Tin! Tin! Suara klakson sebuah motor ada di depan rumahnya.
Karina bergegas secepat mungkin untuk melihat siapa yang datang, ia mendorong gerbangnya supaya ia bisa melihat siapa yang datang. Tentu saja, siapa lagi yang mengendarai motor sport berwarna hitam itu, kalau bukan Ardana.
Ardana membuka helmnya, lalu ia menatap sambil tersenyum pada Karina, “Cie, udah nungguin dari tadi, ya?” tanya Ardana.
Karina tersenyum malu-malu, “Ah, gak tuh. Siapa juga yang lagi nungguin, aku tadi kebetulan lagi di depan pintu aja,” ia menyangkal apa yang dikatakan Ardana.
Ardana turun dari motornya, “Terserah kamu deh, Rin.”
Karina memperhatikan dari ujung kaki sampai kepala Ardana, ia tidak memakai seragam sekolahnya, “Kamu tadi pulang ke rumah? Terus langsung ke sini?” tanya Karina.
Ardana mengangguk, “Emm, iya lah. Mana mungkin aku langsung ke sini, harus bersih dong kalau jadi cowok. Bukan cowok aja sih, kamu cewek juga harus gitu!”
Karina tersipu, “Yaudah, deh. Kita masuk aja ke dalam, nanti aku juga mau ke taman buat nyiram bunga.”
Ardana mengangguk, mereka masuk bersama-sama ke dalam rumah. Sambil berjalan, Ardana melihat-lihat ke semua arah yang ada di dalam rumah Karina. Karina juga hanya diam sambil memperhatikan wajah datar Ardana saat diam seperti itu, ia menjadi hilang kendali.
“Kenapa aku merasa nyaman kalau dia diam seperti ini? Melihat wajahnya dari samping aja udah keliatan handsome nya, apalagi kalau dari depan coba?!” batinnya, jantungnya berdetak kencang.
Ardana berhenti berjalan, ia melirik Karina yang sejak tadi memperhatikannya, “Karina? Kamu kenapa liat aku gitu banget?” tanya Ardana dengan wajah bingung.
Karina tersadar dari lamunannya, “Ah, gak kok. Aku ..... cuman, liat ke arah sana tadi,” ia kembali menyangkal kebenarannya.
Mereka kembali berjalan, Karina menyuruh Ardana menunggu di ruang keluarga, sementara dia akan pergi ke dapur untuk mengambil beberapa makanan yang sudah ia buat bersama bibinya.
Selagi menunggu Karina, Ardana melihat sobekan kertas-kertas yang berisi puisi berserakan di atas meja. Ia mengambil salah satu sobekan kertas itu dan membaca apa yang tertulis di kertas tersebut, “Jika aku jatuh cinta, apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku mengungkapkannya? Jika aku .....”
“Ya! Ardana, kamu ngapain?” tanya Karina yang tiba-tiba datang sambil meletakkan makanan di atas meja.
“Anu ... aku gak sengaja liat puisi-puisi ini ada di mana-mana, jadi aku baca saja.”
Karina terlihat kesal, “Aih, kenapa kamu harus membaca puisi yang berguna itu? Aku sengaja merobek mereka karena gak nyambung, aku harus buang semuanya!” ujarnya sambil mengambil satu per satu kertas yang berserakan di atas meja itu untuk ia buang.
Ardana tampak bingung, “Kalau tadi kamu melengkapi puisi ini, pasti akan nyambung kok,” ia menunjukkan kertas yang ia baca tadi pada Karina.
Karina bergegas mengambil kertas itu dari tangan Ardana, “Gak, lebih baik aku buat puisi yang baru lagi.”
Melihat wajah kesal Karina, Ardana tersenyum.
“Apa yang lucu?” tanya Karina menatap sinis pada Ardana.
Ardana menggeleng, “Gak tahu tuh, kenapa tiba-tiba bibirku bergerak untuk tersenyum, ya? .... emmm, aku tahu. Itu alasannya karena kamu lah Karina!”
Tiba-tiba kedua pipi Karina memerah, tetapi ia tidak menyadari itu. Ardana mencubit pipinya, “Nih, kenapa lagi pipimu tiba-tiba merah kayak tomat gitu? Kamu sakit, ya?”
Karina tersipu malu, ia menyingkirkan tangan Ardana dari wajahnya, “Ah, mana ada! Biasa aja tuh, udah aku mau buang sampah-sampah ini dulu. Tunggu dan duduk diam saja di sini!”
“Iya, buang aja dulu.”
Ardana mengangguk sambil menahan tawanya. Karina sesekali melirik ke belakang dan melihat Ardana yang masih tertawa karena sikap kesalnya yang terlihat seperti anak kecil yang sedang marah saat mainannya diambil oleh orang lain, seperti itulah Karina.
Setelah ia kembali dari luar, Karina langsung duduk di samping Ardana. Ardana diam sambil tersenyum kecil padanya, “Ya, ada apa dengan wajahmu itu?” tanya Karina.
“Gak ada tuh. Aku cuman mau memastikan kalau wajah kamu udah balik senyum lagi apa gak, ternyata masih marah nih.”
Karina tidak bisa marah dengan Ardana, karena Ardana terus menggodanya supaya tidak lama-lama kesal dengannya. “Ah, Ardana! Aku kesal banget sama kamu!” ia mencubit bahu Ardana karena telah membuatnya kesal.
“Agghh, sakit tahu! Kenapa harus dicubitin sih? Kesal, ya kesel aja, gak usah sambil senyum-senyum gitu!” Ardana mencoba menghindari cubitan Karina.
Setelah asyik berdebat tentang hal yang tidak jelas, beberapa menit kemudian kembali seperti biasa. Karina menghidupkan televisi untuk mereka menonton, dan juga makanan dan minuman yang sudah ada di atas meja membuat Karina dan Ardana betah menonton tv bersama-sama. Mereka juga jadi lupa akan waktu, tadi memang masih jam 3 sore, sekarang sudah lain lagi, waktu terus berjalan.
Sudah jam 5 sore, waktunya Karina untuk menyiram bunga-bunganya di taman belakang rumahnya. Ia pun mengajak Ardana untuk melakukan itu bersama-sama dengannya, “Ar, kita ke taman, yuk! Aku mau nyiram bunga nih, udah sore,” ajaknya sambil berdiri dari sofa yang ia duduki tadi.
Ardana menyusulnya berdiri, “Yaudah, ayo! Bosen juga nonton tv lama-lama.”
Karina dan Ardana pergi ke taman belakang. Karina menunjukkan selang air yang rusak pada Ardana, “Kenapa selangnya? Rusak?” tanya Ardana.
Karina mengangguk, “Iya, makanya aku belakangan ini gak bisa nyiram bunga. Aku udah bilang sama ibuku, kayaknya dia lupa,” jawabnya pelan.
Wajah Karina berubah sedih, Ardana jadi tidak tega melihatnya. Karena ia bisa memperbaiki sesuatu, ia menyuruh Karina untuk mengambil alat-alat untuk memperbaiki selangnya, “Rin, coba kamu ambil alat-alat untuk perbaiki selang ini, ada gak?”
Karina berpikir sejenak, “Emm, ada sih kayaknya. Ada di gudang, aku cari dulu deh, sekalian minta bantu bibi,” Ardana mengangguk, lalu Karina bergegas pergi menemui bibinya untuk mencari alat untuk memperbaiki selang air itu.
Karena lama menunggu Karina mencari peralatan untuk memperbaiki selang itu, Ardana langsung memperbaiki menggunakan tangan kosong dan juga beberapa obeng yang ia lihat di dekat tanaman yang ada di sana. Tak lama kemudian, Karina kembali sambil membawa sekotak peralatan yang diperlukan.
“Ini, nih alatnya. Kamu udah .......” Karina terkejut melihat Ardana yang sedang memperbaiki selangnya, padahal tadi ia menyuruh untuk mencari peralatan, “Ya, kenapa kamu sudah memperbaikinya?” tanya Karina dengan wajah kebingungan.
Ardana mencoba menghidupkan selang itu, “Yah, abisnya kamu lama banget nyarinya. Jadi aku pakai alat yang ada di depan mataku aja lah.”
Ardana tak menyadari kalau di wajahnya ada noda hitam, Karina tertawa sambil membersihkan noda itu dari wajah Ardana, “Hahaha, kamu beneran gak liat apa, muka kamu kena oli tahu! Gimana sih, jadi kotor kan.”
“Mana? Ya, mana aku tahu lah. Kan gak bisa liat muka sendiri kecuali ada kaca, lagian namanya megang-megang alat kayak gini mana mungkin bersih-bersih aja,” balas Ardana.
“Iya-iya, deh. Kamu benar juga,” ucap singkat Karina sambil tersenyum.Setelah wajah Ardana kembali bersih, Ardana memberikan selang air itu pada Karina, “Emang udah bener nih?” tanya Karina tak yakin.
Ardana mengangguk, “Ya, sudahlah. Coba aja, aku tadi udah nyoba bisa kok.”
Karina mencoba menghidupkan selangnya, ternyata memang benar kalau selang itu sudah tidak rusak lagi. Ardana tersenyum sambil memperhatikan wajah Karina yang tidak percaya kalau ia bisa memperbaiki benda itu. Karena selangnya sudah bisa digunakan, Karina pun kembali menyiram semua tanaman yang ada di tamannya itu lagi. Ardana juga sesekali membantu menyiram, mereka saling memercikkan air dan tertawa bersama, melupakan semua masalah yang mereka hadapi sebelum ini.
Hari sudah semakin sore, oleh karena itu, bibi menegur mereka untuk segera masuk ke rumah, “Nona Karina dan mas ganteng , udah sore nih, masuk ke dalam! Bibi udah siapin makan malam juga,” ajaknya dengan nada lembut.
Karina dan Ardana mengikuti bibi dan masuk kembali ke dalam rumah, lalu mereka disuruh duduk di meja makan. Karina dan Ardana duduk berdampingan, mereka tiba-tiba terdiam dan hanya memperhatikan gerak-gerik dari bibi tersebut. Mereka berdua mencurigai satu hal yang sama.
Ardana menepuk bahu Karina pelan seraya mendekatkan bibirnya ke telinga Karina, “Ada yang aneh?” bisiknya.
Karina mengangguk, “Iya, aku juga gak tahu bibi mau ngapain,” balasnya dengan bisikan.
Saat mereka berdua sibuk berbisik-bisik, bibi itu datang membawa makan malam untuk mereka berdua. Tapi, bukannya mereka makan, malah memperhatikan satu sama lainnya. Karina berpikir keras kenapa bibinya bersikap sangat lembut seperti tadi, padahal biasanya ia selalu menasehati Karina untuk segala hal. Baginya, bibi itu adalah orang yang ia anggap ibunya, karena semua pekerjaan rumah dari senin sampai jumat, bibi semua yang mengerjakannya. Dan juga, karena bibinya itu bersikap seperti seorang ibu yang sesungguhnya, yang merawat dan memastikan Karina baik-baik saja.
Karina langsung melirik Ardana yang duduk disampingnya, “Kamu .....” ia menatap dengan tatapan mencurigakan.
Ardana bingung, ia mengerutkan kedua alisnya, “Apa? Kenapa sama aku, Rin?” tanya Ardana.
“Gak tahu kenapa sih, ya, aku kepikiran sama tingkah bibi yang aneh banget hari ini. Apa jangan-jangan karna kamu ganteng lagi?” ucap Karina dengan wajah polos.
Ardana tertawa terbahak-bahak, “Haha, apaan sih, Rin? Kamu aja ngawur banget ngomongnya nih!”
“Ih, emang keliatan kok. Kayaknya bibi naksir berat sama kamu tuh, tadi aja kamu dipanggil mas ganteng, kan? Aku gak mungkin salah denger.”
“Ish, apaan coba? Kalau orang tua memanggil kayak gitu emangnya gak boleh?” tanya Ardana.
Karina terdiam, “Ya, boleh sih, cuman kan beda kalau sama kamu,” jawabnya.Bibi datang membawa minum untuk mereka, lalu bergegas pergi. Bahkan Karina tak sempat bertanya pada bibinya itu, hal itu membuat Ardana tidak jadi kesal dengannya. Ia malah terus tertawa dan mengejek Karina yang mempunyai pikiran aneh terhadapnya dan juga bibinya itu.
“Ih, yaudah deh. Makan aja, berdebat sama kamu tu susah selesainya,” ujar Karina sambil menunjuk makanan yang ada di depan matanya.Ardana mengangguk, lalu menyantap makan malamnya itu. Setelah mereka berdua selesai makan malam, Karina dan Ardana kembali duduk di ruang keluarga untuk menonton tv. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 18.30 WIB, tetapi kedua orang tua Karina belum juga pulang ke rumahnya.
“Ar, kamu kapan mau baliknya nih? Udah malam loh,” tanya Karina sambil memegang remot televisinya.
Ardana berpikir, “Emm, gak tahu juga sih. Emang orang tua kamu pulangnya kapan?”
Karina menggeleng, “Gak tahu, kayaknya bakal pulang larut malam lagi. Toh, ada bibi juga yang bakal nunggu sampai mereka balik.”
“Btw, kamu biasanya tidur jam berapa?” tanya Ardana.
“Antara jam 9 gitu lah, emang napa?”
Ardana tersenyum kecil, “Yaudah, aku baliknya kalau kamu udah mau tidur aja. Aku juga udah izin sama orang tuaku buat kesini,” jawabnya dengan santai.
Karina mengangguk pelan, “Owh, gitu. Ya, terserah kamu aja sih. Untung ada bibi, jadi gak akan ada kesalahpahaman nih.”
“Lagian rumah kamu kan gede banget, dari depan aja udah ditutup sama gerbang, mana bisa keliatan lah kalau ada orang apa gak di rumah kamu,” ucap Ardana.
“Iya juga, sih,” Karina setuju dengan ucapan Ardana.
Sambil menonton tv, Karina mengambil beberapa camilan yang ada di dalam kulkasnya, termasuk es krim yang ia beli saat pertama kali bertemu dengan Ardana juga masih ada. Kali ini mereka menonton drama komedi, karena Karina tidak suka menonton drama romantis ataupun horor, ia lebih baik banyak tertawa daripada banyak menangis.
Selagi menonton drama komedi itu, Ardana menyarankan Karina untuk mengambil buku mata pelajaran apa saja yang menurutnya sulit, ia ingin membantu untuk membuat Karina mengerti dengan materi pelajarannya itu.
Karina meletakkan semua bukunya di atas meja, “Ini semua pelajaran yang buat aku susah banget, matematika, fisika, ekonomi,” ucapnya.
“Oh, gampang mah! Sini, aku ajarin gimana cara hitung cepat yang fisika, aku udah lewat nih materinya dari kamu.”
Karina mengangguk, ia memperhatikan apa yang dijelaskan oleh Ardana. Sesekali ia juga melirik wajah tampan Ardana yang sangat dekat dengannya, bukannya fokus memahami apa yang dijelaskan oleh Ardana, ia malah tak berhenti menatap wajah si tampan yang humoris itu.
Tak terasa sudah jam 9 malam, Karina tertidur pada saat belajar bersama dengan Ardana. Ia terlihat kelelahan, sehingga Ardana tak tega membangunkannya dari tidurnya itu. Ia mengerjakan soal-soal yang ada di buku Karina, lalu meletakkan jawabannya di buku tulis, supaya esok Karina bisa menyelesaikan soal-soal dengan mudah. Sesekali ia juga membelai lembut rambut Karina sambil tersenyum. Bibinya Karina juga sudah datang menghampirinya untuk menyuruh Ardana menggendong Karina sampai di kamarnya, ia pun mengikuti apa yang dikatakan oleh bibi, lalu menggendong Karina sampai di kamarnya.
BERSAMBUNG.....
Jakarta 2017, Indonesia.....Pagi ini, keluarga Karina sarapan bersama sebelum memulai aktivitas mereka. Seperti biasa, ibu nya akan sibuk mempersiapkan semua makanan dan minuman untuk sarapan pagi, sedangkan Karina tetap fokus menatap buku tulis untuk puisinya.Karina membaca sambil berjalan menuju ke meja makan, disusul lebih dulu oleh ayahnya, “Pagi, Sayang!” sapa ayah seraya membelai rambut Karina dengan lembut.Karina membalas dengan senyuman, “Pagi juga, yah,” ia duduk di kursinya.Ibunya terus memperhatikan Karina yang tetap sibuk dengan buku tulisnya itu, “Karina, udah deh, letakin dulu bukunya! Entar kan bisa di tulis lagi, sekarang makan dulu tuh rotinya.”“Iya, bu.” j
Karina melepas jabatan tangan mereka dan kembali fokus menulis puisinya, “Nah, sekarang kan udah tahu nih, nama masing-masing, kamu sekolah di mana sih?” “Aku gak sekolah di sekolah umum. Aku Homeschooling, jadi harus belajar di rumah.” “Owh, gitu. Kalau boleh tahu, emang kamu kenapa harus Homeschooling, padahal kamu punya bakat bagus kayak gitu?” tanya Ardana dengan wajah penasaran. Karina berhenti menulis sejenak, lalu menatap Ardana dengan serius, “Emm, aku gak sekolah umum, karena orang tuaku melarang aku dekat dengan banyak orang, karena .... aku akan segera melanjutkan sekolah ke luar negeri.” Jawabnya dengan nada gugup, mencoba mengatakan hal yang berbeda dari kenyataan sebenarnya. Ardana tersenyum, “Kalau kamu gagap gitu, lucu banget liatnya.” Karena Ardana bilang kalau wajahnya sangat lucu ketika berbicara ngelantur, ia pun mengambil ponsel yang ada di dalam tas sandangnya dan melihat ke layar ponselnya untuk melihat
Keesokan harinya .....Seperti biasa, Karina akan duduk di dekat jendela kamarnya untuk menulis puisi. Tapi, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ia selalu terlihat sedih dan kesepian, sekarang Karina terlihat jauh lebih banyak tersenyum setiap kali menulis puisinya.Ping! Karina langsung bergegas membuka ponselnya dan melihat pesan yang masuk. Ia terlihat bersemangat karena yang memberi pesan adalah Ardana.ArdanaGimana, jadi gak nih jalan-jalannya?Karina memikirkan sangat lama sekali tentang jawabannya pada Ardana. Ia masih ragu, ia takut ibunya tidak mengizinkannya pergi keluar dari rumah. Oleh karena itu, ia lebih baik bertanya langsung pada orang tuanya sebelum menjawab pesan Ardana. Ia keluar dari dalam kamar sambil membawa ponsel di tangannya, lalu menghampiri ayah dan ibunya yang masih duduk di meja makan dan tengah berbincang.“Ayah, ibu. Karina mau nanya sesuatu.”Ayahnya mencoba mendengark
Ia merapikan tatanan rambutnya kembali seperti semula, Ardana turun dari motornya seraya menunjuk ke arah yang ada di depan mereka.“Liat, tuh. Kamu belum pernah ke sini, kan?” tanya Ardana.Karina menggeleng sambil menatap kagum pada pemandangan Taman yang mengagumkan, “Iya, belum pernah. Mereka terlalu sibuk dengan dunia mereka, sampai gak pernah mengajakku jalan-jalan.”“Wah, bagus juga. Bentuknya seperti ...... candi gitu gak sih? Cantik, ayo, masuk!” ajaknya sambil menarik tangan Ardana, ia sungguh lupa dengan suasana canggung tadi. Ardana tak menolaknya, mereka pun masuk bersama ke dalam tempat wisata itu.Saat masuk ke taman itu, wajah Karina langsung berubah menjadi berseri-seri dan penuh dengan kegembiraan. Ardana yang melihat hal itu, menjadi salah fokus. Perasaan Karina tengah senang, karena akhirnya bisa pergi ke tempat yang ramai dan menyenangkan, apalagi bersama dengan seorang teman seperti Ardana.
Setelah kejadian kemarin, ia tidak menceritakan apapun tentang kondisinya pada kedua orang tuanya supaya mereka tidak khawatir dan tidak melarangnya untuk bertemu dengan Ardana lagi. Lagipula, semua itu terjadi memang bukanlah kesalahan dari Ardana, tetapi Tuhan lah yang sudah mengatur semuanya untuk Karina. Ardana juga tidak mengatakan apapun padanya setelah ia mengatakan kalau hal itu sudah sering terjadi padanya. Entah sampai kapan ia akan terus menyembunyikan hal itu dari Ardana, tetapi hal itu pasti akan terbongkar juga.Seperti biasa, jika kembalinya hari senin, Karina harus belajar dengan guru yang datang ke rumahnya untuk mengajarnya pelajaran yang juga dipelajari oleh sekolah umum. Sekarang sudah jam 9 pagi, ia sedang duduk di ruang tamu sambil mengerjakan soal-soal yang telah diberikan oleh guru privatnya. Karina terlihat sangat fokus, tentu saja, karena mata pelajaran yang sedang ia pelajari adalah mata pelajaran fisika. Baginya, mata pelajaran itu sangat membuat k
Tin! Tin! Suara klakson sebuah motor ada di depan rumahnya.Karina bergegas secepat mungkin untuk melihat siapa yang datang, ia mendorong gerbangnya supaya ia bisa melihat siapa yang datang. Tentu saja, siapa lagi yang mengendarai motor sport berwarna hitam itu, kalau bukan Ardana.Ardana membuka helmnya, lalu ia menatap sambil tersenyum pada Karina, “Cie, udah nungguin dari tadi, ya?” tanya Ardana.Karina tersenyum malu-malu, “Ah, gak tuh. Siapa juga yang lagi nungguin, aku tadi kebetulan lagi di depan pintu aja,” ia menyangkal apa yang dikatakan Ardana.Ardana turun dari motornya, “Terserah kamu deh, Rin.”Karina memperhatikan dari ujung kaki sampai kepala Ardana, ia tidak memakai seragam sekolahnya, “Kamu tadi pulang ke rumah? Terus langsung ke sini?” tanya Karina.Ardana mengangguk, “Emm, iya lah. Mana mungkin aku langsung ke sini, harus bersih dong kalau jadi cowok. Bukan co
Setelah kejadian kemarin, ia tidak menceritakan apapun tentang kondisinya pada kedua orang tuanya supaya mereka tidak khawatir dan tidak melarangnya untuk bertemu dengan Ardana lagi. Lagipula, semua itu terjadi memang bukanlah kesalahan dari Ardana, tetapi Tuhan lah yang sudah mengatur semuanya untuk Karina. Ardana juga tidak mengatakan apapun padanya setelah ia mengatakan kalau hal itu sudah sering terjadi padanya. Entah sampai kapan ia akan terus menyembunyikan hal itu dari Ardana, tetapi hal itu pasti akan terbongkar juga.Seperti biasa, jika kembalinya hari senin, Karina harus belajar dengan guru yang datang ke rumahnya untuk mengajarnya pelajaran yang juga dipelajari oleh sekolah umum. Sekarang sudah jam 9 pagi, ia sedang duduk di ruang tamu sambil mengerjakan soal-soal yang telah diberikan oleh guru privatnya. Karina terlihat sangat fokus, tentu saja, karena mata pelajaran yang sedang ia pelajari adalah mata pelajaran fisika. Baginya, mata pelajaran itu sangat membuat k
Ia merapikan tatanan rambutnya kembali seperti semula, Ardana turun dari motornya seraya menunjuk ke arah yang ada di depan mereka.“Liat, tuh. Kamu belum pernah ke sini, kan?” tanya Ardana.Karina menggeleng sambil menatap kagum pada pemandangan Taman yang mengagumkan, “Iya, belum pernah. Mereka terlalu sibuk dengan dunia mereka, sampai gak pernah mengajakku jalan-jalan.”“Wah, bagus juga. Bentuknya seperti ...... candi gitu gak sih? Cantik, ayo, masuk!” ajaknya sambil menarik tangan Ardana, ia sungguh lupa dengan suasana canggung tadi. Ardana tak menolaknya, mereka pun masuk bersama ke dalam tempat wisata itu.Saat masuk ke taman itu, wajah Karina langsung berubah menjadi berseri-seri dan penuh dengan kegembiraan. Ardana yang melihat hal itu, menjadi salah fokus. Perasaan Karina tengah senang, karena akhirnya bisa pergi ke tempat yang ramai dan menyenangkan, apalagi bersama dengan seorang teman seperti Ardana.
Keesokan harinya .....Seperti biasa, Karina akan duduk di dekat jendela kamarnya untuk menulis puisi. Tapi, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ia selalu terlihat sedih dan kesepian, sekarang Karina terlihat jauh lebih banyak tersenyum setiap kali menulis puisinya.Ping! Karina langsung bergegas membuka ponselnya dan melihat pesan yang masuk. Ia terlihat bersemangat karena yang memberi pesan adalah Ardana.ArdanaGimana, jadi gak nih jalan-jalannya?Karina memikirkan sangat lama sekali tentang jawabannya pada Ardana. Ia masih ragu, ia takut ibunya tidak mengizinkannya pergi keluar dari rumah. Oleh karena itu, ia lebih baik bertanya langsung pada orang tuanya sebelum menjawab pesan Ardana. Ia keluar dari dalam kamar sambil membawa ponsel di tangannya, lalu menghampiri ayah dan ibunya yang masih duduk di meja makan dan tengah berbincang.“Ayah, ibu. Karina mau nanya sesuatu.”Ayahnya mencoba mendengark
Karina melepas jabatan tangan mereka dan kembali fokus menulis puisinya, “Nah, sekarang kan udah tahu nih, nama masing-masing, kamu sekolah di mana sih?” “Aku gak sekolah di sekolah umum. Aku Homeschooling, jadi harus belajar di rumah.” “Owh, gitu. Kalau boleh tahu, emang kamu kenapa harus Homeschooling, padahal kamu punya bakat bagus kayak gitu?” tanya Ardana dengan wajah penasaran. Karina berhenti menulis sejenak, lalu menatap Ardana dengan serius, “Emm, aku gak sekolah umum, karena orang tuaku melarang aku dekat dengan banyak orang, karena .... aku akan segera melanjutkan sekolah ke luar negeri.” Jawabnya dengan nada gugup, mencoba mengatakan hal yang berbeda dari kenyataan sebenarnya. Ardana tersenyum, “Kalau kamu gagap gitu, lucu banget liatnya.” Karena Ardana bilang kalau wajahnya sangat lucu ketika berbicara ngelantur, ia pun mengambil ponsel yang ada di dalam tas sandangnya dan melihat ke layar ponselnya untuk melihat
Jakarta 2017, Indonesia.....Pagi ini, keluarga Karina sarapan bersama sebelum memulai aktivitas mereka. Seperti biasa, ibu nya akan sibuk mempersiapkan semua makanan dan minuman untuk sarapan pagi, sedangkan Karina tetap fokus menatap buku tulis untuk puisinya.Karina membaca sambil berjalan menuju ke meja makan, disusul lebih dulu oleh ayahnya, “Pagi, Sayang!” sapa ayah seraya membelai rambut Karina dengan lembut.Karina membalas dengan senyuman, “Pagi juga, yah,” ia duduk di kursinya.Ibunya terus memperhatikan Karina yang tetap sibuk dengan buku tulisnya itu, “Karina, udah deh, letakin dulu bukunya! Entar kan bisa di tulis lagi, sekarang makan dulu tuh rotinya.”“Iya, bu.” j