Mas Reyfan mengajakku duduk di kursi teras. Entah, mungkin dia tidak punya meja kursi tamu di dalam rumah kontrakannya itu. Daniel segera mendudukkan diri di sebelahku, sementara Mas Reyfan berada di depanku. Tak lama berselang, Shasha muncul dengan pakaian yang sedikit lebih sopan dari yang dia kenakan tadi. Lalu dia pun duduk berdempetan dengan mantan suamiku. "Maaf Mas, aku nggak bisa bantu banyak. Hanya ini yang bisa kuberikan untuk kamu. Sisanya tetap aku simpan untuk masa depan Keenan," kataku sambil menyerahkan amplop coklat berisi uang 75 juta. Mas Reyfan hanya mengangguk saja tanpa berani bertanya apapun. "Jumlahnya hanya 75 juta Mas, semoga bisa kamu jadikan modal usaha," kataku lagi. Mas Reyfan tetap tak bereaksi, hanya menunduk menatap ke arah amplop yang kuketakkan di meja itu. Tapi justru Shasha yang nampak bereaksi cepat. "Kok cuma segitu Kak? Bukannya rumah Mas Reyfan itu besar. Pasti harganya mahal kan?" Dahinya nampak berkerut menatap ke arahku.
Lelaki itu menutup pintu ruang kerjanya rapat-rapat. Lalu memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya melangkah ke sofa. Vina, dengan pakaian sedikit berantakan menatapnya masih dengan penuh hasrat. "Pulanglah sekarang! Katakan pada Clarissa kesepakatan yang kita buat tadi," kata Adam sambil menghempaskan diri ke sofa. "Tapi kita belum menyelesaikan yang tadi, Sayang," protes gadis bergincu warna gelap itu. "Kamu pikir tadi itu apa? Maaf, aku nggak sengaja. Pulang saja sana! Kerjakan yang aku bilang," ketua Adam. "Adam, kok kamu gitu sih? Apa kamu benar-benar sudah nggak mau bersamaku?" "Vinaaa ... kamu dengar aku kan? Kamu turuti perintahku atau kita tidak akan pernah bertemu lagi." Adam mulai mengancam. Dan Ancaman Adam selalu menakutkan bagi gadis bernama Vina itu. Akhirnya dengan kesal karena hasrat yang belum tuntas, dia menghentakkan kakinya keluar ruangan. 'Kamu sudah melukaiku sangat dalam, Hani. Aku ingin suatu hari kamu bertekut lutut me
Sepagian aku tak keluar kamar. Saat tengah malam, aku tiba-tiba merasa badanku panas. Mbok Jum yang kupanggil subuh itu tentu saja panik. Dia segera mencari minyak angin dan koin untuk mengeroki bagian punggungku seperti biasa saat aku meriang. Setelah Mbok Jum selesai, aku kembali meringkuk dengan selimut tebal. Menyelimuti badanku yang sedang menggigil parah. Hera dan Santi yang datang seperti biasa pukul 8 pagi menjengukku ke lantai atas. Keduanya muncul dengan wajah-wajah polos mereka yang penuh simpati padaku. "Mbak Hani sudah minum obat? Apa aku anterin ke dokter aja, Mbak?" tanya Santi khawatir. Aku menggeleng lemah. "Nggak usah, San. Udah dikerokin tadi sama Simbok. Paling bentar lagi juga sembuh," ucapku dengan nada serak. "Aku minta tolong ya kerjaanku hari ini kamu handle dulu? Kayaknya aku masih perlu istirahat," jelasku padanya. Keduanya mengangguk dan kemudian kembali turun untuk memulai aktifitas seperti biasa. Setelah menghabiskan bubur
Setelah menerima transferan uang dengan jumlah lumayan fantastis dari Adam hari itu. Clarissa pun segera memacu mobilnya kencang untuk menemui seseorang. Entah apa yang dia bicarakan dengan lelaki yang ditemuinya di sudut sebuah mall itu, tapi yang jelas sepertinya sangat serius. Setelah menyelesaikan urusan dengan si lelaki misterius, Clarissa bergegas menuju ke sebuah klinik milik seorang sahabatnya untuk melancarkan rencana keduanya. Dan dia menghubungi ponsel adik sepupunya selama dalam perjalanan menuju ke arah klinik. "Vin, Kamu sudah berangkat kan?" tanyanya. "Sudah Kak. Aku hampir sampai." "Oke, jangan lupa kasih kabar ya. Lewat pesan saja." "Oke, Kak." Dan sambungan telepon mereka pun berakhir saat Clarissa sampai di depan sebuah Klinik. Setelah memarkirkan mobilnya, Clarissa bergegas memasuki lobby klinik, berjalan dengan pasti dengan stiletto tingginya dan kaca mata hitam menutupi matanya. . . . Sementara itu di sudut lain kota itu, V
Tanpa tidur semalaman, Daniel berangkat pagi-pagi sekali meninggalkan rumah. Dia biasanya orang yang tidak pernah suka menyelesaikan urusan pribadinya dengan memanfaatkan fasilitas kantor. Tapi kali ini sepertinya harus dia lakukan demi mencari tau kebenaran. Ada beberapa rumah sakit di kota ini yang harus dia datangi. Hanya akan ada dua kemungkinan jika memang Hani benar-benar sakit, yaitu bahwa wanita itu sengaja menghindarinya atau memang disembunyikan. Instingnya sebagai penegak hukum memang jarang salah selama ini karena seringnya menemui kejanggalan pada kasus-kasus yang dia tangani di lapangan. Daniel hanya butuh kepastian apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh kekasihnya itu. Jika dia memang ingin bersembunyi darinya, artinya Daniel akan mundur. Walaupun sifat posesifnya terhadap Hani sangat besar hingga dia bahkan rela kehilangan seorang sahabat seperti Adam, namun jika wanita itu sendiri yang tidak menginginkannya, maka dia tidak bisa memaksanya. Dan
Adam baru menuruni tangga lantai dua rumah orang tuanya, sementara mama dan papa nya sudah bersiap di lantai bawah. "Nanti kamu langsung ke kantor apa nganterin kami pulang dulu, Dam?" tanya sang papa saat Adam sampai di hadapan mereka. "Gampang, nanti Adam anterin pulang, Pa. Adam nggak ngantor hari ini." "Nggak ngantor? Memangnya mau kemana?" tanya sang mama "Di rumah sakit lah, Ma, kemana lagi," ujar Adam pasti. "Ya sudah kalau gitu papa ngga usah bawa mobil sendiri aja kalau gitu," kata sang papa. "Eh, Dam, kenapa sih kamu nggak langsung lamar aja Hani ke orangtuanya?" Sang mama yang duduk di jok belakang memulai percakapan saat mobil melaju pelan meninggalkan rumah. Papa Adam menoleh ke anaknya yang berada di belakang kemudi. Namun sepertinya Adam tak ambil pusing dengan pertanyaan yang dilontarkan sang mama. "Mama ini ngomong apa? Ya terserah Adam lah, jangan dipaksa-paksa nanti jadinya nggak baik," jawab papanya dari jok depan mencoba membela
Adam baru menuruni tangga lantai dua rumah orang tuanya, sementara mama dan papa nya sudah bersiap di lantai bawah. "Nanti kamu langsung ke kantor apa nganterin kami pulang dulu, Dam?" tanya sang papa saat Adam sampai di hadapan mereka. "Gampang, nanti Adam anterin pulang, Pa. Adam nggak ngantor hari ini." "Nggak ngantor? Memangnya mau kemana?" tanya sang mama "Di rumah sakit lah, Ma, kemana lagi," ujar Adam pasti. "Ya sudah kalau gitu papa ngga usah bawa mobil sendiri aja kalau gitu," kata sang papa. "Eh, Dam, kenapa sih kamu nggak langsung lamar aja Hani ke orangtuanya?" Sang mama yang duduk di jok belakang memulai percakapan saat mobil melaju pelan meninggalkan rumah. Papa Adam menoleh ke anaknya yang berada di belakang kemudi. Namun sepertinya Adam tak ambil pusing dengan pertanyaan yang dilontarkan sang mama. "Mama ini ngomong apa? Ya terserah Adam lah, jangan dipaksa-paksa nanti jadinya nggak baik," jawab papanya dari jok depan mencoba membela
Beberapa bulan setelah putusnya hubungan bisnisku dengan Adam, kami sudah tidak pernah lagi bertemu ataupun mengirim pesan. Padahal saat ini aku masih tinggal di rumah orang tuaku yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah orang tua Adam. Aku dan Daniel merencanakan untuk mengadakan acara perayaan pernikahan sederhana dengan hanya dihadiri oleh kerabat dan teman-teman dekat saja. Dan saat ini hanya beberapa hari saja menjelang tanggal yang telah kami tentukan untuk merayakan kebahagiaan kami itu. Seringnya Daniel datang dengan Tasya ke rumahku sepertinya membuat hati ibuku sedikit luluh. Tasya yang sangat manis dan tingkahnya menggemaskan itu selalu bisa membuat ibuku tersenyum bahagia saat dia menghabiskan waktu di rumah orangtuaku. Gadis kecil itu bahkan sering berada seharian di rumah bapak sementara Daniel berada di kantornya. Begitu pun sebaliknya, Keenan sering merengek minta diantar ke rumah calon kakaknya. Lalu aku pun akan berada di rumah Daniel seharian hanya