"Fitri ... bagaimana, susah ndak nyari kamarnya?" tanya Rahayu dengan suara lirih sambil tersenyum.Santi mengehentikan langkahnya, perempuan itu terlihat heran dengan sikap ibunya Rudi. Dia juga berpikir apa wanita tua itu sudah gila?"Permisi, Mbak," ucap seseorang dari belakang Santi. Menyadari siapa yang datang, wanita yang hendak menceritakan hubungannya dengan Rudi pada Rahayu itu langsung balik badan dan segera berlalu dari ruangan itu."Siapa dia, Bu?" tanya Fitri setelah duduk di bangku plastik yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga yang menjaga pasien.Rahayu menggeleng tanda tak mengerti. "Bagaimana kondisi di rumah?" tanyanya kemudian."Ndak terjadi apa-apa, Bu. Mbak Ambar dan Mas Rudi hanya saling diem-dieman," sahut Fitri berbohong sesuai permintaan Ambar. Agar mertuanya itu tidak begitu memikirkan masalahnya."Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang ...." Rahayu tidak melanjutkan, wanita itu memejamkan matanya. Di usianya yang sudah renta, dia di hadapkan denga
Rudi kehabisan kata-kata, tetapi itu tak berlangsung lama. Lelaki itu kembali mengancam Ambar. "Jika kamu ingin berpisah, maka kamu harus keluar dari rumah ini. Tanpa membawa harta benda, kecuali barang yang sedang kamu pakai di badan. Ingat perjanjiannya kan, siapapun yang menuntut perceraian dia akan keluar."Ambar memejamkan matanya, jelas dia masih ingat dengan perjanjian yang mereka sepakati bersama. Bodohnya saat itu, dia merasa satu-satunya wanita yang dicintai Rudi, jadi dia yakin tak mungkin suaminya itu akan berpaling. Hingga janji itu dibuat, bukan siapa yang berselingkuh tapi siapa yang menginginkan perceraian. Bodoh."Aku akan keluar bersama Alif, karena aku tak mau anakku diasuh oleh wanita yang tak bermartabat.""Keluar dari rumah ini tanpa membawa apapun. Termasuk Alif!" tegas Rudi lagi. Merasa di atas angin Rudi pun bangkit. Namun, langkanya kembali terhenti."Kalau begitu video itu akan sampai ke kantormu, dan kamu tahu kan akibatnya," ucap Ambar tenang."Jangan meng
Ambar dan Alif sudah siap di atas motor, bocah yang masih belajar di Pendidikan Usia Dini itu duduk di depan ibunya, keduanya terlihat ceria seperti hari-hari sebelumnya. Sesekali membalas sapaan tentangga yang kebetulan lewat. Ambar sudah bisa tersenyum, mata yang beberapa hari terakhir tampak redup kini kembali berbinar. Wanita penyuka kopi tanpa gula itu sudah memutuskan untuk melepaskan. "Aku berhak bahagia, dan bahagiaku tak selalu dengan Rudi" Itu yang selalu dibisikkan pada dirinya sendiri. "Aku kuat, aku bisa!" Kalimat sederhana yang mampu merubah jalan pikirannya."Alif udah siap?" tanya Ambar setelah memasangkan helm bergambar Bobo boy pada putranya itu."Udah," sahut bocah sambil mengangguk penuh semangat. "Baca doa dulu yuk," ajak Ambar, keduanya pun membaca doa naik kendaraan seperti yang dipelajari Alif di sekolahnya. Di sepanjang jalan Alif bercerita banyak hal, termasuk pertemuannya dengan Santi yang katanya menyeramkan. "Bunda ndak tahu sih, dia benar-benar menyeram
Rudi masih terlihat putus asa karena belum menemukan keberadaan ibunya. Berkali-kali dia menyusuri koridor rumah sakit karena tak percaya dengan informasi yang diberikan oleh petugas. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya, Rudi kelimpungan mencari Rahayu, karena selama ini dia tak pernah diabaikan oleh wanita yang telah melahirkannya itu. Berkali-kali Rudi ingin menghubungi Ambar, tetapi diurungkan. Egonya sangat tinggi sebagai seorang lelaki, apalagi jika mengingat sikap Ambar yang belakangan ini menurutnya sudah kurang ajar menjadi seorang istri. Bahkan sampai detik itu, Rudi belum menyadari kesalahannya. Masih saja menganggap Ambar lah yang harus disalahkan.Untuk kesekian kalinya Rudi bertanya pada petugas resepsionis. Lelaki bermata elang itu bahkan terkesan mengancam pihak rumah sakit jika sampai ketahuan menyembunyikan keberadaan ibunya. Tak ayal ulahnya itu menimbulkan keributan, sampai-sampai harus ditangani petugas keamanan. Rudi melangkah dengan gontai menuju mobilny
"Bu ...." Ambar menjeda kalimatnya untuk meredam rasa gelisah karena hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan merubah segalanya. "Aku ingin berpisah dengan Mas Rudi. Rasanya aku tak kan bisa melanjutkan rumah tangga dengannya. Maaf," lanjut Ambar pelan tapi pasti. "Mungkin, aku ini egois, tapi raga dan batinku seolah menolak Mas Rudi jika teringat apa yang sudah dilakukannya." Lagi Ambar mengatakan apa yang dirasakannya, menumpahkan sedikit yang dia rasakan pada sang mertua."Ndak perlu minta maaf, Mbar. Aku bisa mengerti, aku bisa membayangkan bagaimana rasanya jika berada di posisimu, Mbar. Aku hanya ingin kamu melakukan permintaan terakhirku sebagai mertuamu," pinta Rahayu pada wanita yang telah memberinya seorang cucu itu.Ambar tak membantah lagi, wanita yatim piatu itu memilih diam, bukan karena takut atau sedih. Namun, demi menjaga kewarasannya dia memilih berpikir positif. Mungkin, ibu mertuanya itu mau memberi pelajaran untuk anaknya. Semoga saja."Mbar, jika kamu benar-
Sebelum Santi menyimpan ponselnya dalam tas, sebuah notifikasi terdengar dari benda canggih miliknya itu. [Kirim foto dan alamat lengkapnya, kebetulan saat ini aku ada keperluan di kota itu] bunyi pesan dari Riswan. Tanpa menunggu lebih lama Santi langsung membalasnya. [Hanya ini, selebihnya kamu sendiri yang mencari tahu semuanya tentang dia] balas Santi, terkirim dan terbaca. Sebuah emot jempol kembali terkirim ke ponsel Santi sebagai tandan 'ok'. Santi hanya membukanya, setelah itu dia kembali konsentrasi ke pekerjaannya.**"Fit, ibu mana?" tanya Ambar ketika hanya mendapati perempuan berambut sebahu itu di ruang keluarga."Ada di kamar, Mbak. Mungkin sudah tidur," sahut Fitri tanpa menoleh pada Ambar, pandangannya fokus pada layar televisi."Ya udah, aku mau jemput Alif dulu," pamit Ambar, setelah itu wanita pemilik hidung mungil itu mengayunkan langkahnya menuju luar. Saat ini dia merasa sedikit tenang karena masalah dengan Rudi akan segera terselesaikan. "Mbak Ambar!" seru F
"Selamat malam, Bu," ucap Rudi penuh percaya diri sambil menggandeng Santi. Lelaki tiga puluh delapan tahun meraih tangan ibunya lalu menciumnya dengan takzim. Rahayu masih bungkam, dia juga menyambut uluran tangan Santi, tetapi Rahayu segera menarik tangannya ketika hendak dicium oleh Santi."Tadi pagi aku ke rumah sakit, kenapa ibu harus meminta pulang paksa, seharusnya ibu di rumah sakit dulu sampai benar-benar sembuh." Panjang lebar Rudi mengutarakan isi hatinya."Aku sudah sehat, Rud. Jadi buat apa lama-lama di rumah sakit. Di sini kondisiku akan lebih cepat pulih karena ada Alif dan Ambar yang akan merawat dan menjagaku dengan baik," sahut Rahayu dengan tatapan lurus pada manik mata putranya.Di tatap sedemikan rupa oleh sang ibu, Rudi tak lagi bisa berkata, lidahnya seolah keluh. Baginya amarah Rahayu amatlah menakutkan, karena dia sangat menghormati wanita yang telah melahirkannya itu. Rudi menoleh pada Santi ketika perempuan itu menyenggolnya. Seolah paham, Rudi langsung memp
"Mas!" Santi tersentak mendengar dirinya disebut sebagai wanita tak bermartabat, harga dirinya sungguh dipermainkan."Bu, tak perlu memujiku seperti itu. Semuanya tak ada artinya jika memang kita tak berjodoh. Aku bersedih, tentu. Sepuluh tahun bersama bukalah waktu yang singkat. Sayang, hubungan ini harus berakhir karena penghianatan. Mungkin, ini jalan Tuhan agar aku tidak terlalu menangisi perpisahan ini, Tuhan ingin menunjukkan bahwa dia bukanlah imam yang baik untukku.""Jaga bicaramu, Mbar! Tak pantas mulutmu berkata seperti itu. Kamu pikir dirimu itu wanita suci?""Aku tak pernah mengatakan diriku ini suci. Setidaknya aku tidak menghianati janji yang telah terucap di hadapan Allah.""Kamu jangan diam saja. Mereka telah menghinaku, Mas!" seru Santi sambil terisak dalam pelukan Rudi. "Mereka keterlaluan, Mas. Ibumu keterlaluan, salahku apa, Mas? Mengapa cinta kita harus seperti ini?" imbuhnya sambil menangis meraung.Mendengar ucapan kekasihnya, Rudi pun ikut emosi. Lelaki itu ba
"Ada apa, Dek?""Kinan ndak nyahut, Bang.""Kinan! Kinan! Buka pintunya, Kinan!"Karena masih belum ada jawaban, Iyan pun mulai mendobrak pintu. Namun, setelah dobrakan kedua terdengar anak kunci yang diputar. Suami-istri itu saling berpandangan, kemudian perlahan melangkah mundur. Pintu kamar terbuka, Iyan dan Ambar sama-sama terperanjat melihat pemandangan yang tersaji di depan mata."Lebih baik aku mati, aku sudah tidak kuat ...." Tubuh berlumuran darah itu ambruk tetapi masih bisa ditahan oleh Iyan, sehingga tak sampai tersungkur."Ya Allah, Kinan!" seru Ambar bersamaan dengan Iyan."Ambil kunci mobil. Kita ke rumah sakit!"Keduanya bergegas ke depan menuju mobil, kemudian dengan kecepatan tinggi Iyan membelah jalanan yang tidak terlalu padat.**Semua keluarga kembali dan langsung ke rumah sakit di mana Kinan dirawat. Begitu juga dengan Miranti dan Bowo, keduanya langsung berangkat setelah mendapatkan kabar. Diiringi isak tangis, Miranti berkali-kali meminta maaf pada Farida kar
Malam sudah larut ketika mobil yang dikendarai Iyan sampai di kediamannya. Selama perjalanan, kedua pasutri itu membicarakan banyak hal, bercanda dan tertawa. Sementara Kinan memilih untuk memejamkan matanya, wanita bertubuh agak berisi itu berpura-pura tidur untuk meredam gejolak amarah karena cemburu, hingga dia benar-benar terlelap, walaupun tak nyenyak. Iyan meminta Ambar untuk membangunkan Kinan. Sementara dia membuka pintu."Mbak Kinan, bangun. Sudah sampai rumah," ucap Ambar dengan suara pelan sambil mengguncang pundak wanita pemilik wajah manis itu. Kinan mengerjap, setelah kesadaran pulih, tanpa bicara dia keluar dari mobil dan berlalu begitu saja meninggalkan Ambar yang masih berdiri mematung di samping mobil."Terima kasih, Mas," ucap Kinan saat dia sampai di depan Iyan yang berdiri di samping pintu, Iyan hanya tersenyum dan itu membuat Kinan melanjutkan langkahnya dengan pelan. Wanita yang tengah hamil muda itu semakin kesal ketika Iyan melangkah ke arah istrinya.Kinan se
"Ya udah kalau terserah abang. Kamu nggak boleh protes ya." Akhirnya dia berucap. Ambar yang mendengarnya hanya menghedikkan bahu sebagai jawaban.Wanita pemilik bulu mata lentik itu mengerutkan keningnya setelah mobil yang dikendarai suaminya hanya berpindah tempat parkir."Hotel?" tanyanya sambil mengamati sekitar."Iya, katanya terserah aku. Aku kan mau makan itu," goda Iyan sambil menaik turunkan kedua alisnya."Abang ...." Ambar benar-benar tak menyangka suaminya bisa berpikir ke situ."Udah dua malam loh, Dek. Kamu tak tahu bagaimana rasanya jadi aku." Saat mengatakannya Iyan memasang muka memelas hingga membuat Ambar gemas."Tapi ... tapi kenapa mesti di hotel? Aku ndak bawa surat nikah loh," sanggah Ambar cepat."Tenang," sahut Iyan sambil mengeluarkan buku tipis dari laci mobil."Abang, ish ...." Ambar semakin salah tingkah dibuatnya."Yuk! Ayo ... apa mau tak gendong?" ancam Iyan karena Ambar tak kunjung beranjak dari tempat duduknya. Bundanya Alif itu mengalah, dengan langk
Sepanjang perjalanan Kinan tak henti-hentinya bercerita, walaupun tak ada tanggapan yang berarti dari Iyan. Sementara Ambar masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini bundanya Alif itu tengah berbalas pesan dengan Vina. [Hai, Mbakku. Lagi ngapain?] tanya Vina dalam pesannya.Ambar mengambil foto lalu mengirimkan pada Vina [Lagi nganterin bumil periksa] balasnya.Vina mengirimkan emoticon mata terbelalak, menandakan kalau dia tengah terkejut. [Baru kemarin dia periksa loh. Wah nggak bener ini] balasnya yang diakhiri dengan emoticon marah.[Biarin aja kita ikuti saja permainannya. Rencana kalina mau nginep berapa hari?] Ambar mengalihkan pembicaraan.[Terus Abang bagaimana? Apa dia nggak nolak gitu?] tanya Vina lagi, gadis itu sungguh penasaran campur geram pada Kinan.[Udah, tapi mo gimana lagi, di rumah cuma ada kita kan] terkirim dan langsung centang biru. Vina sedang mengetik."Dek Ambarku, seru banget main ponselnya, sampai senyam-senyum sendiri." Iyan yang sudah penasaran dengan sika
Kedua insan yang tengah kasmaran itu meredam gejolak yang tadinya berkorbar. "Aku akan melihatnya," ucap Ambar dengan suara serak dan napas tersengal."Aku saja," cegah Iyan yang juga tengah mengatur napasnya."Jangan, Bang. Itu pasti Kinan. Bair aku aja. Abang mandi dulu gih, sebentar lagi Magrib," ujar Ambar sambil melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbak Kinan?" tanya Ambar setelah pintu terbuka."Maaf, Mbak Ambar. Mas Iyan-nya ada? Aku mau bicara dengannya." Tanpa rasa segan Kinan mencari lelaki yang jelas-jelas sudah beristri."Katakan saja, nanti aku sampaikan padanya," sahut Ambar cepat."Aku lebih enak ngomong sama Mas Iyan langsung." Kinan masih bersikeras dengan keinginannya."Ada apa, Dek?" tanya Iyan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melihat Iyan yang tengah mengacak rambutnya yang basah, Kinan menjadi kesal, wanita yang tengah hamil muda itu cemburu."Nanti habis Magrib, Mas Iyan antar aku periksa ke bidan ya? Sebenarnya balum waktunya balik, tapi badanku rasanya kura
"Maaf, Tante. Aku ndak bisa ikut, tadi aku sudah bilang sama Mas Iyan?" Ucapan Kinan mengejutkan semua orang yang sudah bersiap-siap untuk pergi. Mereka semua menoleh pada wanita berparas ayu tersebut.Vina yang sudah bersiap mengangkat ransel, kembali meletakkannya. "Bagaimana bisa, Kinan. Alif aja ikut kami, harusnya kamu ngerti dong." Vina sudah tidak tahan lagi. Adik ipar Ambar itu semakin kesal menghadapi keras kepalanya Kinan."Aku sungguh kurang enak badan, Vin. Kamu tahu, bahkan hanya mendengar kata 'naik mobil' perutku sudah mual," sanggah Kinan."Omong kosong!" umpat Vina yang sudah tidak tahan lagi dengan sandiwara Kinan."Vina ...." Sebenarnya Farida mengerti mengapa putrinya bersikap seperti itu, setelah semua bekerjasama memberi waktu pada Iyan dan Ambar, Kinan malah merusaknya. "Dia hanya berpura-pura, Bu," tukas Vina. Namun, wanita yang melahirkannya itu tak begitu menghiraukan. "Sudahlah, jika Kinan tak mau ikut, nggak usah dipaksa. Ayo sekarang kita ke depan, kasih
"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya membuat Ambar berjingkat. Setelah bisa menguasai keterkejutannya Ambar pun membalas ucapan suaminya. "Ndak usah .... " Bundanya Alif itu menjeda kalimatnya, wanita itu bingung harus memanggil Iyan dengan sebutan apa."Kenapa diam?" tanya Iyan dengan suara rendah. Lelaki itu semakin mendekat dan itu semakin membuat Ambar gugup."Em ....""Bingung mau manggil aku dengan sebutan apa?" tanya Iyan, tatapannya semakin fokus pada sang istri.Ambar tersenyum kemudian mengangguk. "Susah kah?" tanya Iyan lagi. Karena merasa didesak akhirnya Ambar memberanikan diri mengangkat wajahnya."Sebenarnya ndak susah, cuma canggung aja. Tiba-tiba saja kita sudah menikah," balasnya. Tatapan mereka bertemu, keduanya seoalah enggan mengalihkannya, Iyan dan Ambar saling jatuh cinta."Senyamannya kamu, kalau aku ... Em, boleh nggak kalau aku manggilnya 'Dek'?" Akhirnya kalimat sakti itu keluar juga dari bibir lelaki jangkung tersebut. "Bunda ....!" Seruan Alif membuat mer
"Ada apa? Siapa yang meninggal, Sumi?" tanya Haris dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Di KTP-nya, lelaki itu beragama Islam, walaupun kenyataan dia jarang atau hampir tidak pernah melakukan perintah Tuhannya. Namun, dia tahu dan paham untuk apa kalimat yang diucapkan Sumi tadi. Walaupun sebenarnya kalimat itu tak hanya untuk berita kematian, karena sejatinya disaat kita tengah mengalami hal buruk dan kesialan, kita bisa juga mengucapkannya."Aku-aku ... mau ke rumah sakit sekarang," balas Sumi. Wanita itu memungut ponselnya yang tergeletak di lantai tanpa menjawab pertanyaan lelaki yang masih bergulung selimut itu. Setelah mengamati dan memastikan jika benda pintar miliknya itu baik-baik saja, Sumi pun meletakkannya kembali di meja, kemudian dengan langkah tergesa dia menuju ke kamar mandi. Setelah bayangan Sumi tak lagi terlihat, dengan malas Haris bangkit dari tidurnya, kemudian duduk di tepi ranjang lalu membuat gerakan peregangan otot. Sumi yang baru saja keluar dari ka
Sementara di dalam kamar, Iyan dan Ambar tak bisa berbuat lebih, mereka hanya berbaring di sisi kiri dan kanan Alif sambil saling menatap, untuk saat ini bocah lelaki itu yang menguasai ranjang. "Maaf ...," ucap Ambar dengan suara yang hampir tak terdengar. "Ok," sahut Iyan tanpa suara, lelaki itu hanya menggerakkan bibirnya kemudian tersenyum. Setelah cukup lama saling pandang, Iyan memberanikan diri, tangan kanannya terulur lalu membelai rambut hitam milik Ambar. Bundanya Alif itu tersipu malu, tetapi dia begitu menikmatinya, hingga keduanya sama-sama terlelap.Pagi adalah waktu yang sibuk bagi setiap ibu rumah tangga, begitu juga dengan Ambar. Setelah selesai melaksanakan kewajiban dua rekaat, bundanya Alif itu langsung menyibukkan diri di dapur. Sementara para lelaki penghuni rumah itu masih belum kembali dari musolah. Aroma kopi dan teh melati yang menguar di seluruh ruangan membuat Vina keluar dari kamarnya dan melangkah ke dapur."Ih, pengantin baru rajin amat," godanya pada