PoV RaffaUsia Embun hanya dua tahun lebih muda dariku, namun ia belum terpikir untuk menikah. Bukan tanpa alasan, sang ibu lah yang selalu ia pikirkan. Justeru kini adik gadisnya telah menikah satu tahun yang lalu.Meski begitu, Embun tetap energik terutama saat bekerja. Aku tidak menyangka dia mampu membangun sebuah usaha, meski kecil. Aku yang sudah melanglang buana ke sana ke mari pun, belum terpikir untuk membuka usaha sendiri.Siang ini, aku tak sengaja mengaguminya lagi. Ya Allah, maafkan hatiku yang telah menatap gadis lain dengan kekaguman ini. Aku membatin, meski pesona tak pernah lekang dalam senyumannya.**Pagi hari ini masih tampak mendung. Agaknya musim telah bergeser ke musim penghujan. Kulalui jalanan toll yang amat panjang demi sampai ke sebuah kampung yang dulu sering kusambangi setiap bulannya. Kampung halaman yang menjadi tempat bermain seorang wanita yang pernah singgah di hatiku.Kulihat dirinya dengan perut membuncit di balik jendela, tengah melambai seolah me
PoV RaffaTiga bulan berlalu sudah ...Aku masih tetap sama dalam kesenderianku. Hanya mementingkan kebahagiaan orang-orang yang kusayangi. Aku pun masih tetap menyalurkan sedikit bantuan pada keluarga Yulia, setidaknya untuk pengobatan Yulia yang hingga kini masih berjalan.Sejak kedatanganku tiga bulan yang lalu, aku tak pernah lagi mendatangi mereka. Bagiku cukup sudah bujuk rayu segala daya dan upaya keluarga mereka untuk memintaku kembali.Bukan. Bukan aku teramat membencinya, namun hati ini amat sulit menerimanya kembali setelah apa yang telah ia perbuat. Terlalu sakit jika harus mengulang kebersamaan yang telah dirusaknya.Namun meski begitu, aku tetap menanyakan kabarnya pada Satya, sekadar untuk memantau perkembangannya saja. Kabarnya, kondisi kejiwaan Yulia semakin hari semakin membaik, semenjak kukerahkan satu tim dokter psikolog serta perawatnya untuk merawat Yulia tiga hari sekali, di rumahnya.Aku tak berkeberatan jika harus menguras sejumlah uang untuk kesembuhan jiwany
"Aku gak marah, Mas. Cuma ..." gadis itu menggantung ucapannya, membuatku semakin penasaran."Aku sadar diri, siapa aku, Mas. Tidak pantas rasanya jika aku harus dijodohkan denganmu yang seorang bos besar di perusahaan besar ini. Apalagi ... aku juga bukan gadis muda lagi," jelasnya. Senyuman di bibirnya yang biasanya tampak begitu tulus, kali ini terlihat segan.Alih-alih ingin mencairkan suasana, situasi saat ini malah menambah ketegangan bagi kami berdua."Alasan macam apa, itu?" tanyaku, berusaha tetap santai. Padahal nyatanya, aku tak nyaman dengan anggapan berlebihan Embun."Ya ... tahu diri saja, Mas. Aku tidak mau sampai ada harapan yang tumbuh dari ledekan-ledekan itu. Aku tidak mau hatiku sampai kecewa karena harapan semu itu ternyata berbanding terbalik dengan kenyataannya."Embun menunduk, entah apa yang ia lihat."Maksudmu? Apa kamu takut kecewa hanya karena sebuah ledekan perjodohan kita?" tebakku."Aku ini seorang wanita, Mas. Di dalam sini ada sebongkah hati yang betap
PoV AuthorPantang menyerah Raffa mengemudikan mobilnya, meski lelah nyaris meremukkan seluruh tulangnya. Ia harus bertolak ke kampung halaman Yulia sebab Satya baru saja mengabari bahwa, Yulia sudah mulai merasakan kontraksi.Mendengar penuturan Satya di telepon, Raffa melupakan tentang tanya yang sempat memenuhi isi kepalanya. Sebuah tanya yang muncul dari pertemuan Embun dengan seorang pria yang tidak Raffa kenali."Ayolah!" gumamnya, resah melihat kendaraan di depannya nyaris tak bergerak.Sesekali pria itu melirik ke arah ponsel yang ditaruhnya di atas jok sebelah, berharap Satya segera memberi kabar terbaru tentang perkembangan kelahiran Yulia."Jalan, dong, Ya Allah ... ada apa ini, macet sekali?" Raffa bertanya seorang diri. Ia benar-benar khawatir pada Yulia yang tengah merasakan sakitnya kontraksi tanpa seorang suami.Meski sudah tak lagi peduli, Raffa tetap saja panik mendengar kabar tersebut. Pasalnya, hal ini adalah yang pertama baginya, meski kini sudah bukan lagi suami
"Segera tangani, Bu Bidan. Kasihan, anak saya sepertinya mulai lemas menahan sakit," usul Pak Sujita, sekaligus ingin membungkam mulut bidan tersebut."Iya, Pak. Ini tidak sedang saya tonton saja, kok. Tapi pembukaannya belum lengkap," jelas bidan kepala itu."Lakukan sesuatu, Bu, supaya bayinya cepat lahir," mohon Pak Sujita lagi."Dari jam berapa mulai merasakan kontraksi?" tanya Bidan satunya dengan ramah."Sekitar jam dua siang, Bu Bidan. Dan sudah lama sekali, bayinya belum lahir juga," jawab Pak Sujita.Bidan tersebut menghitung jam dengan jarinya. "Ini wajar, kok, Pak. Baru tiga jam kontraksi, ada yang sampai dua hari dua malam. Bapak tenang saja. Jika dalam dua jam kedepan pembukaannya tidak bertambah, baru kita lakukan tindakan.""Tindakan, maksudnya?" Pak Sujita menatap penuh tanya pada bidan itu."Operasi caesar, Pak. Itu pun jika disertai masalah medis lainnya. Tidak sembarangan.""Ya Allah ... saya gak tega liatnya, Bu." "Maaf Bapak, jika memang Bapak gak sanggup, sebaik
PoV Author"Ini ada surat yang harus ditandatangani." Bidan itu menyerahkan sebuah surat berbalut map warna biru muda."Apa ini, Bu Bidan?" tanya Pak Sujita dengan tangan bergetar menerima surat tersebut. Ia lantas melihat isi dari surat itu."Surat persetujuan untuk dilakukan tindakan operasi, sebab saat ini Ibu Yulia sudah tak sadarkan diri. Mohon disegerakan, karena pasien harus segera ditindak lanjuti. Kami butuh tandatangan penanggung jawabnya sekarang juga." "Raffa," lirih Pak Sujita yang tangannya memegang surat tersebut dengan bergetar semakin kuat.Raffa hanya menatap nanar. Di dalam hatinya, ia tak tega membiarkan Yulia dalam kondisi kritis seperti ini. Namun ia sama sekali tak suka jika Pak Sujita terus-terusan memintanya mengasihani Yulia.Tanpa diminta pun, Raffa sudah sangat baik pada Yulia keluarganya. Hanya saja, untuk kembali bersama itu tidak mungkin. 'Berbelas kasihan bukan berarti harus kembali,' batin Raffa. Ia bahkan enggan untuk melirik isi kertas tersebut."Ta
Sementara Raffa hanya mengernyit, panggilan dimatikan secara sepihak tanpa pamit dan salam. Ia menatap layar ponselnya yang masih menyala, menampilkan angka sebuah waktu dan tanggal.'Padahal aku mau tanya, siapa laki-laki yang sore tadi bersamanya memasuki toko bunga,' kata hati Raffa. Ia lantas memasukkan kembali ponsel tersebut, namun belum sempat melepaskan, ponsel tersebut kembali bergetar sekali."Siapa yang telfon, Raf?" selidik Pak Sujita, namun Raffa tengah memerhatikan ponsel yang kembali ia keluarkan. Sebuah pesan chat dari Embun.[Maaf, Mas sudah mengganggu waktumu. Dan maaf juga, karena aku tidak sempat mengucap salam.][Tidak apa. Tapi serius kah, tidak ada yang ingin kamu bahas?] balas Raffa, mencoba memancing ungkapan gadis itu.[Enggak ada, kok, Mas. Aku sedang di luar, maaf ponselnya mau kusimpan ke dalam tas. Assalamu'alaikum,] balas Embun lagi, seperti tidak ingin berbalas pesan lagi.[Di mana? Dengan siapa?] tanya Raffa dalam pesan chatnya.Dan sejak saat itu pon
PoV raffaRaffa sudah selesai berkonsultasi dengan seseorang yang saat ini ia anggap paling penting dalam hidupnya dan berpengaruh bagi masa depannya nanti. Pria jangkung berkemeja hitam dengan lengan dilipat itu berjalan menuju ruang rawat Yulia."Mas! Aku tau kamu pasti datang. Anak kita sedang menyusu, Mas. Lihatlah, lucu sekali." Yulia memang sedang menunggu kedatangan mantan suaminya sejak ia baru sadarkan diri, ingin memamerkan tingkah menggemaskan bayinya yang baru pertama kali menyusu.Sebetulnya Yulia belum diijinkan untuk menyusui bayinya, namun ia tetap memaksa karena sudah lama memimpikan hal itu.Raffa berjalan mendekat dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana berwarna kremnya, mendekati bed Yulia."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Banyak pekerjaan yang harus kuurus." Dengan wajah datar, Raffa mengucapkannya."Ma-mau kerja? Ini sudah malam, Mas." Yulia berusaha menahan mantan suaminya, sebab hari menjelang larut."Aku permisi," ucap Raffa, tanpa menjawab perta
PoV AuthorDengan gagah Raffa keluar dari ruang persidangan. Senyum kepuasan tersirat di wajahnya yang kali ini mengenakan kacamata hitam. Setelan jas warna hitam dengan celana senada, membuatnya terlihat sangat elegan dan misterius.Hasil putusan sidang benar-benar telah memberinya kepuasan. Jeremy mendapatkan hukuman lebih dari delapan belas tahun, karena terjerat pasal berlapis. Kekerasan hingga percobaan pem_bu_nuhan, penggunakan obat-obatan keras dan telah membuka tempat haram berkedok gym."Terima kasih banyak, Pak Endri. Sudah ke sekian kalinya Bapak membantu saya dalam proses hukum yang terpaksa saya ambil. Kalau bukan Bapak yang menjadi pengacara saya, entahlah.""Kembali kasih, Pak. Tapi saya yakin, siapa pun itu, jika Pak Raffa kliennya sudah pasti menang. Bapak tidak bersalah dan terbilang cerdik dalam mengumpulkan bukti. Juga tidak mudah terperangkap oleh lawan," puji Pak Endri pada pria di hadapannya."Ya, berdasarkan pengalaman mungkin ya, Pak." Raffa terkekeh di akhir
PoV RaffaMalam ini, di rumah sakit kembali kami berada. Sore tadi, saat tengah menemani Embun memilih tas, sambil menunggu jam tayang film yang kami tonton, tiba-tiba saja ponselku berdering."Pak, maaf, ini Cyra badannya panas banget." Suara Bi Murni di ujung telepon, sontak saja membuyarkan konsentrasiku. Kutatap Embun yang tengah memandangku penuh khawatir."Ya Allah ... oke, Bi, saya segera pulang." Tanpa memberitahu Embun lebih dulu, kuputuskan untuk membatalkan acara nonton film."Ada apa, Yah?" tanya Embun tak sabar, ketika kumatikan panggilan."Cyra sakit, Sayang. Badannya panas," jelasku."Ya Allah! Ayo, Mas, kita pulang sekarang." Embun menarik jemariku, melupakan hasratnya untuk membeli tas.Kami berjalan cepat keluar dari mal, sore tadi. Melupakan tiket menonton yang sudah terlanjur dibeli, serta meninggalkan mobil yang belum selesai dipoles di bengkel.Sepanjang perjalanan, Embun sangat gelisah. Sesekali ia mengusap ujung netranya dengan tisyu, seperti tengah merasakan p
PoV Author"Saya minta maaf, Pak atas kejadian ini. Anak saya baru belajar nyetir," ucap seorang wanita berusia kisaran 60 tahun. Sementara anaknya yang menabrak adalah seorang gadis muda berpakaian seksi."Ndin, minta maaf!" suruh sang Ibu yang dandanannya tak kalah mentereng.Embun dan Raffa yang sejak tadi diam di depan mobil mereka, tampak risih melihat kedua wanita beda usia yang terlihat kurang senonoh."Ma-maaf, Mas, aku gak sengaja," ucap gadis bertubuh tinggi itu, sedikit terbata-bata."Ya, sudah, gak pa-pa. Lain kali hati-hati," pesan Raffa, sambil berjalan ke arah belakang mobilnya untuk mengecek kerusakan yang terjadi."Nanti kami ganti rugi atas kerusakannya, Pak." Ibu dari wanita itu menyusul dan menawarkan ganti rugi.Ada yang terasa tak enak didengar oleh Embun. Ibu dari gadis itu sudah berumur, tetapi memanggil Bapak pada suaminya. Sementara gadis itu, justeru memanggil suaminya dengan sebutan Mas."Ya ... sepertinya memang harus begitu. Tergores cukup dalam bamper mo
"Bunda gak sakit, Yah." Bibir manis istriku justeru melengkungkan senyuman."Mak-maksudnya?" Aku sedikit heran. Jelas-jelas ia sakit sejak tiga hari lalu, bahkan kini sampai tak sadarkan diri dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Mengapa raut wajahnya justeru menampakkan kebahagiaan?"Dareen mau punya adik. Seperti yang Ayah mau, tambah anak biar tambah ramai dan tambah rezeki. Baju-baju hamil aku juga akan terpakai lagi," kekeh Embun, sedikit menggodaku.Allah ... benarkah apa yang barusan kudengar? Embun, istriku tengah mengandung untuk yang ke tiga kalinya, di usianya yang sudah tak muda lagi. Aku sangat bahagia, akan tetapi, ada rasa takut yang menggelayut perlahan. Usianya sudah bukan usia yang pantas untuk melahirkan. Apakah Embun-ku masih mampu melahirkan anak kami? Buah cinta kami yang ke sekian."Bunda serius?" tanyaku, untuk memastikan.Embun-ku mengangguk dengan wajah teduh nun manisnya. Layaknya tetesan embun pagi yang senantiasa memberikan kesejukan, senyumannya terus te
Aku terkejut bukan main. Dalam persidangan, Jeremy mengaku telah mengenal Yulia sejak lama. Ia juga mengaku sudah mengenal Evano. Kedua pasangan selingkuh yang kini telah sama-sama meninggal itu, rupanya sudah menyisakan luka di hati Jeremy."Jika saja saat itu kamu hanya melepaskan Yulia tanpa membu_nuhnya, aku tidak akan segi_la ini ingin menghabisimu!""Apa? Yulia? Membu_nuh? Aku tidak membu_nuh siapa pun. Baik Yulia maupun Evano, sama meninggal karena ulah mereka sendiri.""Ya! Yulia ma_ti karena tergi_la ingin bertahan denganmu!""Dia kecelakaan, karena berusaha mengambil alih kendaraan dalam kondisi yang lemah, Jeremy. Kamu tahu apa soal Yulia?" selidikku saat persidangan itu."Aku tau semua tentang dia. Aku tau betapa besar lukanya karena mencintaimu. Aku tau seberapa hancur Yulia saat kau tinggalkan! Kamu terlalu naif, Baji_ngan!""Mengapa aku yang disalahkan? Mereka telah selingkuh sampai Yulia yang kala itu masih sah menjadi istriku hamil oleh selingkuhannya."Kemarin, amara
Pagi yang begitu cerah, menampakkan semburat jingganya di sela jendela kamar kami. Kubuka selimut berwarna ungu, yang mana sudah tak menampakkan keberadaan wanita tercantik yang selalu tidur di sisiku.Pastilah wanita cantik berwajah teduh itu sudah sibuk mengurus rumah, sebelum anak-anak kami terbangun. Padahal, adzan subuh saja belum berkumandang.Hari ini adalah minggu, yang artinya aku tidak pergi ke kantor. Akan kumanfaatkan hari libur ini untuk membantu meringankan tugas istriku. Salah. Semua tugas rumah adalah tugasku, namun Embun memilih berbakti padaku dan mengurusnya sebagai sebuah ungkapan kasihnya."Sayang ..." Kupanggil wanita berambut hitam sepunggung itu, di balik dinding sekat ruang makan dan dapur."Eh, Yah. Sudah bangun?" tanyanya dengan lembut. Tentu saja wanitaku tak ingin suara kami mengganggu tidur yang lainnya."Udah, dong!" Kulingkarkan tangan di perutnya, menyandarkan dagu di bahunya yang sudah menguarkan wangi sabun dan shampo."Bunda sudah mandi?" selidikku
Di kantor polisi, Raffa menyerahkan dua orang pelaku pemu_kulan terhadap dirinya. Keduanya tak menggunakan penutup wajah, sehingga dengan jelas Raffa dan pihak berwajib mengenali pelaku itu.Saat di jalan tadi, beruntung ada petugas keamanan komplek yang sedang berkeliling. Mereka melihat Raffa tengah diserang oleh dua orang pria muda yang membawa sen_jata ta_jam.Raffa dibantu oleh tiga orang petugas keamanan komplek untuk meringkus dua pemuda itu dan membawanya ke kantor polisi."Siapa nama kalian?" tanya Pak Polisi yang menginterograsi pelaku itu."Dindin, Pak," jawab salah satunya, memang tak menyebutkan nama aslinya."Saya Bimo, Pak," kata pemuda lainnya, pun sengaja menyebutkan nama yang digunakan dalam gengnya."Kalian mau mengambil apa dari Bapak Raffa ini?""U--uang, Pak. Apa saja yang bisa diuangkan," kata Dindin setengah terbata."Bohong! Saya yakin, ada orang lain yang mengendalikan kalian. Cepat, katakan!" sentak Raffa tak sabar.Bimo dan Dindin menggeleng dengan cepat. K
PoV Author"Ya Allah, Yah, ini kenapa?" tanya Embun dengan mata berkaca."Gak pa-pa, Sayang. Luka kecil," balas Raffa, menoleh pada sumber suara di mana sang istri sudah berdiri di belakangnya."Sini aku bantu," pinta Embun, merebut plester untuk merekatkan perban."Ayah bisa, kok, Bun. Kamu sudah makan?" tanya Raffa, mendongak ke wajah sang istri yang hanya berjarak beberapa senti saja dari dahinya.Embun menggeleng. Jangankan ingat makan, hati dan perasaannya sudah tak tenang sejak siang."Habis ini kita makan sama-sama. Anak-anak sudah tidur?""Sudah." Embun yang masih dipenuhi akan tanya, masih malas untuk berkata banyak. Namun ia tak dapat menutupi rasa khawatirnya setelah melihat suaminya terluka."Maaf, ya, Ayah pulang telat." Tangan Raffa beralih ke puncak kepala sang istri yang tak tertutup hijab, kemudian mendekat hendak menciumnya.Embun menjauh, tanpa melepaskan tangannya dari dada sang suami. "Jelaskan, ada apa?" pintanya dengan tatapan tak mengenakan bagi Raffa."Oke. Ta
PoV Embun"Siapa Diana, Yah?" tanyaku, segera mengurai pelukan dan menatap sepasang bola matanya dalam. Dada ini terasa bergetar, takut sekali menjadi Mas Raffa di beberapa tahun lalu.Lelakiku meraih ponselnya, lalu membuka chat yang masuk dari kontak bernama Diana itu. Ia tak segera menjawab ucapanku, malah buru-buru membalas chat itu."Siapa?" ulangku, merampas ponsel di tangannya dan menjauhkan dari jangkauannya."Ya ampun, Bunda. Bukan siapa-siapa. Coba dibaca isi chatnya," suruh Mas Raffa, seperti tidak terjadi apa-apa. Ah, ya, mungkin memang hanya ketakutanku saja yang berlebihan.[Bos, besok si Jeje minta diramein lagi gymnya. Sehari lagi saja, buat mancing pengunjung.] Aku membacanya dengan sangat hati-hati. Sekilas memang tidak ada yang aneh. Hanya saja, mengapa nama pengirimnya nama perempuan?"Diana ini teman kamu? Ikut nge-gym juga?" cecarku."Lihat saja profil kontak itu." Mas Raffa bukannya menjawab, malah memintaku memeriksa detail profil kontak bernama Diana ini."Nam