Wanita tua itu mengangguk.
"Iya, baju wanita Nipon. Apa dia pernah mendatangi kamu, Ardi?"
"Pernah, Eyang. Tapi, aku tak tahu nama dia? Kazumi atau bukan."
"A-pa, dengan ... menenteng kepalanya?" Suara Sulasih terdengar lirih. Bahkan Lazuarrdi harus mendekatkan telinganya di bibir sang nenek.
"Baru saja Ardi melihat dia Eyang. Sewaktu perjalanan ke rumah nenek. Makanya sampai saya kemalaman."
"Kamu tersesat juga?"
"Eyang kok bisa tahu?"
Wanita tua itu, menghela napas panjang. Seperti ada beban yang ingin dia luapkan semua. Lalu Sulasih merebahkan tubuhnya.
"Apa pedang samurai itu ingin kamu kembalikan lagi ke sini?"
"Kalau Eyang memperbolehkan."
"Haaaahhh! Kalau kau ingin Eyang segera mati. Taruhlah lagi di sini."
"Apa maksud Eyang bicara seperti ini?"
"Tidurlah, Ardi! Besok pagi kita bicara lagi."
Sepintas dia melihat pada tubuh sang nenek yang tidur meringkuk membelakangi. Lazuarrdi pun menyelimuti tubuh tuanya.
'Pasti ada sesuatu yang masih menjadi sebuah rahasia. Tapi, apa?'
Lazuarrdi keluar kamar. Di sebuah meja kecil sudah tersedia teh hangat, jahe dan juga kopi susu. Tiga macam jenis minuman hangat telah tersedia.
Dia melihat seorang wanita setengah baya, berdiri tak jauh dari kamarnya. Lazuarrdi pun berjalan mendekat.
"Mbak, kalau mau tidur silakan!"
"Saya tunggu minumannya selesai."
"Tak perlu sampai seperti itu, Mbak. Tidur saja. Biar besok pagi Mbak bersihkan."
"Nanti, Mbah Ibu bisa marah."
Lazuarrdi tersenyum lebar.
"Tak akan, Mbak. Percaya sama saya."
Wanita muda itu akhirnya meninggalkan Lazuarrdi. Dia pun masuk kamar. Sejenak Lazuarrdi menghela napas panjang. Lalu berjalan menuju kamar Satriyo.
Tok tok tok!
"Satriyo!"
"Iya, Mas."
Tak berapa lama. Pintu terbuka lebar.
"Ada apa, Mas?"
"Minumlah! Sudah dibuatkan minuman hangat."
"Makasih, Mas Ardi. Mas sendiri kok belum tidur?"
Dia menggeleng. Sembari berjalan menuju meja kecil yang berada di ruang tengah. Keduanya duduk di kursi yang berada tepat di tengah ruangan.
"Ini minuman kok banyak, Mas?"
"Tak tahu juga aku. Kok bisa bikin sebanyak ini."
Setelah meminum kopi susu. Lazuarrdi mengajak Satriyo mengambil pedang samurai. Untuk dikembalikan ke tempat semula. Dia sudah tak ingin dihantui lagi. Terutama oleh perempuan Jepang itu.
Mereka berdua keluar melewati pintu samping. Sebelum sampai. Alarm mobil tiba-tiba berbunyi nyaring. Mengejutkan mereka.
"Matikan, Sat!"
"Sudah, Mas. Tapi, tetap tak mau mati juga!"
Buru-buru mereka berdua berjalan menuju halaman samping rumah. Saat langkah mereka sudah semakin dekat. Alarm itu tiba-tiba mati.
"Aneh," bisik Lazuarrdi keheranan.
"Pedangnya jadi dibawa masuk, Mas?"
"Iya," jawab Lazuarrdi, tatap matanya berpendar mengitari sekitar.
Satriyo berjalan mendahului membawa pedang samurai itu. Lazuarrdi mengikuti dari arah belakang.
"Diletakkan di mana Mas?"
"Di tembok belakang di atas cermin bingkai marmer, Sat."
Setelah meletakkan pedang itu. Satriyo berpamitan hendak tidur. Lazuarrdi hanya mengangguk. Dia tertarik memerhatikan cermin dengan ukiran indah di setiap sisi. Beralas marmer putih, berpadu ukiran kayu jati.
Cermin yang sudah berumur puluhan tahun itu sedikit menguning. Tepat dari pantulan di dalamnya. Lazuarrdi melihat kain korden yang bergerak-gerak dari arah sentong tengah.
Di pintu masuk sentong (ruang kamar) terdapat hiasan dari kayu jati penuh dari ujung kiri hingga kanan, sepanjang lebar kamar. Tepat di tengahnya diberikan kain korden. Tak ada penutup lain.
Entah mengapa, lelaki tampan dengan tubuh yang jangkung dan atletis ini. Tertarik untuk mendekat. Dia menyibak kain korden. Melongok ke dalam. Hanya terlihat sebuah ranjang, satu lemari pakaian. Satu meja kecil, dengan dua kursi di samping kiri dan kanan.
Lampu model kuno klasik, menggantung di tengah langit kamar. Baru kali ini, Lazuarrdi bisa melihat dengan leluasa. Selama ini, mereka para orang tua pasti melarang siapa pun yanga akan memasuki sentong tengah. Hanya sang kakek, yang selalu menempatinya.
"Padahal juga tak ada apa-apa. Kenapa dulu Mama selalu marah, kalau aku masuk sini?"
Langkah kaki mulai menapaki setiap jengkal sentong ini. Walau tak ditempati, sentong tengah terlihat sangat bersih.
"Apa ini?" Raut wajahnya terlihat penasaran. Dahi Lazuarrdi sampai berkerut tegas. Dia pun berjongkok.
Lazuarrdi melihat sebuah kotak dengan bagian atas penutupnya berbentuk oval. Terbuat dari besi baja. Terdapat ukiran bergambar matahari. Lazuarrdi mengusap perlahan.
Saat mencoba membukanya. Dia tampak kesulitan. Seperti terkunci rapat dari dalam.
"Kira-kira apa ya isinya?"
Lazuarrdi mengetuk bagian atas.
Teng teng!
"Hemmm, sepertinya isi dalam kotak ini tak kosong. Tapi, apa ya?"
Sejenak dia terdiam. Pandangannya sama sekali tak lepas dari kotak, yang bentuknya seperti di sebuah film. Layaknya kotak harta karun.
Tiba-tiba, dia mencium harum wangi bunga sedap malam. Sangat menyengat. Sampai membuat bulu kuduk Lazuarrdi berdiri dan merinding.
"Tolong, jangan ganggu aku. Tak ada maksud untuk mengganggu kalian. Aku hanya penasaran dengan sosok wanita Jepang itu!" Tiba-tiba Lazuarrdi bicara sendiri.
Namun dalam hati. Dia bisa merasa bahwa saat ini, bahwa dirinya tak sendiri. Sontak Lazuarrdi berbalik. Ingin memastikan bahwa tak ada siapa-siapa. Dan dia benar. Memang tak ada siapa-siapa, sekarang. Entah sebelumnya atau nanti!
Tak mendapat apa yang dia inginkan. Bergegas langkah Lazuarrdi segera meninggalkan tempat ini. Tapi pandangan matanya menangkap secarik kertas yang terselip di bawah kaki ranjang.
Membuat lelaki itu berjongkok. Lalu memungutnya. Sekilas dia melihat samar, seperti gambar seseorang. Entah siapa?
"Seorang wanita pribumi? Eyang kah?" Dia sempat terpana. Seorang wanita berambut panjang hitam lurus. Tatap matanya pun terlihat sayu. Seakan menggambarkan kesedihan.
"Cantik!" ujarnya berbisik.
Lazuarrdi mambawa foto jaman dahulu itu keluar sentong. Saat melintas di depan cermin. Dia merasa seperti ada seseorang. Hingga dia menghentikan langkahnya. Lalu mundur sebanyak tiga jengkal.
Kini dia berdiri tepat di depan cermin. Saat pandangan matanya semakin lekat. Seperti ada sebuah bayangan berdiri di belakang. Terlihat samar, tapi tampak jelas. Membuat Lazuarrdi mendekat lalu mengusap debu tipis yang ada.
"Apa hanya perasaan aku aja?"
Lazuarrdi kembali mengamati cermin itu. Tiba-tiba, dia melihat dengan jelas. Sosok wanita berkimono hijau sudah berdiri tepat di belakang.
Kedua matanya hanya bisa melotot, melihat penampakan itu. Lalu Lazuarrdi berlari menuju kamar. Mengunci rapat. Dan langsung melompat ke atas ranjang.
"Kenapa dia terus yang datang? Kenapa ini ...?"
"Lazuarrdi ... Lazuarrdi!"
Kini dia mulai mendengar seseorang memanggil namanya.
"Ini sudah tak mungkin. Tak masuk akal!"
Berulang kali Lazuardi mencoba mengingkari. Tetap saja panggilan itu terus terdengar. Seperti berbisik di telinga.
Saat pikirannya tertuju pada suara itu. Dia tak menyadari, bila pintu kamar berderit perlahan.
Kriiiiiet!
Pintu yang tadinya terkunci, perlahan mulai terbuka. Membuat Lazuarrdi tercengang. Tak bisa berkata-kata.
"Lazuardiiiii ...."
Terdengar derap langkah pelan. Seakan sedang mendekati Lazuarrdi yang kebingungan. Dia terus beringsut mundur.
"Maaaas! Temani aku ... temani aku!"
Suara itu terus berulang di telinga.
"Kamu siapa? Perlihatkan dirimu sekarang?"
***
Suara itu terus berulang di telinga."Kamu siapa? Perlihatkan dirimu sekarang?""Ikutlah aku, Kang Mas!""Haaaahhh?!"Lazuarrdi hanya bisa terpaku saat melihat seorang wanita sangat cantik. Rambutnya panjang terurai. Mengenakan kebaya hijau tua, dipadu kain jarik. Sangat serasi dan terlihat anggun menawan. Membuat Lazuarrdi semakin terpesona."Ka-kamu ini siapa? Kok bisa tiba-tiba datang ke kamar aku?""Namaku Karmila.""Nama yang indah dan sangat cantik."Wanita itu tak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia cenderung dingin dan kaku. Langkahnya bak putri keraton, gemulai dan penuh etika saat melenggok."Karmila ... maaf, siapa kamu ini sebenarnya?"Tetap saja wanita cantik itu terdiam. Dia terus menyusuri jalanan yang sepi dan lengang. Diikuti oleh Lazuarrdi."Kita ini mau ke mana Karmila?"Dia menoleh sekilas pada Lazuarrdi. Lalu mengalihkan pandangan matanya kembali lurus ke depan. L
Tepat di depan mata. Lazuarrdi menyaksikan pemandangan brutal yang dilakukan para serdadu Jepang pada Karmila. Mereka memperlakukan dengan beringas. Menggagahi tanpa ampun. Seperti mereka tak pernah melihat seorang wanita. Saat itu, ingin rasa hati Lazuarrdi membunuh mereka satu persatu. Namun apa daya. Tubuhnya bagai berada di ruang dan waktu yang berbeda. Akan tetapi, mengapa hujan yang dirasa sungguh nyata adanya. Sinar mata Karmila meredup. Hingga akhirnya dia terkulai lemas. Para prajurit Jepang itu, bagai anjing yang kelaparan. Disuguhkan daging mentah yang segar dan langsung disambar tanpa sisa. "Karmila ... Karmila!" teriak Lazuarrdi. Malam itu terdengar suara teriakan Lazuarrdi yang sangat kencang. Memecah keheningan malam. Membuat semua penghuni rumah terbangun. "Lazuarrdi ... bangun!" teriak Eyang Uti, yang sudah berdiri di ambang pintu. Tak lama, Satriyo sudah menyusul ke kamar tuannya. Begitu juga dengan pelayan Sulasi
Kedua tangan Lazuarrdi mengepal erat. Napasnya naik turun dengan cepat, menahan kemarahan. Dia mendengkus kasar. Lalu mengalihkan pandangan pada Satriyo yang hanya bisa tertegun mendengar cerita Lazuarrdi. "Jadi, wanita itu mati Mas?" "Aku enggak tau, Sat. Hanya sampai dia diperkosa, terus aku dengar suara kalian yang sudah ramai." "Bisa saja akhirnya dia mati dan penasaran. Iya kan, Mas?" "Bisa juga seperti itu, Sat. Hanya saja foto ini ...." Lazuarrdi terus memandang sosok wanita yang mirip dengan Karmila. Yang dia lihat dalam mimpi. Lalu bergegas dia keluar kamar. Meninggalkan Satriyo yang masih terpaku melihat tuannya. "Mau ke mana Mas?" "Ikutlah!" Satriyo pun mengikuti langkah Lazuarrdi. Mereka berdua menuju ruang belakang. Ruangan yang berada tepat di depan sentong tengah. Lalu Lazuarrdi berhenti tepat di depan cermin kuno yang berbentuk oval. Tepat di atasnya tempat pedang samurai itu diletakkan. La
Lazuarrdi menggeleng. Seakan tak memercayai apa yang dikatakan oleh sosok itu pada sang nenek. "Tak mungkin dia bisa membunuh Eyang!" Wanita tua itu menatap tajam dengan sorot mata yang berkilat. Seakan kesal dan geram dengan sikap Lazuarrdi. Yang menganggap ceritanya hanya kebohongan belaka. "Kamu tak percaya?" sentak sang Nenek. "Bagaimana mungkin ada seorang hantu yang mengancam untuk membunuh, Eyang? Ini buat aku terlalu janggal dan aneh." "Lalu bagaimana dengan penampakan dan gangguan yang sering menghantui kamu? Apa hanya bualan kamu saja?" Lazuarrdi langsung terdiam. Apa yang dikatakan sang nenek ada benarnya. Akan tetapi dia tak mau ambil pusing dengan pedang yang misterius itu. "Kenapa kamu diam? Pasti kamu memikirkan tentang pedang itu juga. Iya 'kan?" "Maafkan aku, Eyang. Bukannya tak mau percaya dengan apa yang dikatakan Eyang. Hanya saja, aku benar-benar tak ingin membawa lagi pedang milik Kakung ini."
Sepintas dia seperti medengar sayup-sayup suara orang sedang bernyanyi lirih. Sontak Lazuarrdi menghentikkan aktivitas mandi yang dia lakukan."Suara ... siapa tadi?" Lazuarrdi berbisik lirih. Namun suara bersenandung itu tak lagi terdengar. buru-buru Lazuardi menyelesaikan mandinya.Saat memakai handuk. Kembali Lazuarrdi mendengar senandung yang terasa asing dan aneh di telinga. Sebuah lagu yang tak dia kenal sama sekali.Seketika itu dia merapatkan tubuhnya ke dinding kamar mandi dengan telinga yang menempel. Dia bermaksud untuk bisa lebih jelas mendengar suara yang samar-samar.*Bekerdja! Bekerdja! Bekerdja!Tiada satoe doedoek termenoeng. Kaoem nelajan melajar laoet.Melawan badai ombak gemoroeh. Semua nelajan giat gembira.Tenaga pekerdja tegoeh bersatoe.
Terlihat kalau wanita tua itu mencoba mengingat sesuatu. Dahinya mengernyit. Dia berusaha keras untuk mengingat lagu yang seperti tak asing di telinga. "Aku seperti pernah mendengarnya. Tapi, di mana ya?" "Serius Eyang pernah mendengar?" Raut wajah Lazuarrdi tampak serius. Sampai kedua alisnya bertaut. Dengan dahi yang berkerut keras. "Iya, tapi aku lupa di mana. Apa masa kecil aku atau--" Sulasih geleng-geleng. Sulit baginya untuk bisa mengingat. Akan tetapi dia merasa pernah mendengar. "Bekerja ... bekerja?" ulang Sulasih. Tampak dahi keriputnya mengernyit. "Ini seperti lagu saat Eyang masih kecil dulu. Lagu jaman Nippon." "Jaman Nippon? Berarti waktu penjajahan Jepang dulu Eyang?" Wanita tua itu mengangguk. "I-iya, waktu itu di SR wajib bisa menyanyikan lagu ini. Dan saat itu para Nippon disambut baik oleh semua masyarakat kita. Tak tahunya mereka lebih kejam dari Belanda. Tak ada penjajah yang baik. Semua me
"Kalau bukan Eyang, lalu siapa?" Marni memberanikan diri mengangkat kepalanya, sembari berucap, "Sosok wanita yang ada di ruang belakang itu, Mas. Sosok wanita yang selalu menenteng kepalanya." "Dengan memakai kimono?" sahut Lazuarrdi. "Kimono?" ulang Marni bingung. "Baju Jepang itu loh Mbak Marni," lanjut Satriyo. "Ehhh, iya itu Mas." Terdengar Lazuarrdi yang menghela napas panjang. Tampak dari sorot mata, terpancar keresahan. Wanita itu pun pernah memeprlihatkan dirinya. Sewaktu pedang samurai baru sampai di rumah. "Tapi, kenapa dia menampakkan diri? Pada kita, makam kakek, dan juga di rumah Eyang?" Pertanyaan Lazuarrdi yang sulit untuk di jawab Marni atau Satriyo. "Sebaiknya, Mas Ardi bawa aja kotak yang ada di sentong belakang." "Kotak besi itu?" "Iya, Mas Ardi. Dulu semasa hidup Kakung. Saya sering lihat dia berjongkok lalu membuka penutupnya. Entah apa yang dia lihat? Aku juga kurang tahu."
Lazuarrdi melihat sang nenek, yang memegang lehernya sendiri. Dengan lidah yang terjulur. Seperti menahan kesakitan. "Eyang, ada apa?" "Dia ... dia takut dengan suara adzan!" bisik Sulasih. Tepat di telinga Lazuarrdi. "Diaaaa?" ulang Lazuarrdi. "Wanita Nippon itu. Dia datang dalam mimpiku lagi. Dia ingin agar kau bawa pedang itu Ardi." "Aneh sekali, Eyang. Bagaimana bisa ini ada hubungan dengan pedang itu?" Antara percaya dan tidak. Lazuarrdi pergi keluar kamar. Dia berjalan menuju ruang belakang. Llau menatap ke arah pedang itu. Kembali Lazuarrdi melihat tetesan darah segar. "Darah lagi?" bisik Lazuarrdi. "Mas Ardi!" Satriyo sudah berada di belakangnya. Lalu mengulurkan ponsel milik Lazuarrdi. "Dari siapa?" "Mas Danang kayaknya, Mas?" Buru-buru langkahnya keluar menuju teras samping rumah. "Bagaimana Bro?" "Busyet dah ahhh! Gila lo, Bos Bro." "Gila gimana?"
Tepat pukul dua belas siang. Mereka baru terbangun. Dan bergegas berkemas. Annisa yang sudah sedari tadi siapa sedang berjongkok di makam Kazumi atau Karmila.Dia membacakan Yasin dan doa untuknya. Dari ambang pintu Lazuarrdi melihat ke arahnya dengan wajah yang segar. Lalu berjalan mendekati Annisa."Maaf, enggak bisa seperti rencana semula Nis.""Enggak apa-apa kok Mas Ardi. Saya juga baru bangun kok. Buru-buru mandi terus ke sini sebentar.""Berarti belum makan?"Annisa menggeleng."Yuk, makan dulu. Kayaknya Marni sudah siapkan semuanya.""Baik, Mas."Langkah keduanya menuju ruang makan. Terlihat Marni yang sibuk menata piring."Kamu masak apa beli, Mbak?""Saya beli nasi padang Mas. Takut kalau di warung yang lain, Mas Ardi enggak suka. Soalnya agak manis masakannya."Apa yang dikatakan Marni dibenarkan Lazuarrdi. Segera dia duduk dan memanggil Satriyo yang sibuk memasukkan barang-barang."Kamu m
Hampir satu jam mereka merawat jasad yang sudah jadi tengkorak itu. Tepat pukul tiga pagi. Mereka kembali mengebumikan Kazumi atau Karmila."Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun!" ucap para warga serempak."Bahwa apa yang berasal dari-Nya. Pasti akan kembali kepada pemilik-NYa."Setelah prosesi pemakaman selesai. Beberapa warga beristirahat dengan suguhan yang dibikin oleh Marni."Annisa! Apa yang sebenarnya terjadi saat di dekat sungai tadi?""Maksud Mas Lazuarrdi?""Apa benar Kazumi meminta kamu mencari Kenanga?"Cukup lama Annisa terdiam."Kenapa kamu diam?""Ehhh ...."Wanita cantik menghela napas panjang. Lalu mengangguk."Tapi saya tak mau berjanji padanya. saya sudah tegaskan itu Mas. Akan semakin panjang kalau kita mencari Kenanga. Kita enggak tau harus bermulai dari mana juga 'kan?""Cuman yang aku takutkan, suatu saat nanti. Dia akan menganggu kita lagi, dengan meminta janji itu.""Mas,
"Mas Satriyo! Bisakah ambilkan dua lembar daun itu?""Bisa, Mbak. Sebentar!"Kedua kakinya berlari kecil meninggalkan Annisa dan Lazuarrdi yang masih terduduk di tanah."Kenapa perasaan aku sedih sekali, Nis? Seperti hancur, gelap, tak berdaya. Seolah hidup aku ini tak ada artinya lagi.""Mas Ardi banyak istigfar ya. Terus baca aya Qursi tiga kali, serta surat pendek tiga Qul. Mas Ardi bisa?"Lelaki tampan menggeleng dengan pandangan yang mengarah pada Annisa."Kalau begitu sholawat yang banyak saja Mas. Sama istigfar ya, biar perasaan Kazumi enggak terbawa Mas Lazuarrdi.""Baik, Nis."Tak lama. Satriyo sudah datang dengan memebawa dua lembvar daun keladi. Lantas memberikan pada Annisa.Sebelum mengambil kepala Kazumi, Annisa membaca doa terlebih dahulu. Setelah selesai. Dia memungut dengan kedua tangan beralaskan daun talas."Biar saya yang bawa!" tegas Annisa.Mereka pun berjalan pulang menuju rumah
"Kazumi sangat terluka. Aku kesakitan bukan saja raga aku. Tapi, jiwa aku. Apalagi saat aku mendengar kabar, Hayato membunuh semua keluargaku. Saat itu kehidupanku seperti runtuh. Aku ingin mati ... aku ingin mati! Apalagi Takashimo yang menyayangi aku penuh ketulusan. Dibunuh oleh bajingan laknat itu! Belum lagi Kenanga. Di manakah Kenanga berada? Sampai kematian aku pun tak mendapatkan lagi kabar tentang dia. Di mana diaaa ... Kenanga saat itu masih berumur muda sekali. Dan Hayato sudah menjadikannya Jugun Ianfu. Karena kemarahannya padaku," isak tangis Lazuarrdi dengan suara yang berbeda. "Apa aku salah membunuhnya dengan keji?!"Kali ini Lazuarrdi yang duduk bersimpuh menoleh perlahan ke arah Annisa yang berdiri di sampingnya. Sorot matanya tajam, menatap Annisa dengan berurai air mata."Jika memang kau ingin memakamkan aku dengan layak. Ada satu syarat yang aku pinta!"Annisa yang masih terperanjat tak langsung menjawab. Dia masih terpaku dengan mata yang m
"Ke-kenapa, Mas?"Dia terus menggeleng dengan raut wajah yang sangat tegang. Tarikan napasnya terdengar memburu. Lazuarrdi ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Annisa yang terus menatap lelaki tampan itu."Mas Ardi kenapa sih?""A-aku lihat dia Nisa.""Terus?""Awalnya dia terlihat layaknya seorang wanita berkimono. Tapi ... tiba-tiba, kepalanya kayak terpenggal begitu saja. Dan jatuh ke tanah."Sontak mendengar penjelasan seperti itu. Annisa langsung berusaha bangkit dari tempat dia berbaring. Membuat Lazuarrdi menatap tajam ke arahnya, dengan pandangan heran."Mau ke mana kamu?""Ayo, Mas! Aku sudah tau di mana letak kepalanya.""Maksud kamu?""Ayo, Mas!"Dibantu Lazuarrdi, Annisa berjalan lembat menuju pohon gayam itu. Diikuti oleh Satriyo yang terus menyorot ke arah mereka."Tunjukkan di mana Kazumi berdiri Mas!""Di tempat aku berdiri sekarang.""Oke, tunggu bentar Mas!"Anni
Dia mengangkat botol yang diberikan Mbah Sukro. Lalu mulai memercikkan air di sekitaran pohon gayam yang terlihat kokoh beridri di hadapan mereka.Saat Annisa sibuk mengucurkan air. Dedaunan pohon gayam seperti bergerak-gerak. Sampai menjatuhkan dedaunan yang kering.Sontak ketiganya melihat ke atas. Mereka seperti melihat dua titik cahaya merah. Seperti bola mata yang terus menatap ke arah mereka."I-itu ... apa Mbak Annisa?" teriak Satriyo membuat mereka berlari sedikit menjauh. Diikuti Annisa.Saat Annisa mendongak, dua titik berwarna kemerahan tak lagi terlihat."Aku masih belum selesai Mas. Kurang sisi utara aja," bisik Annisa."Ayo, kita kembali ke pohon itu!" ajak Lazuarrdi.Suasana benar-benar mencekam. Angin semakin berembus kencang."Bismillah, ya Allah bantu kami," bisik Annisa.Saat mereka kembali mendekati pohon gayam itu. Annisa merasa ada seseorang yang tengah memandang mereka. Sontak dia
Rupa-rupanya sosok hitam pekat itu, kembali akan melayangkan hantaman untuk yang keempat kalinya. Namun, sekilas cahaya putih menangkis serangan itu. Cahaya berbentuk butiran-butiran kecil menyerupai tasbih, menghalangi tubuh Mbah Sukro dari kekuatan hitam.Dalam genggaman tangan Mbah Sukro, dia terus menggulirkan tasbih yang sedari tadi dipegangnya. Terdengar lelaki itu mulai bergumam lirih. Dia terus berdzikir menghadapi serangan makhluk iblis itu.Sontak membuat kedua bayangan hitam itu, menghentikan serangannya dan mundur. Mbah Sukro memejamkan kedua mata dengan rapat. Tak henti bibirnya berdzikir. Walau tubuh tua terasa sakit akibat serangan itu. Dia terus berusaha untk membantu Annisa. Yang jauh darinya."Semoga kamu segera menemukannya, Nduk! Mbah akan mengawal kamu dari sini dengan doa."***Terlihat Annisa masih duduk dengan tafakur. Tiba-tiba dalam bayangan yang samar. Dirinya seperti melihat cahaya kemerahan yang berkelebat melintas Seir
Hanya dalam hitungan sekian detik. Sosok wanita itu sudah berdiri di hadapan lelaki itu. Wajah mereka begitu dekat. Tanpa jeda. Sampai Mbah Sukro bisa mencium embusan napas makhluk yang berada di hadapannya.Manik mata mereka salling beradu. Hingga sorot mata yang tajam tak bisa membuat Mbah Sukro tunduk.Tiba-tiba, di alam yang nyata. Pintu rumah terbuka lebar dengan sendirinya. Bagai ada seseorang yang telah membuka dengan paksa. Namun, tak terlihat siapa pun juga."Mau apa kamu ke rumahku? Kedatanganmu, secara paksa seperti ini apa maksudnya?" Mbah Sukro dengan mata yang terpejam."Hentikan pencarianmu! Atau kau akan mati! Sama seperti mereka semua." Terlihat bayanganhitam yang tak tampak perwujudannya.Masih dengan mata yang terpejam, Mbah Sukro melempar kembang-kembang itu dengan pelan."Mrene ... mrene! Ini makanan kamu!" seru Mbah Sukro.(Mrene = ke sini)Tampak gumpalan asap yang menyerupai sosok seorang lak
Seketika Satriyo mengarahkan senter yang ada di tangannya. Saat cahaya mulai menerangi pohon itu. Sontak dia melemparkan senter jumbo ke tanah. Dengan tubuh yang hampir terjungkal. Untung Lazuarrdi menahan keseimbangan tubuhnya, dengan menarik lengan Satriyo."Aaaaarghhhh!"Tubuh Satriyo akhirnya terduduk di dekat kaki Lazuarrdi. Napasnya tersengal-sengal."A-ada apa kamu?""Ayo, Mas. Kita pergi dari sini. Ini lebih seram dari rumah kita, Mas!" tegas Satriyo."Memangnya apa yang kamu lihat?"Satriyo tak mau menjawab. Dia menggeleng kuat-kuat. Lazuarrdi mengambil senter jumbo yang terbalik dan mati. Sekali tekan dan sedikit mengguncang akhirnya, senter menyala lagi.Lazuarrdi kembali menyorotkan cahaya pada pohon kelapa yang tak jauh dari mereka. Tak terlihat apa pun. Lalu dia menundukkan kepala."Kamu kenapa Sat? Coba bilang!""Ta-tanyakan Mbak Annisa, Mas!" Dengan suara bergetar dan tubuh Satriyo seperti orang yang kedi