GAIRAH CINTA TERLARANG
PART 54
"Ibu nggak ngerti, Nak, saat Pak Alex bilang Roby kena serangan jantung, Ibu nggak percaya, tapi ... kata tetangga Ibu benar seperti yang ditulis dalam kertas di tangan kamu, Nak!" Air mata Bu Narsih kembali deras, dia larut dalam isakan meratapi putra semata wayangnya.
"Aku lihat, Van!" Pintaku, Revan mengarahkan kertas di tangannya ke arahku. Jelas tertulis di kertas bahwa Roby meninggal karena serangan jantung.
"Apa maksud dari semua ini, Van?" tanyaku pada Revan yang sedang membolak balik kertas yang dia pegang. Bu Narsih menatap kami dengan mata yang berkaca-kaca. Hatiku sedih melihat wajah tuanya yang harus kehilangan anak dengan cara yang tidak wajar. Revan hanya mampu mengeleng pelan, dia tidak mampu menjelaskan tentang hal yang terjadi.
"Bu!" Panggi Revan lembut, bulir bening menetes dari sudut mataku. Secepat kilat, kuseka dengan ujung jemari.
"Kenapa, Nak?" tanya Bu Nars
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 55Bu Narsih menatap kami silih berganti, gejolak amarah mulai memudar dari sorot matanya."Apa yang bisa aku lakukan untuk membantu kalian?" tanyanya tanpa melihat ke arah kami."Izinkan kami melakukan autopsi pada jenazah Roby, Bu," pinta Revan."Itu artinya makam Roby harus dibongkar, ya?" tanyanya lagi."Iya, Bu," jawab Revan."Saya tidak rela!" tegasnya. Bu Narsih bangkit dan menutup pintu dengan kerasnya."Bagaimana ini, Van?" tanyaku bingung."Kamu dekati dia pelan-pelan, mungkin hatinya bisa luluh, Tan!" Saran Revan padaku. Tubuhnya dihempaskan pada kursi plastik di sampingnya. Rasa kecewa tengah membayanginya."Ibu," panggilku lembut. "Bu, Kita bicarakan baik-baik," sambungku lembut."Pergi kalian!" teriaknya."Kami tidak akan pergi sampai Ibu memberikan kami izin untuk mengautopsi jenazah Roby!" tegasku."Terserah kalian !" teriak B
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 56Aku memilih diam, malas melanjutkan karena aku tahu perbincangan ini tidak pernah ada ujungnya."Urusan Roby, biar aku yang urus setelah ini, kamu tidak perlu memikirkannya lagi. Hasilnya nanti aku beritahu, Ya." Revan mengedipkan matanya ke arahku."Aku masih penasaran, Van," ungkapku."Ini semua berbahaya untuk kamu, aku tidak ingin kamu kenapa-napa, Tan," ujar Revan. Binar kekhawatiran terlihat dari ekspresi wajahnya."Baiklah, tapi kamu juga harus hati-hati," ujarku pada Revan."Siap! Pinjam ponsel kamu, Tan?" Revan meletakkan tangan di depanku."Untuk apa, fokus aja nyetir, Van," ujarku."Jadi nggak mau kasih ni, ya sudah," ujar Revan dengan menampakkan wajah cemberutnya."Ya Allah Van, dari dulu kamu tu nggak pernah berubah, ce
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 57Aku mencoba mengingat gelombang suara yang baru saja menembus gendang telingaku."Siapa kamu? Kamu mau apa?" cercaku dengan pertanyaan yang mendiami pikiranku untuk sekarang ini."Kau tidak perlu tahu siapa aku, yang perlu kau lakukan, hentikan mencari tahu penyebab kematian Roby!" tegasnya. Nada bicaranya terkesan emosi."Memangnya kamu siapa, hah?" tanyaku kesal. Aku mencoba menantangnya."Kau tidak perlu tahu Tania, kalau kau mau cerai dari Satria, cerai secepatnya, jangan banyak tingkah, sok jadi detektif, lakukan saja urusanmu, jangan campuri urusan orang lain!" teriaknya dihadapanku sampai cipratan ludahnya mengenai wajahku. "Siapa kamu, hah? Buka penutup mataku, biar aku bisa melihat siapa kamu, jangan jadi pencundang!" teriakku tidak mau kalah. Aku yakin, wanita itu takut aku melihat wajahnya sehingga dia memasang penutup mata di wajahku."Masih mau mem
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 58"Ponsel kamu mana, Tan? Berulang kali aku hubungi tidak kamu angkat." tanya Revan pelan.Aku meraba-raba saku gamisku, lalu, mengeluarkan ponsel pintarku dari saku."Pantesan, Van, ponselku mode silent," ujarku pelan."Hmmm ...!" desis Revan diiringi senyum datar."Van, besok kita ke kontrakan Roby, ya?" Ajakku pada Revan, seketika Revan menatapku penuh dengan tanda tanya."Untuk apa, Tan?" tanyanya heran."Kita harus menemukan jejak orang yang menghabisi Roby, Van," ujarku. Jiwa belum tenang, jika semua ini masih menjadi misteri."Baiklah!" Revan mengiyakan ajakanku.Sesampai di rumah, Revan menceritakan semuanya kepada Ayah. Kemarahan Ayah memuncak, dia ingin melaporkan kasus penculikanku kepada pihak kepolisian. Setelah, aku katak
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 59Revan memindahkan kalung tersebut ke dalam plastik. Aku berusaha mengingat di mana aku melihat kalung itu, tapi pikiranku seakan buntu."Tan, kalungnya kok ada inisial T coba kamu lihat!" Seru Revan sembari memperlihatkan benda tersebut."Iya, ini sama seperti kalungku, Van." Aku membuka kalung di leherku. Lalu, memperlihatkan pada Revan."Iya, Tan, sama-berlian liontinnya juga sama persis," ujar Revan seraya membolak-balik kalung yang dia angkat mengunakan kayu. Pantas saja aku seperti sering melihatnya karena kalung yang Revan temukan tidak ada bedanya dengan milikku.Aku menjelaskann pada Revan, jika kalung yang aku kenakan adalah pemberian Satria. Revan menatapku sesaat, lalu melempar pandangan ke arah lain."Hmmm ...! Apa jangan-jangan ... ini kalung wanita yang bernama Thalita-- wanita yang Satria nikahi sebelum ke Hongkong, Tan?" tanya Revan padaku. Sedangkan ja
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 60Anton menyetujui permintaanku untuk bertemu di dekat rumah orangtuaku. Revan mengurusnya dalam sekali hentakan jari. Revan menawari untuk menjemput. Namun, segera kutolak. Dengan status yang belum jelas tentu akan menimbulkan banyak fitnah dan gunjingan dari orang sekitar."Baiklah. Terserah kamu saja, tapi ... kamu janji, hati-hati jangan ceroboh!" Revan memberi nasehat untukku."Iya," jawabku singkat.Mobil Revan berhenti di depan sebuah Restoran ternama di dekat rumah Ayah. Hari ini aku telah membuat janji dengan seorang pengacara kenalan Revan. Aku ingin masalahku dengan Satria segera usai."Aku nggak turun, ya," ujar Revan padaku."Iya, nggak apa," jawabku seraya membuka pintu mobil, meraih tas dan mebenahi baju dan hijabku."Anto sudah di dalam, meja no 12, kalau ada apa-apa, segera hubungi aku," ucapnya sebelum aku turun.Aku tidak menjawab, hanya memberikan isyarat bahwa aku m
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 61"Ini siapa, Mbak?" tanya Marsya dengan menunjuk ke arah Anton."Ini Anton, Sya," jawabku seadanya."Selingkuhan Mbak yang nomor berapa ini?" tanyanya sinis. Senyum sarkas mengembang di bibirnya.Rasa terkejut mendadak menyerang mendengar pertanyaannya. Anton menatapaku penuh tanda tanya."Huusssh ...! Ngomong apa kamu, Sya. Ini Anton pengacara Mbak," ujarku pelan. Aku tidak ingin orang-orang memperhatikan kami."Maaf, Pak! Ini adiknya Satria," ujarku dengan rasa malu yang memenuhi dada karena ucapan Marsya. Anton hanya mengangguk tanpa ekspresi."Nggak perlu aktinglah, bilang saja ini selingkuhan, Mbak," ujarnya lagi dengan nada menghina."Diam Sya! Pergi dari sini!" tegasku padanya.Marsya sepertinya ingin mempermalukanku di depan umum."Aku tidak mau pergi, ini tempat umum. Jadi, Mbak tidak punya hak mengusir aku," ujar Marsya dengan angkuhnya. Tangan
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 62"Ma, cepatan dong!" teriak Marsya."Sebentar!"Mamanya Satria meraih tanganku lalu berkata "kamu mau datang, 'kan?"Aku terdiam, tidak tahu menjawab apa. Satu sisi dalam diri meronta ingin melihat keadaan Satria. Namun, sisi lain menolak keras ajakan mamanya karena luka yang ditoreh oleh Satria sangat dalam."Ma, nggak usah bawa wanita ini ke tempat mas Satria yang ada dia tambah sakit melihat wajah wanita yang sok alim ini!" Tunjuk Marsya kasar ke arahku.Aku tidak habis pikir dengan sikap Marsya yang over terhadap kasus yang sedang aku lewati dengan Satria. Emosinya sering meledak-ledak di waktu yang tidak tepat."Marsya, kamu diam! Mama minta kamu anterin mama, bukan komentar tentang apa yang mama perbuat!" bentak Mamanya Satria."Mama selalu belaain dia, lebihnya apa, sih?" Marsya merengut kesal."Jangan banyak tanya, jantung mama bisa kumat melihat tingka
Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama
part 137"Orang dalam? Memangnya siapa yang Mama curigai?" tanya Revan, matanya berbalik menatapku."Ya ... Mama juga tidak tahu siapa," ujarku pelan."Kalau nggak tahu, nggak boleh curiga dosa yang ada," pungkas Revan.Aku hanya mengangguk pelan, meski rasa penasaran masih di bertahta di hati. Revan memintaku untuk lebih waspada dalam menjaga Arisya dan diriku sendiri. Sangat tidak enak hidup di penuhi rasa was-was yang membuat gerak dan ruang lingkup kita terbatas.Mau tidak mau, hal itu yang harus aku lakukan untuk sementara ini. Berbagai prahara yang terjadi membuatku takut dalam menghadapi dunia, melihat keramaian saja membuat pikiranku tidak tenang.****Hari ini membongkar barang-barang di dalam lemari. Memilih beberapa barang dan pakaian yang akan aku bawa ke Amerika.Banyak sekali barang-barang yang aku bawa pulang dari rumahku dulu. Ratusan sepatu dan tas pemberian Satria masih tersimpan rapi. Sangat tidak masuk akal jika aku membawa semuanya ke Amerika. Yang ada pesawatnya
part 136Aku berjalan setengah berlari menuju ke luar Mall. Puluhan orang sudah berkerumun di pos satpam."Dasar wanita gila!" teriak lelaki dalam kerumunan."Tangkap saja!""Bunuh!"Beragam teriakan dan hujatan terdengar dari warga yang berkerumun. Suara tangisan Arisya mengema di antara riuh suara kerumunan manusia."Maaf! Permisi!" teriak Revan meminta jalan di antara kerumunan warga.Aku berhasil mencapai ke dalam ruangan. Ku lihat Arisya dalam pelukan lelaki yang tidak aku kenali. Secepat kilat, ku raih Arisya kecilku. Kudekapnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Meringsek menuju sudut ruangan.Revan meraih tubuhku dan mendekap erat memberikan kenyaman yang sejenak yang sempat hilang."Van, ini wanita yang bersama anak kamu," ujar lelaki yang memegang Arisya tadi.Aku menyerahkan Arisya pada Revan, mataku beralih menatap benci ke arah wanita yang mengunakan cadar di hadapanku."Kamu siapa, hah? Kenapa kau mengambil anakku?" tanyaku berusaha menahan emosi.Wanita di hadapanku d
part 135Kami berkumpul di meja makan, sarapan pagi sebelum kami kembali ke rumah ayah. Mama sudah mempersiapkanya sebelum aku turun ke dapur."Makan yang banyak, biar mama cepat dapat cucu baru," ujar mama dengan senyum merekah, membuatku salah tingkah dan hampir tersedak."Mama mau punya berapa cucu," ujar Revan seraya memasukkan roti ke mulutnya, dengan sengaja kuinjak kakinya di bawah kolong meja."Ooooouuucch!" pekik Revan."Kenapa, Van?" tanya papa dengan wajah serius.Revan melirik ke arahku, ku balas tatapannya dengan raut wajah mengancam."Nggak apa-apa, Pa," ujar pelan."Mama pingin punya cucu 12 orang, pasti lucu-lucu, ya 'kan, pa?" ucapan mama di sambut gelak tawa papa dan Revan. Giliran aku yang meringis."Seru tu, Ma. Di buat tim sepak bola," ujar Revan dengan cengiran di sudut bibirnya."Iya, seru pastinya!" mama tertawa bahagia.Kami melanjutkan sarapan dengan suka cita. Kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Banyak wejangan yang diberikan orang tua Revan untuk kami