Aku begitu kaget siang itu saat ibu bilang ada seorang wanita mencariku. Aku yang sedang berdua dengan Keenan di kamar segera bangkit. "Siapa, Bu?" "Ibu nggak nanya. Teman kamu barangkali, Han. Tapi ibu belum pernah lihat sih." Ibu berjalan ke arah Keenan yang sedang tertidur. Lalu mengusap kening anakku penuh kasih. Dan dengan rasa penasaran aku berjalan menuju ruang tamu. "Anda mencari saya?" tanyaku pada wanita yang sedang duduk dengan anggun di kursi ruang tamu rumah bapak itu. Kurasa agak kurang sopan karena dia tidak melepas kacamata hitamnya, padahal dia sedang bertamu di rumah orang. Dia segera berdiri menyambutku yang berjalan ke arahnya. "Masih ingat saya, Hani?" tanyanya sambil membuka kaca mata hitamnya. "Kamu ...." Aku agak kesulitan mengingatnya. Mungkin karena banyak hal yang sedang kupikirkan belakangan ini terkait pernikahanku dengan Daniel. "Clarissa," ucapnya, yang kurasa dengan sangat bangga saat dia menyebutkan namanya,
Aku melajukan mobil sangat pelan menuju tempat dimana aku sudah berjanji untuk bertemu dengan Daniel. Satu jam yang lalu aku menghubunginya melalui pesan. [Bisa ketemu sepulang kantor di Cafe Red Bar?] [Setelah ini aku ke rumahmu, Sayang. Aku sudah hampir selesai. Tunggu ya?] [Tidak, Dan. Aku tunggu di Kafe saja. Satu jam lagi ya? Ada hal penting yang ingin kubicarakan.] [Baiklah, Sayang. Sampai nanti.] Aku tidak yakin apakah aku akan mendapatkan jawaban yang membuatku bisa mempercayainya atau tidak. Tapi yang jelas, sejak kedatangan Clarissa tadi ke rumah bapak, hatiku menjadi tidak tenang. Ada perasaan menyesal kenapa harus mempercayai wanita itu untuk kusaksikan video mes*mnya dengan mantan suaminya, yang juga adalah calon suamiku. Dan sekarang akhirnya kepercayaanku pada Daniel menjadi luntur karenanya. Video beberapa detik itu sungguh mengoyak jiwaku. Adegan demi adegan yang tergambar seolah tak mau pergi dari pelupuk mataku hingga membuatku su
"Clarissa! Heii!" Daniel memasuki halaman rumah berpagar besi yang nampak gersang itu dengan setengah berlari. Mengejar sang mantan istri yang memasuki halaman beberapa menit sebelum dia sampai di tempat itu. Daniel menarik tangan wanita itu hingga sontak mereka saling berhadapan di halaman rumah sekarang. "Daniel?" Clarissa terpana. Dia tidak tahu kapan Daniel tiba di tempat itu. Dia bahkan baru beberapa menit yang lalu mamarkirkan mobilnya di halaman rumahnya. Dan dia tidak tahu jika ada mobil yang mengikutinya di belakang. "Kapan kamu datang?" tanyanya mencoba basa basi. Senyumnya menyiratkan senang tapi juga was was. Dia sangat tahu Daniel tidak mungkin datang ke rumahnya jika tidak ada maksud dan tujuan yang penting. "Tidak penting! Ayo kita bicara!" kata Daniel sambil menyeret tangan wanita itu menuju ke dalam rumah. Clarissa mengikuti langkah panjang lelaki yang sedang marah itu dengan susah payah Karena heel sepatunya yang juga terlalu tinggi nyaris membuatnya t
"Yang ini bagus nggak, Kak?" Diva menunjukkan sebuah dress panjang berwarna salmon yang dipegangnya padaku. "Cantik, cobain gih. Pasti cocok banget di badan kamu," kataku dengan senyum manis ke arahnya. "Nggak terlalu simple kan, Kak?" "Enggak, Sayang. Kaka' juga nggak suka yang terlalu rame kok. Itu bagus banget ayo cobain deh." "Ya udah, Diva cobain dulu ya." Dengan senyum manisnya, Diva segera menuju ke fitting room. Aku yang sudah selesai dengan semua belanjaanku, menunggunya sambil duduk di sebuah kursi stainless tak jauh dari tempat Diva menjajal gaun barunya yang nanti rencananya akan dikenakannya di hari pernikahanku dengan Daniel. Meskipun aku dan Daniel hanya menyelenggarakan pernikahan sederhana yang hanya akan dihadiri oleh kerabat dan teman dekat saja, tapi Diva bersikeras harus tetap tampil paling cantik diantara semua tamu undangan. Itu selorohnya saat Daniel selalu menggodanya 'Kamu itu pakai baju dari karung goni juga udah cantik'. Beg
P.O.V Daniel Baru 1 jam yang lalu dia mengirimiku pesan. Dia menyuruhku untuk menelponnya. Aku terperangah saat telepon diangkatnya dan dia justru mengoceh sendiri tanpa mempedulikan aku bicara apa. Calon istriku itu terkadang memang aneh. Tapi aku selalu menganggap semua tingkahnya itu unik dan menggemaskan. Dia berpura-pura bahwa aku menelponnya agar dia bisa meninggalkan adik sepupuku berdua saja dengan Adam. Meskipun aku sering bingung dengan segala tingkahnya, tapi aku tahu dia selalu ingin melakukan segala sesuatu untuk membuat orang yang dia sayangi bahagia. Dan kali ini adalah untuk Adam. Aku tahu Hani sudah menganggap Adam seperti saudaranya sendiri, walaupun terkadang itu masih saja membuatku sedikit cemburu. Bahkan walaupun dia sudah memutuskan untuk memilihku. Untuk membuatnya bahagia, maka kuputuskan untuk menghentikan saja pertikaianku dengan sahabatku itu. Mulai memperbaiki hubunganku dengannya yang pernah sangat kacau. Dan akhirnya, semalam a
Ini bukan yang pertama kali buatku. Namun berdebarnya jantung saat dia mengucapkan janji suci ikatan pernikahan beberapa jam yang lalu tak ayal membuat air mataku meleleh juga. Entah dengan Daniel, tapi saat malam harinya, untuk pertama kali kita berada di dalam satu kamar yang sama hanya berdua saja, sepertinya aku lihat dia pun sedikit gugup. Aku sedang menunggunya di dalam kamar usai membersihkan diri dan bersiap dengan kedatangannya. Hati rasanya tak karuan setiap mendengar langkah kaki mendekat ke kamar. Dalam hati berharap itu bukan suamiku. Tidak, jangan, aku belum siap. Karena saat ini aku merasa bagai kembali menjadi gadis yang baru akan mengalami malam pertama saja. Tiba-tiba semua terasa belum sempurna dan ada saja yang kurang dalam penampilanku malam ini. Padahal aku sudah mengenakan pakaian malam terbagus yang aku punya. Dan berdandan mati matian untuk membuatnya terpesona. Namun saat semua ritual bersolekku beres, justru pangeranku itu tak juga menampakk
P.O.V Adam Kupikir awalnya menghadiri acara pernikahan Hani kali ini akan membuatku merasakan sedikit sakit. Tentu saja, rasa yang pernah ada selama bertahun tahun masih tetap membekas dalam hati. Tidak mungkin akan hilang hilang begitu saja. Meskipun saat ini aku sedang berusaha melupakan itu semua pelan pelan. Melupakan sosok Hani memang tak semudah yang kupikirkan. Tidak seperti saat aku mulai menyukainya belasan tahun yang lalu. Walaupun pada kenyataaanya aku tak pernah berani mengungkapkan perasaanku padanya hingga akhirnya dia memilih seseorang yang tak kukenal untuk menjadi suaminya. Rasa yang sebenarnya sudah lama terpendam selepas dia menikah dan hidup berbahagia bersama suami pertamanya ternyata bangkit kembali saat aku melihat adanya keretakan pada hubungan mereka. Secerca harapan lalu muncul, membuat cinta lama yang sudah nyaris tak tampak menyembul kembali dengan nakalnya. Kami menjadi dekat lagi dan menjalani hari-hari bersama layaknya sepasang remaj
"Ada apa, Bu? Bu Hani sakit?" Mbok Jum menghampiriku ke kamar mandi belakang saat mendengarku muntah-muntah disana pagi ini. Daniel baru saja ke kantor sekalian berangkat bersama Bi' Marni mengantar Tasya ke sekolah seperti biasanya. Sejak semalam badanku memang terasa tidak nyaman, pusing dan bawaan selalu ingin muntah. Mbok Jum memijit-mijit tengkukku dengan penuh perhatian hingga aku merasa sedikit lebih baik. "Simbok kerokin ya, Bu?" tawarnya. "Ga usah, Mbok. Minta tolong bikinkan aku teh hangat aja." "Ya, Bu. Ayo saya bantu duduk dulu," katanya sambil menggandengku menuju meja makan. "Keenan belum bangun, Mbok?" "Belum, Bu. Biasa, semalam maenan sama Non Tasya seru hingga larut sampai nggak mau disuruh tidur." Terdengar Mbok Jum terkekeh sambil sibuk membuatkanku teh hangat. Aku baru ingat. Aku mengeluh sakit kepala tadi malam hingga aku tidak tahu jam berapa suamiku pulang. Aku tidur sore karena tak kuat lagi menahan berat di ke
Satu bulan setelah pertemuannya kembali dengan Santi, hari ini keduanya nampak sedang duduk di sebuah ruang pertemuan di salah satu sudut kantor Adam.Di hadapan keduanya ada 4 orang karyawan inti di perusahaan Adam yang sedang menghadap ke arah mereka. Nampak di depan mereka tumpukan berkas yang baru saja selesai dibahas."Jadi rencanaku bisnis kosmetik ini nantinya akan seperti itu. Bagaimana menurut kalian?" tanya Adam pada keempat anak buahnya."Bagus, Pak. Saya rasa ide ini sangat cemerlang mengingat pasar kosmetik yang saya lihat saat ini sedang lesu-lesunya. Hampir tak ada brand baru yang muncul akhir-akhir ini," ujar salah satu karyawan itu."Iya itu maksudku. Ya sudah kalau gitu kita cukup
Malam itu entah kenapa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Adam. Kedatangan mantan karyawannya dengan penampilan yang sedikit berbeda namun masih sama malu-malunya itu membuatnya justru susah untuk lupa.Dari sejak lelaki itu menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, Adam hanya terlihat mondar mandir dari kamar menuju balkon. Secangkir kopi dibawanya ke sana kemari dengan perasaan kacau yang sulit dia mengerti sendiri."Lagi ngapain kamu, Dam? Mama perhatikan dari pintu tadi kayak orang lagi bingung gitu?"Ibunya yang sedari tadi mengamati tingkah aneh putranya menghentikan langkahnya di pintu balkon."Mama ngagetin aja." Muka Adam langsung memerah karenanya.
Beberapa minggu setelah pertemuannya dengan mantan bosnya, gadis itu melakukan treatment di sebuah klinik kecantikan. Hani juga telah membekalinya uang yang cukup untuk dia belanjakan beberapa potong baju yang akan lebih membuatnya percaya diri saat bertemu dengan Adam nanti.Dan siang itu adalah hari yang telah direncanakannya untuk menemui Adam. Santi melangkah dengan penuh kayakinan menuju ke kantor Adam usai turun dari taksi online yang ditumpanginya."Bisa saya bertemu dengan pak Adam?" tanyanya pada resepsionis."Maaf, apa ada sudah janji sebelumnya, Bu?" tanya balik sang gadis dengan seragam warna violet itu."Mmmm."Santi mulai men
Rapatnya Hani menyimpan rasa shock atas pertemuannya dengan Adam, bahkan membuat Daniel pun tak menyadari bahwa istrinya memang sedang sedikit tak enak badan hari itu. Sampai-sampai lelaki itu setengah memaksa mengajak sang istri untuk mau ikut bersamanya keluar larut malam.Hanya untuk membuat Daniel tak cemas dengan kondisi dirinya yang memang sedang kurang baik setelah kejadian yang menimpa siang harinya, Hani pun terpaksa menuruti ajakan suaminya.Daniel membawa istrinya ke sebuah Kafe bernuansa outdoor di daerah pinggiran kota malam itu. Mereka tiba di tujuan saat hari telah lewat. Meski begitu, suasana masih terlihat lumayan ramai. Tempatnya yang didesain sangat romantis ternyata sedikit membawa suasana hati Hani menjadi lebih membaik."Kamu suka temp
Tubuh Hani masih gemetar, bahkan ketika mobilnya sudah memasuki halaman rumah. Usai Adam membiarkannya pergi dari parkiran mall, wanita itu mengendarai dengan sangat pelan sembari berusaha menenangkan kembali gejolak di dalam dadanya. Kalimat demi kalimat Adam terngiang-ngiang di kepalanya seolah tak mau pergi."Lho, Bu Hani kenapa?" Bik Marni yang saat itu sedang bermain bersama dengan Tasya dan Keenan di serambi rumah sedikit kaget melihat Hani nampak seperti orang linglung saat keluar dari mobilnya di garasi.Sesaat Hani baru menyadari ada yang memperhatikannya. Buru-buru wanita itu menggeleng."Enggak kok, Bi'. Cuma agak pusing sedikit," jawabnya.Lalu dengan sigap, Bi' Marni pun segera m
"Sudah dibayar sama mas yang di sana, Bu."Hani dan 3 orang teman wanitanya saling pandang. Lalu bersamaan menoleh ke arah yang di tunjuk oleh kasir restoran."Yang mana? Yang di dalam ruangan itu?" tanya salah seorang teman Hani."Iya, yang sedang memimpin rapat itu, Bu."Hani tak mungkin tak mengenalnya. Di dalam ruang meeting dengan dinding kaca itu memang ada Adam dan beberapa orang yang mengenakan seragam yang dia kenali sebagai karyawan kantor Adam."Kamu kenal, Han?" tanya salah seorang temannya lagi, melihat Hani seolah sedang menunggu orang itu membalikkan badan untuk melihat ke arah mereka.
"Setelah sidang putusan minggu depan, datanglah ke kantor. Aku sudah menyiapkan semuanya untuk kamu," ucap Adam siang itu saat bangkit dari tempat duduknya di sebuah restoran mewah di kota itu.Diva mendongak, memandangnya dengan senyuman remeh."Menyiapkan apa?" tanyanya. Sebenarnya Diva sudah tahu apa maksud dari kata-kata lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya itu. Namun Diva tak mudah begitu saja untuk merendahkan dirinya. Apalagi di hadapan Adam, yang menurutnya telah menghancurkan impian dan masa depannya."Bagianmu. Itu sudah kewajibanku sebagai mantan suami," jawab Adam singkat. Diva pun melengos mendengar itu. Baginya, ucapan Adam itu adalah sebuah penghinaan."Ambil saja u
"Kalau boleh aku sarankan, pertimbangkan lagi rencanamu untuk menaikkan kasus direktur PT Diwangga Karya itu, Daniel. Itu tidak akan baik untuk karirmu."Kapten Gunardi, lelaki yang masih nampak gagah di usianya yang sudah hampir menginjak masa pensiun itu menatap lekat bawahannya dari kursi kebesarannya.Daniel baru saja menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya dan keluarganya pada atasannya itu dan semua hal yang berkaitan dengan kasus PT. Diwangga Karya."Tapi saya sudah merasa dirugikan dengan kelakuan direktur itu, Pak. Saya hanya ingin minta keadilan. Lagipula, dia telah melakukan pelanggaran hukum dengan membuat laporan palsunya. Merekayasa kejadian demi untuk mencapai tujuannya.""Aku ta
"Pak, ada perkembangan terbaru kasus Diwangga," kata seorang ajudan yang baru saja masuk ke ruangan Daniel siang itu.Setelah memerintahkan anak buahnya itu untuk duduk, Daniel pun memeriksa berkas yang baru saja diserahkan."Jadi gudang yang terbakar itu sebenarnya sudah tidak dipakai?" tanya Daniel kemudian. Dahinya nampak berkerut."Betul, Pak. Tim sudah menyelidiki semuanya. Bahkan menurut warga setempat, semuanya juga bilang seperti itu. Jadi, ada kemungkinan ini bukan sabotase, melainkan memang sengaja dibakar."Dahi Daniel makin berkerut."Lalu apa kira kira motifnya?""Itu yang