Sebelum Santi menyimpan ponselnya dalam tas, sebuah notifikasi terdengar dari benda canggih miliknya itu. [Kirim foto dan alamat lengkapnya, kebetulan saat ini aku ada keperluan di kota itu] bunyi pesan dari Riswan. Tanpa menunggu lebih lama Santi langsung membalasnya. [Hanya ini, selebihnya kamu sendiri yang mencari tahu semuanya tentang dia] balas Santi, terkirim dan terbaca. Sebuah emot jempol kembali terkirim ke ponsel Santi sebagai tandan 'ok'. Santi hanya membukanya, setelah itu dia kembali konsentrasi ke pekerjaannya.**"Fit, ibu mana?" tanya Ambar ketika hanya mendapati perempuan berambut sebahu itu di ruang keluarga."Ada di kamar, Mbak. Mungkin sudah tidur," sahut Fitri tanpa menoleh pada Ambar, pandangannya fokus pada layar televisi."Ya udah, aku mau jemput Alif dulu," pamit Ambar, setelah itu wanita pemilik hidung mungil itu mengayunkan langkahnya menuju luar. Saat ini dia merasa sedikit tenang karena masalah dengan Rudi akan segera terselesaikan. "Mbak Ambar!" seru F
"Selamat malam, Bu," ucap Rudi penuh percaya diri sambil menggandeng Santi. Lelaki tiga puluh delapan tahun meraih tangan ibunya lalu menciumnya dengan takzim. Rahayu masih bungkam, dia juga menyambut uluran tangan Santi, tetapi Rahayu segera menarik tangannya ketika hendak dicium oleh Santi."Tadi pagi aku ke rumah sakit, kenapa ibu harus meminta pulang paksa, seharusnya ibu di rumah sakit dulu sampai benar-benar sembuh." Panjang lebar Rudi mengutarakan isi hatinya."Aku sudah sehat, Rud. Jadi buat apa lama-lama di rumah sakit. Di sini kondisiku akan lebih cepat pulih karena ada Alif dan Ambar yang akan merawat dan menjagaku dengan baik," sahut Rahayu dengan tatapan lurus pada manik mata putranya.Di tatap sedemikan rupa oleh sang ibu, Rudi tak lagi bisa berkata, lidahnya seolah keluh. Baginya amarah Rahayu amatlah menakutkan, karena dia sangat menghormati wanita yang telah melahirkannya itu. Rudi menoleh pada Santi ketika perempuan itu menyenggolnya. Seolah paham, Rudi langsung memp
"Mas!" Santi tersentak mendengar dirinya disebut sebagai wanita tak bermartabat, harga dirinya sungguh dipermainkan."Bu, tak perlu memujiku seperti itu. Semuanya tak ada artinya jika memang kita tak berjodoh. Aku bersedih, tentu. Sepuluh tahun bersama bukalah waktu yang singkat. Sayang, hubungan ini harus berakhir karena penghianatan. Mungkin, ini jalan Tuhan agar aku tidak terlalu menangisi perpisahan ini, Tuhan ingin menunjukkan bahwa dia bukanlah imam yang baik untukku.""Jaga bicaramu, Mbar! Tak pantas mulutmu berkata seperti itu. Kamu pikir dirimu itu wanita suci?""Aku tak pernah mengatakan diriku ini suci. Setidaknya aku tidak menghianati janji yang telah terucap di hadapan Allah.""Kamu jangan diam saja. Mereka telah menghinaku, Mas!" seru Santi sambil terisak dalam pelukan Rudi. "Mereka keterlaluan, Mas. Ibumu keterlaluan, salahku apa, Mas? Mengapa cinta kita harus seperti ini?" imbuhnya sambil menangis meraung.Mendengar ucapan kekasihnya, Rudi pun ikut emosi. Lelaki itu ba
"Aku keluar dulu, Mbak," ucap Fitri setelah mendapati Ambar berdiri ditengah pintu yang tertutup. Bundanya Alif itu membuka matanya, kemudian tersenyum pada wanita yang baru beberapa waktu dikenalnya, namun sudah banyak membantu itu."Terima kasih ya, Fit," ucap Ambar tulus, tatapan mereka beradu kemudian keduanya mengulas senyum."Sama-sama, Mbak. jangan segan-segan bercerita padaku, Mbak," balas perempuan itu sambil menepuk pundak Ambar sebagai tanda semua akan baik-baik saja.Setelah Fitri keluar, Ambar melangkah mendekati Alif yang tengah terlelap, ditatapnya bocah empat tahun itu lekat-lekat. Setetes bening itu meluncur membasahi pipinya yang mulus. Namun, setelah itu sebuah senyuman terbit di bibir tipisnya."Kita bisa ya, Kak. Alif dan Bunda pasti bisa melewati semuanya bersama," ucap Ambar yang direspon sebuah senyuman dari bibir mungil Alif. Melihat itu membuat air mata Ambar semakin deras.Di luar ruangan Rahayu masih duduk termenung di tempatnya semula, wanita senja itu nam
"Mbak, aku disuruh Ibu nemeni Mbak Ambar," ucap Fitri setelah masuk ke kamar Ambar. Bundanya Alif itu memang belum mengunci pintu kamarnya, karena dia belum bersiap untuk tidur. Sementara wanita yang diajak bicara itu tak menyahut, Ambar terlihat tengah mencari sesuatu dalam lemarinya."Cari apa sih, Mbak? Serius amat?" tanya Fitri setelah mendekat."Fit, semua surat penting ndak ada di tempatnya," sahut Ambar terlihat panik."Loh? Kok bisa?" tanya Fitri ikut panik. "Coba cari yang betul-betul, Mbak. Barangkali nyelip di bawah," ujarnya.Ambar menatap perempuan yang hobi memasak itu. "Ndak mungkin nyelip, Fit. Apa mungkin tadi pas kita ke salon, Mas Rudi datang?" tanya sekaligus tebakannya."Dia punya kuncinya?" Fitri balik bertanya. Ambar mengangguk sebagai jawaban iya."Memang untuk apa Mas Rudi melakukannya ya, Mbak?""Rekaman video itu, iya ... pasti dia ingin menukar surat-surat penting dengan rekaman videonya," tebak Ambar. "Laporkan saja ke kantor polisi, Mbak," usul Fitri."
Ambar perlahan mendekati lekaki itu, wanita itu membuang rasa takutnya demi sang buah hati. Setelah jarak mereka semakin dekat tiba-tiba Ambar bergerak cepat, wanita kelahiran bulan Januari itu mencakar dan memukul lelaki berbadan kekar yang tengah menyandra Fitri dan putranya. Seolah mengerti, Fitri pun melakukan hal yang sama, perempuan penyuka warna gelap itu berontak, menggigit tangan pelaku dan menendang ke belakang, membuat lelaki itu terpojok. Sementara tangisan Alif semakin terdengar kencang.Mendengar kegaduhan di dalam kamar, Rahayu dan beberapa orang yang datang bersamanya menerobos masuk. Mereka semua mengeroyok lelaki penyusup itu, hingga membuatnya tak berdaya dan akhirnya bisa dibekuk. Entah siapa yang menghubungi polisi, tiba-tiba sudah ada beberapa petugas patroli yang datang ke rumah Ambar. "Silakan ibu ikut kami ke kantor polisi untuk memberikan keterangan," ucap salah satu petugas. Ambar tak menyahut, wanita itu masih terlihat shock tubuhnya bergetar sambil memel
"Aku harap kamu ndak ada sangkut pautnya dengan kasus yang menimpa Ambar," ucap Rahayu tanpa basa-basi."Kasus apa, Bu?" tanya Rudi bingung."Ada seseorang yang ingin mencelakai Ambar, beruntung Allah masih menyelamatkannya, jika saja–""Ambar? Mencelakai? Tolong bicara dengan jelas, Bu. Apa yang terjadi dengannya?" tanya Rudi panik. Melihat hal itu membuat Santi mengangkat wajahnya."Aku benar-benar tidak tahu menahu tentang hal ini, Bu. Percayalah ... lagian buat apa aku melakukannya?""Siapa tahu, Rud. Buktinya semua surat-surat penting milik kalian telah hilang dari tempatnya. Kamu sudah menjadi lelaki yang gagal, jangan tambah keburukan lagi, dengan menjadi lelaki pecundang dan licik!""Bu!" Baru kali ini Rudi berbicara keras pada ibunya, terlihat jelas ada penyesalan dari raut wajahnya. Berbeda dengan Santi, wanita itu menganggat salah satu sudut bibir atasnya."Bu, aku tak seburuk itu. Aku hanya ingin menjalani kehidupan dengan wanita yang kucintai. Jika Ambar bisa menerima ken
Rahayu bangkit sambil meraih gelas minumannya yang isinya tinggal separuh. Tanpa berkata apa wanita senja yang masih terlihat gesit itu melangkah pergi."Ibu mau ke mana?" tanya Ambar dan Fitri bersamaan. Bahkan Ambar sudah berdiri hendak menyusulnya."Sebentar, kalian tunggu di sini saja," sahut Rahayu, membuat keduanya perempuan itu saling pandang, setelah itu Rahayu kembali meneruskan langkahnya. Ambar menatap punggung Rahayu yang semakin menjauh. Namun, dia bergegas menyusul mertuanya tersebut.Tatapan Rahayu fokus pada Santi dan teman lelakinya, kedua manusia itu tanpa sungkan terlihat bermesraan. Santi dengan manja bersandar di bahu lelaki berambut lurus itu, sementara sang lelaki membelai rambutnya dengan mesra. Sebenarnya Rahayu sangat jijik melihat pemandangan seperti itu. Biasanya jika tanpa sengaja dia melihat pasangan bermesraan di tempat umum, dia memilih pergi dari tempat tersebut.Ambar mempercepat langkahnya ketika Rahayu sudah sampai di depan Santi. Wanita itu khawatir