"Atau kalau memang kamu mau melaporkan saya, silakan saja. Tapi asal kamu tahu jangan-jangan malah kamu yang ditangkap polisi karena berzina dengan suami orang. Ada pasalnya lo," ucap Hesti membuat nyali Lidia semakin menciut.
Lidia terdiam sejenak. "Ta-tapi Tante juga mengingkari janji untuk tidak menyebarkan video penggerebekan aku dan Papa kan?"Hesti tersenyum. Kedua tangannya bersidekap di depan dada. "Sekali lagi kutegaskan padamu kalau bukan aku memviralkan video itu.""Tidak mungkin. Cuma Tante yang merekam kami saat tertangkap kemarin. Sudahlah, nggak usah ngeles. Tante benar-benar jahat dan tega sama saya dan Papa! Seharusnya Tante harus tahu, apa yang dirasakan Verico nanti kalau tahu Papanya viral karena video mes*m?" tanya Lidia dengan tatapan menghiba."Hm, Baiklah. Ada dua hal yang perlu kamu tahu saat ini. Satu, kamu tahu sendiri saat aku ada di hotel kemarin, ada lima orang dari pihak hotel dan tiga orang dari pihak rumah sakit. Yah, siapa tahu saja, salah satu dari mereka yang merekam kalian.""Itu tidak mungkin. Mereka tidak akan berani melakukan hal itu!"Hesti mengedikkan bahunya. "Yah, terserah pendapat kamulah."Hesti menghentakkan kakinya dan menuding ke arah Hesti."Saya minta Tante bertanggung jawab atas di DO nya saya!""Hah? Nggak salah? Saya tanggung jawab pada kamu? Kenapa?! Kamu juga enggak tanggung jawab pada hancurnya pernikahan saya kok," sahut Hesti santai.Lidia mendelik dan mengancam Hesti. "Awas kalau Tante tidak mau tanggung jawab! Saya akan ....!""Akan apa? Ayo jawab? Kok diam? Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Lakukan saja?!" tantang Hesti.Lidia menatap Hesti. Dia bingung juga dengan apa yang akan dilakukannya sekarang."Sekedar nasihat buat kamu. Seharusnya kamu malu karena kamu telah melakukan hubungan di luar pernikahan dengan suami orang. Anak yang seusia kamu seharusnya belajar yang rajin, meraih cita-cita yang tinggi dan jalan-jalan dengan teman sebaya kamu.Bukannya malah merusak rumah tangga orang lain. Yah, anggap saja sekarang kamu lagi menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan. Eh, tapi kok mau-maunya sih aku nasihatin kamu? Harusnya kamu pasti sudah bisa menebak apa yang akan terjadi dong kalau kamu udah gatel nyari sugar daddy. Ya nggak sih?! Kamu itu memang pelakor rendahan yang mau sama bekas orang.""Tante bilang apa?! Jangan seenaknya mengatakan sesuatu yang buruk tentang saya. Awas saja kamu, Te. Sekarang juga akan kulaporkan pada Papa!"Hesti tersenyum menyeringai ke arah Lidia. "Terserah kamu. Lagipula apa yang bisa kalian lakukan sekarang padaku?"Lidia segera meraih ponselnya dan menekan nomor Adi.Nada sambung terdengar. Satu kali, dua kali. Dan akhirnya Lidia menghela nafas lega saat nada sambung berganti menjadi suara Adi. Perempuan itu segera menekan tombol loud speaker."Halo!""Halo Pa. Tolong Lidia. Sekarang Lidia ada di ...,""Lidia, jangan ganggu saya! Saya sedang kalut, karena saya baru saja dipecat oleh Bupati!" bentak Adi dengan suara keras sebelum Lidia sempat menyelesaikan kalimatnya.Lidia tercengang kaget sampai tanpa sadar dia menjatuhkan ponselnya ke lantai. Sementara itu Hesti tertawa."Oh, jadi calon suami kamu sudah dipecat dari pekerjaannya. Hm, kasihan banget. Pasti setelah ini, dia akan kesusahan cari kerja. Mana ada sih yang mau menerima orang yang mempunyai masalah asusila.Oh ya, dan kamu juga pasti bingung ya karena enggak bisa lulus tepat waktu. Saya benar-benar merasa kasihan. Tapi boong ...!"Lidia memandang Hesti dengan rasa yang campur aduk."Awas saja kamu, Te. Aku tidak akan pernah membiarkan kamu hidup bahagia karena telah membuat ku dan Papa menderita. Ingat itu!""Wah, boleh juga ya nyali kamu. Dan benar-benar nggak tahu malu. Dasar pelakor. Kalau kamu sudah selesai bicara, saya harap kamu segera pergi meninggalkan rumah saya. Saya tidak ingin rumah saya dikotori oleh pelakor seperti kamu," sahut Hesti santai seraya melirik pintu gerbang rumahnya.Lidia hanya bisa terdiam dan dengan mengepalkan kedua tangan, Lidia memungut ponselnya dan berlalu meninggalkan rumah Hesti.***Flash back On :Adi baru saja turun dari mobil dan memasuki pelataran kantor bupati saat beberapa pasang mata melihat dengan aneh kearahnya sambil melihat ke ponsel masing-masing.Lelaki itu mengerutkan dahinya. Dia bingung tapi tetap melangkah menuju ke ruangannya.Beberapa pikiran buruk sempat terlintas di kepalanya, tapi Adi dengan cepat menepisnya.Baru saja Adi duduk di ruangannya, saat terdengar suara ketukan di pintu. "Pak Adi, bisa ikut ke ruangan saya sebentar? Ada yang perlu saya bicarakan."Adi menatap ke arah lawan bicaranya dengan bingung. "Apa Bupati ada tugas khusus untuk saya di luar job disk yang sudah direncanakan?" tanya Adi pada Erick, sekertaris Bupati."Iya. Saya tunggu sekarang di ruangan saya."*"Video ini ...?" tanya Adi terbata saat melihat videonya yang sedang gancet dengan Lidia dan tertangkap basah oleh Hesti viral di sosial media.Erick tersenyum dan mengambil ponselnya dari tangan Adi."Iya. Itu video Bapak kan? Tindakan Bapak yang sangat merusak citra Bupati dan jajarannya membuat Bupati langsung memerintahkan saya untuk membuat surat mempensiunkan Bapak secara dini. Ini surat pencabutan ASNnya."Erick mengeluarkan sepucuk surat dari lacinya dan menyerahkannya pada Adi.Adi menerima nya dan membacanya sekilas."Apa? Saya dipecat dan tidak lagi menjadi ASN? Ini tidak adil! Mana Bupati? Saya ingin menghadap beliau langsung!""Bupati sedang ada urusan di kabupaten sebelah. Apa Pak Adi merasa keberatan?""Tentu saja. Masa hanya karena masalah video hoax saja saya sampai dipecat. Itu bukan saya. Jelas sekali ya ada orang yang ingin memfitnah saya!""Oh ya? Tapi kata dokter Hesti tidak seperti itu. Dokter Hesti membenarkan semua tindakan perselingkuhan antara Pak Adi dengan anak angkat kalian.""Astaga, Hesti mengatakan hal itu? Apa dia juga mengatakan bahwa dia yang memviralkan video saya?""Itu bukan urusan saya. Sekarang yang menjadi urusan saya adalah silakan pergi dari sini dengan membawa barang-barang milik Anda!"Adi terdiam dan wajah nya memerah. Dengan menahan amarah dia pergi dari ruangan sekertaris Bupati tersebut.Amarah Adi semakin memuncak saat Lidia meneleponnya berulangkali. Dan dengan sekali sentakan darinya, Lidia mengakhiri panggilan telepon.***Flash back Off :"Adi, saya tidak terima jika Lidia diDO dari sekolah. Bagaimana dengan masa depan anak saya?""Bu, tenang dulu. Adi juga masih bingung memikirkan rencana selanjutnya karena Adi juga dipecat dari kantor Bupati dan dipensiunkan dini dari ASN.""Hm, hilang harapan Ibu punya mantu ASN dan kaya dong," sahut Ibu Lidia dengan ketus.Saat Adi hendak membuka mulut untuk menanggapi ucapan Ibu Lidia, terdengar suara ketukan pintu.Lidia segera menuju pintu dan membukanya, namun sesaat kemudian dia terkejut melihat pemandangan yang ada di luar."Astaga, ada apa ini?"Next?Lidia segera menuju pintu dan membukanya, dan sesaat kemudian dia terkejut. "Astaga, ada apa ini?" tanya Lidia kaget saat ada dua mobil pick up yang datang ke rumah ibunya. Berbagai barang tampak teronggok di atas pick up. "Pa ...! Papa! Kemari Pa, cepat!" seru Lidia memanggil Adi. Adi segera berdiri dan menuju ke pintu depan lalu melongo melihat ada koper, tivi, meja dan kursi belajar, lemari, komputer dan banyak barang lainnya. "Ada apa ini?" Seorang laki-laki membuka pintu kemudi lalu mendekat ke arah Adi. "Permisi Pak. Apa ini benar rumah Mbak Lidia? Kami hanya ingin mengantar barang saja."Lidia mengangguk dengan kaku lalu menyingkir untuk memberi ruang pada sopir dan temannya untuk memasukkan barang yang ada di atas mobil pick up. "Dimana kami meletakkan barang-barang ini, Pak?" tanya supir pick up pada Adi. Adi yang sedang tercengang segera duduk di kursi sofa sambil memegangi kepalanya yang mendadak terasa pusing. "Loh, ada apa ini? Kamu beli perabotan baru untuk Ibu?
Adi tercengang mendengar ide Lidia. "Hah? Apa kamu bilang?"Lidia mengedikkan bahunya. "Yah, bisa saja dong. Apanya yang salah? Kita cuma pura-pura menculik Verico agar dapat uang dari Tante Hesti.Begitu mendapat uang, tentu saja Verico kita lepaskan dengan selamat," tukas Lidia masih berusaha mengompori Adi. Adi terdiam dan merenung. "Papa tidak setuju, kamu pikir Hesti bisa begitu saja dikibulin? Hesti bisa melakukan apapun untuk membuat kita semakin sial. Sudahlah, kamu terima saja dulu soal Hp kamu. Papa sedang pusing karena memikirkan cari pekerjaan baru.""Huh, Papa ini gimana sih? Katanya sayang sama cinta? Cuma janji doang. Enggak ada bukti! Lidia kecewa sama Papa!" seru Lidia merengek. "Aduh, kamu itu semakin membuat Papa pusing. Kalau begitu, Papa akan langsung cairkan deposito untuk membelikan kamu Hp baru.""Nah, gitu dong. Papa memang yang terbaik. Lidia sayang banget sama Papa. Dan juga Lidia mau minta tolong, tapi Lidia takut Papa marah.""Kamu mau minta tolong apa,
Flash back on : "Kamu yakin ingin membawa Verico liburan ke pantai berdua?" "Ya Mi. Hesti sudah ijin ke TKnya Verico. Rasanya Hesti butuh piknik.""Hm, biarkan saja Mi. Kasihan Hesti. Dia baru saja menerima kenyataan pahit akibat perbuatan Adi dan Lidia. Jadi lebih baik, memang Hesti pergi berlibur dengan Verico," tukas Papi Hesti. Maminya menghela nafas. "Baiklah. Kalau begitu, Mami hanya bisa mendoakan kamu, Hes. Semoga menikmati jalan-jalannya. Kamu yakin Papi dan Mami tidak perlu menemanimu?"Hesti mengangguk mantap. "Iya. Hesti cuma ingin berlibur berdua dengan Verico. Yah, menenangkan diri dan menghibur diri.""Baiklah. Ngomong-ngomong apa yang akan kamu lakukan dengan rumah yang kamu bangun bersama dengan Adi?""Hesti akan menjualnya, Mi. Dan uangnya untuk membeli rumah baru. Untung saja dulu sertifikat nya atas nama Hesti. Ditambah pula ada perjanjian tentang harta gono-gini yang menjadi milik Verico membuat Hesti mudah memproses penjualan rumah itu.""Yah, baguslah kalau k
"Hah? Apa kamu bilang Mas?" seru Hesti dengan ekspresi kesal dari samping tempat duduk Narendra.Narendra tertawa dan merasa tidak enak berada diantara kedua mantan pasangan suami istri tersebut. "Iya deh. Aku ngaku. Hesti mantan istriku. Kami baru saja berpisah," sahut Adi lirih. Narendra menghela nafas panjang. "Yah, itu urusan pribadi kalian sih. Maaf tadi sempat bertanya apa kamu kenal dengan Mbak Hesti atau tidak.""Iya. Nggak apa-apa. Eh, tapi kok kamu bisa semobil dengan Hesti?" tanya Adi penasaran. "Hm, yah. Ceritanya panjang. Enggak enak kalau cerita sekarang. Aku lagi nyetir nih.""Hm, nggak enak cerita karena lagi nyetir apa karena kalian berdua ada hubungan?" tanya Adi membuat Narendra kaget sehingga mengerem mobilnya mendadak. Ccittt!Hesti dan Verico nyaris terjungkal karena Narendra yang mengerem mobilnya secara tiba-tiba. Untung saja jalan raya dalam kondisi sepi. "Maaf, maafkan saya Mbak Hesti, tadi saya terkejut sekali."Hesti menarik nafas panjang. "Iya. Nggak
Sesampainya di halaman rumah Hesti, Narendra segera turun dari mobil, namun baru saja berjalan beberapa langkah ke arah pintu rumah, sebuah benda menghantam kepala Narendra. Duaaaagh!Aduh!Narendra memegang kepalanya yang terasa karena lemparan bola yang mendarat tepat di dahinya. Lelaki itu memandang bola yang menggelinding di kakinya dan berjongkok untuk memungutnya. "Om, maaf. Kena bola ya?"Sebuah suara menyapa Narendra. Lelaki berperawakan tegap itu mendongak ke asal suara dan tampaklah Verico yang sedang berdiri dengan wajah cemas di hadapannya. "Om, kok bengong? Waduh, jangan-jangan Verico terlalu keras yang nendangnya sampai Om lupa ingatan?" tanya bocah berusia lima tahun itu dengan cemas. Verico menahan tawa. Tapi di saat yang sama mendadak selintas bayangan almarhum anak lelakinya muncul di kepalanya."Om, tenang saja. Mamaku seorang dokter. Nanti kalau Mama datang, biar Om diobati oleh Mama," sahut Verico sambil mendekat ke arah Narendra. Tapi Verico terlihat ragu u
Hingga beberapa detik berlalu sampai akhirnya Adi dan Lidia tersadar kembali lalu berteriak dengan keras bersamaan."TOLONG COPET!!!"Aldi dan Lidia berteriak sambil berlari mengejar copet yang telah berlalu dengan cepatnya meninggalkan pasangan yang sedang sial itu di pinggir jalan. Jalanan yang tidak terlalu ramai, mengakibatkan tidak banyak orang yang turut mengejar para copet itu."Astaga Mas! Apa yang harus kita lakukan sekarang?! Itu uang untuk biaya adikku sekolah," kata Lidia dengan wajah sedih. Adi tak kalah kesal nya. Dia mendengus sehingga cuping hidung nya terlihat kembang kempis."Ini semua salah kamu!""Loh kok salah aku? Yang nyopet orang lain, kenapa aku yang salah?" protes Lidia. "Jelas kamu lah yang salah. Bayangkan seandainya saja ibu kamu punya nomor rekening, pasti seluruh uang itu akan aman. Mana ada ATM simpananku," keluh Adi.Lidia menyedekapkan tangannya di depan dada. "Mas itu yang salah. Seharusnya kalau mau transfer lewat ATM yang ada di dalam bank. Kenap
POV penulis Narendra tersenyum dan menatap Adi, lalu menjawab, "Wah, kamu enggak bisa seenaknya saja Di. Aturannya memang kalau karyawan baru divisi agen marketing di perusahaan ini harus promo di mall atau supermarket. Kecuali kalau sudah lama bekerja dan mempunyai prestasi rekrut banyak customer dan mempunyai strategi marketing bagus, boleh lah cuma mantau dari kantor dan nunggu laporan dari asisten manager."Adi mendengus. "Hei Ren. Aku tahu aku karyawan yang baru masuk. Aku tahu kamu pemilik dari showroom yang besar ini. Tapi kamu enggak boleh semena-mena dong padaku. Kamu berhutang budi loh sama aku. Kalau nggak ada aku kamu bakal kesulitan mengerjakan PR. Kamu kok sekarang seperti kacang lupa pada kulitnya sih Ren?"Narendra menghela nafas panjang. "Di, sedikit pun aku tidak akan melupakan jasa dan bantuan kamu saat masih sekolah dulu. Tapi saat ini jelas berbeda dengan masa lalu. Ini sudah masa kerja. Kita sama-sama sudah dewasa. Tidak bisa berbuat seenaknya saja seperti saa
"Lidia? Rasanya tidak mungkin kalau Lidia mengkhianati ku!" tukas Adi dengan marah. Hesti mengedikkan bahunya. "PMS yang kamu alami berasal dari kuman yang hanya bisa ditularkan melalui kontak tubuh dan jarum suntik. Tapi paling sering karena hubungan suami istri.Berarti antara pria dan wanita ada yang sering berganti pasangan atau sering bermain dengan orang yang beresiko tingg."Penjelasan Hesti membuat Adi bergidik. Dengan cepat diraihnya tangan Hesti. Dokter wanita itu mengibaskan tangan Adi perlahan. "Maaf, kita bukan muhrim.""Kalau begitu, tolong obati aku, Hes! Aku mohon!" "Tentu saja. Jangan khawatir. Cukup dengan minum antibiotik saja bisa kok diobati. Nanti akan kuresepkan."Adi terlihat diam sesaat. "Hesti, kamu atau bagian laboratorium tidak mungkin salah diagnosa kan? Ya kali saja aku cuma kurang minum atau stres."Hesti tertawa. "Insyallah enggak lah kalau salah diagnosa. Dari gejala yang kamu keluhkan, dan hasil tes laboratorium semua mengarah pada penyakit itu. Na
Tamu lelaki itu tersenyum dan berkata, "Saya kurir, Bu. Hendak mengantarkan buket bunga."Hesti memandangi sekeliling ruang tamu nya dengan terheran-heran. Masalahnya tidak ada satupun buket bunga ada terlihat di ruangan itu. "Buket bunga? Dimana?"Kurir itu tersenyum. "Buketnya besar. Ada di dalam mobil kami. Sebentar saya ambil dulu."Lelaki itu tanpa menunggu persetujuan Hesti keluar dari ruang tamunya dan menuju ke halaman, tempat mobilnya terparkir. Lalu beberapa saat kemudian kembali ke ruang tamu dengan seorang temannya."Ini Bu."Lelaki itu menyerahkan sebuah standing buket bunga besar dengan isi mawar merah segar, uang seratus ribu rupiah berlembar-lembar, dan beberapa batang coklat silverqueen. Berbungkus kertas cellophane berwarna hitam dan putih bening. Dan menggunakan penyangga kayu. Mata Hesti membulat melihat buket bunga yang dibawa oleh kedua kurir tersebut. "Siapa yang mengirim ini?" tanya Hesti dengan rasa yang masih tercengang. "Ada dalam kertas pengirim di dala
Hesti dan Narendra serentak menoleh dan terkejut melihat kedatangan Adi. "Kamu?!""Iya aku. Kenapa? Kalian kaget?" tanya Adi dengan tertatih berjalan mendekat ke arah Hesti dan Narendra."Kamu ngapain ke sini Mas?" tanya Hesti. "Aku kangen dengan Verico. Memang kenapa? Aku kan ayah kandungnya, apa tidak boleh aku menemuinya?" tanya Adi ketus.Hesti dan Narendra saling berpandangan. "Halo Pa? Papa darimana?" tanya Verico mendekat ke arah Adi."Dari rumah saja. Kamu mau ikut Papa ke rumah Papa?" tanya Adi penuh harap. Sementara Hesti terlihat keberatan tapi menahan diri untuk tidak mengucapkan sepatah katapun. Verico menggeleng kan kepalanya dengan cepat. Lalu beralih mendekati Hesti. "Verico di sini saja sama Mama dan Eyang," tukas bocah lelaki itu sambil memeluk lengan Mamanya. Adi terlihat berdecak kesal. Tapi tanpa putus asa, dia terus berusaha merayu Verico untuk ikut dengannya. "Kenapa kamu tidak mau, Nak? Di sana kan ada Eyang juga? Ada Papa juga. Apa selama ini Mama meng
"Bu Ayu. Bu Ayu ini kan, ibunya Lidia?" tanya Mami Adi seraya menunjuk kan ponsel Adi pada sang suami.Papi Adi mengangguk. "Coba angkat aja telepon nya. Barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan oleh ibunya Lidia."Mami Adi menoleh pada Anaknya. "Gimana, Di? Boleh kah Mami terima telepon nya?"Adi terlihat berpikir sejenak. "Oke. Boleh, Mi.""Halo," sapa Mami Adi setelah menekan tombol hijau. "Halo. Adi nya ada? Saya ingin meminta tolong. Ini berkaitan dengan Lidia," sahut suara Ibu Lidia panik. Mami Adi melihat ke arah anaknya. Adi mengangguk. Mami Adi lantas menekan tombol loud speaker lalu mendekatkan nya ke arah Adi yang sedang berbaring. "Halo, Adi. Tolong Lidia. Lidia dua Minggu lagi menghadapi persidangan.""Lalu kenapa?" tanya Adi aduh tak acuh. "Loh, kok tanya kenapa sih? Bantuin dong Nak Adi, kamu kan calon suami Lidia."Adi nyaris tertawa mendengar perkataan ibu Lidia. Tapi rasa nyeri setelah dioperasi dan perasaan kaget pasca mengetahui bahwa dirinya mengalam
Dan detik berikutnya, Adipun terguling jatuh dari dua puluh lima anak tangga!!!Hesti dan Narendra tak kalah terkejutnya saat melihat Adi jatuh terguling. "Astaghfirullah, Mas Adi!" seru Hesti berlari mendekat ke tangga."Hes, hati-hati! Kamu memakai high heels!" seru Narendra. Ketiga asisten Narendra yang sedang mengejar Adi juga berlarian turun dari tangga. Adi yang terjatuh terguling sampai di tangga paling bawah mendarat dengan telentang. Ada cairan kental berwarna merah saat Hesti dan yang lainnya sampai di dekat tubuh Adi. "Hesti, darah! Apa kita harus membawa Adi ke rumah sakit sekarang?" tanya Narendra yang berjongkok di samping tubuh temannya. Hesti menghela nafas panjang. Dia sering bertemu dengan pasien yang mengalami luka lebih parah daripada Adi. Tapi saat melihat kondisi mantan suaminya seperti ini, apalagi setelah insiden di aula tadi, mau tidak mau jantung nya berdebar lebih kencang juga. "Jangan, biar aku telepon ambulance saja. Ada perdarahan di otaknya. Aku j
Flash back On :"Ada apa, Nak? Kenapa belum tidur? Sebentar lagi kan ulang tahun show room kamu? Kenapa malah sedih?" tanya Mami Narendra sambil menyentuh bahu anaknya saat melihat Narendra sedang duduk sendiri di kursi taman belakang rumahnya. Narendra menoleh dan tampak Maminya sedang tersenyum. Tapi di matanya tersirat rasa cemas yang tidak bisa disembunyikan.Lelaki itu ikut tersenyum dan menyentuh tangan sang Ibu yang berada di atas bahunya. Lalu menarik sang ibu untuk duduk di sebelah nya. "Rendra ingin tiduran sejenak di pangkuan Ibu," tutur Rendra lirih sambil meletakkan kepalanya di paha ibunya. Ibunya menghela nafas. "Ada masalah apa? Kenapa sampai membuat kamu tidak bisa tidur?" tanya Ibunya sambil mengelus rambut sang anak. "Lah Mami juga, kenapa belum tidur?""Wah, anak ini, ditanya kok nanya balik. Ibu belum tidur karena rindu pada mendiang ayah kamu.""Hm, sama. Hanya aku juga sedang merindukan seseorang yang masih hidup.""Hesti kan?" tebak Mami Rendra. Rendra men
Adi tertegun melihat Verico yang menghambur ke pelukan Narendra. Ada rasa iri yang menusuk di dalam hatinya. "Verico Sayang, kenapa kamu lebih memilih untuk memeluk Om Narendra?! Kenapa kamu tidak memilih memeluk Papa? Papa juga rindu sama kamu," ujar Adi sambil merentangkan kedua tangannya. Meminta pelukan pada sang anak. "Enggak mau. Papa pernah membuat Mama menangis dan sekarang Papa sudah membuat Om Rendra terluka. Verico nggak mau sama Papa!" seru Verico sambil mengeratkan pelukan pada Rendra.Rendra merasakan bibirnya berkedut nyeri setelah mendapat bogem mentah dari Adi. Tapi lelaki itu menyunggingkan senyumnya. 'Kamu terlalu mudah emosi, Di. Sekarang kamu lihat kan bahkan anak kamu pun menjauhi kamu,' bisik Narendra dalam hati. Adi mengepalkan tangannya. "Verico, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Om Rendra itu jahat. Dia punya niat tidak baik pada mu dan Mama.""Adi."Terdengar suara Papi Hesti memanggil nama mantan menantunya. Adi menoleh. "Pi, apa Papi juga akan me
"Berdiri dan pulanglah saja. Daripada saya ikut melaporkan kalian ke polisi dengan tuduhan bekerja sama dalam melakukan tindakan kriminal!" seru Narendra yang mendadak masuk dari pintu gerbang, membuat ibu Lidia tercengang."Pak Narendra tidak bisa seenaknya saja menuduh saya. Bapak tidak punya bukti untuk melaporkan saya pada polisi," seru ibu Lidia mendadak berdiri.Narendra tersenyum. "Kata siapa saya tidak punya bukti? Kalau Ibu mengetahui rencana Lidia untuk menculik Verico tapi diam saja dan tidak melaporkan ke polisi untuk mencegahnya, sama saja Ibu mendukung perbuatan Lidia.""Tapi saya benar-benar tidak tahu kalau Lidia hendak menculik Verico!""Hm, benarkah? Bagaimana kalau Lidia sudah mengaku pada polisi bahwa dia sudah menceritakan tentang semua rencana nya pada keluarga nya? Kalian bisa ikut diperiksa kan?"Ibu Lidia menelan ludah. "Lidia tidak akan mengatakannya. Dia tidak akan menyeret ibu dan kedua adik yang sangat disayanginya walaupun saya tahu rencana nya," tukas I
"Dia tampak lelah sekali ya, Pi?" tanya Narendra pada Papi saat melihat Hesti yang tertidur pulas di samping Verico."Iya. Semalam katanya dia telah menangkap Lidia, saat Lidia mencoba melukai nya," sahut Papi seraya tersenyum melihat cucu dan anaknya yang sedang berbagi ranjang pasien untuk tidur berdua. "Iya. Saat Hesti menghubungi saya untuk meminta bantuan menelepon polisi, Lidia telah diikat dengan baik oleh satpam rumah sakit. Rekaman video yang menunjukkan bahwa Lidia berusaha menyerang Hesti secara membabi buta pun telah diamankan oleh pihak kepolisian.""Lalu bagaimana kelanjutan hukuman Lidia?"Narendra mengedikkan bahu nya. "Entahlah Pi. Yang jelas Lidia dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari penculikan anak, penyalahgunaan obat, penganiayaan, entahlah kalau ada pasal lainnya," sahut Narendra. Papi manggut-manggut. "Hm, Rendra, biarkan Hesti istirahat dulu. Ayo kita keluar dari sini. Ke kantin rumah sakit. Ada yang ingin Papi bicarakan padamu sebagai sesama lelaki."Na
Mendadak tubuh Narendra seolah membeku saat melihat bungkus obat tidur yang tergeletak di atas meja dan sudah kosong!"Astaga, Lidia! Kamu sudah gila?! Kamu telah memberikan obat ini untuk Verico?! Anak sekecil ini kamu beri obat tidur? Apa kamu enggak waras?" tanya Narendra marah.Ingin sekali rasanya Narendra menampar Lidia, tapi karena menurutnya menolong Verico adalah hal yang terpenting untuk saat ini, maka Narendra menahan diri. "Baiklah. Aku akan membawa Verico langsung ke rumah sakit, kalian yang membawa Lidia ke kantor polisi ya," ucap Narendra sambil menatap kepada ketiga anak buahnya.Ketiga anak buahnya mengangguk. Lalu Narendra segera keluar dari rumah itu dan menelepon Hesti. "Halo, Hesti! Verico sudah ketemu! Tapi kondisinya nggak begitu bagus. Kirimkan segera ambulance dari rumah sakit tempat kamu bekerja ke alamat yang sebentar lagi alamatnya aku share loct! Oke!"Terdengar seruan bahagia bercampur harapan dan kecemasan dari seberang telepon sebelum Narendra mengak