"Entahlah," ucap Bram dengan pasrah. Ia menarik napas panjang lalu berbalik badan. Berjalan meninggalkan depan kamar, Bram mencoba menjauh dan mencari ketenangan di salah satu sudut kamar hotel.
"Aku ... aku hanya belum siap untuk berpisah dengannya," ucap Bram kemudian. Pria itu duduk di salah satu sofa sudut hotel dengan perasaan terlihat resah, ia mendongak ke arah Alex yang mengikuti langkahnya."Menurutmu apakah ini normal?" tanya Bram pada Alex dengan wajah harap-harap cemas.Alex diam beberapa menit, ia balas menatap Bram lalu menarik napas. "Tidak normal jika kamu tidak memiliki perasaan untuknya."Bram menggeleng, ia tertunduk dengan wajah muram. "Kau tahu, enam bulan hidup bersamanya, aku mengerti apa itu kesabaran dan juga kekeluargaan. Dari Nisa, aku belajar banyak bagaimana menahan diri serta emosi yang meluap. Dari Nisa aku juga belajar bagaimana rasanya bertahan dalam situasi sulit menghadapi keluarga gila seperti keluarga Nisa.""Dasar bocah tengik!" Satrio langsung menoyor kepala Bram dengan kesal. Ia menoleh ke belakang sejenak lalu kembali menatap putranya. "Kau kira papamu ini penjahat apa?! Aku baru saja berpamitan sama dia. Satu jam lagi aku harus melakukan penerbangan ke Kalimantan." Bram terdiam, hanya memanyunkan bibir sambil manggut-manggut. Mata Satrio kembali melebar, ia mengangkat tangan dengan kekesalan yang kian menjadi. "Hisssh ... kau ini anak macam apa, hah?! Papamu mau pergi tapi kau sama sekali tidak mengucapkan kata perpisahan untukku." Bram mengerutkan kening, ia menatap Satrio dengan tatapan biasa. "Kau hanya kembali pulang ke Kalimantan Papa, bukan kembali ke pangkuan Illahi." "Haish ... Kau—" Satrio nyaris memukul namun ditahannya tangan itu lalu menggeleng. "Sepertinya aku harus segera kembali. Dekat denganmu hanya akan membuat darah tinggiku naik. Haish ... Alex, antar aku perg
Alex hanya diam, sesekali menatap wajah tuan besar dari arah kaca depan. Bagi dirinya, tidak ada pikiran untuk meragukan Bram. Sudah lama bersama, Alex yakin jika Bram kali ini tidak akan bercanda seperti yang sudah-sudah. "Ayo percepat lajunya, aku takut ketinggalan pesawat." Satrio menitahkan lalu menatap ke arah depan. Alex tak punya pilihan untuk menolak, dengan berat hati ia menambah laju kecepatan mobilnya dan bergegas menuju ke bandara. Kurang lebih setengah jam, mobil mewah warna hitam itu berhenti di depan bandara internasional. Membuka pintu mobil, Alex mempersilakan sang tuan besar untuk turun dari dalam mobil. "Sudah, sekarang kau balik saja. Aku masuk sendiri tidak apa-apa," ucap Satrio pada Alex. "Tolong jaga Bram, anakku itu sangat ceroboh. Kau bisa lapor padaku jika dia membuat ulah." "Baik Tuan," angguk Alex dengan patuh. Ia membungkukkan badan untuk memberi penghormatan pada a
"Sudah, Papa tahu kok kecerobohanmu kayak apa." Satrio berkata dengan tenang, ia lantas merogoh saku celananya dan mengeluarkan sejumlah uang merah. "Ada satu juta, kamu gunain buat ganti ban oplet yang kamu pinjam ya."Bram menoleh ke arah Satrio, wajahnya memelas bukan main. Dengan perasaan sungkan, Bram menerima uang itu karena ia tidak membawa uang sepeser pun gara-gara gugup tadi. Tersenyum lucu, Satrio mengusap rambut putranya dengan lembut."Jangan remehkan Papa, dalam keadaan genting pun terbukti bahwa kamu masih membutuhkan Papa," ucap Satrio pelan. Ia menarik napas lalu memandang Bram sekali lagi, "Papa balik dulu ya. Jaga dirimu baik-baik."Setelah berpamitan pria paruh baya itu melanjutkan langkahnya memasuki bandara. Pesawat yang akan ia tumpangi sebentar lagi akan tinggal landas dan mengantarkan ia kembali ke istana kejayaan."Tuan, ada yang bisa saya bantu?" Alex mendekat ke arah Bram yang sedari tadi hanya berdiri terpaku sambil memandangi oplet tua yang ia rampas dari
"Duh, Nisa, sampai kapan kamu kuat ngejomblo hah?! Tuh, Sari, kemarin ada rencana bakal dilamar sama pacarnya yang kerja di perairan. Kamunya kapan?" Eyang Harun menyindir Nisa yang sedari tadi sibuk mengunyah sarapan paginya."Kamu itu cucu tertua, seharusnya jangan sampai dilangkahi adik-adikmu," imbuhnya lagi sambil geleng-geleng. "Cari pasangan yang sepadan, kalo bisa cari yang kaya. Pasangan kaya itu bisa mengangkat derajat keluarga kita.""Yang dikatakan Eyang bener," ucap Sari ikut menimpali. Ia mengunyah makanan hingga berdecap sambil menatap ke arah Nisa."Pasangan kaya memang sangat menolong, buktinya Eyang sendiri dulu juga bukan apa-apa. Setelah dapat kakek yang pensiunan tentara, lihatlah, hidup kita enak-enak aja sampai sekarang."Jeda sesaat, suasana ruang makan kembali memanas saat Ranti—ibunda Sari turut berpadu dalam obrolan tersebut."Yang penting kamu perbaiki dulu penampilan kamu," tukasnya dengan nada sedikit sinis. "Mana ada pria yang mau sama cewek berjilbab le
"Bekerja?" ulang pria itu seolah terdengar asing. "Dua puluh lima juta? Tidak, tidak. Jangan bilang kau memintaku untuk mencuri barang.""Bu-bukan, aku tidak memintamu untuk mencuri." Nisa buru-buru menepis, ia menggoyangkan kedua tangannya di depan pria itu. "Aku, aku hanya ingin meminta jasamu.""Jasa? Jasa apalagi?" ucap pria itu mengerutkan kening. "Aku ini hanya gelandangan, jasa apalagi yang kau butuhkan."Pria berambut gondrong itu mencomot roti lagi lalu mengunyahnya. Diam beberapa saat, ia tercekat lalu menoleh cepat ke arah Nisa. Tatapan matanya menyorot tajam seolah ia tengah mencurigai sesuatu."Jangan bilang kalo jasa yang kamu maksud itu adalah ... memuaskan dirimu. Astaghfirullah, istighfar Neng." Pria itu mencuramkan alis, sengaja mengurut dada ketika membayangkan apa yang telah ia pikirkan barusan."Hush, ngawur kamu!" Nisa menepis, wajahnya kali ini memerah padam. "Aku tidak se-maniak itu.""Lantas apa? Aku ini hanya gelandangan, pekerjaan apa yang membuatmu harus me
"Tentu saja setelah kau merubah penampilanmu," ucap Nisa dengan serius. Bram tertawa kala itu, tawa yang baru Nisa dengar setelah hampir dua hari mengamatinya dari jauh."Ya, aku tahu." Bram mengangguk, "keluargamu tentu saja akan mencemoohmu jika tahu calon suamimu berand-alan seperti ini."Nisa menarik napas, ia mengambil sejumlah uang merah dari dalam dompetnya lalu menyerahkannya pada Bram."Ini uang untuk mencukur rambutmu, gunakan sisanya untuk membeli baju yang layak untuk kau pakai. Soal bertemu keluargaku ... nanti kita bicarakan lagi," ucap Nisa lantas beranjak berdiri.Wanita itu mengambil surat perjanjian dan memasukkannya ke dalam tas tangan yang ia bawa."Baiklah, aku akan pergi sekarang. Ingat, kau sudah terikat kontrak denganku jadi ... beritikad baiklah dan jangan kabur dariku.""Siap Tuan putri," ucap Bram lalu menghormat ke arah Nisa.Wanita itu lantas pergi meninggalkan Bram, tanpa lupa mengucapkan salam ia bergegas menghindar dari keramaian taman bunga.Sementara
"Tidak ada malam pertama," tandas Nisa dengan mata sedikit melotot. "Kita hanya saling bekerjasama. Tidak ada agenda malam pertama dalam pernikahan kita.""Oh, mana bisa? Aku akan menikahimu secara sah tapi ... kenapa harus begitu?" Bram mengerutkan kening."Ya, memang harus begitu. Semuanya sudah aku atur dalam surat perjanjian. Jika kamu masih tak percaya, silakan baca ulang surat perjanjian yang aku kopi untukmu.""Eh? Apa iya?" Bram masih tak percaya, ia lantas menepuk jidat. "Waduh, rugi bandar nih!""Memangnya apa? Kamu mengharapkan hal itu, hah?! Mana boleh," ucap Nisa mencuramkan alis. Ia menggelengkan kepala sambil berdecap, "jangan bermimpi. Kita ini hanya pura-pura. Sudah, sebaiknya kamu pulang saja. Ingat sering-seringlah main ke rumah, agar mereka percaya bahwa kamu adalah calon suamiku yang sesungguhnya."***"Hai, hello, Nis? Kok ngelamun sih?!" Bram menjentikkan jari-jarinya di depan wajah Nisa beberapa kali.Gadis itu tersentak, ia segera menguasai diri setelah kata-k
"Sebenarnya kami hanya ingin kalian kembali ke sini," ucap Bulik Ranti tanpa berani mendongakkan wajah. "Tanpa ada kalian, rumah ini rasanya seperti sepi.""Ah, masa?" Bram tak percaya. Dengan gaya selengekannya, ia bertopang dagu dan terus menatap bulik dari istrinya tersebut."Iya," ucap Ranti mengangguk. "Rumah ini terasa sepi, tidak ada lagi sosok yang rajin bersih-bersih, tidak ada lagi sosok yang tergesa-gesa setiap pagi. Semua itu ... semua itu mendadak hilang dari pandangan. Kami yakin, kami merasa kehilangan dirimu Nisa.""Oh, hanya karena itu ya." Bram manggut-manggut, "itu bukan karena rasa kehilangan Bulik. Aku tahu, kalian merasa rugi karena tidak ada lagi sosok yang bisa kalian bully. Nisa orangnya pendiam, nurutan, tentu saja kalian merasa kehilangan."Seluruh anggota keluarga terdiam, mendadak menahan kesal karena Bram selalu tahu apa yang ada dalam benak mereka sekarang."Istriku selalu rajin, selalu bersih-bersih, itulah kenapa kalian merasa kurang. Ya, kurang karena
Suasana di ruangan itu terasa berat, namun seiring dengan kata-kata Nisa, beban itu perlahan menguap. Setelah beberapa saat, mereka pun pamit, meninggalkan penjara dan orang-orang yang pernah mencelakakannya.*Dalam perjalanan pulang, Nisa meminta Bram untuk berhenti sebentar di bendungan yang tak jauh dari sana. Bendungan itu memiliki tempat khusus di hatinya. Dulu, sewaktu kecil, ia sering bermain di sini bersama teman-temannya, menikmati masa-masa yang penuh kebebasan dan tawa. Kini, setelah semua yang ia lewati, tempat ini memberinya ketenangan.Mereka duduk di tepi bendungan, melihat air yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Suara gemericik air yang mengalir membawa damai, seolah membersihkan sisa-sisa ketegangan yang tadi masih menggantung."Aku senang semuanya udah selesai," kata Nisa sambil menatap pemandangan di depannya.Bram tersenyum, melingkarkan lengannya di bahu Nisa. "Sekarang kita bisa fokus ke masa depan, tanpa ada beban."Nisa mengangguk, merasakan kedamaia
Setelah seminggu berada di Kalimantan, Nisa dan Bram bersiap kembali ke Jawa. Mereka baru saja melewati minggu pertama sebagai pengantin baru, penuh kebahagiaan dan keintiman. Namun, di balik senyum Nisa, ada perasaan tak sabar yang menggelayut di hatinya.Ia merindukan rumah, lebih tepatnya, merindukan bertemu dengan orang tuanya, ayah dan ibunya yang sudah menanti kepulangannya. Baginya, tidak ada tempat yang lebih nyaman selain berada di dekat mereka, terutama setelah semua yang terjadi pada dirinya. Namun, perasaan lain yang tak kalah kuat adalah keinginan Nisa untuk segera bertemu dengan mereka—musuh-musuh dalam keluarganya. Eyang Harun, Ranti, Sari, dan yang paling dia ingat dengan tajam, Tante Melani.Mereka semua kini berada di penjara, setelah kasus besar yang menimpa keluarga mereka terbongkar. Nisa tak pernah membayangkan dirinya akan menghadapi mereka dalam situasi seperti ini.Dulu, ia selalu menjadi objek ejekan, terutama dari Melani yang tak henti-hentinya menghina Nis
Malu rasanya saat harus keluar dari kamar dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ya, sudah bangun kesiangan, keduanya justru membuat satu keluarga harus menunda makan pagi demi menunggu mereka keluar.Nisa menahan rasa sungkan, ia keluar setelah berhasil melepaskan diri dari Bram lewat jendela kamar. Tentu saja adegan itu direkam bersama-sama seluruh keluarga mengingat kamar pengantin terlihat jelas dari ruang makan."Kau ... baik-baik saja, Nis?" tanya Harun saat melihat Nisa keluar dari jendela dengan mengendap-endap. "Ada apa dengan pintunya? Kenapa tidak lewat pintu saja?"Nisa menoleh ke arah ruang makan, wajahnya langsung memerah padam mengingat mata seluruh keluarga tertuju ke arahnya."Ehm, anu Pak, pintunya—""Sebaiknya kau segera membersihkan diri di kamar tamu. Di sana ada kamar mandi di dalam," potong Satrio tak kalah merasa malu. Ya, sudah jelas jika Nisa berbuat demikian karena ulah anaknya."Mari kita makan terlebih dahulu, biarkan mereka mengurusi kebutuhan mereka sendiri
"Sah!" seru beberapa orang laki-laki di tempat itu dengan lantang. Seruan mereka menandakan bahwa hubungan yang saat ini terjalin sudah sah di mata hukum maupun agama.Kendati mereka sudah pernah ijab kabul, perasaan berdebar masih saja terasa di dalam dada. Saling berpandangan, Bram melempar senyum ke arah Nisa lalu mengikuti arahan sang penghulu untuk bertukar cincin bersama-sama.Setelah menyematkan cincin emas dua puluh empat karat seberat tiga gram di jari manis masing-masing, keduanya lantas berdoa untuk kesejahteraan bersama."Malam ini kau takkan bisa lolos lagi," bisik Bram setelah mereka berdoa dan berpindah tempat ke kursi pelaminan.Nisa hanya diam, pura-pura tak mendengar dengan wajah bersemu merah. Alih-alih menanggapi bisikan Bram yang terdengar mengerikan, ia sengaja mengabaikan dan justru tersenyum pada para tamu yang menyapa dirinya di depan kursi pelaminan."Selamat untuk kalian berdua ya. Semoga hubungan kalian sakinah mawadah warahmah hingga kakek-nenek," ucap seo
"Maaf, Ayah terlalu terharu." Harun melepas pelukan putrinya lalu menyeka airmata yang jatuh di pipi. Ia mencoba tersenyum lalu menyapa Bram dan juga Alex yang berdiri tak jauh dari sisi putrinya."Hai, jumpa lagi dengan kamu," sapa Harun seraya mendekat ke arah Bram lalu menepuk bahunya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis, "tak disangka kita jumpa lagi di tempat ini.""Iya Pak," angguk Bram sedikit enggan untuk berbasa-basi.Suasana sore menjelang malam itu terasa begitu syahdu. Warung gorengan yang ia buka pun lebih ramai daripada biasanya."Bu, saya beli gorengannya dong Bu. Udah habis nih di nampan," protes salah satu pelanggan pada Ratih yang sibuk menyongsong kebahagiaan di dalam keluarganya."Oh, iya, Pak. Tunggu sebentar ya," ucap Ratih menyadari perbuatannya. Wanita itu tersenyum lalu menatap Harun, Nisa, Bram, dan juga Alex secara bergantian."Kalian lanjut ngobrol di teras rumah ya, Ibu mau bikin gorengan dulu buat pelanggan." Ratih berpamitan, ia tersenyum tipis lalu mene
Nisa tak menjawab, meski hatinya cukup berdesir saat Bram mengatakan demikian, ia tidak akan goyah dengan keputusan awal."Oh, ya, Pah, aku akan balik ke pulau Jawa untuk menuntaskan misi yang sudah Nisa beri. Misal nanti sudah complete dan tercapai, Papa bersedia ya menghadiri ijab kabul kami," ucap Bram mengalihkan pandangan ke arah Satrio yang masih sibuk dengan menu makan siangnya."Ijab kabul?" ulang Satrio mengerutkan kening. "Bukankah kalian ini sudah sah nikah?"Bram tersenyum, ia menoleh sekilas ke arah Nisa lalu kembali melabuhkan pandangan ke arah papanya."Nisa minta ijab kabul-nya diulang Pa. Katanya kalo aku berhasil menemukan ayahnya maka ia bersedia menjalankan tugasnya sebagai seorang istri," cerita Bram dengan riang membuat Nisa mendadak salah tingkah. "Tolong Pa, iyakan saja. Papa tahu 'kan rasanya jadi pria dewasa yang merindukan lautan asmara sekian lamanya."Satrio manggut-manggut, ia menunduk lagi sambil menikmati makanannya. "Lakukan saja, aku akan mendukungmu
"Kamu nggak bisa kembali segampang itu Mas," tandas Ratih dengan tatapan serius. "Aku ini bukan permen yang bila kamu ingin, kamu bisa memakaiku kembali kapanpun kamu mau."Harun terdiam, ia mengusap wajahnya dengan satu tangan. Ada perasaan menyesal yang kini terlihat di wajahnya."Meski aku belum mengajukan gugatan tapi ... kau pergi selama lima tahun Mas," ucap Ratih. "Selama itu kamu sama sekali tidak mengabarkan kami dan juga tidak memberi nafkah. Menurutmu, apa pantas kamu kembali dengan mudah?!"Harun masih diam, ia mencerna semua ucapan Ratih dengan seksama. Kali ini ia merasa malu karena sudah menelantarkan keluarganya sedemikian jauh."Aku minta maaf Rat," ucap Harun lirih sambil tertunduk. "Awalnya aku hanya ingin menghindari utang berikut bunganya tapi ... sepertinya kekhilafanku sudah telanjur jauh."Ratih mengalihkan pandangan ke sisi lain, tak ada ucapan yang ia katakan. Keduanya diam beberapa saat seolah-olah mencari jalan keluar atas apa yang sudah mereka bahas kali i
Sementara itu Ratih yang sendirian di rumah tetap berusaha untuk menjalankan bisnis gorengan yang selama ini sudah ia rintis. Walau tidak ada Nisa, ia yakin bahwa ia mampu menjalankan warungnya dengan lancar tanpa ada gangguan dari siapa pun.Karena Ratih dan Nisa cukup ramah di lingkungan itu, sudah pasti mereka sangat dikenal warga sekitar. Tak hanya itu, kepribadian yang baik mengantarkan mereka hidup rukun dan juga saling tolong menolong satu sama lain.Sore itu, seperti biasa Ratih menggoreng beberapa jenis makanan di wajan besar yang sudah dipenuhi dengan minyak goreng panas. Satu per satu adonan pisang ia masukkan, beberapa orang yang jajan pun mulai merapat di warung kecil tersebut."Bu, beli gorengan dong." Seorang pria datang dengan memakai masker dan topi hitam. Ia juga memakai jaket kulit berwarna serupa."Iya Pak, gorengan apa?" tanya Ratih sambil menatap pria itu. Sayangnya ia tertunduk dan tertutup topi sehingga Ratih sendiri tidak begitu memperhatikannya."Pisang sama
"Dasar bocah tengik!" Satrio menghardik sambil menoyor kepala Bram sedikit lebih keras. Pria itu datang tiba-tiba, membuat Bram mengaduh kesakitan lalu melepaskan tubuh Nisa hingga terhuyung mundur."Tak seharusnya kamu melakukan hal ini di ruang makan," tukasnya lagi sambil berjalan menuju ke salah satu kursi di ruang makan. "Tahan dirimu untuk beberapa jam lagi. Dasar anak muda!"Bram mengusap kepalanya sementara itu Nisa hanya tertunduk dengan wajah merona merah."Ayo duduk, mau tunggu siapa lagi, hah?!" Satrio menginstruksi, meminta keduanya agar berkumpul di meja makan.Bram dan Nisa lantas menghampiri Satrio dan duduk di sampingnya. Beberapa pelayan mendatangi mereka dan mulai melayani apa saja yang menjadi kebutuhan mereka."Jadi ... apa rencana kalian setelah ini?" tanya Satrio seraya memotong steak daging sapi kualitas premium di piringnya."Pulang—""Liburan—"Nisa dan Bram saling pandang, mereka mengucapkan kata-kata hampir bersamaan. Hal itu membuat Satrio mendongak lalu m