Sepintas dia seperti medengar sayup-sayup suara orang sedang bernyanyi lirih. Sontak Lazuarrdi menghentikkan aktivitas mandi yang dia lakukan.
"Suara ... siapa tadi?" Lazuarrdi berbisik lirih. Namun suara bersenandung itu tak lagi terdengar. buru-buru Lazuardi menyelesaikan mandinya.
Saat memakai handuk. Kembali Lazuarrdi mendengar senandung yang terasa asing dan aneh di telinga. Sebuah lagu yang tak dia kenal sama sekali.
Seketika itu dia merapatkan tubuhnya ke dinding kamar mandi dengan telinga yang menempel. Dia bermaksud untuk bisa lebih jelas mendengar suara yang samar-samar.
*
Bekerdja!
Bekerdja!
Bekerdja!
Tiada satoe doedoek termenoeng. Kaoem nelajan melajar laoet.
Melawan badai ombak gemoroeh. Semua nelajan giat gembira.
Tenaga pekerdja tegoeh bersatoe.
Terlihat kalau wanita tua itu mencoba mengingat sesuatu. Dahinya mengernyit. Dia berusaha keras untuk mengingat lagu yang seperti tak asing di telinga. "Aku seperti pernah mendengarnya. Tapi, di mana ya?" "Serius Eyang pernah mendengar?" Raut wajah Lazuarrdi tampak serius. Sampai kedua alisnya bertaut. Dengan dahi yang berkerut keras. "Iya, tapi aku lupa di mana. Apa masa kecil aku atau--" Sulasih geleng-geleng. Sulit baginya untuk bisa mengingat. Akan tetapi dia merasa pernah mendengar. "Bekerja ... bekerja?" ulang Sulasih. Tampak dahi keriputnya mengernyit. "Ini seperti lagu saat Eyang masih kecil dulu. Lagu jaman Nippon." "Jaman Nippon? Berarti waktu penjajahan Jepang dulu Eyang?" Wanita tua itu mengangguk. "I-iya, waktu itu di SR wajib bisa menyanyikan lagu ini. Dan saat itu para Nippon disambut baik oleh semua masyarakat kita. Tak tahunya mereka lebih kejam dari Belanda. Tak ada penjajah yang baik. Semua me
"Kalau bukan Eyang, lalu siapa?" Marni memberanikan diri mengangkat kepalanya, sembari berucap, "Sosok wanita yang ada di ruang belakang itu, Mas. Sosok wanita yang selalu menenteng kepalanya." "Dengan memakai kimono?" sahut Lazuarrdi. "Kimono?" ulang Marni bingung. "Baju Jepang itu loh Mbak Marni," lanjut Satriyo. "Ehhh, iya itu Mas." Terdengar Lazuarrdi yang menghela napas panjang. Tampak dari sorot mata, terpancar keresahan. Wanita itu pun pernah memeprlihatkan dirinya. Sewaktu pedang samurai baru sampai di rumah. "Tapi, kenapa dia menampakkan diri? Pada kita, makam kakek, dan juga di rumah Eyang?" Pertanyaan Lazuarrdi yang sulit untuk di jawab Marni atau Satriyo. "Sebaiknya, Mas Ardi bawa aja kotak yang ada di sentong belakang." "Kotak besi itu?" "Iya, Mas Ardi. Dulu semasa hidup Kakung. Saya sering lihat dia berjongkok lalu membuka penutupnya. Entah apa yang dia lihat? Aku juga kurang tahu."
Lazuarrdi melihat sang nenek, yang memegang lehernya sendiri. Dengan lidah yang terjulur. Seperti menahan kesakitan. "Eyang, ada apa?" "Dia ... dia takut dengan suara adzan!" bisik Sulasih. Tepat di telinga Lazuarrdi. "Diaaaa?" ulang Lazuarrdi. "Wanita Nippon itu. Dia datang dalam mimpiku lagi. Dia ingin agar kau bawa pedang itu Ardi." "Aneh sekali, Eyang. Bagaimana bisa ini ada hubungan dengan pedang itu?" Antara percaya dan tidak. Lazuarrdi pergi keluar kamar. Dia berjalan menuju ruang belakang. Llau menatap ke arah pedang itu. Kembali Lazuarrdi melihat tetesan darah segar. "Darah lagi?" bisik Lazuarrdi. "Mas Ardi!" Satriyo sudah berada di belakangnya. Lalu mengulurkan ponsel milik Lazuarrdi. "Dari siapa?" "Mas Danang kayaknya, Mas?" Buru-buru langkahnya keluar menuju teras samping rumah. "Bagaimana Bro?" "Busyet dah ahhh! Gila lo, Bos Bro." "Gila gimana?"
"Mungkin benar pemikiran Mas Ardi. Lalu apa hubungan Karmila dengan pedang itu, Mas?""Banyak hal yang harus kita cari tahu, Sat. Siapa Karmila? Siapa pemilik pedang itu sebenarnya? Terus, siapa sebenarnya wanita berpakaian Jepang itu? Banyak pertanyaan yang ada di kepala ini, Sat. Dan ... semua ini aku melihatnya masih kosong. Tak ada gambaran sama sekali yang aku lihat.""Mungkin memang kita butuh mencari sebab musababnya dulu Mas. Dan ikhwal keberadaan pedang itu serta dua sosok wanita Jepang dan Karmila.""Kamu benar. Mungkin setelah merger perusahaan Papa. Aku bisa lebih fokus urusan ini dulu.""Ehhh ... kenapa perusahaan Tuan Erland sampai harus merger dengan pengusaha Jepang itu, Mas?""Agar bisa lebih berkembang dan besar. Sat.""Kok perusahaan Mas Ardi enggak ikutan?"Lelaki tampan itu, hanya tersenyum."Aku ingin menunjukkan perusahaan aku juga bisa besar. Tanpa bantuan Papa, Sat. Saat ini aku masih memegang dua perus
"Maaf, Mas Ardi. Saya nguping dan ngintip. Habis saya penasaran dengan bau pedang itu. Yang terkadang sampai tercium ke kamar saya, Mas." Kalimat Marni itu membuat mereka berdua kembali penuh tanya. Melihat jarak kamar dan ruang belakang itu cukup jauh. Apa mungkin bau busuk itu akan tercium sampai ke kamar Marni? Pertanyaan itu ada dalam benak Lazuarrdi dan Satriyo. Mereka sampai menatap tajam pada Marni. Dengan rasa tak percaya. "Apa Mas Ardi dan Mas Satriyo enggak percaya?" Mereka berdua terdiam. "Mas Ardi dan Mas Satriyo belum pernah mendengar saat pedang samurai itu seperti dibawa orang berjalan. Dengan ujung pedang yang mengarah ke lantai. Jadi suaranya itu bikin pekak telinga." "Memangnya siapa yang bawa pedangnya?" tanya Lazuarrdi keheranan. "Aku juga enggak tau, Mas Ardi. Enggak berani ngelihatnya. Tapi kalau pedang itu datang. Pasti bau anyir dan busuk. Awalnya aku kira ada bangkai tikus. Tapi, berasal dari pedang itu
Suara Lazuarrdi masih terdengar lirih. Lalu dia mengulang lagi, ucapannya. Sembari terus mengusap batu itu."Karmilaaa ...?" ulangnya lembut."Entah kebetulan atau tidak, tapi ada nama yang sama dengan yang pernah Mas Ardi dengar. Iya kan?" Marni menengok ke arah Lazuarrdi yang masih tertegun."Siapa yang menggoreskan nama ini?" Suaranya berbisik. Membuat Marni dan Satriyo kembali menoleh kepadanya."Mungkin seseorang di masa lalu, Mas. Itu pun aja sudah samar. Saya waktu itu engga sengaja selesai ambil mangga muda, duduk di situ. Baru sadar setelah aku perhatikan batu itu, Mas.""Apa mungkin keberadaan Karmila ada hubungan dengan rumah ini, Mas?" lanjut Satriyo.Pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawab oleh Lazuarrdi. Lantas mereka kembali ke dalam rumah. Saat matahari sudah mulai terbenam. Bergegas Marni menylakan semua lampu dan menutup pintu serta jendela."Enggak usah keburu-buru, Mbak Marni.""Sudah sorop, Mas."Sa
"Aaaaahhh!" Tampak Lazuarrdi kesal. Dia pun mempercepat langkahnya berjalan. Memasuki rumah tua yang masih terlihat megah dan kokoh. "Kenapa Eyang tak pernah ceritakan mengenai Kakung yang kerasukan?" Tiba-tiba Lazuarrdi sudah nyelonong masuk kamar sang nenek. Yang masih ditemani oleh Marni. sontak wajah sang nenek dan Marni terkejut. "Beberapa hari sebelum Kakung meninggal, beliau sering kerasukan. Seperti seorang samurai yang mengayunkan pedang. Sampai menebas pohon jambu di depan rumah. Iya kan Eyang?" "Memang benar!" tegas Sulasih tanpa berkelit. "Kenapa Eyang tak pernah ceritakan hal ini?" "Karena aku ... tak mau kamu takut. Pada akhirnya membiarkan pedang itu tetap di rumah ini." Mendengar alasan sang nenek. Lelaki tampan itu tersenyum masam. Lalu berjalan menghampiri Sulasih. "Eyang, Lazuarrdi udah 29 tahun. Bukan anak kemarin sore lagi. Insting bisnisku sangat kuat. Apalagi insting menghadapi persoalan yang lebi
Hampir saja ponsel itu dibanting oleh Lazuarrdi. Tangannya sampai bergetar. Dia memberanikan diri untuk mendengar suara itu."Si-siapa Karmila?"Hanya terdengar suara tawa yang melengking tinggi. Dan hanya sekejap, tawa itu hilang.Tut tut tut!"Haaaahhh?! Siapa yang berani main-main denganku?" bisik Lazuarrdi.Dia langsung menggeletakkan ponsel di atas kasur. Sembari matanya tak lepas memandang ke arah ponsel."Ini, apa-apaan lagi sih?" gerutu Lazuarrdi terlihat kesal.Lalu pandangannya beralih pada foto usang yang tergeletak di atas meja. Lazuarrdi meraih foto itu. Mengamati setiap lekuk gambar yang ada. Sosok seorang wanita, dengan mengenakan gaun terusan."Kamu kah Karmila? Karmila yang aku lihat waktu itu?"Saat terus mengamati gambarnya. Lazuarrdi tersentak. Dia melihat ada tetesan darah segar keluar dari wajah wanita itu. Spontan Lazuarrdi melempar begitu saja foto ke lantai."Gila ... ini benar-benar gila!
Tepat pukul dua belas siang. Mereka baru terbangun. Dan bergegas berkemas. Annisa yang sudah sedari tadi siapa sedang berjongkok di makam Kazumi atau Karmila.Dia membacakan Yasin dan doa untuknya. Dari ambang pintu Lazuarrdi melihat ke arahnya dengan wajah yang segar. Lalu berjalan mendekati Annisa."Maaf, enggak bisa seperti rencana semula Nis.""Enggak apa-apa kok Mas Ardi. Saya juga baru bangun kok. Buru-buru mandi terus ke sini sebentar.""Berarti belum makan?"Annisa menggeleng."Yuk, makan dulu. Kayaknya Marni sudah siapkan semuanya.""Baik, Mas."Langkah keduanya menuju ruang makan. Terlihat Marni yang sibuk menata piring."Kamu masak apa beli, Mbak?""Saya beli nasi padang Mas. Takut kalau di warung yang lain, Mas Ardi enggak suka. Soalnya agak manis masakannya."Apa yang dikatakan Marni dibenarkan Lazuarrdi. Segera dia duduk dan memanggil Satriyo yang sibuk memasukkan barang-barang."Kamu m
Hampir satu jam mereka merawat jasad yang sudah jadi tengkorak itu. Tepat pukul tiga pagi. Mereka kembali mengebumikan Kazumi atau Karmila."Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun!" ucap para warga serempak."Bahwa apa yang berasal dari-Nya. Pasti akan kembali kepada pemilik-NYa."Setelah prosesi pemakaman selesai. Beberapa warga beristirahat dengan suguhan yang dibikin oleh Marni."Annisa! Apa yang sebenarnya terjadi saat di dekat sungai tadi?""Maksud Mas Lazuarrdi?""Apa benar Kazumi meminta kamu mencari Kenanga?"Cukup lama Annisa terdiam."Kenapa kamu diam?""Ehhh ...."Wanita cantik menghela napas panjang. Lalu mengangguk."Tapi saya tak mau berjanji padanya. saya sudah tegaskan itu Mas. Akan semakin panjang kalau kita mencari Kenanga. Kita enggak tau harus bermulai dari mana juga 'kan?""Cuman yang aku takutkan, suatu saat nanti. Dia akan menganggu kita lagi, dengan meminta janji itu.""Mas,
"Mas Satriyo! Bisakah ambilkan dua lembar daun itu?""Bisa, Mbak. Sebentar!"Kedua kakinya berlari kecil meninggalkan Annisa dan Lazuarrdi yang masih terduduk di tanah."Kenapa perasaan aku sedih sekali, Nis? Seperti hancur, gelap, tak berdaya. Seolah hidup aku ini tak ada artinya lagi.""Mas Ardi banyak istigfar ya. Terus baca aya Qursi tiga kali, serta surat pendek tiga Qul. Mas Ardi bisa?"Lelaki tampan menggeleng dengan pandangan yang mengarah pada Annisa."Kalau begitu sholawat yang banyak saja Mas. Sama istigfar ya, biar perasaan Kazumi enggak terbawa Mas Lazuarrdi.""Baik, Nis."Tak lama. Satriyo sudah datang dengan memebawa dua lembvar daun keladi. Lantas memberikan pada Annisa.Sebelum mengambil kepala Kazumi, Annisa membaca doa terlebih dahulu. Setelah selesai. Dia memungut dengan kedua tangan beralaskan daun talas."Biar saya yang bawa!" tegas Annisa.Mereka pun berjalan pulang menuju rumah
"Kazumi sangat terluka. Aku kesakitan bukan saja raga aku. Tapi, jiwa aku. Apalagi saat aku mendengar kabar, Hayato membunuh semua keluargaku. Saat itu kehidupanku seperti runtuh. Aku ingin mati ... aku ingin mati! Apalagi Takashimo yang menyayangi aku penuh ketulusan. Dibunuh oleh bajingan laknat itu! Belum lagi Kenanga. Di manakah Kenanga berada? Sampai kematian aku pun tak mendapatkan lagi kabar tentang dia. Di mana diaaa ... Kenanga saat itu masih berumur muda sekali. Dan Hayato sudah menjadikannya Jugun Ianfu. Karena kemarahannya padaku," isak tangis Lazuarrdi dengan suara yang berbeda. "Apa aku salah membunuhnya dengan keji?!"Kali ini Lazuarrdi yang duduk bersimpuh menoleh perlahan ke arah Annisa yang berdiri di sampingnya. Sorot matanya tajam, menatap Annisa dengan berurai air mata."Jika memang kau ingin memakamkan aku dengan layak. Ada satu syarat yang aku pinta!"Annisa yang masih terperanjat tak langsung menjawab. Dia masih terpaku dengan mata yang m
"Ke-kenapa, Mas?"Dia terus menggeleng dengan raut wajah yang sangat tegang. Tarikan napasnya terdengar memburu. Lazuarrdi ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Annisa yang terus menatap lelaki tampan itu."Mas Ardi kenapa sih?""A-aku lihat dia Nisa.""Terus?""Awalnya dia terlihat layaknya seorang wanita berkimono. Tapi ... tiba-tiba, kepalanya kayak terpenggal begitu saja. Dan jatuh ke tanah."Sontak mendengar penjelasan seperti itu. Annisa langsung berusaha bangkit dari tempat dia berbaring. Membuat Lazuarrdi menatap tajam ke arahnya, dengan pandangan heran."Mau ke mana kamu?""Ayo, Mas! Aku sudah tau di mana letak kepalanya.""Maksud kamu?""Ayo, Mas!"Dibantu Lazuarrdi, Annisa berjalan lembat menuju pohon gayam itu. Diikuti oleh Satriyo yang terus menyorot ke arah mereka."Tunjukkan di mana Kazumi berdiri Mas!""Di tempat aku berdiri sekarang.""Oke, tunggu bentar Mas!"Anni
Dia mengangkat botol yang diberikan Mbah Sukro. Lalu mulai memercikkan air di sekitaran pohon gayam yang terlihat kokoh beridri di hadapan mereka.Saat Annisa sibuk mengucurkan air. Dedaunan pohon gayam seperti bergerak-gerak. Sampai menjatuhkan dedaunan yang kering.Sontak ketiganya melihat ke atas. Mereka seperti melihat dua titik cahaya merah. Seperti bola mata yang terus menatap ke arah mereka."I-itu ... apa Mbak Annisa?" teriak Satriyo membuat mereka berlari sedikit menjauh. Diikuti Annisa.Saat Annisa mendongak, dua titik berwarna kemerahan tak lagi terlihat."Aku masih belum selesai Mas. Kurang sisi utara aja," bisik Annisa."Ayo, kita kembali ke pohon itu!" ajak Lazuarrdi.Suasana benar-benar mencekam. Angin semakin berembus kencang."Bismillah, ya Allah bantu kami," bisik Annisa.Saat mereka kembali mendekati pohon gayam itu. Annisa merasa ada seseorang yang tengah memandang mereka. Sontak dia
Rupa-rupanya sosok hitam pekat itu, kembali akan melayangkan hantaman untuk yang keempat kalinya. Namun, sekilas cahaya putih menangkis serangan itu. Cahaya berbentuk butiran-butiran kecil menyerupai tasbih, menghalangi tubuh Mbah Sukro dari kekuatan hitam.Dalam genggaman tangan Mbah Sukro, dia terus menggulirkan tasbih yang sedari tadi dipegangnya. Terdengar lelaki itu mulai bergumam lirih. Dia terus berdzikir menghadapi serangan makhluk iblis itu.Sontak membuat kedua bayangan hitam itu, menghentikan serangannya dan mundur. Mbah Sukro memejamkan kedua mata dengan rapat. Tak henti bibirnya berdzikir. Walau tubuh tua terasa sakit akibat serangan itu. Dia terus berusaha untk membantu Annisa. Yang jauh darinya."Semoga kamu segera menemukannya, Nduk! Mbah akan mengawal kamu dari sini dengan doa."***Terlihat Annisa masih duduk dengan tafakur. Tiba-tiba dalam bayangan yang samar. Dirinya seperti melihat cahaya kemerahan yang berkelebat melintas Seir
Hanya dalam hitungan sekian detik. Sosok wanita itu sudah berdiri di hadapan lelaki itu. Wajah mereka begitu dekat. Tanpa jeda. Sampai Mbah Sukro bisa mencium embusan napas makhluk yang berada di hadapannya.Manik mata mereka salling beradu. Hingga sorot mata yang tajam tak bisa membuat Mbah Sukro tunduk.Tiba-tiba, di alam yang nyata. Pintu rumah terbuka lebar dengan sendirinya. Bagai ada seseorang yang telah membuka dengan paksa. Namun, tak terlihat siapa pun juga."Mau apa kamu ke rumahku? Kedatanganmu, secara paksa seperti ini apa maksudnya?" Mbah Sukro dengan mata yang terpejam."Hentikan pencarianmu! Atau kau akan mati! Sama seperti mereka semua." Terlihat bayanganhitam yang tak tampak perwujudannya.Masih dengan mata yang terpejam, Mbah Sukro melempar kembang-kembang itu dengan pelan."Mrene ... mrene! Ini makanan kamu!" seru Mbah Sukro.(Mrene = ke sini)Tampak gumpalan asap yang menyerupai sosok seorang lak
Seketika Satriyo mengarahkan senter yang ada di tangannya. Saat cahaya mulai menerangi pohon itu. Sontak dia melemparkan senter jumbo ke tanah. Dengan tubuh yang hampir terjungkal. Untung Lazuarrdi menahan keseimbangan tubuhnya, dengan menarik lengan Satriyo."Aaaaarghhhh!"Tubuh Satriyo akhirnya terduduk di dekat kaki Lazuarrdi. Napasnya tersengal-sengal."A-ada apa kamu?""Ayo, Mas. Kita pergi dari sini. Ini lebih seram dari rumah kita, Mas!" tegas Satriyo."Memangnya apa yang kamu lihat?"Satriyo tak mau menjawab. Dia menggeleng kuat-kuat. Lazuarrdi mengambil senter jumbo yang terbalik dan mati. Sekali tekan dan sedikit mengguncang akhirnya, senter menyala lagi.Lazuarrdi kembali menyorotkan cahaya pada pohon kelapa yang tak jauh dari mereka. Tak terlihat apa pun. Lalu dia menundukkan kepala."Kamu kenapa Sat? Coba bilang!""Ta-tanyakan Mbak Annisa, Mas!" Dengan suara bergetar dan tubuh Satriyo seperti orang yang kedi