"Iya sih, memang rada aneh." Alex menimpali, berpikir sejenak karena merasakan hal janggal yang sama seperti yang dirasakan Bram."Berpikir positif sajalah. Mungkin Tuhan di atas sana melihat ketulusanmu makanya Ia memberikanmu jalan seperti ini kepadamu," ucap Alex seraya tersenyum ke arah Bram."Kapan lagi Tuan, ayo segera bebersih. Kita langsung saja menuju ke kantor polisi dan menghakimi dua gundul dan kerempeng itu dengan tangan kita," ucap Alex menggebu-gebu."Memangnya boleh main hakim sendiri di kantor polisi?!" Bram memutar bola mata, kembali melangkahkan kaki menuju ke arah motor butut yang selama ini menjadi teman suka duka saat ia bekerja."Ya kalo diperbolehkan sih, aku juga nggak nolak kok mukulin mereka. Siapa suruh beraninya cuma sama perempuan aja," ucap Alex mengekor di belakang Bram."Mauku juga begitu tapi negara kita kan negara hukum. Salah-salah malah kita sendiri yang masuk bui," tandas Bram lalu hendak menyalakan mesin motornya.Karena tidak kunjung nyala, Bram
Mata Melani masih berkunang-kunang, rasa sakit serta perih kini menghiasi kepalanya. Mencoba meraba keadaan, Melani baru sadar jika ia tengah berada di rumah sakit sekarang."Nona sudah bangun?" Suster yang kebetulan masuk kini menyapa Melani dengan lembut. Wanita berbaju putih tersebut tersenyum, memberi kesan hangat bagi pasien seperti Melani."Sus, apa yang terjadi sama saya?" Melani menatap suster, ia menahan perih ketika memegangi kepalanya yang kini sudah diperban rapi."Kepala Nona terbentur tembok, ada jahitan di kepala Nona." Suster memberitahu, tentu saja dengan nada yang lembut dan menyejukkan."Apa?" Melani memekik kecil, ia lantas meraba kepalanya dengan mimik takut. "Apakah ... apakah rambut saya dibotakin Sus?""Untuk kelancaran selama menjahit, terpaksa kami mencukur sedikit rambut Anda Nona.""Apa?!" Melani tampak syok, perlahan ia meraba ujung kepalanya dan ... tiba-tiba saja dia menangis, merasakan sakit manakala pucuk kepalanya kini sudah botak dan diperban dengan
"Memangnya kamu ada masalah apa sama anak saya?" tanya Harun dengan dahi berkerut. "Jika memang benar kamu suaminya, kamu pasti sudah tahu alamatnya bukan?!"Bram menelan ludah, ia mengusap dahinya yang berpeluh lalu menarik napas dalam-dalam."Benar Pak, saya ini suaminya. Jika Bapak tak percaya, saya bisa kok tunjukkan pada Bapak buku nikah saya," ucap Bram serius. "Masalahnya sama seperti yang saya katakan tadi, gara-gara ketiga bedebah itu Nisa merasa malu dan pergi dari saya."Harun terdiam, ia menatap Bram seolah menelisik. Menarik napas panjang, Harun hanya bisa manggut-manggut sambil memahami."Dia pergi dari hidup saya Pak, meski demikian saya tidak pernah berpikir untuk menceraikannya," imbuh Bram lagi. Sambil memasang wajah sedih, pria itu menyatukan kedua telapak tangannya dan memohon di depan dada. "Tolong Pak, kasih tahu saya alamat Nisa yang sekarang. Saya harus menjelaskan semuanya sama dia.""Pasti ada alasan kenapa Nisa berbuat demikian," ucap Harun menimang-nimang.
"Ya, karena aku sama sekali tidak mengajukan gugatan cerai itu pada pengadilan," aku Bram dengan mimiknya yang serius.Nisa mendesah berat, ia mengalihkan pandangan yang lain. Tak segera bicara, ia justru melayani pembeli lain dan mengabaikan Bram."Kalung yang kauberikan juga masih ada di dompetku Nis," ucap Bram lagi. "Aku serius. Meskipun kau menyuruhku untuk menceraikanmu tapi nyatanya ... aku sama sekali tidak bisa berpindah hati darimu Nis.""Kenapa kau begitu gemar merepotkan diri sendiri Mas?" tandas Nisa setelah melayani pelanggan. "Kita ini tidak selevel, ada baiknya kau cari yang sesuai dengan derajatmu.""Derajat kita sudah sesuai Nis, mau apalagi?!" Bram masih tak kehilangan akal. "Kau penjual gorengan dan aku ... aku sekarang buruh bangunan. Adil kan? Sederajat?!"Nisa masih diam. Ia mengabaikan Bram sekali lagi. Ratih yang kala itu keluar dari dalam rumah sehabis sholat tampak termangu dengan keadaan itu. Ya, pria yang menikahi anaknya kini muncul kembali di warung angk
"Ehm, Pak polisi, sebenarnya ada apa ini? Kenapa cucuku bisa datang bersama kalian," ucap Eyang Harun berbasa-basi. Sesekali menoleh ke arah Ranti yang berwajah pucat, Eyang Harun mencoba untuk mencairkan suasana yang tegang."Permisi Nyonya, apa benar ini kediaman Harun Wibowo?" Polisi tersebut tidak terkecoh, wajahnya yang serius sama sekali tidak mempan meskipun Eyang Harun mencoba untuk membaik-baikinya."Betul Pak tapi suami saya sudah lama meninggal," ucap Eyang Harun dengan suara sedikit bergetar.Dua polisi tersebut saling pandang, mereka mengangguk bersama-sama lalu salah satu dari mereka menunjukkan surat penangkapan."Kami dari polres ingin menangkap Saudari Ranti, Sari, dan juga Nyonya Harun dengan tuduhan tindak kekerasan pada Nona Melani."Eyang Harun terdiam, ia menoleh sekilas ke arah Ranti. Wajahnya terlihat pucat dan tegang namun wanita tua tersebut masih berusaha untuk tidak terlihat gugup."Semua itu ... hanya salah paham saja Pak. Melani anak bungsu saya, tindak k
Wajah Bram tampak tegang. Masih teringat bagaimana perlakuan pria tua itu pada dirinya beberapa bulan yang lalu. Jangankan uang seratus ribu, ia bahkan tidak menyisakan sedikit modal untuk Bram hidup.Keterlaluan memang tapi apa daya, berkat pria tua itu juga Bram merasa lebih bersyukur dan bisa mengendalikan hidupnya yang tak seimbang."Ehem," deham Satrio sebelum ia berbicara dengan anak semata wayangnya tersebut. "Bagaimana kabarmu?"Bram menelan ludah, masih ada rasa sakit hati walau tidak sebanyak yang dulu-dulu."Baik Pa," jawab Bram singkat. Pemuda itu masih kikuk, bingung mau mengatakan apa pada papanya itu."Syukurlah," ucap Satrio tak kalah singkat. Beberapa saat terdiam, ia kembali berdeham."Pulanglah ke rumah," ucapnya kemudian.Bram belum menjawab, pandangannya tertuju pada Nisa yang masih sibuk melayani pelanggan di warungnya. Bram menarik napas, ia memejamkan mata sejenak lalu menggeleng."Tidak bisa Pa," jawab Bram lirih. "Hatiku sudah tertinggal di Jawa.""Bo-doh! Ap
Bram tidak menduga jika selama ini perjuangannya terus dipantau oleh sang papa. Mau terharu tapi rasa sakit hatinya kembali menghampiri. Ya, Bram tak mengatakan apa pun tapi hatinya bergejolak luar biasa."Beliau tetaplah ayah Anda, Tuan." Alex kembali berkata dengan suaranya yang pelan. "Tidak mungkin Tuan besar meninggalkan Anda begitu saja."Bram menghela napas, ia menatap Alex sejenak. Pria berkaos oblong warna hitam itu pun mengangguk."Awalnya aku juga tidak menyangka tapi itulah kenyataannya saat ini," ucap Alex. "Tuan Satrio tidak benar-benar melepaskan Anda, Tuan. Ia hanya ingin menggertak Anda dan menyadarkan Anda. Kukira dulu ia benar-benar marah tapi ... setelah menghubungiku beberapa waktu yang lalu, aku sadar bahwa Tuan Satrio hanya marah sesaat pada Anda.""Lantas aku harus bagaimana?" tanya Bram kemudian. "Tadi dia juga menelponku, memintaku untuk pulang ke Kalimantan bersama Nisa. Tapi ... aku ragu Nisa mau menyetujuinya."Alex menarik napas panjang, menatap lurus ked
"Kau ini bicara apa?!" tandas Bram tidak suka, pria itu lantas menjitak dahi Nisa hingga sang gadis memekik kesakitan."Udah kubilang percaya sama aku," ucapnya lagi. "Kita akan ke sana, membuktikan apa yang akan terjadi. Soal menyukai atau tidak, yang penting kita temui beliau terlebih dahulu."Nisa manggut-manggut, ia menggosok-gosok dahinya yang sakit tanpa berkomentar sama sekali. Bagaimana pun yang dikatakan Bram ada benarnya, ia memang harus kesana untuk mendapatkan kebenaran.Mengalihkan pandangan ke arah warung ibunya, wanita paruh baya itu telah menutup warungnya karena jam sudah menunjuk pukul sembilan malam."Nak Bram tidak pulang?" tanya Ratih seraya menghampiri, ia pun melirik sekilas ke arah Nisa. "Jangan sampai nanti diusir lagi sama Nisa."Bram terkekeh, ia menatap Nisa sejenak lalu menggeleng. "Kali ini mungkin nggak Bu soalnya aku juga nggak ada niatan untuk nginep. Aku ... akan menunggu dia sampai dia menyuruhku menginap dengan sendirinya Bu."Mendengar hal itu Rati
Suasana di ruangan itu terasa berat, namun seiring dengan kata-kata Nisa, beban itu perlahan menguap. Setelah beberapa saat, mereka pun pamit, meninggalkan penjara dan orang-orang yang pernah mencelakakannya.*Dalam perjalanan pulang, Nisa meminta Bram untuk berhenti sebentar di bendungan yang tak jauh dari sana. Bendungan itu memiliki tempat khusus di hatinya. Dulu, sewaktu kecil, ia sering bermain di sini bersama teman-temannya, menikmati masa-masa yang penuh kebebasan dan tawa. Kini, setelah semua yang ia lewati, tempat ini memberinya ketenangan.Mereka duduk di tepi bendungan, melihat air yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Suara gemericik air yang mengalir membawa damai, seolah membersihkan sisa-sisa ketegangan yang tadi masih menggantung."Aku senang semuanya udah selesai," kata Nisa sambil menatap pemandangan di depannya.Bram tersenyum, melingkarkan lengannya di bahu Nisa. "Sekarang kita bisa fokus ke masa depan, tanpa ada beban."Nisa mengangguk, merasakan kedamaia
Setelah seminggu berada di Kalimantan, Nisa dan Bram bersiap kembali ke Jawa. Mereka baru saja melewati minggu pertama sebagai pengantin baru, penuh kebahagiaan dan keintiman. Namun, di balik senyum Nisa, ada perasaan tak sabar yang menggelayut di hatinya.Ia merindukan rumah, lebih tepatnya, merindukan bertemu dengan orang tuanya, ayah dan ibunya yang sudah menanti kepulangannya. Baginya, tidak ada tempat yang lebih nyaman selain berada di dekat mereka, terutama setelah semua yang terjadi pada dirinya. Namun, perasaan lain yang tak kalah kuat adalah keinginan Nisa untuk segera bertemu dengan mereka—musuh-musuh dalam keluarganya. Eyang Harun, Ranti, Sari, dan yang paling dia ingat dengan tajam, Tante Melani.Mereka semua kini berada di penjara, setelah kasus besar yang menimpa keluarga mereka terbongkar. Nisa tak pernah membayangkan dirinya akan menghadapi mereka dalam situasi seperti ini.Dulu, ia selalu menjadi objek ejekan, terutama dari Melani yang tak henti-hentinya menghina Nis
Malu rasanya saat harus keluar dari kamar dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ya, sudah bangun kesiangan, keduanya justru membuat satu keluarga harus menunda makan pagi demi menunggu mereka keluar.Nisa menahan rasa sungkan, ia keluar setelah berhasil melepaskan diri dari Bram lewat jendela kamar. Tentu saja adegan itu direkam bersama-sama seluruh keluarga mengingat kamar pengantin terlihat jelas dari ruang makan."Kau ... baik-baik saja, Nis?" tanya Harun saat melihat Nisa keluar dari jendela dengan mengendap-endap. "Ada apa dengan pintunya? Kenapa tidak lewat pintu saja?"Nisa menoleh ke arah ruang makan, wajahnya langsung memerah padam mengingat mata seluruh keluarga tertuju ke arahnya."Ehm, anu Pak, pintunya—""Sebaiknya kau segera membersihkan diri di kamar tamu. Di sana ada kamar mandi di dalam," potong Satrio tak kalah merasa malu. Ya, sudah jelas jika Nisa berbuat demikian karena ulah anaknya."Mari kita makan terlebih dahulu, biarkan mereka mengurusi kebutuhan mereka sendiri
"Sah!" seru beberapa orang laki-laki di tempat itu dengan lantang. Seruan mereka menandakan bahwa hubungan yang saat ini terjalin sudah sah di mata hukum maupun agama.Kendati mereka sudah pernah ijab kabul, perasaan berdebar masih saja terasa di dalam dada. Saling berpandangan, Bram melempar senyum ke arah Nisa lalu mengikuti arahan sang penghulu untuk bertukar cincin bersama-sama.Setelah menyematkan cincin emas dua puluh empat karat seberat tiga gram di jari manis masing-masing, keduanya lantas berdoa untuk kesejahteraan bersama."Malam ini kau takkan bisa lolos lagi," bisik Bram setelah mereka berdoa dan berpindah tempat ke kursi pelaminan.Nisa hanya diam, pura-pura tak mendengar dengan wajah bersemu merah. Alih-alih menanggapi bisikan Bram yang terdengar mengerikan, ia sengaja mengabaikan dan justru tersenyum pada para tamu yang menyapa dirinya di depan kursi pelaminan."Selamat untuk kalian berdua ya. Semoga hubungan kalian sakinah mawadah warahmah hingga kakek-nenek," ucap seo
"Maaf, Ayah terlalu terharu." Harun melepas pelukan putrinya lalu menyeka airmata yang jatuh di pipi. Ia mencoba tersenyum lalu menyapa Bram dan juga Alex yang berdiri tak jauh dari sisi putrinya."Hai, jumpa lagi dengan kamu," sapa Harun seraya mendekat ke arah Bram lalu menepuk bahunya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis, "tak disangka kita jumpa lagi di tempat ini.""Iya Pak," angguk Bram sedikit enggan untuk berbasa-basi.Suasana sore menjelang malam itu terasa begitu syahdu. Warung gorengan yang ia buka pun lebih ramai daripada biasanya."Bu, saya beli gorengannya dong Bu. Udah habis nih di nampan," protes salah satu pelanggan pada Ratih yang sibuk menyongsong kebahagiaan di dalam keluarganya."Oh, iya, Pak. Tunggu sebentar ya," ucap Ratih menyadari perbuatannya. Wanita itu tersenyum lalu menatap Harun, Nisa, Bram, dan juga Alex secara bergantian."Kalian lanjut ngobrol di teras rumah ya, Ibu mau bikin gorengan dulu buat pelanggan." Ratih berpamitan, ia tersenyum tipis lalu mene
Nisa tak menjawab, meski hatinya cukup berdesir saat Bram mengatakan demikian, ia tidak akan goyah dengan keputusan awal."Oh, ya, Pah, aku akan balik ke pulau Jawa untuk menuntaskan misi yang sudah Nisa beri. Misal nanti sudah complete dan tercapai, Papa bersedia ya menghadiri ijab kabul kami," ucap Bram mengalihkan pandangan ke arah Satrio yang masih sibuk dengan menu makan siangnya."Ijab kabul?" ulang Satrio mengerutkan kening. "Bukankah kalian ini sudah sah nikah?"Bram tersenyum, ia menoleh sekilas ke arah Nisa lalu kembali melabuhkan pandangan ke arah papanya."Nisa minta ijab kabul-nya diulang Pa. Katanya kalo aku berhasil menemukan ayahnya maka ia bersedia menjalankan tugasnya sebagai seorang istri," cerita Bram dengan riang membuat Nisa mendadak salah tingkah. "Tolong Pa, iyakan saja. Papa tahu 'kan rasanya jadi pria dewasa yang merindukan lautan asmara sekian lamanya."Satrio manggut-manggut, ia menunduk lagi sambil menikmati makanannya. "Lakukan saja, aku akan mendukungmu
"Kamu nggak bisa kembali segampang itu Mas," tandas Ratih dengan tatapan serius. "Aku ini bukan permen yang bila kamu ingin, kamu bisa memakaiku kembali kapanpun kamu mau."Harun terdiam, ia mengusap wajahnya dengan satu tangan. Ada perasaan menyesal yang kini terlihat di wajahnya."Meski aku belum mengajukan gugatan tapi ... kau pergi selama lima tahun Mas," ucap Ratih. "Selama itu kamu sama sekali tidak mengabarkan kami dan juga tidak memberi nafkah. Menurutmu, apa pantas kamu kembali dengan mudah?!"Harun masih diam, ia mencerna semua ucapan Ratih dengan seksama. Kali ini ia merasa malu karena sudah menelantarkan keluarganya sedemikian jauh."Aku minta maaf Rat," ucap Harun lirih sambil tertunduk. "Awalnya aku hanya ingin menghindari utang berikut bunganya tapi ... sepertinya kekhilafanku sudah telanjur jauh."Ratih mengalihkan pandangan ke sisi lain, tak ada ucapan yang ia katakan. Keduanya diam beberapa saat seolah-olah mencari jalan keluar atas apa yang sudah mereka bahas kali i
Sementara itu Ratih yang sendirian di rumah tetap berusaha untuk menjalankan bisnis gorengan yang selama ini sudah ia rintis. Walau tidak ada Nisa, ia yakin bahwa ia mampu menjalankan warungnya dengan lancar tanpa ada gangguan dari siapa pun.Karena Ratih dan Nisa cukup ramah di lingkungan itu, sudah pasti mereka sangat dikenal warga sekitar. Tak hanya itu, kepribadian yang baik mengantarkan mereka hidup rukun dan juga saling tolong menolong satu sama lain.Sore itu, seperti biasa Ratih menggoreng beberapa jenis makanan di wajan besar yang sudah dipenuhi dengan minyak goreng panas. Satu per satu adonan pisang ia masukkan, beberapa orang yang jajan pun mulai merapat di warung kecil tersebut."Bu, beli gorengan dong." Seorang pria datang dengan memakai masker dan topi hitam. Ia juga memakai jaket kulit berwarna serupa."Iya Pak, gorengan apa?" tanya Ratih sambil menatap pria itu. Sayangnya ia tertunduk dan tertutup topi sehingga Ratih sendiri tidak begitu memperhatikannya."Pisang sama
"Dasar bocah tengik!" Satrio menghardik sambil menoyor kepala Bram sedikit lebih keras. Pria itu datang tiba-tiba, membuat Bram mengaduh kesakitan lalu melepaskan tubuh Nisa hingga terhuyung mundur."Tak seharusnya kamu melakukan hal ini di ruang makan," tukasnya lagi sambil berjalan menuju ke salah satu kursi di ruang makan. "Tahan dirimu untuk beberapa jam lagi. Dasar anak muda!"Bram mengusap kepalanya sementara itu Nisa hanya tertunduk dengan wajah merona merah."Ayo duduk, mau tunggu siapa lagi, hah?!" Satrio menginstruksi, meminta keduanya agar berkumpul di meja makan.Bram dan Nisa lantas menghampiri Satrio dan duduk di sampingnya. Beberapa pelayan mendatangi mereka dan mulai melayani apa saja yang menjadi kebutuhan mereka."Jadi ... apa rencana kalian setelah ini?" tanya Satrio seraya memotong steak daging sapi kualitas premium di piringnya."Pulang—""Liburan—"Nisa dan Bram saling pandang, mereka mengucapkan kata-kata hampir bersamaan. Hal itu membuat Satrio mendongak lalu m