GAIRAH CINTA TERLARANG
PART 46
"Ayo, Tan!" Aku berjalan mengikuti Revan. Kaki terasa lemah tidak bertenaga. Tulang seakan patah tidak terbentuk, kenyataan ini membuatku hidup. Namun terasa mati.
"Ayo, Tania!" teriak Revan yang lebih dulu berdiri di samping mobil.
Tanpa jawaban, aku terus melangkah dengan hati yang masih tidak bisa lagi kudefinisikan rasa sakitnya. Kemudian, Aku memasuki mobil Revan dan duduk di kursi penumpang.
Mas Satria mengkhianatiku dengan dua wanita sekaligus. Bagaimana ini bisa terjadi? Dia yang terlihat begitu menyayangiku. Namun, berubah keji dengan memasukkanku dalam lubang nestapa.
Ya Allah, terlalu berat ujianmu untukku. Aku hanya bisa memendamnya dalam hati. Kepada siapa harus kucurahkan lara hatiku.
"Tania!" Revan menatapku iba. Aku diam tanpa menghiraukannya. Tidak tahu harus berkata apa.
Air mata mengalir membasahi pipi. Aku terisak dalam kepiluan yang teramat
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 47Kurapikan gamisku dan melangkah turun untuk menghampiri Revan yang sedari tadi membelakangiku."Van, kamu menangis, Van?" tanyaku saat melihat bulir bening di wajah tampannya."Nggak, Tan." Revan secepatnya menghapus air matanya."Kita lanjutkan perjalanan kita, ya!" Revan beranjak masuk ke dalam mobil, meninggalkanku yang masih terpaku heran dengan sikap Revan beberapa detik yang lalu."Tan, ayo!" ajak Revan yang sudah berada di balik setir kemudi.Aku kembali masuk ke dalam mobil, beberapa menit suasana hening tanpa suara. Hanya terdengar musik yang mengalun yang Revan putar.[memandang indah wajahmumengagumi setiap lentik matamumembayangkan senyuman manismuyang tak bisa ku milikimendengar keluh kesahmumenerima segala kekuranganmumerasakan setiap kesedihanmudimanakah aku di dalam hatimuku hanya bisa diam, menyimpan perasaandi
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 48Satu jam kemudian, kami sampai di tempat kami memarkir mobilku. Aku turun dari mobil Revan setelah mengucapkan salam perpisahan. Kulangkahkan kaki menuju mobil, membuka pintu dan duduk di balik kemudi. Revan masih menungguku, di tempat semula.Kulajukan mobil dalam kecepatan sedang. Ini saatnya untuk menumpahkan segala resah dan gelisah, tanpa satu orang pun yang tahu.Aaaaaahhhh ...!"Kau jahat, Satria! Berulang kali kau tipu aku, kau jahat!" Teriakku. Pikiranku tidak mampu mencerna apa pun untuk saat ini.Beberapa menit kemudian, terdengar suara klakson mobil yang memekakkan telinga.Beep ... beep ... beeeep ...!Suara klakson mobil yang terus menerus. Saat kulirik ke belakang, itu bukan mobil Revan. Seketika ketakutan datang menyusup ke dasar hati, gelisah menghampiri tiada berhenti."Stop! Pinggir!" teriak seorang lelaki yang sangat aku kenali."Satria
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 49"Kau tahu sayang, aku membayangkan kita tinggal satu rumah berempat, aman, damai dan penuh cinta, mau, ya, sayang?" Rasa tidak percaya memasuki hati dengan begitu cepat. Lelaki yang dulu lembut berubah menjadi manusia yang tidak memiliki etika.Aku terperangah mendengar penuturan lelaki yang hampir delapan tahun menemaniku. Mataku tidak berkedip menatap ke arahnya, mulutku terbuka sempurna. Kuterdiam sejenak tanpa kata. Hatiku menguatkan nuraniku."Maaf, lanjutkan ide gilamu dengan istrimu yang lain, tidak denganku, Satria!" tegasku. Sesekali aku menoleh ke belakang berharap Revan datang membebaskanku dari Satria."Lihat apa, sayang? Kamu cari lelaki yang tidak berguna itu, Ya?" Tanyanya dengan nada menghina.Aku diam tanpa menjawab, aku bersiap hendak turun dari mobil dan meminta pertolongan. Namun, mas Satria lebih cepat mengetahui niatku."Dia tidak akan datang menolongmu, jadi ... kamu menurut
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 50Mas Satria menarik bajuku dengan kasar. Sehingga terdengar bunyi sobekan akibat kelakuannya."Lepas!" Aku mendorong tubuh Satria kuat. Tubuhnya mundur beberapa langkah dariku. Aku merasa terhina dengan perbuatannya.Dengan langkah terhuyung, aku berlari menuju mobil. Aku ingin menjauh dari hadapan mas Satria yang tidak lagi memiliki hati."Kau ikut denganku!" sentak mas Satria. Dia berupaya mengejarku. Aku merasa miris dengan rasa sosial di antara masayarakat sekarang ini. Tidak ada pengendara yang berani menolong. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing.Biiim ... biiim ...!Suara klakson mobil yang saling bertautan. Aku memekik girang dalam hati. Revan datang untuk menyelamatkanku."Kenapa lelaki itu bisa lepas! Tidak becus!" desis mas Satria dengan kepalan tangan penuh emosi"Satria apa yang kau lakukan?" Revan turun dari mobil dengan wajah yang baba
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 51Kami saling diam, tidak ada pembicaraan antara aku dan Revan, hingga sampai depan rumah. Kami tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.Aku bergegas turun dari mobil mencari Mbok Yem. Memintanya untuk mengobati luka Revan. Dengan sigap Mbok Yem mengambil obat di lemari dan membawa air hangat untuk mengompres luka di wajah Revan.Aku menaiki tangga, memasuki kamar yang di penuhi kenangan dengan mas Satria. Setiap inci dari ruangan itu terdapat bayang mas Satria.Mengambil koper dan memasukan beberapa potong baju yang ada di dalam lemari. Membuka laci dan meraih surat-surat berharga yang telah susah payah aku perjuangkan.Melihat ke dalam sebelum keluar dari kamar. Ranjang itu, menjadi saksi bisu, saat cintaku dan mas Satria masih menyatu. Deretan tas dan sepatu mewah yang tertata rapi dalam lemari kaca, menjadi bukti perhatiannya padaku. Namun, hal itu tidak membuat dia menjadikanku satu-satunya ra
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 52Setelah menempuh perjalanan selama dua jam. Mobil Revan berhenti di sebuah rumah yang tak kalah mewah dengan rumah yang aku tinggali bersama Mas Satria. Rumah dimana aku menghabiskan masa kecil dengan penuh tawa tanpa air mata karena hati terluka."Biar aku yang turun," ujarku seraya membuka pintu mobil.Aku menekan bel dan satpam rumah membukakan pintu gerbang. Aku memberi isyarat untuk Revan melajukan kenderaannya. Aku berdiri tegak di depan rumah orangtuaku. Menarik napas dalam lalu membuangnya pelan."Maafkan Tania, Ayah, Ibu, kepulangan Tania membawa beban untuk kalian berdua. Harusnya bahagia yang kulukis di usia senja kalian." Gumamku pelan.Berjalan gontai menuju mobil Revan. Dari jauh aku melihat Revan sibuk menurunkan barang-barangku. Kehadiran Revan sungguh anugerah untukku. Walau orang-orang bisa beranggapan aku adalah wanita gampangan. Dekat dengan lelaki lain, padahal aku masih b
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 53Kling ...![Tan, kita jadikan, ke rumah orangtua Roby?]Isi chat yang Revan kirimkan untukku.[Jadi, tapi, jangan bilang sama Ayah dan Ibu, Ya?]Pintaku pada Revan, aku tidak ingin membebani mereka.[Siap!] Balasnya.Aku menuruni tangga. Kepalaku celingak-celinguk mencari keberadaan Revan. Namun, batang hidungnya tidak aku temui.[Kamu dimana?]Kukirimkan pesan untuknya.[Di halaman belakang sama Ayah.] balasnya.[Ayo, jalan sekarang!] Ajakku[Ok, pamit sama calon Ayah mertua dulu, Ya, hahahhahahha ...!] Aku tersenyum tipis melihat sikap Revan yang mulai berani bercanda denganku.Setelah pamit kepada ayah dan ibu, kami berdua melakukan perjalanan menuju rumah orangtuanya Roby. Kebenaran harus diungkap, jangan sampai Roby mati sia-sia karena ulah manusia licik seperti Satria."Ayah kamu baik, ya, Tan," ujar Revan."Hmmm
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 54"Ibu nggak ngerti, Nak, saat Pak Alex bilang Roby kena serangan jantung, Ibu nggak percaya, tapi ... kata tetangga Ibu benar seperti yang ditulis dalam kertas di tangan kamu, Nak!" Air mata Bu Narsih kembali deras, dia larut dalam isakan meratapi putra semata wayangnya."Aku lihat, Van!" Pintaku, Revan mengarahkan kertas di tangannya ke arahku. Jelas tertulis di kertas bahwa Roby meninggal karena serangan jantung."Apa maksud dari semua ini, Van?" tanyaku pada Revan yang sedang membolak balik kertas yang dia pegang. Bu Narsih menatap kami dengan mata yang berkaca-kaca. Hatiku sedih melihat wajah tuanya yang harus kehilangan anak dengan cara yang tidak wajar. Revan hanya mampu mengeleng pelan, dia tidak mampu menjelaskan tentang hal yang terjadi."Bu!" Panggi Revan lembut, bulir bening menetes dari sudut mataku. Secepat kilat, kuseka dengan ujung jemari."Kenapa, Nak?" tanya Bu Nars
Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama
part 137"Orang dalam? Memangnya siapa yang Mama curigai?" tanya Revan, matanya berbalik menatapku."Ya ... Mama juga tidak tahu siapa," ujarku pelan."Kalau nggak tahu, nggak boleh curiga dosa yang ada," pungkas Revan.Aku hanya mengangguk pelan, meski rasa penasaran masih di bertahta di hati. Revan memintaku untuk lebih waspada dalam menjaga Arisya dan diriku sendiri. Sangat tidak enak hidup di penuhi rasa was-was yang membuat gerak dan ruang lingkup kita terbatas.Mau tidak mau, hal itu yang harus aku lakukan untuk sementara ini. Berbagai prahara yang terjadi membuatku takut dalam menghadapi dunia, melihat keramaian saja membuat pikiranku tidak tenang.****Hari ini membongkar barang-barang di dalam lemari. Memilih beberapa barang dan pakaian yang akan aku bawa ke Amerika.Banyak sekali barang-barang yang aku bawa pulang dari rumahku dulu. Ratusan sepatu dan tas pemberian Satria masih tersimpan rapi. Sangat tidak masuk akal jika aku membawa semuanya ke Amerika. Yang ada pesawatnya
part 136Aku berjalan setengah berlari menuju ke luar Mall. Puluhan orang sudah berkerumun di pos satpam."Dasar wanita gila!" teriak lelaki dalam kerumunan."Tangkap saja!""Bunuh!"Beragam teriakan dan hujatan terdengar dari warga yang berkerumun. Suara tangisan Arisya mengema di antara riuh suara kerumunan manusia."Maaf! Permisi!" teriak Revan meminta jalan di antara kerumunan warga.Aku berhasil mencapai ke dalam ruangan. Ku lihat Arisya dalam pelukan lelaki yang tidak aku kenali. Secepat kilat, ku raih Arisya kecilku. Kudekapnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Meringsek menuju sudut ruangan.Revan meraih tubuhku dan mendekap erat memberikan kenyaman yang sejenak yang sempat hilang."Van, ini wanita yang bersama anak kamu," ujar lelaki yang memegang Arisya tadi.Aku menyerahkan Arisya pada Revan, mataku beralih menatap benci ke arah wanita yang mengunakan cadar di hadapanku."Kamu siapa, hah? Kenapa kau mengambil anakku?" tanyaku berusaha menahan emosi.Wanita di hadapanku d
part 135Kami berkumpul di meja makan, sarapan pagi sebelum kami kembali ke rumah ayah. Mama sudah mempersiapkanya sebelum aku turun ke dapur."Makan yang banyak, biar mama cepat dapat cucu baru," ujar mama dengan senyum merekah, membuatku salah tingkah dan hampir tersedak."Mama mau punya berapa cucu," ujar Revan seraya memasukkan roti ke mulutnya, dengan sengaja kuinjak kakinya di bawah kolong meja."Ooooouuucch!" pekik Revan."Kenapa, Van?" tanya papa dengan wajah serius.Revan melirik ke arahku, ku balas tatapannya dengan raut wajah mengancam."Nggak apa-apa, Pa," ujar pelan."Mama pingin punya cucu 12 orang, pasti lucu-lucu, ya 'kan, pa?" ucapan mama di sambut gelak tawa papa dan Revan. Giliran aku yang meringis."Seru tu, Ma. Di buat tim sepak bola," ujar Revan dengan cengiran di sudut bibirnya."Iya, seru pastinya!" mama tertawa bahagia.Kami melanjutkan sarapan dengan suka cita. Kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Banyak wejangan yang diberikan orang tua Revan untuk kami