Tentu aku tidak ingin ada keributan, meskipun kecil kemungkinan terjadi, tetapi lebih baik mencegah dari pada hal tidak diinginkan malah benar-benar terjadi."Kamu menjenguk Ibu dari mantan suami kamu?" tanya Pak Anggara karena aku mencegahnya keluar menyusul Mas Rendi."Hanya melihat sebentar saja. Kondisinya cukup parah, masih belum siuman bahkan masih dalam kondisi kritis. Katanya jatuh dari kamar mandi dan pendarahan hebat.""Kamu kasihan pada Ibunya itu?"Aku mengangguk. "Mau bagaimana pun dulu aku diperlakukan, tetap saja aku kasihan melihatnya terbaring di rumah sakit. Lagi dan lagi. Rasanya akhir-akhir ini Ibu jauh lebih sering masuk rumah sakit. Dan sekarang yang terparah.""Mau bagaimana pun, tolong jangan terlalu dekat dengan orang yang pernah berlaku tidak baik sama kamu. Menjauhlah dari orang-orang seperti itu. Kalau mau memaafkan tidak apa, tetapi jangan berhubungan lagi. Itu jauh lebih baik untuk kamu sendiri."Aku mengangguk. "Iya, tenang saja."Esok harinya aku sudah
Aku tidak menyangka dengan apa yang aku lihat sekarang ini. Seniat ini Pak Anggara membuatkannya untukku yang belum menjadi siapa-siapa untuknya."Kapan kamar ini dirubah jadi seperti ini?" tanyaku tanpa menoleh karena aku terlalu fokus melihat sekeliling sambilan berjalan pelan."Karena aku akan mengurungmu di apartemen ini, maka dari itu aku membuat tempat ini senyaman mungkin untukmu. Dan karena tidak ada tempat lain di sini, makanya kamar ini bisa untukmu menghabiskan waktu sepanjang hari."Tidak hanya memberikan perhatian, Pak Anggara juga memberikan aku kenyamanan saat ada di dekatnya. Memberikan aku sebuah jaminan jika bersama dengannya, semua benar-benar bisa terkabulkan. Bahkan tanpa diminta pun ia akan memberikan segala yang terbaik dan tidak terduga.Melepaskan kaca yang kilaunya aku kira bongkahan emas, selepas itu aku mendapatkan berlian yang indah dan berharga.Hanya perlu digaris bawahi saja, aku tidak memandang materi, tetapi aku tidak bisa berkata bohong jika uang bis
Ternyata aku benar-benar merindukan Pak Anggara dengan segala sentuhannya. Aku seolah mengingkari janji pada diriku sendiri untuk tidak lagi melakukannya sebelum semuanya selesai dengan tuntas dan aku bisa bersatu dengan dia tanpa ada halangan apapun.Namun semua terjadi begitu saja. Ciuman kerinduan yang berubah menjadi ciuman penuh gairah yang tertahan kembali.Malam itu kami melakukannya dengan perlahan, dan untuk kali pertamanya aku melakukan itu dengan hati yang tenang tanpa beban merasa bersalah pada siapapun. Setiap sentuhan yang aku rasakan sangat menyenangkan bagaikan dibawa terbang tinggi dan melayang-layang di udara.'Pak Anggara, kamu memang ahlinya!' batinku."Stop! Jangan lebih dari ini. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri."Meski aku sudah sangat terbuai, aku masih bisa menahan semuanya agar tidak terjadi hal yang lebih dari sekedar sekarang ini."Baiklah, aku hargai itu."***Sudah waktunya jam makan siang, aku yang sedang malas memasak akhirnya memutuskan untuk mem
"BERANI-BERANINYA KAMU MENYENTUHKU!!"Aku sangat terkejut karena Evelyn yang benar-benar murka saat aku mendorong badannya untuk menjauh. Padahal tidak aku dorong dengan kuat, hanya sebatas agar Evelyn menjauh untuk berhenti mengintimidasiku dengan cara merendahkan harga diriku."Aku tidak sudi disentuh oleh wanita rendahan sepertimu. Aku dilahirkan dari keluarga terpandang, diberikan pendidikan yang tinggi dan berkualitas, tidak pantas kamu menyentuhku.""Tapi kamu tidak mencerminkan apa yang kamu katakan, Evelyn. Pendidikan tinggi dan berkualitas? Mana hasilnya? Kamu malah merendahkan orang lain dengan penghinaan seperti ini. Apa orang tua kamu bangga melihat anaknya seperti ini? Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu meskipun membahayakan orang lain?""Orang tua kamu saja gagal mendidik kamu. Diizinkan merantau ke kota, untuk sukses dalam hidup, malah sukses menjadi wanita rendahan! Oh pantas saja, orang tua kamu sudah mati, jadi kamu hidup tidak diarahkan.""Cukup, Eve
Pria tinggi yang di dampingi oleh wanita yang mungkin sekitaran umur 50-an masuk ke dalam kamar tanpa permisi. Meski aku belum mengenal mereka, tetapi aku sudah bisa menebak jika itu adalah Ayah dan Ibu tiri Pak Anggara. Jelas sekali jika Pak Anggara memang mirip dengan ayahnya.Meskipun aku sudah memberitahu Pak Hans tentang kejadian Pak Anggara dihari dimana itu terjadi untuk diberitahukan kepada keluarga Pak Anggara, tetapi mereka datang baru beberapa hari setelahnya. Entah mungkin sibuk atau ada alasan lain, aku tidak ingin berpikiran negatif. Yang terpenting mereka datang untuk melihat keadaan anaknya.Aku bangkit dari tempat dudukku untuk menyapa mereka."Betul, saya Tiana.""Apa yang sudah terjadi?" tanya Ayah Pak Anggara yang belum aku ketahui siapa namanya."Evelyn yang melakukan semuanya, Pak.""Ceritakan yang lebih detail lagi. Karena rasanya mustahil Evelyn melakukan itu pada Anggara. Secara dia sangat menyukai anak saya, meskipun pertunangan mereka dibatalkan sepihak oleh
"Mungkin lebih cepat akan lebih baik untuk saya bisa pergi. Karena ..., karena jika Anggara sudah siuman, mungkin saja saya akan merasa berat untuk pergi menjauh darinya. Maaf sekali, Pak. Maaf karena semua yang terjadi karena saya.""Kalau begitu temani anak saya sampai dia sembuh. Atau bila perlu temani dia sampai kalian menua bersama."Aku tak sadar sampai menganga karena mendengarnya. Rasanya seperti mimpi dan tidak mungkin jika aku mendengar itu di dunia nyata."Mau kamu temani anak saya sampai kalian menua bersama?""Ma--maksudnya?""Saya sedang melamar kamu untuk anak saya. Pertemuan untuk makan malam bersama, memang dimaksudkan untuk melamar dan menentukan tanggal pernikahan kalian."Aku masih saja tidak bisa berkata-kata karena pemikiranku tadi yang sudah terlanjur menyangka jika orang tua Pak Anggara menginginkan kita berpisah dan aku segera pergi. Namun nyatanya malah melamarku.Meskipun tidak dalam waktu yang tepat karena kondisi yang tidak mendukung, tetapi aku sangat men
Beberapa bulan berlalu ....Setelah semua badai terlewati, setelah semua masalah teratasi, akhirnya aku dan Pak Anggara, ah salah, aku dengan Anggara melangsungkan pernikahan. Meski ini bukanlah pernikahan pertamaku, tetap saja aku merasa gugup disaat bersanding dengannya.Berbulan-bulan yang lalu, kami menyiapkan pernikahan kami berdua, benar-benar dengan apa yang kami inginkan sebagai wujud bahwa pernikahan ini adalah realisasi dari wedding dream sekali seumur hidup bagi Anggara, dan pernikahan terakhir bagiku.Aku senang saat melihat semua orang yang turut hadir ikut bersukacita dengan perasaan bahagia yang aku dan Anggara rasakan."Terimakasih sudah menjadi istriku," bisik Anggara ditengah acara.Aku tersenyum. "Aku berterimakasih karena kamu sudah hadir dalam hidupku. Semua yang sudah terjadi dalam hidupku setelah ada kamu, itu jauh lebih berarti.""Aku tidak sabar ingin segera acara ini berakhir."Aku melirik dengan tatapan tajam, seolah aku sudah bisa melihat dengan jelas bagai
Percayalah dengan peribahasa tabur tuai, apa yang kita tanam maka itulah yang akan kita tuai.Tidak rugi rasanya menjadi orang baik, meski terkadang banyak godaan dan cobaan yang mencoba untuk membelokkan keyakinan untuk mencoba hal yang salah.Tidak apa, asal harus siap dengan segala resikonya, harus berani menanggungnya.Banyak hal yang terjadi dalam hidupku, yang tentu tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Namun aku selalu ingat jika Tuhan yang lebih tahu apa yang aku butuhkan.Aku sangat bahagia saat mendengar kabar jika Yoga dan Ryo sudah hidup bahagia dan memulai semuanya dari nol di kota lain. Meninggalkan segala hal buruk yang pernah terjadi di kota ini. Yoga memutuskan untuk tidak menikah lagi dan fokus pada Ryo, anak satu-satunya. Ia bekerja hanya untuk mempersiapkan masa depan Ryo.Mungkin bisa dikatakan jika Yoga mengalami trauma dengan perempuan dan juga pernikahan. Dia awal menikah dengan Mbak Dyan karena menjadi selingkuhan karena sebuah cerita sedih yang Mbak Dya