"Mas ... Mas Ardi! Bangun, Mas!"
Lazuarrdi mengerjapkan mata hingga beberapa kali. Penglihatannya menangkap sebuah bayangan yang masih samar. Sampai dia benar-benar tersadar dan menyadari siapa yang berada di dekatnya.
"Satriyo? Kamu ... Satriyo 'kan?"
"Iya, Mas. Ini aku Satriyo."
Dia menyodorkan sebotol air mineral.
"Minumlah dulu, Mas!"
Walau di dalam mobil memakai AC, akan tetapi wajah dan tubuh Lazuarrdi benar-benar berkeringat. Dia mencekal lengan Satriyo dan menatap tajam ke arahnya.
"Di mana kita sekarang?"
"Masih tersesat, Mas. Ini kita mau turun."
"A-pa kamu lihat wanita itu lagi?"
Satriyo menggeleng.
"Bukannya kamu tadi menunjuk arah depan dan melihat wanita itu?"
Untuk yang kedua kalinya Satriyo menggeleng.
"Ja-jadi--"
"Saat mobil tadi berbelok. Mas Ardi bilang melihat bayangan hitam melintasi mobil kita. Dan setelahnya Mas Ardi diam kayak patung."
"Kamu tak melihat apa pun?"
"Sama sekali saya tak melihat apa-apa, Mas."
"Haaahhh!"
Lazuarrdi menghela napas panjang dan dalam. Lalu menyandarkan tubuhnya. Sembari memijit keningnya yang terasa pening.
"Sebaiknya kita jalan sekarang!"
"Iya, Mas. Ini akan kembali turun."
Mobil pun mulai bergerak perlahan. Menyusuri jalanan yang gelap. Dan mereka kembali berada di tengah pertigaan. Sengaja Satriyo menghentikan mobilnya lagi di sini.
"Sekarang kita ke mana, Mas?"
"Apa kamu benar-benar lupa, Sat?"
"Iya, Mas. Entahlah?"
"Benar-benar kamu ini bikin kepalaku makin puyeng. Tau enggak?"
Satriyo tak berani menjawab. Dia hanya menundukkan kepala.
"Kita turun lagi. Setelah ada perempemtana itu kita ambil kanan."
"Ba-baik, Mas."
Setelah mengikuti jalan yang dikatakan Lazuarrdi. Mereka mulai memasuki jalan beraspal yang lebih sempit. Hanya ada satu, dua penerangan dari lampu bohlam kemerahan.
"Itu gapuranya, Sat."
"Oh, iya Mas. Bener ini jalannya. Kok bisa aku tadi ambil yang ke atas?"
Satriyo geleng-geleng sendiri. Seperti menyesali kesalahannya.
Kanan kiri jalan terbentang hamparan sawah yang luas. Sepanjang mata memandang hanya terdapat satu dua lampu dari rumah warga penduduk desa. Rumah mereka pun berjarak cukup jauh. Antara satu dengan yang lain.
Hingga akhirnya jalanan sedikit menurun. Dari atas terlihat samar jembatan yang panjang. Hanya cukup dilewati satu mobil. Jembatan ini pun terlihat kokoh.
Di sebelah kiri jalan, tepat di ujung masuk jembatan. Terdapat sebuah pohon beringin yang tak terlalu tinggi. Akan tetap melebar ke samping kiri dan kanan. Dengan dedaunan yang sangat lebat, begitu pula akar ranting yang menjuntai.
Tepat di sebelah pohon beringin, terdapat batu yang sangat besar. Entah batu berasal dari mana?
Kata penduduk sekitar, di atas batu itu sering terlihat seorang putri. Yang seakan sedang menari. Pakaiannya lengkap bak putri keraton.
"Sepi sekali, Mas."
Suara Satriyo memecah keheningan malam.
"Udah jam dua ini, Sat. Ya wajarlah sepi."
"Saya kalau melewati jembatan dan pohon beringin itu, rada serem."
"Banyak doa aja."
Mobil mulai memasuki jebatan kecil itu. Suara debur arus sungai terdengar sangat kencang. Bahkan suaranya sampai menembus ke dalam mobil.
Setelah melewati jembatan. Mobil kembali menyusuri jalan yang kembali menanjak. Di sekitar sini rumah warga mulai berhimpitan. Tak lama, mobil memasuki sebuah halaman yang sangat luas.
Satriyo memarkir mobil di halaman samping rumah. Lazuarrdi pun merasa lega sudah sampai di rumah ini lagi. Sejenak dia berdiri terpaku memerhatikan setiap sudut rumah.
Bangunannya masih terlihat sangat kokoh. Dengan beberapa pilar cukup besar di bagian teras. Terbuat dari kayu jati, menyangga rumah itu dengan sangat menawan. Menambah kesan artistik rumah kakek dan nenek Lazuarrdi.
Tak berapa lama, terdengar suara pintu yang hendak dibuka.
Klek!
Derit pintu mulai terdengar.
Kriiiiiet!
"Kalian toh? Aku kira enggak jadi datang."
Lazuarrdi langsung meraih tangan sang nenek dan menciumnya.
"Kalian cuman berdua saja?"
"Iya, Eyang Uti."
"Masuklah kalau begitu."
Mereka lantas mengikuti langkah sang nenek. Lazuarrdi melempar pandangan ke semua arah. Dia menyapu satu persatu setiap isi rumah.
"Eyang yang nemani siapa?"
"Ada yang jagain. Bapakmu toh yang kasih duit orangnya."
Wanita tua yang hanya memakai kemben dan jarik motif Truntum. Berjalan lamban dan sedikit membungkuk. Dia menunjukkan dua kamar yang bisa dipakai Lazuarrdi dan Satriyo.
"Ini kamar kamu. Ardi. Yang satu itu, untuk sopir kamu."
"Iya, Eyang."
Wanita itu pun meninggalkan mereka. Dia berjalan menuju sebuah kamar yang berada paling belakang sendiri, dekat sentong tengah (ruang kamar). Sewaktu sang kakek masih hidup. Sentong tengah sering dipergunakan sebagai tempat tidur di siang hari. Tak ada seorang pun yang berani masuk. Termasuk anak-anaknya.
"Marniiii! Mas Ardi sudah datang sama sopirnya iki loh! Buatkan minuman," teriak Eyang Sulasih parau.
"Iya, Mbah Ibu."
Lazuarrdi langsung masuk ke kamar yang ditunjukkan oleh sang nenek. Sejenak dia duduk di pinggiran ranjang. Lalu mengganti pakaian dengan kaos dan celana pendek.
"Baiknya aku menemui Eyang."
Dia pun berjalan keluar kamar. Tepat di seberang kamarnya, kamar sang nenek.
Tok tok tok!
"Apa Eyang tidur?"
"Ora (tidak), Ardi. Masuklah!"
Pintu terbuka perlahan. Dia melihat sang nenek yang sedang menyisir rambutnya yang memutih. Sepanjang pinggang. Tangannya menepuk kasur, dengan pandangan yang mengarah pada cucunya.
"Kamu kok datangnya malam sekali toh?"
"Ma-maaf kan Ardi, Eyang. Saya juga tak tahu, malam ini tadi kok banyak sekali kejadian aneh."
"Aneh?"
Lelaki muda dan tampan itu mengangguk.
"Kenapa sejak Ardi menerima warisan pedang samurai itu, selalu dihantui seorang wanita?"
Tatap sayu kedua mata sang nenek, tak lepas dari wajah Lazuarrdi. Tergurat keterkejutan yang tak bisa disembunyikan. Sepertinya wanita tua ini, mengetahui sesuatu hal.
"Kenapa Eyang memandang saya aneh seperti ini?"
Sulasih menggeleng pelan.
"Aku bener-bener kaget. Saat kamu bilang tadi."
"Tapi, kagetnya karena apa Eyang? Pasti ada alasannya 'kan?"
"Kakek kamu mendapatkan pedang itu, dari seorang temannya. Waktu itu kakek kamu masih muda. Mungkin hampir seumuran kamu. Tiga puluhan, tapi Kakek sudah menikah sama aku."
"Kenapa teman Kakek memberikan pedang ini?"
"Sampai sekarang pun, Kakek kamu tak pernah beritahukan alasannya kenapa? Bahkan pernah aku paksa untuk bercerita. Tetap saja Kakek kamu diam sejuta bahasa."
Sulasih menoleh pada cucunya. Seraya mengernyit, lalu mengusap punggung cucunya.
"Apa kamu diganggu?"
"Eyang tau?"
"Apakah seorang wanita?"
Kali ini Lazuarrdi yakin, kalau neneknya mengetahui suatu hal yang penting. Lazuarrdi menarik telapak tangan Sulasih, lalu menggenggam erat.
"Katakan Eyang. Pedang samurai itu milik siapa? Atau mungkin, Kakek pernah mengalami hal yang sama?"
"Soal siapa pemilik pedang itu, Eyang juga enggak tau. Hanya saja pernah Kakek kamu sekilas bercerita. Perkenalan dia dengan seorang wanita Jepang. Kalau tak salah namanya Kazumi."
"Kazumi?"
Kali ini dahi Lazuarrdi benar-benar berkerut. Dia merasa kenal dan sangat akrab dengan nama Kazumi.
"Kazumi, Eyang? Wanita berpakaian kimono khas Jepang?" ulang Lazuarrdi.
Wanita tua itu mengangguk.
"Iya, baju wanita Nipon. Apa dia pernah mendatangi kamu, Ardi?"
"Pernah, Eyang. Tapi, aku tak tahu nama dia? Kazumi atau bukan."
"A-pa, dengan ... menenteng kepalanya?"
***
Follow Ig Raifiza_lina, F* : Raifiza Lina.
Ikuti cerita yang lain Kuku Bu Sapto.
Wanita tua itu mengangguk."Iya, baju wanita Nipon. Apa dia pernah mendatangi kamu, Ardi?""Pernah, Eyang. Tapi, aku tak tahu nama dia? Kazumi atau bukan.""A-pa, dengan ... menenteng kepalanya?" Suara Sulasih terdengar lirih. Bahkan Lazuarrdi harus mendekatkan telinganya di bibir sang nenek."Baru saja Ardi melihat dia Eyang. Sewaktu perjalanan ke rumah nenek. Makanya sampai saya kemalaman.""Kamu tersesat juga?""Eyang kok bisa tahu?"Wanita tua itu, menghela napas panjang. Seperti ada beban yang ingin dia luapkan semua. Lalu Sulasih merebahkan tubuhnya."Apa pedang samurai itu ingin kamu kembalikan lagi ke sini?""Kalau Eyang memperbolehkan.""Haaaahhh! Kalau kau ingin Eyang segera mati. Taruhlah lagi di sini.""Apa maksud Eyang bicara seperti ini?""Tidurlah, Ardi! Besok pagi kita bicara lagi."Sepintas dia melihat pada tubuh sang nenek yang tidur meringkuk membelakangi. Lazuarrdi pun meny
Suara itu terus berulang di telinga."Kamu siapa? Perlihatkan dirimu sekarang?""Ikutlah aku, Kang Mas!""Haaaahhh?!"Lazuarrdi hanya bisa terpaku saat melihat seorang wanita sangat cantik. Rambutnya panjang terurai. Mengenakan kebaya hijau tua, dipadu kain jarik. Sangat serasi dan terlihat anggun menawan. Membuat Lazuarrdi semakin terpesona."Ka-kamu ini siapa? Kok bisa tiba-tiba datang ke kamar aku?""Namaku Karmila.""Nama yang indah dan sangat cantik."Wanita itu tak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia cenderung dingin dan kaku. Langkahnya bak putri keraton, gemulai dan penuh etika saat melenggok."Karmila ... maaf, siapa kamu ini sebenarnya?"Tetap saja wanita cantik itu terdiam. Dia terus menyusuri jalanan yang sepi dan lengang. Diikuti oleh Lazuarrdi."Kita ini mau ke mana Karmila?"Dia menoleh sekilas pada Lazuarrdi. Lalu mengalihkan pandangan matanya kembali lurus ke depan. L
Tepat di depan mata. Lazuarrdi menyaksikan pemandangan brutal yang dilakukan para serdadu Jepang pada Karmila. Mereka memperlakukan dengan beringas. Menggagahi tanpa ampun. Seperti mereka tak pernah melihat seorang wanita. Saat itu, ingin rasa hati Lazuarrdi membunuh mereka satu persatu. Namun apa daya. Tubuhnya bagai berada di ruang dan waktu yang berbeda. Akan tetapi, mengapa hujan yang dirasa sungguh nyata adanya. Sinar mata Karmila meredup. Hingga akhirnya dia terkulai lemas. Para prajurit Jepang itu, bagai anjing yang kelaparan. Disuguhkan daging mentah yang segar dan langsung disambar tanpa sisa. "Karmila ... Karmila!" teriak Lazuarrdi. Malam itu terdengar suara teriakan Lazuarrdi yang sangat kencang. Memecah keheningan malam. Membuat semua penghuni rumah terbangun. "Lazuarrdi ... bangun!" teriak Eyang Uti, yang sudah berdiri di ambang pintu. Tak lama, Satriyo sudah menyusul ke kamar tuannya. Begitu juga dengan pelayan Sulasi
Kedua tangan Lazuarrdi mengepal erat. Napasnya naik turun dengan cepat, menahan kemarahan. Dia mendengkus kasar. Lalu mengalihkan pandangan pada Satriyo yang hanya bisa tertegun mendengar cerita Lazuarrdi. "Jadi, wanita itu mati Mas?" "Aku enggak tau, Sat. Hanya sampai dia diperkosa, terus aku dengar suara kalian yang sudah ramai." "Bisa saja akhirnya dia mati dan penasaran. Iya kan, Mas?" "Bisa juga seperti itu, Sat. Hanya saja foto ini ...." Lazuarrdi terus memandang sosok wanita yang mirip dengan Karmila. Yang dia lihat dalam mimpi. Lalu bergegas dia keluar kamar. Meninggalkan Satriyo yang masih terpaku melihat tuannya. "Mau ke mana Mas?" "Ikutlah!" Satriyo pun mengikuti langkah Lazuarrdi. Mereka berdua menuju ruang belakang. Ruangan yang berada tepat di depan sentong tengah. Lalu Lazuarrdi berhenti tepat di depan cermin kuno yang berbentuk oval. Tepat di atasnya tempat pedang samurai itu diletakkan. La
Lazuarrdi menggeleng. Seakan tak memercayai apa yang dikatakan oleh sosok itu pada sang nenek. "Tak mungkin dia bisa membunuh Eyang!" Wanita tua itu menatap tajam dengan sorot mata yang berkilat. Seakan kesal dan geram dengan sikap Lazuarrdi. Yang menganggap ceritanya hanya kebohongan belaka. "Kamu tak percaya?" sentak sang Nenek. "Bagaimana mungkin ada seorang hantu yang mengancam untuk membunuh, Eyang? Ini buat aku terlalu janggal dan aneh." "Lalu bagaimana dengan penampakan dan gangguan yang sering menghantui kamu? Apa hanya bualan kamu saja?" Lazuarrdi langsung terdiam. Apa yang dikatakan sang nenek ada benarnya. Akan tetapi dia tak mau ambil pusing dengan pedang yang misterius itu. "Kenapa kamu diam? Pasti kamu memikirkan tentang pedang itu juga. Iya 'kan?" "Maafkan aku, Eyang. Bukannya tak mau percaya dengan apa yang dikatakan Eyang. Hanya saja, aku benar-benar tak ingin membawa lagi pedang milik Kakung ini."
Sepintas dia seperti medengar sayup-sayup suara orang sedang bernyanyi lirih. Sontak Lazuarrdi menghentikkan aktivitas mandi yang dia lakukan."Suara ... siapa tadi?" Lazuarrdi berbisik lirih. Namun suara bersenandung itu tak lagi terdengar. buru-buru Lazuardi menyelesaikan mandinya.Saat memakai handuk. Kembali Lazuarrdi mendengar senandung yang terasa asing dan aneh di telinga. Sebuah lagu yang tak dia kenal sama sekali.Seketika itu dia merapatkan tubuhnya ke dinding kamar mandi dengan telinga yang menempel. Dia bermaksud untuk bisa lebih jelas mendengar suara yang samar-samar.*Bekerdja! Bekerdja! Bekerdja!Tiada satoe doedoek termenoeng. Kaoem nelajan melajar laoet.Melawan badai ombak gemoroeh. Semua nelajan giat gembira.Tenaga pekerdja tegoeh bersatoe.
Terlihat kalau wanita tua itu mencoba mengingat sesuatu. Dahinya mengernyit. Dia berusaha keras untuk mengingat lagu yang seperti tak asing di telinga. "Aku seperti pernah mendengarnya. Tapi, di mana ya?" "Serius Eyang pernah mendengar?" Raut wajah Lazuarrdi tampak serius. Sampai kedua alisnya bertaut. Dengan dahi yang berkerut keras. "Iya, tapi aku lupa di mana. Apa masa kecil aku atau--" Sulasih geleng-geleng. Sulit baginya untuk bisa mengingat. Akan tetapi dia merasa pernah mendengar. "Bekerja ... bekerja?" ulang Sulasih. Tampak dahi keriputnya mengernyit. "Ini seperti lagu saat Eyang masih kecil dulu. Lagu jaman Nippon." "Jaman Nippon? Berarti waktu penjajahan Jepang dulu Eyang?" Wanita tua itu mengangguk. "I-iya, waktu itu di SR wajib bisa menyanyikan lagu ini. Dan saat itu para Nippon disambut baik oleh semua masyarakat kita. Tak tahunya mereka lebih kejam dari Belanda. Tak ada penjajah yang baik. Semua me
"Kalau bukan Eyang, lalu siapa?" Marni memberanikan diri mengangkat kepalanya, sembari berucap, "Sosok wanita yang ada di ruang belakang itu, Mas. Sosok wanita yang selalu menenteng kepalanya." "Dengan memakai kimono?" sahut Lazuarrdi. "Kimono?" ulang Marni bingung. "Baju Jepang itu loh Mbak Marni," lanjut Satriyo. "Ehhh, iya itu Mas." Terdengar Lazuarrdi yang menghela napas panjang. Tampak dari sorot mata, terpancar keresahan. Wanita itu pun pernah memeprlihatkan dirinya. Sewaktu pedang samurai baru sampai di rumah. "Tapi, kenapa dia menampakkan diri? Pada kita, makam kakek, dan juga di rumah Eyang?" Pertanyaan Lazuarrdi yang sulit untuk di jawab Marni atau Satriyo. "Sebaiknya, Mas Ardi bawa aja kotak yang ada di sentong belakang." "Kotak besi itu?" "Iya, Mas Ardi. Dulu semasa hidup Kakung. Saya sering lihat dia berjongkok lalu membuka penutupnya. Entah apa yang dia lihat? Aku juga kurang tahu."
Tepat pukul dua belas siang. Mereka baru terbangun. Dan bergegas berkemas. Annisa yang sudah sedari tadi siapa sedang berjongkok di makam Kazumi atau Karmila.Dia membacakan Yasin dan doa untuknya. Dari ambang pintu Lazuarrdi melihat ke arahnya dengan wajah yang segar. Lalu berjalan mendekati Annisa."Maaf, enggak bisa seperti rencana semula Nis.""Enggak apa-apa kok Mas Ardi. Saya juga baru bangun kok. Buru-buru mandi terus ke sini sebentar.""Berarti belum makan?"Annisa menggeleng."Yuk, makan dulu. Kayaknya Marni sudah siapkan semuanya.""Baik, Mas."Langkah keduanya menuju ruang makan. Terlihat Marni yang sibuk menata piring."Kamu masak apa beli, Mbak?""Saya beli nasi padang Mas. Takut kalau di warung yang lain, Mas Ardi enggak suka. Soalnya agak manis masakannya."Apa yang dikatakan Marni dibenarkan Lazuarrdi. Segera dia duduk dan memanggil Satriyo yang sibuk memasukkan barang-barang."Kamu m
Hampir satu jam mereka merawat jasad yang sudah jadi tengkorak itu. Tepat pukul tiga pagi. Mereka kembali mengebumikan Kazumi atau Karmila."Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun!" ucap para warga serempak."Bahwa apa yang berasal dari-Nya. Pasti akan kembali kepada pemilik-NYa."Setelah prosesi pemakaman selesai. Beberapa warga beristirahat dengan suguhan yang dibikin oleh Marni."Annisa! Apa yang sebenarnya terjadi saat di dekat sungai tadi?""Maksud Mas Lazuarrdi?""Apa benar Kazumi meminta kamu mencari Kenanga?"Cukup lama Annisa terdiam."Kenapa kamu diam?""Ehhh ...."Wanita cantik menghela napas panjang. Lalu mengangguk."Tapi saya tak mau berjanji padanya. saya sudah tegaskan itu Mas. Akan semakin panjang kalau kita mencari Kenanga. Kita enggak tau harus bermulai dari mana juga 'kan?""Cuman yang aku takutkan, suatu saat nanti. Dia akan menganggu kita lagi, dengan meminta janji itu.""Mas,
"Mas Satriyo! Bisakah ambilkan dua lembar daun itu?""Bisa, Mbak. Sebentar!"Kedua kakinya berlari kecil meninggalkan Annisa dan Lazuarrdi yang masih terduduk di tanah."Kenapa perasaan aku sedih sekali, Nis? Seperti hancur, gelap, tak berdaya. Seolah hidup aku ini tak ada artinya lagi.""Mas Ardi banyak istigfar ya. Terus baca aya Qursi tiga kali, serta surat pendek tiga Qul. Mas Ardi bisa?"Lelaki tampan menggeleng dengan pandangan yang mengarah pada Annisa."Kalau begitu sholawat yang banyak saja Mas. Sama istigfar ya, biar perasaan Kazumi enggak terbawa Mas Lazuarrdi.""Baik, Nis."Tak lama. Satriyo sudah datang dengan memebawa dua lembvar daun keladi. Lantas memberikan pada Annisa.Sebelum mengambil kepala Kazumi, Annisa membaca doa terlebih dahulu. Setelah selesai. Dia memungut dengan kedua tangan beralaskan daun talas."Biar saya yang bawa!" tegas Annisa.Mereka pun berjalan pulang menuju rumah
"Kazumi sangat terluka. Aku kesakitan bukan saja raga aku. Tapi, jiwa aku. Apalagi saat aku mendengar kabar, Hayato membunuh semua keluargaku. Saat itu kehidupanku seperti runtuh. Aku ingin mati ... aku ingin mati! Apalagi Takashimo yang menyayangi aku penuh ketulusan. Dibunuh oleh bajingan laknat itu! Belum lagi Kenanga. Di manakah Kenanga berada? Sampai kematian aku pun tak mendapatkan lagi kabar tentang dia. Di mana diaaa ... Kenanga saat itu masih berumur muda sekali. Dan Hayato sudah menjadikannya Jugun Ianfu. Karena kemarahannya padaku," isak tangis Lazuarrdi dengan suara yang berbeda. "Apa aku salah membunuhnya dengan keji?!"Kali ini Lazuarrdi yang duduk bersimpuh menoleh perlahan ke arah Annisa yang berdiri di sampingnya. Sorot matanya tajam, menatap Annisa dengan berurai air mata."Jika memang kau ingin memakamkan aku dengan layak. Ada satu syarat yang aku pinta!"Annisa yang masih terperanjat tak langsung menjawab. Dia masih terpaku dengan mata yang m
"Ke-kenapa, Mas?"Dia terus menggeleng dengan raut wajah yang sangat tegang. Tarikan napasnya terdengar memburu. Lazuarrdi ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Annisa yang terus menatap lelaki tampan itu."Mas Ardi kenapa sih?""A-aku lihat dia Nisa.""Terus?""Awalnya dia terlihat layaknya seorang wanita berkimono. Tapi ... tiba-tiba, kepalanya kayak terpenggal begitu saja. Dan jatuh ke tanah."Sontak mendengar penjelasan seperti itu. Annisa langsung berusaha bangkit dari tempat dia berbaring. Membuat Lazuarrdi menatap tajam ke arahnya, dengan pandangan heran."Mau ke mana kamu?""Ayo, Mas! Aku sudah tau di mana letak kepalanya.""Maksud kamu?""Ayo, Mas!"Dibantu Lazuarrdi, Annisa berjalan lembat menuju pohon gayam itu. Diikuti oleh Satriyo yang terus menyorot ke arah mereka."Tunjukkan di mana Kazumi berdiri Mas!""Di tempat aku berdiri sekarang.""Oke, tunggu bentar Mas!"Anni
Dia mengangkat botol yang diberikan Mbah Sukro. Lalu mulai memercikkan air di sekitaran pohon gayam yang terlihat kokoh beridri di hadapan mereka.Saat Annisa sibuk mengucurkan air. Dedaunan pohon gayam seperti bergerak-gerak. Sampai menjatuhkan dedaunan yang kering.Sontak ketiganya melihat ke atas. Mereka seperti melihat dua titik cahaya merah. Seperti bola mata yang terus menatap ke arah mereka."I-itu ... apa Mbak Annisa?" teriak Satriyo membuat mereka berlari sedikit menjauh. Diikuti Annisa.Saat Annisa mendongak, dua titik berwarna kemerahan tak lagi terlihat."Aku masih belum selesai Mas. Kurang sisi utara aja," bisik Annisa."Ayo, kita kembali ke pohon itu!" ajak Lazuarrdi.Suasana benar-benar mencekam. Angin semakin berembus kencang."Bismillah, ya Allah bantu kami," bisik Annisa.Saat mereka kembali mendekati pohon gayam itu. Annisa merasa ada seseorang yang tengah memandang mereka. Sontak dia
Rupa-rupanya sosok hitam pekat itu, kembali akan melayangkan hantaman untuk yang keempat kalinya. Namun, sekilas cahaya putih menangkis serangan itu. Cahaya berbentuk butiran-butiran kecil menyerupai tasbih, menghalangi tubuh Mbah Sukro dari kekuatan hitam.Dalam genggaman tangan Mbah Sukro, dia terus menggulirkan tasbih yang sedari tadi dipegangnya. Terdengar lelaki itu mulai bergumam lirih. Dia terus berdzikir menghadapi serangan makhluk iblis itu.Sontak membuat kedua bayangan hitam itu, menghentikan serangannya dan mundur. Mbah Sukro memejamkan kedua mata dengan rapat. Tak henti bibirnya berdzikir. Walau tubuh tua terasa sakit akibat serangan itu. Dia terus berusaha untk membantu Annisa. Yang jauh darinya."Semoga kamu segera menemukannya, Nduk! Mbah akan mengawal kamu dari sini dengan doa."***Terlihat Annisa masih duduk dengan tafakur. Tiba-tiba dalam bayangan yang samar. Dirinya seperti melihat cahaya kemerahan yang berkelebat melintas Seir
Hanya dalam hitungan sekian detik. Sosok wanita itu sudah berdiri di hadapan lelaki itu. Wajah mereka begitu dekat. Tanpa jeda. Sampai Mbah Sukro bisa mencium embusan napas makhluk yang berada di hadapannya.Manik mata mereka salling beradu. Hingga sorot mata yang tajam tak bisa membuat Mbah Sukro tunduk.Tiba-tiba, di alam yang nyata. Pintu rumah terbuka lebar dengan sendirinya. Bagai ada seseorang yang telah membuka dengan paksa. Namun, tak terlihat siapa pun juga."Mau apa kamu ke rumahku? Kedatanganmu, secara paksa seperti ini apa maksudnya?" Mbah Sukro dengan mata yang terpejam."Hentikan pencarianmu! Atau kau akan mati! Sama seperti mereka semua." Terlihat bayanganhitam yang tak tampak perwujudannya.Masih dengan mata yang terpejam, Mbah Sukro melempar kembang-kembang itu dengan pelan."Mrene ... mrene! Ini makanan kamu!" seru Mbah Sukro.(Mrene = ke sini)Tampak gumpalan asap yang menyerupai sosok seorang lak
Seketika Satriyo mengarahkan senter yang ada di tangannya. Saat cahaya mulai menerangi pohon itu. Sontak dia melemparkan senter jumbo ke tanah. Dengan tubuh yang hampir terjungkal. Untung Lazuarrdi menahan keseimbangan tubuhnya, dengan menarik lengan Satriyo."Aaaaarghhhh!"Tubuh Satriyo akhirnya terduduk di dekat kaki Lazuarrdi. Napasnya tersengal-sengal."A-ada apa kamu?""Ayo, Mas. Kita pergi dari sini. Ini lebih seram dari rumah kita, Mas!" tegas Satriyo."Memangnya apa yang kamu lihat?"Satriyo tak mau menjawab. Dia menggeleng kuat-kuat. Lazuarrdi mengambil senter jumbo yang terbalik dan mati. Sekali tekan dan sedikit mengguncang akhirnya, senter menyala lagi.Lazuarrdi kembali menyorotkan cahaya pada pohon kelapa yang tak jauh dari mereka. Tak terlihat apa pun. Lalu dia menundukkan kepala."Kamu kenapa Sat? Coba bilang!""Ta-tanyakan Mbak Annisa, Mas!" Dengan suara bergetar dan tubuh Satriyo seperti orang yang kedi