"Tapi Mas—""Hissh ... ssst ... udah, jangan banyak bicara lagi. Aku mau ikut meeting, kamu keluarlah," seru Bram menolak untuk bicara dengan Nisa. Pria itu bahkan pura-pura mengalihkan perhatiannya pada laptop yang sudah terbuka di hadapannya.Nisa hanya diam, ia menghela napas panjang lantas berbalik badan. Saat ini untuk bicara serius dengan Bram sangatlah sulit, terlebih saat ia membahas kembali tentang kontrak yang sudah ia sepakati dengan Bram. Benarkah pria itu tidak ingin mengakhirinya? Pantaskah Nisa bersenang hati ketika mendengarnya?Dering ponsel menghentikan langkah Nisa. Gadis berhijab pasmina warna hitam itu merogoh saku celana panjangnya dan melihat ke arah ponsel. Matanya yang sayu mendadak lebar manakala tahu siapa yang menghubunginya saat ini.Bram yang melihat Nisa terpaku ditempat ditambah lagi dering ponsel yang mencuri perhatian membuat Bram menoleh seketika. Penasaran, Bram beranjak dari duduknya lalu menghampiri Nisa."Dari siapa?" tanya Bram di samping Nisa s
Nisa tak punya cara untuk menahan ibunya. Wanita paruh baya itu sudah telanjur kuat dengan pendiriannya. Bagaimana pun jika dipikir-pikir, yang dikatakan Ratih memang benar. Semua masalah ini harus ada titik terang, tidak boleh berlarut-larut hingga menyebabkan sesuatu yang tentunya akan membebani satu sama lain.Masuk ke dalam lift, Nisa dan ibunya hanya diam. Tentu saja kata maaf tidak cukup untuk menghapus kekecewaan yang telanjur mendiami hati Ratih. Sesungguhnya ia sangat senang memiliki menantu Bram, terlepas dia orang kaya atau tidak, Ratih merasa bahwa Bram adalah sosok yang pas untuk membimbing putrinya.Lamunan-lamunan indah itu mengabur begitu saja setelah lift sampai pada tujuannya. Ratih berjalan terlebih dahulu, dibelakangnya ada Nisa yang mengekor.Menghampiri kamar Bram, wanita itu menghela napas sejenak lalu memencet bel. Diabaikannya keberadaan Nisa yang terus berdiri di belakangnya."Bu, apa nggak sebaiknya kita bicara nanti saja? Ehm, Mas Bram ... Mas Bram sedang m
"Wah, bagus itu." Bram berseru, wajahnya mendadak bersinar, "kita temui saja beliau. Aku juga ingin tahu seperti apa wajah ayahmu sekalian minta doa restu soal hubungan kita."Nisa menatap Bram, wajahnya masih sendu seperti tadi. Ratih menghela napas, ia bangkit berdiri dari duduknya."Nak Bram, kalo memang nggak jodoh jangan dipaksakan." Ratih berkata kemudian, "hubungan kalian dari awal sudah dipaksakan, Ibu yakin baik kamu maupun Nisa pasti tertekan. Lebih baik sudahi saja Nak, jangan berpura-pura lagi. Besok kami akan pergi dari hotel ini, kami tidak ingin menumpang terus sama kamu.""Tapi Bu, aku dan Nisa—""Sudah Nis, ayo kita pergi." Ratih menginstruksi Nisa untuk meninggalkan ruang kamar milik Bram. "Biarkan Nak Bram istirahat, maaf sudah mengganggu waktumu Nak. Permisi."Ratih lantas menggandeng tangan Nisa untuk pergi dari ruangan itu. Bram ingin mencegah namun sepertinya situasi tidak memungkinkan.Sementara itu Nisa pergi ke kamar ibunya. Ia bingung karena ada pesan yang m
Nisa membaca kembali pesan yang dikirim ayahnya siang itu. Ia mencoba mencari Berkah Resto, nama restoran yang akan menjadi tempat pertemuan mereka kali ini. Mungkin malu sama istri mudanya sehingga ayah Nisa memilih untuk merahasiakan hal ini dan meminta Nisa untuk datang sendiri.Tanpa merasa curiga atau apa pun, berbekal doa restu dari ibunya ia lantas pergi meninggalkan hotel dan bergegas menuju ke tempat yang sudah direncanakan.Dengan menggunakan ojek online, Nisa kini telah sampai di depan Berkah Resto. Menatap bangunan besar yang selalu ramai di depan sana, jantung Nisa berdegup cukup kencang.Setelah lima tahun berpisah, pertemuan kali ini dirasa sangat mendebarkan. Seperti apa wajah ayahnya sekarang? Apakah masih terlihat gagah sama seperti yang ada di foto atau ... justru sebaliknya, tua dan ringkih?Nisa merogoh ponsel dari tas selempang yang ia bawa. Sebuah pesan kembali mengalihkan perhatiannya dari keramaian resto.Saat ia membaca pesan tiba-tiba seseorang membekap mulu
"Hahaha ... ide Eyang memang brilian," puji Sari sambil tertawa-tawa. Tangan gadis itu memegang ponsel dan melihat foto-foto yang sudah dikirim para preman bayaran beberapa saat yang lalu dengan wajah puas."Coba saja ini beneran, hmm ... kayak apa wajah Bram selanjutnya," ucap Sari mengimbuhi.Eyang Harun hanya tersenyum, ia masih duduk di kursi goyangnya dengan santai. Sejak semula ia sudah menduga bahwa rencananya kali ini pasti tidak akan gagal.Meminta Melani untuk menyewa preman bayaran, pada akhirnya nasib Nisa yang begitu beruntung akan jadi bumerang sekarang."Apakah kau sudah mengirim foto-foto itu pada Bram?" tanya Eyang Harun sambil menoleh ke arah Sari, memastikan jika rencana selanjutnya akan berhasil."Sudah Eyang, aku yakin wajah Bram pasti terbakar karena foto-foto ini." Sari kembali tertawa, tidak menyangka jika eyangnya memiliki ide segila ini."Siapa suruh jadi orang begitu sombong," ucap Ranti menimpali. Wanita itu datang dari dapur membawa beberapa cangkir minuma
"Apa?" Nisa tampak kebingungan. Ia terpana dengan foto-foto dirinya yang sedang bertela-njang bulat dan disampingnya ada beberapa pria yang tengah tertidur juga tanpa bu-sana. Ia menggeleng sambil memegangi kepalanya yang masih pusing."Tidak, tidak mungkin." Nisa mendesis, matanya langsung berkaca-kaca. Dengan cepat ia memeriksa tubuhnya, beberapa detik kemudian ia menarik napas lega karena pakaiannya masih utuh dan tidak terbuka."Tidak mungkin Mas, tidak mungkin aku melakukan hal ini." Nisa langsung menangis sesenggukan, antara bingung, takut, dan juga kacau."Buktinya ada foto ini Nis," desak Bram terbakar api cemburu. "Apa aku perlu menggunduli rambutku dulu dan juga menumbuhkan kumisku agar sama seperti seleramu, hah?!""Mas, aku tidak mungkin melakukan hal tidak senonoh seperti ini," elak Nisa dengan cucuran air mata. Diam beberapa saat ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya beberapa saat yang lalu."Aku ... aku dijebak seseorang Mas," ungkap Nisa kemudian. "S
"Ada seseorang yang sengaja melakukan hal ini untuk mengadu domba," lanjut Bram dengan tatapan yakin."Ya, pergerakannya sangat cepat." Alex menganggukkan kepala lalu memandang ke arah sisi lain. "Aku yakin pasti ada seseorang yang membencimu dan juga Nisa."Bram dan Alex terdiam, larut dengan pemikiran mereka masing-masing. Alex lalu menoleh ke arah Bram, pria itu menatap tajam lagi serius."Apa?" tanya Bram mendadak salah tingkah manakala Alex menatapnya demikian."Ehm, apa kau tidak curiga dengan keluarga eyangnya Tuan?" Alex bertanya. "Sejauh ini, hubunganmu dengan Nisa hanya mereka yang tahu sedetail apa. Ditambah lagi beberapa hari yang lalu Tuan mengirimkan sampah piring pada mereka. Apa ... Apa tidak mungkin mereka membalas dendam atas semua ini?"Bram terdiam, ia mencerna ucapan Alex dengan penuh seksama. Sejauh ini mereka tidak memiliki masalah dengan siapa pun kecuali keluarga Eyang Harun. Terakhir kejadian, Bram memang mengirimkan banyak piring sebagai ajang balas dendam.
"Kau dan papa ... sangat berarti buatku," ujar Bram dengan mimik wajah sendu. Selama ini pribadi Bram yang cengengesan seolah mampu menutupi kesedihan demi kesedihan yang pria itu rasakan. Hanya baru kali ini Bram tidak bisa menutupinya lagi."Kau bicara apa," ucap Nisa pura-pura riang. "Kita hanya terikat kontrak. Empat bulan lagi masa kontrak kita akan habis. Sudah jangan baper, lambat laun kau juga akan terbiasa tanpa aku.""Justru itu, kau sedang bicara apa sekarang." Bram membalas dengan nada sedikit naik. "Siapa bilang aku akan menyetujui perpisahan diantara kita, hah?! Aku selamanya tidak akan pernah melepaskan kamu."Nisa terdiam, ia terpaku dengan ucapan Bram barusan. Andai saja pertemuan mereka adalah pertemuan yang normal-normal saja, mungkin hubungan mereka tidak akan serumit ini."Sudahlah, bagaimana pun papamu jauh lebih penting daripada aku." Nisa menepis, ia tidak ingin ge-er hanya gara-gara Bram memberinya ketulusan."Ehm, memangnya papamu marah kenapa? Apakah ada hub
Suasana di ruangan itu terasa berat, namun seiring dengan kata-kata Nisa, beban itu perlahan menguap. Setelah beberapa saat, mereka pun pamit, meninggalkan penjara dan orang-orang yang pernah mencelakakannya.*Dalam perjalanan pulang, Nisa meminta Bram untuk berhenti sebentar di bendungan yang tak jauh dari sana. Bendungan itu memiliki tempat khusus di hatinya. Dulu, sewaktu kecil, ia sering bermain di sini bersama teman-temannya, menikmati masa-masa yang penuh kebebasan dan tawa. Kini, setelah semua yang ia lewati, tempat ini memberinya ketenangan.Mereka duduk di tepi bendungan, melihat air yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Suara gemericik air yang mengalir membawa damai, seolah membersihkan sisa-sisa ketegangan yang tadi masih menggantung."Aku senang semuanya udah selesai," kata Nisa sambil menatap pemandangan di depannya.Bram tersenyum, melingkarkan lengannya di bahu Nisa. "Sekarang kita bisa fokus ke masa depan, tanpa ada beban."Nisa mengangguk, merasakan kedamaia
Setelah seminggu berada di Kalimantan, Nisa dan Bram bersiap kembali ke Jawa. Mereka baru saja melewati minggu pertama sebagai pengantin baru, penuh kebahagiaan dan keintiman. Namun, di balik senyum Nisa, ada perasaan tak sabar yang menggelayut di hatinya.Ia merindukan rumah, lebih tepatnya, merindukan bertemu dengan orang tuanya, ayah dan ibunya yang sudah menanti kepulangannya. Baginya, tidak ada tempat yang lebih nyaman selain berada di dekat mereka, terutama setelah semua yang terjadi pada dirinya. Namun, perasaan lain yang tak kalah kuat adalah keinginan Nisa untuk segera bertemu dengan mereka—musuh-musuh dalam keluarganya. Eyang Harun, Ranti, Sari, dan yang paling dia ingat dengan tajam, Tante Melani.Mereka semua kini berada di penjara, setelah kasus besar yang menimpa keluarga mereka terbongkar. Nisa tak pernah membayangkan dirinya akan menghadapi mereka dalam situasi seperti ini.Dulu, ia selalu menjadi objek ejekan, terutama dari Melani yang tak henti-hentinya menghina Nis
Malu rasanya saat harus keluar dari kamar dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ya, sudah bangun kesiangan, keduanya justru membuat satu keluarga harus menunda makan pagi demi menunggu mereka keluar.Nisa menahan rasa sungkan, ia keluar setelah berhasil melepaskan diri dari Bram lewat jendela kamar. Tentu saja adegan itu direkam bersama-sama seluruh keluarga mengingat kamar pengantin terlihat jelas dari ruang makan."Kau ... baik-baik saja, Nis?" tanya Harun saat melihat Nisa keluar dari jendela dengan mengendap-endap. "Ada apa dengan pintunya? Kenapa tidak lewat pintu saja?"Nisa menoleh ke arah ruang makan, wajahnya langsung memerah padam mengingat mata seluruh keluarga tertuju ke arahnya."Ehm, anu Pak, pintunya—""Sebaiknya kau segera membersihkan diri di kamar tamu. Di sana ada kamar mandi di dalam," potong Satrio tak kalah merasa malu. Ya, sudah jelas jika Nisa berbuat demikian karena ulah anaknya."Mari kita makan terlebih dahulu, biarkan mereka mengurusi kebutuhan mereka sendiri
"Sah!" seru beberapa orang laki-laki di tempat itu dengan lantang. Seruan mereka menandakan bahwa hubungan yang saat ini terjalin sudah sah di mata hukum maupun agama.Kendati mereka sudah pernah ijab kabul, perasaan berdebar masih saja terasa di dalam dada. Saling berpandangan, Bram melempar senyum ke arah Nisa lalu mengikuti arahan sang penghulu untuk bertukar cincin bersama-sama.Setelah menyematkan cincin emas dua puluh empat karat seberat tiga gram di jari manis masing-masing, keduanya lantas berdoa untuk kesejahteraan bersama."Malam ini kau takkan bisa lolos lagi," bisik Bram setelah mereka berdoa dan berpindah tempat ke kursi pelaminan.Nisa hanya diam, pura-pura tak mendengar dengan wajah bersemu merah. Alih-alih menanggapi bisikan Bram yang terdengar mengerikan, ia sengaja mengabaikan dan justru tersenyum pada para tamu yang menyapa dirinya di depan kursi pelaminan."Selamat untuk kalian berdua ya. Semoga hubungan kalian sakinah mawadah warahmah hingga kakek-nenek," ucap seo
"Maaf, Ayah terlalu terharu." Harun melepas pelukan putrinya lalu menyeka airmata yang jatuh di pipi. Ia mencoba tersenyum lalu menyapa Bram dan juga Alex yang berdiri tak jauh dari sisi putrinya."Hai, jumpa lagi dengan kamu," sapa Harun seraya mendekat ke arah Bram lalu menepuk bahunya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis, "tak disangka kita jumpa lagi di tempat ini.""Iya Pak," angguk Bram sedikit enggan untuk berbasa-basi.Suasana sore menjelang malam itu terasa begitu syahdu. Warung gorengan yang ia buka pun lebih ramai daripada biasanya."Bu, saya beli gorengannya dong Bu. Udah habis nih di nampan," protes salah satu pelanggan pada Ratih yang sibuk menyongsong kebahagiaan di dalam keluarganya."Oh, iya, Pak. Tunggu sebentar ya," ucap Ratih menyadari perbuatannya. Wanita itu tersenyum lalu menatap Harun, Nisa, Bram, dan juga Alex secara bergantian."Kalian lanjut ngobrol di teras rumah ya, Ibu mau bikin gorengan dulu buat pelanggan." Ratih berpamitan, ia tersenyum tipis lalu mene
Nisa tak menjawab, meski hatinya cukup berdesir saat Bram mengatakan demikian, ia tidak akan goyah dengan keputusan awal."Oh, ya, Pah, aku akan balik ke pulau Jawa untuk menuntaskan misi yang sudah Nisa beri. Misal nanti sudah complete dan tercapai, Papa bersedia ya menghadiri ijab kabul kami," ucap Bram mengalihkan pandangan ke arah Satrio yang masih sibuk dengan menu makan siangnya."Ijab kabul?" ulang Satrio mengerutkan kening. "Bukankah kalian ini sudah sah nikah?"Bram tersenyum, ia menoleh sekilas ke arah Nisa lalu kembali melabuhkan pandangan ke arah papanya."Nisa minta ijab kabul-nya diulang Pa. Katanya kalo aku berhasil menemukan ayahnya maka ia bersedia menjalankan tugasnya sebagai seorang istri," cerita Bram dengan riang membuat Nisa mendadak salah tingkah. "Tolong Pa, iyakan saja. Papa tahu 'kan rasanya jadi pria dewasa yang merindukan lautan asmara sekian lamanya."Satrio manggut-manggut, ia menunduk lagi sambil menikmati makanannya. "Lakukan saja, aku akan mendukungmu
"Kamu nggak bisa kembali segampang itu Mas," tandas Ratih dengan tatapan serius. "Aku ini bukan permen yang bila kamu ingin, kamu bisa memakaiku kembali kapanpun kamu mau."Harun terdiam, ia mengusap wajahnya dengan satu tangan. Ada perasaan menyesal yang kini terlihat di wajahnya."Meski aku belum mengajukan gugatan tapi ... kau pergi selama lima tahun Mas," ucap Ratih. "Selama itu kamu sama sekali tidak mengabarkan kami dan juga tidak memberi nafkah. Menurutmu, apa pantas kamu kembali dengan mudah?!"Harun masih diam, ia mencerna semua ucapan Ratih dengan seksama. Kali ini ia merasa malu karena sudah menelantarkan keluarganya sedemikian jauh."Aku minta maaf Rat," ucap Harun lirih sambil tertunduk. "Awalnya aku hanya ingin menghindari utang berikut bunganya tapi ... sepertinya kekhilafanku sudah telanjur jauh."Ratih mengalihkan pandangan ke sisi lain, tak ada ucapan yang ia katakan. Keduanya diam beberapa saat seolah-olah mencari jalan keluar atas apa yang sudah mereka bahas kali i
Sementara itu Ratih yang sendirian di rumah tetap berusaha untuk menjalankan bisnis gorengan yang selama ini sudah ia rintis. Walau tidak ada Nisa, ia yakin bahwa ia mampu menjalankan warungnya dengan lancar tanpa ada gangguan dari siapa pun.Karena Ratih dan Nisa cukup ramah di lingkungan itu, sudah pasti mereka sangat dikenal warga sekitar. Tak hanya itu, kepribadian yang baik mengantarkan mereka hidup rukun dan juga saling tolong menolong satu sama lain.Sore itu, seperti biasa Ratih menggoreng beberapa jenis makanan di wajan besar yang sudah dipenuhi dengan minyak goreng panas. Satu per satu adonan pisang ia masukkan, beberapa orang yang jajan pun mulai merapat di warung kecil tersebut."Bu, beli gorengan dong." Seorang pria datang dengan memakai masker dan topi hitam. Ia juga memakai jaket kulit berwarna serupa."Iya Pak, gorengan apa?" tanya Ratih sambil menatap pria itu. Sayangnya ia tertunduk dan tertutup topi sehingga Ratih sendiri tidak begitu memperhatikannya."Pisang sama
"Dasar bocah tengik!" Satrio menghardik sambil menoyor kepala Bram sedikit lebih keras. Pria itu datang tiba-tiba, membuat Bram mengaduh kesakitan lalu melepaskan tubuh Nisa hingga terhuyung mundur."Tak seharusnya kamu melakukan hal ini di ruang makan," tukasnya lagi sambil berjalan menuju ke salah satu kursi di ruang makan. "Tahan dirimu untuk beberapa jam lagi. Dasar anak muda!"Bram mengusap kepalanya sementara itu Nisa hanya tertunduk dengan wajah merona merah."Ayo duduk, mau tunggu siapa lagi, hah?!" Satrio menginstruksi, meminta keduanya agar berkumpul di meja makan.Bram dan Nisa lantas menghampiri Satrio dan duduk di sampingnya. Beberapa pelayan mendatangi mereka dan mulai melayani apa saja yang menjadi kebutuhan mereka."Jadi ... apa rencana kalian setelah ini?" tanya Satrio seraya memotong steak daging sapi kualitas premium di piringnya."Pulang—""Liburan—"Nisa dan Bram saling pandang, mereka mengucapkan kata-kata hampir bersamaan. Hal itu membuat Satrio mendongak lalu m