, kalian jangan tersinggung tapi daripada kalian cari kan pasti waktunya nggak keburu" aku mencoba menawarkan"bukannya kamu sendiri mau nikah sama mas Deni?" Deg!!! pertanyaan Rifki membuatku panik. Jadi mereka diam bukan karena belum tahu. tapi mereka hanya mencari momen yang tepat agar aku mengakuinya sendiri.Aku kelimpungan mencari alasan. Tidak mungkin kalau aku bilang itu hanya untuk alasan, karena tentu ak
Aku tersipu membuka pesan singkat Hendi. Dia selalu saja membuatku seperti ini hanya dengan hal hal kecil."makasih ya Hen, kamu selalu support apapun yang aku lakukan" balaskuSekali lagi aku merasa berbunga. Tapi kenyataan aku dan Hendi hanya sebatas teman harus selalu aku ingat. Dan sebuah keputusan untuk menikah dengan mas Deni atas wasiat almarhumah Ilma sudah aku ambil."Disini tempatnya kan ya Nay?" tanya Mas Deni mengagetkanku"eh iya, Sini Tiara sama tante yaaa" aku menggendong Tiara lalu keluar dari sebuah taksi online yang kami tumpangiKami terpaksa membawa bayi yang belum genap empat puluh hari, karena tidak ada yang menjaganya di rumah. Tidak mungkin kami menitipkan pada ibu.Sebuah gedung yang sebelumnya aku pesan untuk acara pernikahanku dengan mas Radit. Aku memutuskan untuk memakai jasa yang sebelumnya akan kugunakan untuk acara pernikahanku yang batal. Rasanya memang tak sempat jika harus mencari gedung, Weddin
Sore hari dirumah mas Deni,Tiara menangis histeris, tak biasanya ia seperti ini. Neneknya memeriksa kalau-kalau ada luka dibagian tubuh yang membuatnya kesakitan. Benar saja, badan bayi itu demam tinggi. "Den !!! Den !!! ke sini cepat Den !!!" teriak ibu Ilma "ada apa bu?" tanya Deni bergesas"Tiara demam tinggi Den, kita harus membawanya ke dokter sekarang, Den. Cepat" ibu Ilma panikDeni memeriksa tubuh putrinya, karena sepulang dari gedung pernikahan anaknya itu masih sehat. Tapi benar saja, badan bayi itu sangat panas. Bahkan tangannya pun reflek ditarik begitu menyentuh dahi Tiara."Astaghfirulloh panas sekali, Deni siapkan motor dulu ya bu" Deni berlari ke ruang tamu, mencari-cari kunci motor yang biasanya tergantung di tembok. Tapi kali ini entah bersembunyi dimana. Ia berlari kesana kesini tapi tak juga menemukannya."bu, kunci motor Deni nggak tau dimana. Deni pesen ojek online saja ya biar cepat" k
Aku menyusuri lorong rumah sakit, aku meninggalkan ibu Ilma dirumahku. Karena kupikir mas Deni pasti keteteran jika harus menunggu dirumah sakit sendiri. Lagipun, Ibu Ilma sangat setuju jika aku kemari.Ku rapatkan langkahku dengan wajah mencari-cari kalau saja aku menemukan mas Deni. Beberapa kali aku bertanya kepada petugas, dimana rawat inap untuk bayi? lalu aku menuju kemana mereka mengarahkanku."mas Deni? bagaimana keadaan Tiara?" tanyaku mengagetkannya"kamu, kenapa bisa disini? ibu bagaimana?" mas Deni bingung"ibu ada dirumahku mas, kamu tenang aja" jawabkuia mengangguk, kemudian menundukkan kepalanya lagi. Raut ketakutan sangat tampak diwajahnya, pandangannya kosong. "kamu yang sabar ya mas, InsyaAlloh Tiara akan baik-baik saja" hiburkuTapi ia tak menjawab sepatah katapun. ia menunjuk ke arah dalam ruangan. Dimana tampak seorang anak berada dalam inkubator dengan beberapa alat menempel didadanya."aku nggak tau mesti gimana Nay, aku
Perlahan aku menepis tangan Hendi yang masih menempel dipundakku. Dia melepaskan tangan dengan raut kecewa. Mungkin niatnya sebatas perhatian dan menghiburku, tapi ada suatu hal yang harus kujaga. Apalagi setelah aku memutuskan untuk menerima wasiat dari Ilma. "Tadi kita udah nemuin mas Deni, alhamdulillah dia sudah lebih tenang karena kondisi Tiara pun sudah mulai stabil" kata Rifki"beneran Rif? aku dari tadi disini sampe nggak mantau perkembangan Tiara" tanyaku "tadi kebetulan pas aku disana dokter menjelaskan. Jadi, aku tau" jawabnya lagiRasanya lega sekali mendengar kabar itu. Kami bermalam di depan ruang rawat inap Tiara. Kami tidur sekenanya, Rifki dan Hendi duduk dibangku, aku dan Mei saling menyandar dengan duduk beralas tikar. Sementara mas Deni, masih menatap Tiara dari balik Kaca."Nay, boleh kita bicara sebentar?" tanya mas DeniAku mengangguk dan mengikuti langkahnya. Dia membawaku ke sebuah taman didepan rumah sakit."Nay...." kalimatnya te
"kalo kamu masih hina Nayra, aku nggak bakal nikahin kamu secara resmi !!!" ucap RaditDini terdiam, mulutnya dibungkam oleh pernyataan Radit. Rasanya ia tak rela jika ia tak menjadi nyonya Radit secara resmi."tinggal satu minggu lagi pernikahan kita, jangan sampai kubatalkan karena ocehanmu yang tidaj bermutu itu" Radit ngeluyur meninggalkan Dini yang masih berusaha meredamkan amarah. Dia berpikir seandainya ada mertuanya, ia tak perlu repot beradu argumen karena jelas sang mertua akan membelanya."kenapa jadi gini sih? kenapa mas Radit berubah, dia nggak sayang aku lagi" Dini terisak memegangi perutnya"Halo mah, iya aku pengin pulang besok ya mah" kata Dini menelpon"mamah nggak ada dirumah Din, mamah lagi diluar kota" jawab suara dari seberang"oh iya mah" Dini menutup telepon Wajahnya kecewa, seperti biasa ia hanya ingin berkumpul dengan ibunya tapi itu menjadi hal yang sangat sulit diwujudkan. Kare
"sementara kamu tinggal disini dulu aja, sampe mama kamu udah nggak marah lagi" ujar Nayra"tapi inget, kamu harus kasih tau mamamu biar nggak makin salah paham. Kemanapun kamu pergi, bagaimanapun sikap mamamu dia tetap harus dikasih tau kabarmu walau dia cuek" Ibu Nayra menasehatiDini mengangguk sambil menyeruput teh yang dihidangkan.*****Pulang sekolah Dini tak ke rumah Nayra, Ilma maupun Mei. Dia menghilang dari pengawasan teman-temannya."ayah, butuh uang Din" ucap seorang lelaki paruh baya"ayah butuh uang buat apalagi sih? ayah udah punya keluarga lagi harusnya ayah kerja dong buat keluarga ayah. Masa iya Dini terua yang ngasih uang buat ayah" jawab Dini"Din, cari kerja itu susah Din. Nggak segampang yang kamu pikir" sangkal sang ayah"itu salah ayah, kalo aja ayah nggak selingkuh. Usaha ayah nggak bakal bangkrut" Dini mulai geram"kamu sekarang jadi kurang ajar ya" "kan anak me
"Hen, besok kamu bisa nganterin Nay....""yuk bu, kita pulang. Lagian Mei sudah ijab qobul" potongku"nganterin kemana tan?" tanya Hendi"eh anu nggak kemana-mana. Mungkin maksud ibu, nganterin pulang sekarang. Tapi aku mau pulang sama ibu aja. ya kan bu?" Aku mengedip-ngedipkan mataku sebagai kode. Rupanya ibu baru sadar ia baru saja hampir keceplosan."e-iya Hen, tadinya tante mau minta tolong anterin Nayra pulang. Tapi nggak usah deh, biar pulang sama tante aja naik taksi online" jelas ibuAku menghela nafas lega. Tapi, Hendi seolah tak percaya dengan alasan ibu. Sorot matanya penuh keingintahuan, gerak-geriknya penuh rasa penasaran. Bahkan aku sempat melihat ia membuntuti kami hingga masuk ke dalam taksi online. Aku memergokinya dari balik pantulan kaca mobil.[tan, maaf. Saya pulang dulu ya. Ada urusan yang harus saya selesaikan][iya, Nay nggak papa. Maaf ya tadi nggak sempet nemenin kamu sama ibu]Aku menutup sambungan telephon, dan mobil mulai melaju. Dari arah depan, ku liha
Mas Radit, benar saja aku seperti mengenali suaranya. Ia meraih tanganku yang tengah membersihkan jas.nya. Jarak kami begitu dekat membuat jantungku berdegup kencang. Aku mengatur ulang nafasku, agar tak segugup ini."eh maaf mas, jasmu jadi kotor" tegurku seraya berusaha melepaskan genggaman tangannya.Tapi sialnya, entah kenapa ujung jilbabku tersangkut dijam tangannya. Pandangan kami saling tertaut, seperti terjebak pada satu titik. Hingga beberapa detik kami saling memandang kosong satu sama lain."maaf, jilbabku tersangkut" kataku membuyarkan fokusnya"bentar, pelan-pelan aja Nay nanti jilbabmu sobek kalo dipaksa"Aku menurut saja, tangannya segera mengambil alih berusaha melepas jilbabku. Tapi, dari adah lain Dini datang. Dan...kreekkk!!!Ia menggunting jilbabku,"gitu aja kok repot, nggak usah dilama-lamain biar bisa ambil kesempatan deketin suami orang!" ucapnya keras.'ya Alloh, jilbab kesayanganku pemberian Ilma' batinku"nggak perlu cari-cari alasan biar bisa deket sama m
"nggak papa kok mah" jawab Mei tersenyumAku sendiri telah paham kenapa sahabatku ini tak mau aku mendampinginya . Aku bahkan tidak keberatan ataupun merasa tersinggung, justru aku senang karena aku bisa leluasa menyembunyikan diriku jika saja ada tamu yang tak ingin ku temui.*****Akhirnya hari pernikahan Mei dan Rifki tiba, beberapa orang sudah mulai mendatangi lokasi."Nay, kok mukanya sedih? aku nikah sama Rifki loh, kita bertiga bakal tetep temenan. Kita tetep bisa pergi bareng-bareng"Mei menggenggam tanganku erat, seperti paham dengan apa yang aku rasakan. "janji ya Mei, sekarang temenku cuma kamu" ucapkuMei menatapku lekat, matanya yang sudah penuh riasan hampir meneteskan air mata. Cepat-cepat tangannya mengelap dengan tisu sebelum berhambur jatuh kepipi. Kami berpelukan sambil menahan tangis masing-maning. Aku menghela nafas, mencoba melonggarkan dada agar tak sesak oleh perasaan sedih. Mei pergi meninggalkan meja rias, ia bersiap ketempat akad. Wajahnya begitu ayu dengan
Siang hari terasa menyengat dari biasanya. Seseorang wanita paruh baya terlihat tengah menjemur beberapa lembar pakaian, tangannya nampak kesulitan."MasyaAlloh bu, biar saya bantu""biarin Den, ini tinggal satu aja kok"Deni meraih selembar pakaian yang masih dalam genggaman bu Nani."biar ibu aja Den" cegah sang mertuaDeni mendorong kursi roda bu Nani kedalam rumah. Lalu, ia duduk menekuk setengah lutut dihadapannya, Tangannya menggenggam jari sang mertua."bu, ibu nggak usah ngerjain kerjaan rumah kayak tadi ya. Saya takut ibu kecapean" terang Deni"tapi, ibu nggak enak Den, masa ibu cuma makan tidur aja. Lagian kan cuma beres-beres rumah""kalo ibu ngrasa nggak enak ke saya berarti ibu nganggep saya sebagai orang lain"Bu Nani terdiam, tangannya mengusap peluh di dahinya. "Bu, saat ini saya nggak lagi nganggep ibu sebagai mertua tapi sudah menjadi ibu bagi saya. Ibu adalah keluarga saya satu-satunya disini. Cuma ibu sama pakdhe Narto yang saya punya" Deni masih menatapnya dalam,
Akhirnya hari ini aku diharuskan datang kepernikahan mas Radit dengan Dini. Walau aku sudah tak punya perasaan apapun pada mas Radit, tetap saja bayang-bayang penghianatannya masih menyisakan sakit. Aku memaksa diriku untuk kuat hanya sekedar mengucapkan selamat, daripada Dini akan mengecapku sebagai orang yang masih mengharapkan suaminya itu."selamat ya Din" ucapkuDini menarik badanku, memelukku. Alih-alih sikapnya seperti sahabat, ia justru membisikkan sesuatu."pernikahanmu batal ya? yang sabar ya" ucapnya lirih tapi cukup didengar beberapa orang disekitar kamiAku menelan ludah, menarik nafas panjang sembari menekan emosiku."selamat ya mas" Aku ngeluyur dari hadapan Dini, bahkan aku mengabaikan mas Radit yang sudah mengulurkan tangan.Dihari bahagianya pun ia masih sempat meledek nasibku. "Andai Mei, Rifki atau minimal Hendi disini, mungkin mereka tidak akan membiarkan Dini mengucapkan pertanyaan itu" gumamkuSeorang kerabat Dini mempersilahkan aku mengambil hidangan. Karena
Sebuah toko tampak mulai berbenah, karena memang sudah mulai larut."iya deh calon manten, seharian semangat banget kerjanya" ledek HendiRifki hanya tertawa kecil."makaya nikah dong Hen, eh lupa jomblo" ledek Rifki"sialan. Liat aja ntar kalo aku nikah kamu bakal kaget" jawab Hendi percaya diri"udahlah aku mau pulang" lanjut HendiIa melangkah, tapi tak langsung memacu motornya. Ia duduk diemperan toko membuka Ponselnya yang sedari tadi didalam tas.Tangannya membuka aplikasi biru, wajahnya seketika muram. Melihat sebuah foto dalam aplikasi."kamu wanita baik, cantik. Tapi, kenapa laki-laki selalu bermain-main dengan perasaanmu" batinnyaHendi terus menatapi gambar Nayra. Gambar yang manis dengan balutan senyum yang sederhana. Tapi senyum itu tak seceria dulu. Baru dua menit foto itu diposting, dia segera meninggalkan jempolnya di foto Nayra. Seperti itu setiap hari, Hendi memastikan keadaan Nayra dari media sosial. Seperti dulu."kenapa sih kamu nggak jujur aja sama Nayra?" "eh k
"kenapa harus bertemu dia dua kali sepagi ini?" gumamku"Hai juga Mei" sapaya ceria"kamu ngapain disini Din?" tanya Mei"kan nyiapin acara pernikahanku, cuma beda satu hari sama kamu, tapi aku duluan hehe" jelasnya terkekehMei senyum kecut melihat tingkah serta penjelasannya."maksudmu peresmian pernikahanmu?" ledek Mei"apapun itu, intinya pernikahanku sama mas Radit" jawabnyaIa terlalu percaya diri bahkan saat tengah mempersiapkan pernikahan dengan kondisi perut yang sudah membesar. Seolah ia malah memamerkannya laksana sebuah kebanggaan."jangan lupa dateng ya Nay" jawabnya sembari berlalu"pasti" jawabkuLangkahnya yang sok anggun membuat Mei terlihat muak, dia terus saja mengusikku bahkan disaat aku sudah tak peduli dengan kehidupannya bersama mas Radit.Dari arah depan mas Radit menyambut sang isteri, tapi sikapnya berubah kikuk saat mendapati aku dan Mei ditempat itu juga. Dia melempar senyum, tapi aku membalas dengan tatapan datar tanpa ekspresi.Aku terus menemani Mei mem
Aku tak begitu peduli dengan mas Radit dan Dini, karena memang aku sudah tak mau terlibat masalah dengan mereka.Rifki menjemputku untuk menemani Mei menuju kantor urusan agama. Tidak, lebih tepatnya kami kesana untuk urusan masing-masing. Rifki kembali ke tokonya setelah aku sudah bersama Mei."ayo Nay" Aku menaiki motornya. Tiap langkah kami, kukumpulkan tekad beserta tujuanku. Membatalkan pernikahan untuk kedua kalinya adalah sesuatu yang membuatku malu. Tapi, itulah seharusnya."kenapa kamu nggak nunggu mas Deni ngasih keputusan lagi Nay, kemarin dia ngomong gitu karena suasana hatinya sedang sedih" ucap Mei"kenapa aku harus menunggu untuk sesuatu yang sudah diputuskan?" tanyaku balik"aku malu Mei, kok terkesannya aku yang ngejar-ngejar mas Deni. Padahal aku mau nikah sama dia juga karena wasiat dari almarhumah Ilma" lanjutku"Ya udah, tapi kamu jangan sedih ya" jawabnyaKami terus melaju pada tempat yang kami tuju. Seorang ibu berseragam coklat menyambut kami, ia begitu sumrin
Sepulang dari desa kaliwangi, aku belum lagi ke rumah bu dhe. Rasanya ada rasa sungkan bertemu mas Deni. Ibu masih di sana, mungkin sampai acara tujuh hari selesai. "Nanti malam kamu kesini ya Nay" ucap ibu pada sambungan telephon."InsyaAlloh bu" Aku menutup telephon, lalu melanjutkan sholat subuh. Masih terlalu pagi, tapi ibu sudah mengingatkan banyak acara untuk hari ini. Dimulai ke kantor urusan agama untuk kembali membatalkan pernikahanku, membantu persiapan pernikahan Mei, belum lagi aku harus ke rumah mas Deni, Itu adalah bagian yang paling berat bagiku.Setelah selesai beres-beres rumah dan menyiapkan sarapan, aku melongok jam bundar didinding. Sudah pukul tujuh. Aku bergegas, langkahku mantap menuju kantor urusan agama. Mungkin petugas disana akan menganggap aku bermain-main dengan pernikahan karena ini kali kedua aku membatalkan pernikahan.Tok tok tok !!!Terdengar Suara ketukan dari arah pintu depan, aku cepat-cepat menuju ruang tamu."mungkin ibu pulang, dia kan belum k