Pak Anggara langsung melepaskan diri dari pelukan Evelyn setelah melihatku, mungkin saja dia merasa tidak nyaman karena ada aku di ruangannya ketika ada Evelyn atau mungkin Pak Anggara akan merasa bersalah karena dia ternyata telah menyembunyikan nama wanita yang ternyata dekat dengannya setelah terus-menerus mengatakan bahwa dia tidak memiliki wanita spesial yang tengah dekat dengannya."Kenapa kamu ke sini?" tanya Pak Anggara setelah berhasil dengan susah payah melepaskan pelukan dari Evelyn."Surprise!! Aku memang sengaja gak kabarin kamu kalau aku ke Indonesia.""Maksudku kenapa kamu malah ke kantorku, bukan pulang ke rumahmu.""Aku sudah pulang, kok. Tapi aku pengen jalan-jalan aja, because I'm hungry jadinya aku mampir ke cafe, terus ketemu sama Tiana."Aku mengangguk. "Sebaiknya saya keluar, saya permisi, Pak.""Jangan keluar, Tiana!" cegah Pak Anggara. "Kamu belum jelaskan kenapa kamu bisa bertemu dengan Evelyn.""Maaf, Pak. Biar Evelyn sendiri yang menjelaskannya. Saya masih
"Ini adalah ruangan rahasia yang hanya aku dan arsiteknya saja yang tau. Dan kamu adalah orang pertama yang tau adanya ruangan ini," jawab Pak Anggara setelah kita berdua masuk ke dalam ruang rahasia, yang di dalamnya seperti perpustakaan pribadi dengan tempat tidur di tengah rak-rak yang mengelilingi ruangan. Tidak ada sinar matahari sama sekali."Terus, kenapa Pak Anggara membawa saya ke sini?""Please, kita sedang berdua sekarang. Kenapa kamu masih saja bersikap formal?""Karena kita sedang dalam jam kerja. Biasanya juga seperti itu kan, Pak?""Apa karena Evelyn?"Pak Anggara memang berbeda dengan Mas Rendi, ia benar-benar peka dengan perubahan sikapku, bahkan ia selalu tahu apa penyebabnya. Lagi-lagi aku membandingkan yang secara tidak langsung aku sudah mengunggulkan Pak Anggara yang padahal tidak bisa lagi aku harapkan. "Kenapa memang dengan Evelyn?" Aku balik bertanya, bersikap seolah semuanya baik-baik saja dan aku tidak ada permasalahan apapun dengan Evelyn. Karena memang s
Aku seolah tertampar dengan ucapan Pak Anggara yang meminta aku untuk lebih belajar mengekpresikan apa yang aku rasakan tidak hanya lewat sikapku yang berbeda, melainkan dengan ungkapan jelas tentang perasaanku.Sejenak aku berpikir, ternyata aku memang tidak pandai akan hal itu. Bahkan dari sebelum aku menikah dengan Mas Rendi.Menjadi anak rantau yang jauh dari keluarga, membuat aku harus merasa baik-baik saja apalagi jika ditanya oleh Ayah dan Ibu. Semata-mata agar mereka tidak merasa khawatir dengan keadaanku saat sedang jauh dari mereka.Hal itu rasanya pasti dialami oleh semua orang, tidak hanya aku saja. Namun disaat aku bertemu dengan orang yang mengerti, barulah aku tersadar jika sikap seperti itu tidak bisa terus-terusan aku lakukan. Aku harus berubah atau aku harus menurunkan ekspektasiku terhadap orang yang aku maksudkan agar dia bisa peka."Mengerti, kan?""Iya. Tapi mendengar cerita dari Evelyn dan Pak Hans, rasanya kamu memang lebih cocok dengan Evelyn. Kalian memiliki b
Namun tiba-tiba saja terdengar suara dari arah luar, tentu itu dari dalam ruangan Pak Anggara."Gara! Kak Gara!"Ya, itu adalah suara Evelyn yang memanggil Pak Anggara. Aku pikir dia sudah pulang, tetapi ternyata dia kembali dan mengganggu apa yang sedang aku dan Pak Anggara lakukan berdua. Gangguan itu jelas saja membuat suasana hatiku kembali memburuk setelah mulai luluh dan percaya dengan apa yang dikatakan oleh Pak Anggara.Lantas aku segera bangun dan mencoba untuk melepaskan ikatan pada tanganku yang memang tidak terlalu kencang, karena ia takut menyakitiku, katanya."Mau ke mana?" tanya Pak Anggara menahanku meraih baju-baju kami yang sudah kami tanggalkan dari tubuh kami berdua."Apa kamu tidak dengar? Evelyn memanggilmu. Temui dia, mungkin memang ada hal penting.""Untuk apa? Tidak ada yang penting kalau tentang dia. Biarkan saja.""Aku sudah tidak ingin melanjutkannya. Aku sudah tidak mood lagi. Lebih baik kita keluar," ucapku yang segera mengenakan kembali pakaianku dengan
"Mbak Dyan kok diam saja?" tanyaku sambil tersenyum. "Ayo masuk, Mbak. Suamiku sudah mengajak kita untuk pulang sama-sama. Atau Mbak mau jalan kaki?"Sengaja sekali aku tidak menyebut nama Mas Rendi, melainkan aku panggil dengan kata 'suamiku'. Ternyata senang rasanya menjadi orang yang tidak terlalu baik pada orang yang memang tidak baik padaku."Mah, ayo naik," ucap Ryo sambil menarik tangan Ibunya. "Aku duluan deh, ya."Baru saja tanganku hendak membuka pintu depan, Ryo merengek pada Mbak Dyan."Mah, aku mau duduk di depan sama Papa."Apakah aku akan mengalah? Oh, tentu saja tidak."Ryo, kalau di depan biar Mama Tia saja, ya."Biasanya aku atau bahkan Ryo sendiri selalu memanggilku dengan sebutan Tante, tetapi kali ini aku sengaja menyebut diriku dengan panggilan Mama.eski padahal aku selalu tahu jika Mbak Dyan selalu mengajarkan Ryo agar dia seolah bersikap pada orang lain denganku.Aku langsung masuk ke dalam mobil, tepatnya di samping Mas Rendi. Terlihat wajah kesal Mbak Dyan s
"Jadi kamu ingin rumah yang mana, Tiana?" tanya Pak Anggara setelah tiga jam lebih kami melihat tiga tipe rumah berbeda di sebuah kompleks perumahan yang tidak jauh lokasinya dari kantor."Setiap rumah, apa potongannya sama, Pak?" tanyaku balik.Sebelumnya aku dan Pak Anggara sudah berkompromi masalah hal ini untuk berpura-pura berakting kalau Pak Anggara memang selalu seperti itu pada beberapa karyawan yang akan diberikan bantuan dana saat membeli rumah.Hal ini memang tentu saja akan menimbulkan kecurigaan, hanya saja Mas Rendi sama sekali tidak mempermasalahkan, ia juga tidak banyak bicara apalagi disaat aku bilang jika Pak Anggara akan memberikan bantuan sepuluh sampai dua puluh persen dari harga rumah tersebut.Itu memang sudah aku pikirkan, utamanya agar Mas Rendi tidak akan curiga sebab nantinya Mbak Dyan pasti akan mempengaruhi dia perihal kedekatanku dengan Pak Anggara yang mungkin terasa berlebihan.Jika masalah uang disaat Mas Rendi memang akan banyak mengeluarkan budget en
Tiba-tiba saja raut wajah Mbak Dyan berubah, kegugupan pun tidak bisa ia tutupi begitu saja. Dia sudah berani memercikan api di hubunganku dengan Mas Rendi, sekarang baru saja aku membeli bensinnya, ia sudah mulai panik sendiri, padahal belum aku tuangkan agar api itu bisa begitu besar. Cukup untuk melahapnya.Itulah jika ucapan tidak sesuai dengan perbuatan. Saat kali pertama bertemu denganku, dengan kesombongannya Mbak Dyan bisa menikah dengan pria yang jauh lebih baik secara finansial dari Mas Rendi. Sampai-sampai ia mengumbar sendiri dengan membandingkan kehidupan rumah tangganya, seolah tengah mengejekku yang mendapatkan Mas Rendi, ditambah Ibu Mertuaku yang tidak pernah sehari pun libur untuk mencampuri urusan rumah tangga kami. Dan lihatlah sekarang, bak menjilat ludahnya sendiri. Dia menginginkan kembali ke kehidupan Mas Rendi yang sudah jauh lebih baik. Aku pun paham, mengapa Mbak Dyan tidak meminta Mas Rendi untuk menceraikan aku terlebih dahulu, karena dia sudah memenangka
"Gak, ah. Rumah baru, semuanya perabotan di dalamnya juga harus baru. Toh bakal pakai uang hasil kerja aku, kok. Aku sama Mas Rendi udah sepakat, rumah dibeli pakai uang Mas Rendi, kalau isinya baru aku nyicil beli dari gajian tiap bulan. Barang-barang aku dari rumah lama yang sekarang ada di rumah Ibu, kalau memang dibutuhkan pakai aja, Mbak. Biar gak boros beli-beli barang baru. Kasian Mas Rendi baru beli rumah, masa harus beli ini itu juga. Sebisa mungkin jangan jadi istri yang menambah beban suami. Iya kan, Mas?" Aku langsung bersandar dipundak Mas Rendi, seperti sedang bermanja-manja. Sengaja membiarkan Mbak Dyan melihatnya dari belakang.Sebelum berpisah nanti, akan aku pastikan Mbak Dyan tidak akan mendapatkan apa yang dia inginkan dari gaji Mas Rendi yang sudah besar. Biarkan ia sibuk melunasi rumah juga untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya untuk Ibu. Sehingga tidak ada uang lebih untuk Mbak Dyan berfoya-foya.Tak lama kemudian, kami pun sampai di sebuah restoran mewah. Temp