"Lho, Mas kok jam segini sudah pulang?" tanyaku heran ketika Mas Bryan keluar dari mobil, aku yang tadi tengah mencuci baju sekesiap berlari ke depan karena mendengar deru mobil Mas Bryan. Betapa tidak heran sekarang masih menunjukkan pukul 10.00 pagi.
"Iya, seluruh karyawan di suruh pulang sama pimpinan." jawabnya sambil berlalu masuk ke dalam rumah dengan wajah kusut."Lho, lho kenapa? Kok bisa?" aku pun mengekor dari belakang."Monaa! Bisa diam nggak sih! Kamu jangan seperti Nenek lampir!" Mas Bryan membalikkan badannya dan membentakku. "Aku pusing, please jangan banyak tanya dulu." dia pun melanjutkan langkah memasuki kamar tak lupa dia membanting pintu."Astagfirullah, Mas. Salahku apa coba?" aku bergumam masih di posisi mematung, seumur kenal dari pendekatan, pacaran, hingga menikah baru kali ini Mas Bryan membentakku. Bulir bening tanpa permisi sudah berjatuhan membasahi pipiku.Memang dua minggu belakangan ini sejak Indonesia dilanda virus meresahkan itu aku agak protektif dengan Mas Bryan. Sikapku yang yinyir selalu memaksanya untuk membawa bekal sarapan dan makan siang supaya tidak jajan sembarangan di luar. Hanya satu aku sungguh khawatir dengannya.Tubuhku masih gemetar tergiang kata-kata yang dilontarkan Mas Bryan, tapi aku masih berusaha mengumpulkan energi dengan jalan tertatih menuju pintu kamar, "Mas, buka pintunya." panggilku dengan mengetuk pintu kamar. Tidak ada sahutan dari dalam. Padahal sudah tiga kali aku memanggilnya dan terus mengetuk pintu."Assalamu'alaikum," ucap Rara dengan wajah murung memasuki rumah. "Waalaikumsalam, lho kok kamu juga pulang Ra?" tanyaku heran, tadi Mas Bryan, sekarang Rara. Apa ada kaitannya?"Iya." jawabnya singkat dan dia pun berlalu lewat di depan ku tanpa menoleh sedikitpun dan masuk ke dalam kamarnya. Kamar Rara berada di sebelah kamar ku dan Mas Bryan. Tadi sekilas ku lihat matanya sembab seperti orang abis menangis.Tapi ada yang lebih membuatku tambah bertanya-tanya, aku tak mendengar suara motor Rara terparkir di depan rumah. Sedangkan pagi tadi dia mengendarai sepeda motor sendiri ke kampus."Ra, buka pintunya! Kakak mau ngomong." panggilku sembari terus mengetuk. Tapi wanita berkulit kuning langsat dengan rambut sepanjang bahu itu tak menyahut panggilanku.Ku biarkan soal Mas Bryan dan Rara, lalu beranjak menuju dapur masih banyak pekerjaan rumah tangga yang musti ku selesaikan padahal sesungguhnya hatiku masih nyeri bagai teriris sembilu setiap tergiang bentakan Mas Bryan tadi.Selesai berkutat di dapur kurang lebih dua jam mulai dengan meneruskan cucian tadi dan memasak hingga urusan perdapuran rumah tangga tuntas menjelang siang. Ketika hendak bertolak ke kamar ingin mandi, ternyata Mas Bryan membukakan pintu ini yang namanya kebetulan atau, "Mas, kamu mau kemana? Kok rapih begitu?" aku terperangah melihat lelaki berambut coklat itu berlalu keluar dari kamar dengan stellan yang berbeda."Mas, jawab aku. Kamu kemana?" aku terus mengekor di belakang Mas Bryan. Jangankan jawabannya manis yang ku terima malah satu bentakan lagi yang dia suguhkan."Nggak usah banyak tanya!" dia pun menyentakkan tangannya yang sempat ku tahan.Tak lama terdengar deru mobil Mas Bryan dengan sekejap hilang dari pendengaran ku. Kecepatannya seperti tidak stabil, apakah dia masih emosi denganku? Atau mungkin dia sedang ada masalah? Ah sudahlah.Ketika membalikkan badan hendak menutup pintu, tampak lah Rara keluar dari kamarnya, tentu saja dengan pakaian yang rapih juga."Kamu mau kemana lagi Ra? Kok udah rapih lagi?""Ada urusan kak," dia pun juga berlalu, sekarang tak ku tahan seperti Mas Bryan tadi. Percuma juga. Ku tutup pintu utama ketika Rara sudah keluar, tak lupa ku intip dari lewat jendela sekedar ingin tahu dengan siapa dia pergi. Tapi ternyata abang ojek online yang menjemputmatakuApa jangan-jangan Mas Bryan dan Rara janjian di suatu tempat? Apalagi keluar dari rumah hanya selang berapa menit saja. Rasaku tak karuan, mengingat perkataan Yuyul teman semasa kuliah ku dulu. Rasa suudzon menari-nari dipelupuk mataku.Segera ku mandi dan berkemas lebih rapi bukan untuk mengintai mereka tapi ingin mengecek minimarket ku. Beginilah kesibukanku jikalau urusan rumah tangga dan perdapuran udah kelar dikerjakan. Memantau minimarket sesekali menggantikan Rienna jikalau dia sedang istirahat makan.Karyawan ku tak banyak hanya ada Rienna bagian kasir, Anto bagian kebersihan minimarket, Riko bagaian angkat-angkat barang apalagi ada pelanggan yang belanja bulanan otomatis banyak bawaannya dan juga sekaligus membantu jikalau ada pelanggan yang kebingungan mencari sesuatu.Walaupun minimarket yang ku dirikan ini baru berjalan enam bulan, tetapi omzet dari tiap bulannya meroket tajam. Dua minggu virus ini melanda belum ada penurunan yang signifikan. Jual beli masih seperti sebelum-sebelumnya.💙💙💙Sudah pukul 21.00 malam tanda-tanda kepulangan Rara atau pun Mas Bryan belum tercium juga. Aku masih menunggu dengan hati penuh gelisah, walaupun bentakan dari Mas Bryan tadi sesekali masih terngiang di telingaku.Sudah puluhan chat WA dan panggilan telfon untuk Mas Bryan dan Rara tapi tak satu pun dari mereka yang meresponnya. Apakah nasib Yuyul akan ku rasakan juga? Adik kandung Yuyul saja berani menghancurkan rumah tangga kakaknya. Apalagi aku dengan Rara hanya sebatas sepupu, karena Mama Rara adalah adik dari Mamaku."Ya Allah, aku tak ingin bersuudzon, tapi melihat keadaan rasanya seperti..." Mona tenang, istighfar, jangan sama kan apa yang menimpa Yuyul akan sama dengan kamu. Istighfar Momon, istighfar.Tepat pukul 21.15 malam deru mesin motor Rara dan mobil Mas Bryan di halaman rumah. Segera ku intip dari jendela terlihat mereka saling tertawa satu sama lain ketika berjalan menuju pintu utama."Momon, Assalamu'alaikum, Mas pulang sayang, bukain pintunya." panggil Mas Bryan sembari terus mengetuk pintu."Kak, Kak Momon buka pintunya," sambung Rara.Aku yang tadinya sempat mengintip mereka lewat jendela langsung memasuki kamar bukan karena aku takut ketahuan mengintip, hanya saja aku berpura-pura tidak melihat sikap mereka yang tampak mencurigakan di pelupuk mataku."Kompak banget kalian sampai bergantian memanggilku, enak ya sambil berdiri dekat-dekatan di depan pintu memang tak punya malu, bisa tidak untuk menghargaiku," gerutu ku dalam hati. Aku menggerutu diujung bibir ranjang.Aku merasa semakin parno apalagi Yuyul menjelaskan secara detail perselingkuhan antara mantan suaminya dan adik kandungnya sendiri padaku. Dan sekarang, yang kulihat berbau hampir mirip dengan cerita Yuyul, belum lagi bentakan Mas Bryan tadi siang. Giliran sama Rara dia malah senyum-senyuman."Astagfirullah, Monalisa, istighfar. Semua belum tentu benar." aku mencoba menepis semua pikiran buruk yang
"Mon, Mas udah selesai nih bersih-bersih. Maafin Mas soal yang tadi siang ya. Lagi banyak kerjaan dan masalah aja di kantor." aku terbangun dari lamunan ketika Mas Bryan menepuk pundakku."Kalau banyak masalah dan kerjaan nggak harus segitunya juga kali, Mas!" serangku."Iya, Mas minta maaf." dia tampak mencoba merayu ku, dengan bertekuk lutut di hadapanku yang sedang duduk di bibir ranjang."Ini bukan sekedar minta maaf aja, Mas. Kalau di biarin jadi kebiasaan. Seumur kenal baru kemarin lho kamu bentak aku seperti itu. Apa mungkin itu sifat asli kamu?""Astagfirullah, tidak Mon.""Itu beneran masalah kantor atau kamu sedang bermain api di belakang ku, Mas?!" lebih baik ku tanyakan perihal kegundahan yang menyesakan dada."A-anu, enggak, hmm, iya masalah kerjaan dek." Mas Bryan yang tadinya bertekuk lutut sontak berdiri salah tingkah."Dek? Sejak kapan kamu manggilnya Dek ke aku, Mas? Biasa juga manggil Dek ke Rara." gumamku."Oh." aku pun beranjak lalu merebahkan tubuh penat ini di a
"Astagfirullah, Momoooooon." suara teriakan Mas Bryan membuat aku lari kejer dari dapur menuju kamar."Ada apa, Mas? Kok teriak-teriak gitu?" tanyaku, kulihat Mas Bryan tampak kusut di atas tempat tidur sambil menggenggam gawai pipihnya."Masih nanya, kamu! Lihat jam sekarang sudah pukul berapa!" bentaknya.Tanpa melirik pun aku sudah tahu pukul berapa sekarang, pukul 08.00 pagi, memang kenapa?" jawabku polos sembari membuka gorden dan jendela kamar."Kamu, tuh ya. Kan sudah ku bilang tadi bangunin jam tujuh, ini udah molor sejam jadinya." ketusnya, lalu menyambar handuk yang sedari tadi ku taruh di bibir ranjang lebih tepatnya di dekat kaki Mas Bryan.Aku menghela napas panjang dan berlalu meninggalkan kamar tanpa merespon apa yang dikatakan Mas Bryan. Percuma juga merespon bakalan nggak selesai-selesai nantinya berdebat. Padahal aku sudah membangunkannya lebih dari tiga kali, jangan kan beranjak duduk menggeliat saja dia tidak.Sekarang giliran udah pukul 08.00 pagi baru teriak-teri
Aku masih berkutat di dapur, sedangkan Mas Bryan baru dengan virtual dengan rekan kantornya. Sembari asyik menggoreng kentang, terdengar suara pintu kamar Rara sepertinya dia sudah bangun. Pintu kamar Rara memang agak mandet mungkin tukangnya kurang pas memasang pada saat rumah ini dibangun.Gegas aku menemui Rara, ku tarik dia sampai ke dapur. Tidak mungkin juga aku ngocehin Rara di depan pintu kamarnya, sedangkan Mas Bryan sedang melakukan virtual di depan laptop."Kak, apaan sih narik-narik? Sakit tau." Rara memijat-mijat pergelangan tangannya yanh ku pegang dengan sedikit erat, hingga ada bekas merah berbentuk jari-jariku.Aku sudah merasa gondok dengan dia, sikap Rara yang sudah mulai tidak sopan kalau dibiarkan akan membuat semuanya semakin parah, terparahnya aku bisa usir dia dari sini."Kenapa jam segini baru bangun, Ra?" bisikku pelan."Ooh, semalam aku begadang bikin tugas. Tidurnya udah subuh kak, lagian hari ini juga kuliahnya lewat virtual makanya aku bisa nyantai dikit."
"Mas, kok aku ngerasa hawa rumah tangga kita panas aja yah beberapa hari ini. Kamu sibuk, aku pun gitu. Gimana kalau ntar malam kita jalan-jalan keluar sambil nyari cemilan," ajakku pada Mas Bryan yang masih berlanjut berkutat di depan laptop. Ku lirik jam di dinding berbentuk hello kitty berwarna pink midle putih itu sudah menunjukkan pukul 17.00 sore."Berdua aja? Sepi Mon, ajak Rara lah, masa dia di tinggal sendiri." Tanpa menoleh aku yang tengah menyapu rumah langsung menghentikan aktivitas lalu di duduk berhadapan dengan Mas Bryan."Mas, kamu nggak lagi ada sesuatu yang ditutupin sama aku 'kan?" tanyaku penuh selidik."Eng-enggak, lah apa juga yang mesti di tutupin Mon, Mon." Daya tangkapku Mas Bryan seperti tak jujur, aku yakin ini pasti tidak ada yang beres."Terus kenapa nyebut sepi mulu? Dulu zaman pacaran malah kamu suka kita pergi berduaan, sekarang kok malah gitu?" "Ya, enggak kenapa-kenapa Mon. Kamu tuh aneh ya. Udahlah, nggak usah pergi. Malesin gayamu, kayak curigaan a
"Mas Bryan, Rara sedang apa kalian. Kelihatannya gurih kali pembicaraannya." Sindirku. Belum lagi netraku panas melihat mereka duduk berdekatan."Eh sayang, nggak ngomongin apa-apa, biasa seputar virtual aja," elak Mas Bryan dia tampak gugup dan salah tingkah. Begitupun dengan Rara."Kak, Mas, Rara ke kamar dulu ya. Mau lanjutin bikin tugas." dia berjalan setengah berlari memasuki kamarnya. Tingkahnya tak jauh berbeda dengan Mas Bryan."Sini duduk, Mon!" Mas Bryan menepuk-nepuk kursi sofa bekas didudukin Rara."Ngomongin virtual maksudnya gimana, Mas? Memang ada yang lucu sama virtualnya?" selidiki ketika baru mehenyakkan pantay di kursi sofa bekas pakai Rara."Iyaa, virtualnya lucu Mon. Lebih ribet dan parahnya lebih mengekang. Bikin makin mumet dan berasa kayak sedang dipatroli." jawab Mas Bryan dengan mengubah posisi duduknya."Bukannya lebih enak, Mas. Nggak perlu capek-capek ke area, bolak-balik ketemu klien. Sekarang follow up kliennya bisa via WA atau by phone kan lebih hemat t
Keesokan harinya..."Assalamu'alaikum," terdengar ucapan salam di luar sana dibarengi dengan ketukan pintu."Assalamu'alaikum, Monalisa," ucap sekali lagi, sungguh jelas ini suara perempuan."Waalaikumsalam, sebentar," sahutku di dalam rumah. Aku yang ketika itu sedang berkutat di dapur memasak untuk sarapan dan makan siang. Gegas bertolak ke depan untuk membukakan pintu."Mamaaa..." sorakku girang kucium punggung tangannya dengaj takzim lalu memeluk wanita yang sudah melahirkan Mas Bryan, Mama Merta adalah mertuaku."Momoon,""Kamu, apa kabar?" tanya Mama sembari melepaskan pelukanku."Alhamdulillah, aku sehat, Ma. Mari masuk, Ma." aku pun menggandeng tangan Mama dan membawa koper bawaan Mama. "Kok sepi Mon, mana Bryan dan Rara?" tanya Mama seraya duduk di sofa ruang tamu."Oooh, Mas Bryan lagi mandi, Ma. Rara lagi di kamarnya." Jelasku."Oh pantes sepi,""Astagfirullah, Ma. Maaf sebelumnya Mama kan abis perjalan jauh cuci dulu tangannya Ma. Buat ngejaga-jaga aja""Oh iya, Mama lupa
"Mon, itu Bryan kenapa? Kok Mama perhatikan dia nggak seperti biasanya. Mama ngerasa ada sesuatu," ucap Mama ketika menaruh tas pribadinya di atas nakas kamarku.Ku toleh Mama dengan perasaan yang campur aduk, "Jujur, enggak, jujur, enggak. Duh Ya Allah.""Mon, kok malah melamun Mama tanyain juga." sergah Mama, suara Mama yang sedikit tinggi membuyarkan lamunan ku.""Eh iya, Ma. Nggak kenapa-kenapa, hmm.""Kok, hmm aja Mon. Memangnya kamu nggak ngerasa ada yang aneh dari gelagatnya Bryan tadi?" selidik Mama.Aku mendekat ke pintu kamar lalu menutupnya biarlah ini menjadi privasi antara aku dan Mama. Sebenarnya juga tak ingin melibatkan Mama dalam kegundahanku, tapi Mama Merta sangatlah baik bahkan rasa sayang yang dia berikan tak jauh beda dari Mamaku yang sudah berpulang ke pangkuan yang Kuasa. Jika Mama tidak menanyakan, aku pun juga tak ingin jujur. Mana tauan dengan bercerita ke Mama ada rasa plong yang kurasakan."Ma, sini duduk dulu." Ajakku. Kami duduk berdampingan kening Mama
"Saya bisa bicara dengan Bu Eti nggak, Bu?""Bisa, tapi tidak sekarang, nanti palingan, Bu Mona. Tapi sebelumnya, saya minta untuk dikabulkan permintaan beliau, ya. Semoga kesehatan beliau semakin membaik dan hatinya juga ikut membaik. Sebagai perempuan ibu pasti paham."Monalisa bergeming mendengar ucapan ketua pengelola panti jompo."Apa sebenarnya yang dikatakan Bu Eti selama di sana? Apa ibu Eti tahu jikalau aku ... tidaklah, mana mungkin dia tahu tentang ...," batinnya."Iya, Bu. Palingan sore atau malam saya bisa standby hape. Sekitaran jam segitu bisa, Bu?""Bisa, nanti saya telpon lagi."Waktu berjalan kian terasa berat, dibalik dirinya harus fokus mempelajari jobsdesk sebagai administrasi di sebuah klinik, pikiran Monalisa tak hentinya dihantam dan begitu berisik.Dadanya penuh sesak, pikirannya juga selalu berbisik penyesalan. Ada terbesit penyesalan kenapa ibu yang hampir ditabraknya itu adalah ibu dari perempuan yang sudah menyakitinya dengan sengaja."Halo. Assalamu'alaik
Seminggu pun berlalu ... kabar dari perusahaan tak juga ada. Monalisa mulai merasa gundah dan berfirasat dirinya tidak akan diterima."Tadi ibu yang interview kamu kemarin, nemuin aku, katanya dia srek sama kamu, cuma mengingat kamu umurnya sudah cukup dewasa, jadinya dia urung lanjutin kamu ke test selanjutnya."Sesampainya di kost, Namira langsung menuju kamar Monalisa."Aku sudah feeling sih, tapi ya nggak papa juga. Nanti aku cari lowongan kerja lainnya. Kamu udah makan belum? Kalau belum makan di luar yuk!" ajak Monalisa menghempaskan suasana yang sempat tidak enak.Saat dirinya mengambil bergo dan memasangnya, di tiba-tiba ..."Tapi ... tadi, lepas ibu itu keluar, ada temenku yang sama-sama posisinya HRD ngasih tahu, kalau saudaranya baru mendirikan sebuah klinik, terus butuh posisi administrasi satu lagi, kalau kamu berkenan bikin aja surat lamarannya, biar besok aku kasih ke dia. Gimana?"Monalisa sempat bergeming sesaat ..."Boleh, dicoba aja kali ya. Sambilan nanti aku bikin
Monalisa terus disemangati oleh Namira. "Rezeki nggak ada yang tahu, umur juga bukan patokan."Malam harinya, mata Monalisa terasa sulit dipejamkan. Tidak terhitung pula dia bertukar posisi tidur."Mata panda kamu kelihatan, Mon. Nggak nyenyak ya tidurnya semalam?"Kedua wanita dewasa ini sedang berada di stasiun menunggu kereta api."Susah, aku kepikiran soal interview nanti.""Wajar sih, hal normal kok. Pake ini aja." Namira merogoh sebuah benda berbentuk bulat dan panjang, rata-rata perempuan memakai ini."Nggak menor ntar, Na?" Monalisa tampak ragu menerima benda itu."Nggak kok. Coba aja dulu. Ntar kalau nggak nyaman bisa dihapus. Atau solusi lain pake kacamata."Dari rumah, Monalisa hanya memakai sunscreen, bibir di poles dengan lipstik berwarna merah bata, serta matanya dipakaikan eyeliner.Sebelum kereta jurusan mereka datang, Monalisa sibuk merias diri, memberi cushion dan concelear di wajahnya."Nah, gitu kan lebih cantik. Mata panda nya jadi lenyap," puji Namira setelah se
Monalisa lekas beranjak dan membukakan pintu utama."Papa!" sentak Monalisa yang masih memanggil mantan mertuanya itu dengan sebutan papa."Bisa kita berbicara?" tanya Burhan langsung pada tujuannya."Boleh, masuk, Pa, eh, Pak!"Burhan pun melangkahkan kaki masuk dan duduk di sofa single. Kemudian, menyisir pandangan."Mau dipanggilkan, Rara?" tanya Monalisa."Nggak, tujuan saya ke sini bahkan bukan untuk menemui Rara. Melainkan tentang Bryan dan mama mertua kamu.""Tujuan? Apa itu?""Saya ingin kamu mencabut laporan, nanti bilang saja kalau sudah damai.""Hmm, gimana ya, Pak. Agaknya saya nggak akan lakukan itu deh. Soalnya udah pada keterlaluan." Monalisa menjawab santai."Apa kamu nggak kasian sama mertua dan Bryan?"Di dalam kamar, Rara yang sedang tertidur karena kepalanya begitu pusing, tiba-tiba tersentak saat mendengar suara dari luar kamar.Dia beranjak dan mendekatkan telinga ke pintu kamar."Dia? Ngapain dia ke sini?""Apa aku keluar dan menemuinya?""Nggak ... Nggak ... Bu
Part Lanjutan Menggunakan PoV 3 ya 🫶"Nggak ... Nggak ... Kalau aku kerja dan notabenenya seperti ini, pasti akan timbul hal lain. Aku tidak ingin embel-embel seorang wanita independen diketahui nantinya."Monalisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada rasa trauma baginya."Aku harus jadi Monalisa yang baru, sederhana tanpa kemewahan yang kumiliki ini." Dia bergumam sendiri.Sesampainya di hotel, Monalisa langsung mengemasi barang-barangnya. Kemudian, mandi dengan air hangat. Dan, setelahnya menikmati hidangan makan malam yang ada di hotel.Dia duduk di bangku paling depan, pemandangannya sungguh indah. Hamparan lautan yang bercahaya oleh kapal yang sedang berlayar. Kembali dirinya teringat akan masa-masa indah dengan Bryan yang hanya sekejap mata dirasakannya. Namun, detik kemudian dia kembali diingatkan bagaimana perlakuan mantan suaminya itu.Menjelang tidur, Monalisa mencoba melamar pekerjaan melalui situs aplikasi. Di sana terpampang beraneka ragam posisi jabatan yang dibutuhkan k
"Ya sudah sekarang kita pulang, motor kamu tinggal di sini dulu.""Apa nggak sebaiknya tidur di sini saja, Mon. Apalagi sudah mala gini," ujar Yuyul."Nggak usah, Yul. Aku dan Rara pulang saja, maaf sudah merepotkan kamu," aku menuntun Rara untuk berdiri.Sepanjang jalan aku hanya diam, sedangkan Rara masih menangis tersedu, aku sengaja tak menanyakan lagi soal kejadian itu. Takut mentalnya makin terguncang, lagian aku juga harus fokus mengemudi supaya tidak terjadi hal yang sama seperti tadi. Masih untung aku dan Bu Eti selamat. Bagaimana kalau tidak, tamat sudah hidupku.Sesampainya di rumah Rara langsung masuk ke dalam rumah mungkin masuk ke kamarnya, masih ada isakan tangisnya ketika turun dari mobil. Aku masih memarkir mobil, sekilas tadi tampak rumah gundikku sudah sepi tidak ramai ketika aku pergi menjemput Rara tadi.Setelah membersihkan diri, aku membaringkan tubuh yang begitu lelah, sebagian sendi ada yang sakit akibat kejadian tadi yang hampir menabrak Bu Eti.***Deringan
"Pak, tolong angkat ibu ini ke mobil saya ya, biar saya antar ke rumah sakit terdekat,""Baik, Bu,"Ada tiga orang lelaki yang menggotong ibu ini ke dalam mobilku karena tubuh ibu ini agak berisi.Tak lupa aku mengucapkan terima kasih dan meminta maaf atas yang terjadi. Ini karena pikiranku kalut jadi membawa mobil jadi tidak konsentrasi. Padahal untuk sampai di rumah Yuyul tinggal menempuh perjalanan 10 menit lagi. Tapi yang namanya ujian kadang tidak akan memberi kode terlebih dahulu."Bu, aku anterin ke rumah sakit dulu ya biar ibu diobatin dulu. Abis itu aku akan antar ibu pulang ke rumah," jelasku. Ibu berjilbab dalam itu pun menjawab dengan anggukan saja. Bagaimanapun aku harus tanggung jawab dulu walaupun pikiranku masih memikirkan Rara. Lagian Rara juga di rumah Yuyul yang kurasakan dia akan aman di sana.Untung didekat kejadian tadi ada rumah sakit, Ibu Eti pun ditindak cepat oleh beberapa perawat. Setelah semuanya selesai aku mengantar Ibu Eti ke rumahnya, ternyata rumahnya
"Yuk, Bryan. Kita ke rumah Mayora saja. Untung saja kamu masih punya Mayora dan sebentar lagi kalian juga bakalan punya anak. Tentu hidup kalian lebih bahagia pastinya. Daripada kamu sama Mona, udah enam bulan belum juga hamil. Beda sama Mayora enam bulan lagi dia bakalan lahirin anakmu, Nak. Ayuk kita kemasi," ajak Mama sambil menarik tangan Bryan untuk mengemasi barang-barang."Apa? Mayora hamil? Enam bulan lagi bakalan lahiran? Jadi ...? Pantas saja Bryan tersedak ketika Mama membahas perihal kehamilan kala itu, dasar nenek lampir kupikir dia ... ah sudahlah, sabar Mon, semuanya sudah berlalu, masa depanmu masih panjang.""Harusnya dari dulu aku tidak memaksakan diri untuk menikah dengan kamu, Mon," ujar Mas Bryan yang tengah mengeluarkan barang-barang pribadi miliknya."Nggak usah banyak bacot, beresin saja secepatnya. Aku jijik lihat kalian masih di sini,""Mas Bryan ... Mama Merta ... kok ini ..." aku melengah ke sumber suara, ada gundik Mas Bryan ternyata."Eh, gundik canda gun
"Baik, Bu. Sebentar, saya cek dulu." Dia mengambil gawai yang sedari berada di atas meja seperti mau menelepon seseorang."Ririn, ke ruangan saya sebentar!" perintahnya dalam sambungan telepon."Sebentar ya, Bu. Saya tunggu staff administrasi dulu." pintanya. Lantas Pak kepala mengecek komputer selingan dengan mengecek buku nikah yang kuserahkan tadi. Keningnya tampak mengerut, mungkin bingung.Tok... Tok... Tok..."Masuk!" sahut Pak kepala."Permisi, Pak. Ada apa ya memanggil saya?" aku tidak menoleh ke sumber suara. Tapi perempuan itu berjalan ke arah Pak kepala dan sekarang berdiri di samping kiri Pak Bobby."Ibu ini memberi tahu jikalau suaminya menikah lagi tanpa sepengetahuannya. Kamu bisa check-in kelengkapan berkas yang diserahkan oleh Bapak Bryan dan Ibu Mayora? Kebetulan mereka menikah kurang lebih sebulan yang lalu." Ririn sang staff administrasi mengangguk paham."Saya cari dulu ya, Pak. Nanti saya ke sini lagi.""Oke," lalu Ririn meninggalkan ruangan."Mohon ditunggu sebe