Entah mengapa, kedua matanya membulat lebar. Seakan terkejut oleh foto-foto yang diperlihatkan oleh Lazuarrdi.
"A-ada apa Tuan? Apa saya salah?"
Lelaki itu masih saja terdiam.
"Siapa yang menyimpan pedang itu?" tanya Roy Kenzo. Dia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Dulu Kakek, Tuan Roy. Dan sekarang pun masih di rumah Nenek saya."
Dari kilatan matanya menggambarkan sesuatu yang aneh. Dia terlihat seperti benar-benar terkejut. Yang tak bisa dia sembunyikan perubahan pada wajahnya. Azuna bisa menangkap hal itu.
"Papa, ada apa?"
Lelaki itu hanya menggeleng.
"Bisa kau tinggalkan sebentar kami berdua?"
"Ohhh, baik Pa."
"Gadis baik. Dia anak bungsu saya. Disaat usia istri saya hampir lima puluh tahun. Hamil Azuna. Anak gadis satu-satunya."
"Iya, dia sosok gadis yang sangat baik."
"Lazuarrdi apa yang sebenarnya ingin kamu ketahui?"
Sejenak lazuarrdi terdiam.
"Banyak sih Tua
"Kamu seperti ingin bilang sesuatu Lazuarrdi?""Maafkan aku sebelumnnya. Apa kamu tahu soal pedang samurai ini?""Maksud kamu?"Ting!Suara pintu lift yang terbuka. Lazuarrdi mempersilakan wanita cantik itu untuk megikutinya."Pedang apa Lazuarrdi?""Kita lanjutkan setelah sampai cafe. Oke, Azuna?""Oke."Mobil pun mulai merayap memecah keramaian kota malam ini."Apa jauh kah?""Tak terlalu jauh. Hanya saja macet yang bikin lama."Kembali wanita cantik ini tersenyum. Membuat Lazuarrdi betah bincang santai bersamanya. butuh waktu lima belas menit. Akhirnya mereka sampai di sebuah cafe yang terkenal dengan penyajian kopi yang sangat menarik, dengan beberapa pilihan menu beragam."Aku mau coffee latte saja Lazuarrdi.""Banyak snack yang mungkin kamu sukai di sini.""Kamu pesan saja Lazuarrdi. Kalau enak aku suka."Lazuarrdi segera memilih beberapa dishes. Kemudian berbincang s
Saat kakinya mulai menapak ruangan itu. Tercium aroma melati yang sangat wangi. Namun kelamaan berubah menjadi aroma yang busuk."Bau apa ini? Kok tiba-tiba gue merinding kayak gini ya?"Danang yang penasaran semakin memberanikan dirinya untuk menjelajahi ruangan yang disebut sentong.Tangannya menyapu debu yang berada di atas nakas. Yang terletak di samping ranjang.Kemudian langkahnya kembali bergerak. Hingga berhenti tepat di depan kotak seperti tempat harta karun. Saat dia mencoba untuk membukanya. Seperti terkunci. Danang kembali mengusap pelan, gambar seperti sebuah logo yang berbentuk matahari di bagian penutup atas."Hemmm, sepertinya ada hal yang penting di dalam sini. Apa Ardi tak mengetahuinya?"Sejenak dia terdiam. Danang terpikirkan untuk menelepon Lazuarrdi. Buru-buru dia mengeluarkan ponsel di saku kemeja.Cukup lama hingga deringa terkahir, barulah Lazuarrdi mengangkat teleponnya."Hallo!""Ada apa, Nang?"
Saat dia perhatikan dengan seksama lagi. Danang bergerak mundur. Dalam penglihatannya. Seraut wajah itu seperti melayang."Ba-badannya ke mana?" Suara Danang terdengar bergetar."Aku ... di sini Mas Danang!""Haaaaaahhh!" teriak Danang. Dia menoleh ke belakang. Tak terlihat siapa-siapa. Dia kembali memberanikan diri melihat cermin. Seketika kedua kakinya tak bisa bergerak. Dianang langsung terduduk lemas."Saaaat ... Satriyooo!" Dia berteriak kencang. Akan tetapi tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Danang kembali berteriak. "Satriyooo!" Tetap saja suara nya masih tak terdengar.Aroma anyir dan amis mulai merasuk ke rongga hidungnya. Danang pun mulai berani mendongak. Mengarah pandangannya pada pedang samurai itu.Kedua bola mata membulat lebar. Dengan mulu terperangah. Danang sampai tak bisa berkata-kat. Dari manik mata yang membulat, dia melihat tetesan darah segar yang mengalir. Berasal dari pedang itu."Busyet, dah! Itu, darah
"Aku pikir foto itu sudah dibawa Mas Ardi. Kok masih ada di sini?""Memangnya ini foto siapa?" tanya Danang penasaran.Kemudian memperhatikan dan mengamati foto itu dengan serius."Dari fotonya, ini sekitar tahun kuno ini.""Ya, pasti kuno Mas. Tapi kisaran tahun berapa?""Mungkin 1940 an, Sat. Terus wanita ini siapa?""Kalau kata Mas Ardi, dia ini yang namanya Karmila.""Karmila?"Satriyo mengangguk cepat."Bahkan sewaktu Mas Ardi di rumah Eyang sini. Selalu mimpi Karmila.""Dan bilangnya Ardi siapa cewek ini?""Dia berada di jaman penjajahan Jepang, Mas.""Berarti sekitar trahun 1942-1945?""Bisa jadi sekitar tahun itu, Mas."Tampak Danang tertarik dengan foto itu. Dia terus memandang wanita yang berada di dalamnya."Wajahnya seperti pernah gue lihat. Tapi, siapa ya?""Wajah ini?"Danang mengangguk. Tanpa melepas pandangannya dari foto. Dia terlihat sa
"Ya, udah. Kita balik lagi sekarang!" ajak Danang ketakutan."Bentar dulu, Mas! Ada satu hal lagi!" sergah Narmi.Satriyo dan Danang kembali duduk. Dia merapat pada Narmi."Apa lagi, Mbak?""Kemarin malam, Eyang kembali mengikat pedang itu sama tali rawe. Aku takut kejadian sama Kakung dulu itu terjadi.""Tali rawe?" tanya mereka berdua serempak."Iya, Mas.""Apaan itu, Mbak? Gue kagak paham Sat," bisik Danang pada Satriyo."Tali rawe sama kayak seratnya karung goni itu loh Mas. Cuman punya Eyang memang asli dari tanamannya sendiri. Bikin sendiri juga. Katanya sih peninggalan dari orang tua Kakung.""Mungkin juga tali itu sudah disarati Mas. Untuk jadi penangkal setan. Katanya sih begitu. Tali itu juga mujarab buat nangkep babi ngepet sama keblek," sahut Satriyo.Membuat Danang semakin mengernyit. Tak mengerti apa yang di jelaskan oleh Satriyo."Kalau babi ngepet. Paham lah gue. Cuman tuh keblek, apaaan lag
Teng teng teng!Ketiganya terperanjat. Dengan kedua mata yang membulat lebar. Telunjuk Danang menunjuk ke arah depan."Jam ... jam dua belas, Sat!""A-ayo, Mas. Kita harus temani Eyang!" teriak Narmi.Wanita itu langsung berlari meninggalkan Satriyo dan Danang, yang amsih terpaku di tempatnya."Ayooo!" teriak Narmi kencang.Membuat mereka terkesiap. Dan menyusul langkah Narmi yang sudah berlari meninggalkan keduanya. Masih terdengar napas yang terengah-engah. Wanita itu langsung menerobos masuk kamar Sulasih."Ohhh, syukurlah Eyang masih tertidur."Namun perkiraannya salah."Siapa yang tidur, Mi?"Seketika raut wajah Narmi menegang pucat. Dia tak menyangka Eyang terbangun dengan posisi yang masih membelakangi."Mbak! Mbak Narmi!"Terdengar suara Satriyo memanggil dirinya. Narmi melongok ke arah mereka."Ada apa, Mas?"Pandangannya mengarah pada Satriyo dan Danang, yang berdiri di
Tiba-tiba, telapak tangannya menepuk punggung tangan Narmi dan meraihnya kuat. Hingga tubuh wanita muda itu terduduk dan merapat di punggungnya."Ke-kenapa kamu bangunkan aku, Narmi?"Suara wanita tua itu terdengar parau. Lalu terbatuk-batuk. Segera Narmi membantunya untuk terbangun."Ini, benar-benar Eyang 'kan?" ulang Narmi ragu."Kamu kira aku ini setan opo?" sentak Sulasih marah.Narmi melirik ke arah mereka berdua. Kemudian, Danang mencoba mengintip ke arah ruang tamu. Sosok wanita tua itu telah lenyap."Aneh," bisik Danang."Masih ada, Mas?"Danang menggeleng dengan raut wajah yang masih tegang."Kalian ini kenapa ada di sini semua?" tanya Sulasih parau dan terdengar lirih."Ehhh, kami cuman ingin lihat keadaaan Eyang saja," sahut Danang.Kemudian, wanita tua itu mengibaskan tangannya. Pertanda menyuruh Satriyo dan Danang segera pergi dari kamar. Tanpa bertanya lagi. Keduanya pun segera pergi.
"Aku cuman pengen lihat fotonya, Ardi."Walaupun terlihat ragu. Akhirnya dia juga memberikan ponsel pada wanitacantik itu. Sejenak Shasy memandang dengan gurat wajah serius. Dia pun terlihat sangat tegang."Siapa wanita yang satunya?""Karmila!""Karmila?" ulang Shasy. "Apa dia seorang penyanyi saat itu?"Lazuarrdi seketika terhenyak. Atas pertanyaan Shasy yang tiba-tiba."Dari mana kamu tahu, Shas?""Dari bajunya. Coba kamu lihat! aku sih nebak aja. Kayaknya dia ini mungkin ikutan paduan suara gitu. Bisa juga 'kan?"Dia kagum dengan kejelian Shasy. "Seandainya wanita berkimono ini, tanpa memakai bedak putih. Kira-kira wajahnya seperti apa? Atau, si wanita pribumi ini kalau berpakaian Jepang kayak apa juga ya?"Lalu dia mendongak pada Lazuarrdi. "Suruh Danang untuk membuatnya seperti itu, Ardi. Diediting atau apa saja lah. Dia kan orang IT harusnya lebih paham dan tahu dari pada kita. Iya 'kan?""D
Tepat pukul dua belas siang. Mereka baru terbangun. Dan bergegas berkemas. Annisa yang sudah sedari tadi siapa sedang berjongkok di makam Kazumi atau Karmila.Dia membacakan Yasin dan doa untuknya. Dari ambang pintu Lazuarrdi melihat ke arahnya dengan wajah yang segar. Lalu berjalan mendekati Annisa."Maaf, enggak bisa seperti rencana semula Nis.""Enggak apa-apa kok Mas Ardi. Saya juga baru bangun kok. Buru-buru mandi terus ke sini sebentar.""Berarti belum makan?"Annisa menggeleng."Yuk, makan dulu. Kayaknya Marni sudah siapkan semuanya.""Baik, Mas."Langkah keduanya menuju ruang makan. Terlihat Marni yang sibuk menata piring."Kamu masak apa beli, Mbak?""Saya beli nasi padang Mas. Takut kalau di warung yang lain, Mas Ardi enggak suka. Soalnya agak manis masakannya."Apa yang dikatakan Marni dibenarkan Lazuarrdi. Segera dia duduk dan memanggil Satriyo yang sibuk memasukkan barang-barang."Kamu m
Hampir satu jam mereka merawat jasad yang sudah jadi tengkorak itu. Tepat pukul tiga pagi. Mereka kembali mengebumikan Kazumi atau Karmila."Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun!" ucap para warga serempak."Bahwa apa yang berasal dari-Nya. Pasti akan kembali kepada pemilik-NYa."Setelah prosesi pemakaman selesai. Beberapa warga beristirahat dengan suguhan yang dibikin oleh Marni."Annisa! Apa yang sebenarnya terjadi saat di dekat sungai tadi?""Maksud Mas Lazuarrdi?""Apa benar Kazumi meminta kamu mencari Kenanga?"Cukup lama Annisa terdiam."Kenapa kamu diam?""Ehhh ...."Wanita cantik menghela napas panjang. Lalu mengangguk."Tapi saya tak mau berjanji padanya. saya sudah tegaskan itu Mas. Akan semakin panjang kalau kita mencari Kenanga. Kita enggak tau harus bermulai dari mana juga 'kan?""Cuman yang aku takutkan, suatu saat nanti. Dia akan menganggu kita lagi, dengan meminta janji itu.""Mas,
"Mas Satriyo! Bisakah ambilkan dua lembar daun itu?""Bisa, Mbak. Sebentar!"Kedua kakinya berlari kecil meninggalkan Annisa dan Lazuarrdi yang masih terduduk di tanah."Kenapa perasaan aku sedih sekali, Nis? Seperti hancur, gelap, tak berdaya. Seolah hidup aku ini tak ada artinya lagi.""Mas Ardi banyak istigfar ya. Terus baca aya Qursi tiga kali, serta surat pendek tiga Qul. Mas Ardi bisa?"Lelaki tampan menggeleng dengan pandangan yang mengarah pada Annisa."Kalau begitu sholawat yang banyak saja Mas. Sama istigfar ya, biar perasaan Kazumi enggak terbawa Mas Lazuarrdi.""Baik, Nis."Tak lama. Satriyo sudah datang dengan memebawa dua lembvar daun keladi. Lantas memberikan pada Annisa.Sebelum mengambil kepala Kazumi, Annisa membaca doa terlebih dahulu. Setelah selesai. Dia memungut dengan kedua tangan beralaskan daun talas."Biar saya yang bawa!" tegas Annisa.Mereka pun berjalan pulang menuju rumah
"Kazumi sangat terluka. Aku kesakitan bukan saja raga aku. Tapi, jiwa aku. Apalagi saat aku mendengar kabar, Hayato membunuh semua keluargaku. Saat itu kehidupanku seperti runtuh. Aku ingin mati ... aku ingin mati! Apalagi Takashimo yang menyayangi aku penuh ketulusan. Dibunuh oleh bajingan laknat itu! Belum lagi Kenanga. Di manakah Kenanga berada? Sampai kematian aku pun tak mendapatkan lagi kabar tentang dia. Di mana diaaa ... Kenanga saat itu masih berumur muda sekali. Dan Hayato sudah menjadikannya Jugun Ianfu. Karena kemarahannya padaku," isak tangis Lazuarrdi dengan suara yang berbeda. "Apa aku salah membunuhnya dengan keji?!"Kali ini Lazuarrdi yang duduk bersimpuh menoleh perlahan ke arah Annisa yang berdiri di sampingnya. Sorot matanya tajam, menatap Annisa dengan berurai air mata."Jika memang kau ingin memakamkan aku dengan layak. Ada satu syarat yang aku pinta!"Annisa yang masih terperanjat tak langsung menjawab. Dia masih terpaku dengan mata yang m
"Ke-kenapa, Mas?"Dia terus menggeleng dengan raut wajah yang sangat tegang. Tarikan napasnya terdengar memburu. Lazuarrdi ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Annisa yang terus menatap lelaki tampan itu."Mas Ardi kenapa sih?""A-aku lihat dia Nisa.""Terus?""Awalnya dia terlihat layaknya seorang wanita berkimono. Tapi ... tiba-tiba, kepalanya kayak terpenggal begitu saja. Dan jatuh ke tanah."Sontak mendengar penjelasan seperti itu. Annisa langsung berusaha bangkit dari tempat dia berbaring. Membuat Lazuarrdi menatap tajam ke arahnya, dengan pandangan heran."Mau ke mana kamu?""Ayo, Mas! Aku sudah tau di mana letak kepalanya.""Maksud kamu?""Ayo, Mas!"Dibantu Lazuarrdi, Annisa berjalan lembat menuju pohon gayam itu. Diikuti oleh Satriyo yang terus menyorot ke arah mereka."Tunjukkan di mana Kazumi berdiri Mas!""Di tempat aku berdiri sekarang.""Oke, tunggu bentar Mas!"Anni
Dia mengangkat botol yang diberikan Mbah Sukro. Lalu mulai memercikkan air di sekitaran pohon gayam yang terlihat kokoh beridri di hadapan mereka.Saat Annisa sibuk mengucurkan air. Dedaunan pohon gayam seperti bergerak-gerak. Sampai menjatuhkan dedaunan yang kering.Sontak ketiganya melihat ke atas. Mereka seperti melihat dua titik cahaya merah. Seperti bola mata yang terus menatap ke arah mereka."I-itu ... apa Mbak Annisa?" teriak Satriyo membuat mereka berlari sedikit menjauh. Diikuti Annisa.Saat Annisa mendongak, dua titik berwarna kemerahan tak lagi terlihat."Aku masih belum selesai Mas. Kurang sisi utara aja," bisik Annisa."Ayo, kita kembali ke pohon itu!" ajak Lazuarrdi.Suasana benar-benar mencekam. Angin semakin berembus kencang."Bismillah, ya Allah bantu kami," bisik Annisa.Saat mereka kembali mendekati pohon gayam itu. Annisa merasa ada seseorang yang tengah memandang mereka. Sontak dia
Rupa-rupanya sosok hitam pekat itu, kembali akan melayangkan hantaman untuk yang keempat kalinya. Namun, sekilas cahaya putih menangkis serangan itu. Cahaya berbentuk butiran-butiran kecil menyerupai tasbih, menghalangi tubuh Mbah Sukro dari kekuatan hitam.Dalam genggaman tangan Mbah Sukro, dia terus menggulirkan tasbih yang sedari tadi dipegangnya. Terdengar lelaki itu mulai bergumam lirih. Dia terus berdzikir menghadapi serangan makhluk iblis itu.Sontak membuat kedua bayangan hitam itu, menghentikan serangannya dan mundur. Mbah Sukro memejamkan kedua mata dengan rapat. Tak henti bibirnya berdzikir. Walau tubuh tua terasa sakit akibat serangan itu. Dia terus berusaha untk membantu Annisa. Yang jauh darinya."Semoga kamu segera menemukannya, Nduk! Mbah akan mengawal kamu dari sini dengan doa."***Terlihat Annisa masih duduk dengan tafakur. Tiba-tiba dalam bayangan yang samar. Dirinya seperti melihat cahaya kemerahan yang berkelebat melintas Seir
Hanya dalam hitungan sekian detik. Sosok wanita itu sudah berdiri di hadapan lelaki itu. Wajah mereka begitu dekat. Tanpa jeda. Sampai Mbah Sukro bisa mencium embusan napas makhluk yang berada di hadapannya.Manik mata mereka salling beradu. Hingga sorot mata yang tajam tak bisa membuat Mbah Sukro tunduk.Tiba-tiba, di alam yang nyata. Pintu rumah terbuka lebar dengan sendirinya. Bagai ada seseorang yang telah membuka dengan paksa. Namun, tak terlihat siapa pun juga."Mau apa kamu ke rumahku? Kedatanganmu, secara paksa seperti ini apa maksudnya?" Mbah Sukro dengan mata yang terpejam."Hentikan pencarianmu! Atau kau akan mati! Sama seperti mereka semua." Terlihat bayanganhitam yang tak tampak perwujudannya.Masih dengan mata yang terpejam, Mbah Sukro melempar kembang-kembang itu dengan pelan."Mrene ... mrene! Ini makanan kamu!" seru Mbah Sukro.(Mrene = ke sini)Tampak gumpalan asap yang menyerupai sosok seorang lak
Seketika Satriyo mengarahkan senter yang ada di tangannya. Saat cahaya mulai menerangi pohon itu. Sontak dia melemparkan senter jumbo ke tanah. Dengan tubuh yang hampir terjungkal. Untung Lazuarrdi menahan keseimbangan tubuhnya, dengan menarik lengan Satriyo."Aaaaarghhhh!"Tubuh Satriyo akhirnya terduduk di dekat kaki Lazuarrdi. Napasnya tersengal-sengal."A-ada apa kamu?""Ayo, Mas. Kita pergi dari sini. Ini lebih seram dari rumah kita, Mas!" tegas Satriyo."Memangnya apa yang kamu lihat?"Satriyo tak mau menjawab. Dia menggeleng kuat-kuat. Lazuarrdi mengambil senter jumbo yang terbalik dan mati. Sekali tekan dan sedikit mengguncang akhirnya, senter menyala lagi.Lazuarrdi kembali menyorotkan cahaya pada pohon kelapa yang tak jauh dari mereka. Tak terlihat apa pun. Lalu dia menundukkan kepala."Kamu kenapa Sat? Coba bilang!""Ta-tanyakan Mbak Annisa, Mas!" Dengan suara bergetar dan tubuh Satriyo seperti orang yang kedi