Langkahku beringsut mundur. Dalam hati aku selalu meminta kepada Tuhan agar mengirim hamba-Nya untuk menyelamatkanku paling tidak al-qur'an dalam tas yang sedang kupeluk.
Tawa Nurul memekakkan telinga. Aku melirik kanan dan kiri, tidak ada orang sementara Bram terus mendekat. Tuhan! Selamatkan aku atau ayat sucimu! teriakku dalam hati dengan air mata membendung.
Langkahku harus terhenti karena ada tembok besar di belakang. Bram yang berdiri dengan jarak dua meter dariku tertawa. "Ketakutan?"
Aku tidak menjawab, hanya bisa menelan saliva sambil terus memohon pertolongan. Sungguh, aku lebih takut kepada Allah. Tidak mengapa tewas dibunuh hari ini asalkan al-qur'an selamat.
"Rusakkan dulu sepeda butut ini, Yang!" perintah Nurul.
Bram mengerling nakal padaku, kemudian mendekati Nurul yang sejak tadi menginjak-injak sepeda pemberian ibu. Hatiku teriris, harga diri sudah tidak ada di hadapan mereka. Sepeda itu benar-benar hancur ditimpuk batu besar.
"Maafkan mas yang tidak bisa menjagamu, atau sekadar mengantar jemput karena harus kerja," ucap Mas Dika tulus setelah kami makan malam."Ndak apa-apa, Mas. Kan harus kerja karena adikmu yang cantik ini butuh uang!" selorohku dengan gaya sok manis."Nyesal aku ngomong kayak tadi." Mas Dika mendelik, kemudian menarik tanganku ke ruang tamu soalnya volune televisi sedikit mengganggu. "Mas penasaran sama laki-laki yang menolongmu itu. Apa jangan-jangan Kevin?""Tidak mungkin. Malam itu dia juga yang menolong sementara Kevin ada di belakangmu, toh?"Mas Dika memijit kening, dia ikut penasaran siapa lelaki yang seperti menjagaku dari jauh. Di luar daripada itu dia sempat membahas Amel.Ya, Amel lagi Amel lagi."Apa berdosa rindu pada istri orang?"Aku menatap Mas Dika tidak percaya karena selama ini dia cuek pada perempuan. Sekalinya jatuh cinta malah ditinggal menikah dan suami dari perempuan itu sekali lagi adalah teman kerjanya yang bis
Gus Qabil sangat lama, aku sedikit kesal dibuatnya. Untung anak Kyai, coba kalau bukan. Ada rasa gamang menyelimuti diri. "Apa kamu mau menjadi calon adik iparku?" "Eh?" Aku membuka mata menatap beliau tidak percaya. Namun, Gus Qabil malah langsung menunduk menjaga pandangan. Ketika aku beralih menatap Gus Hanan, dia tersenyum ramah. Hanya sekilas. Kalau menjadi calon adik ipar berarti lamaran ini untuk sang adik. Sejenak aku terhenyak. Hati dan pikiran berkecamuk tanpa henti. Gelombang air mata kini tidak mampu aku tepis. "Maafkan kami yang tidak membawa keluarga untuk meminang karena Romo Haji sedang sibuk. Tapi nanti kalau Yumna mengiyakan, kami akan sangat berterimakasih." Gus Qabil kembali membuka suara. Aku tergugu sambil terus membaca istigfar. Apakah ini saatnya mengikhlaskan segalanya bahwa kami tidak ditakdirkan bersama? "Yumna!" Ayah menepuk pundak ini sedikit kasar membuatku tersadar dari lamunan. "Iya, Ayah?" "Gus Qabil nanya, kamu mau ndak dengar siapa yang menja
Buku Gus Hanan ibu beri padaku. Katanya minta diisi sama beliau. Aku menerima dengan hati nelangsa, tidak tahu harus menulis apa di dalamnya.Dengan langkah gontai aku menuju kamar berakhir duduk di kursi belajar. Buku hampir setebal satu sentimeter itu aku buka perlahan. Pena telah siap di jari kananku.~~~Hari ini kamu datang melamar aku, tetapi masmu yang menyampaikan. Saat itu aku merasa bukan kenyataan melainkan halu. Memintamu menunggu bukan berarti aku berat menerima, Gus.Setelah kalian pulang, sore harinya aku bercerita pada Mas Dika. Dia begitu antusias, tetapi mengatakan kalau Gus Hanan rugi jika menikah denganku gara-gara senang ngeledekin mas sendiri."Gus, apa aku pantas untukmu?"Jawab:Bukan hanya Mas Dika. Ibu pun mengaku kalau Gus rugi jika harus menikah denganku yang pemalas. Engkau tidak perlu dipertanyakan lagi masalah akhlak, agama serta keturunan. Semua sudah jelas.Hehe, lucu yah Gus?Kenapa sih ha
Aku terpaku di tempat. Pelan, mata memindai kamar yang didominasi warna merah muda. Kelak kamar ini akan aku tinggal ketika sudah menikah nanti karena seorang istri sepatutnya ikut suami.Jum'at pagi aku lari-lari kecil di depan rumah karena sudah lama tidak berolahraga. Cukup mengenakan training longgar dan tebal, kaos lengan panjang serta jilbab rabbani ukuran L.Mentari pagi ini sangat benderang, kicau burung pun terdengar seperti nyanyian. Langit berhias awan tebal berwarna putih bersih. Langit seperti sedang tersenyum padaku."Mbak!"Aku menoleh. Tidak jauh dari tempatku berdiri, ada seorang anak lelaki yang kutaksir berumur sepuluh tahun. Kaki mengayun pelan, mengikis jarak hingga kami bisa saling pukul kalau mau."Ini ada surat buat Mbak Yumna!" seru anak itu. Sepertinya dia orang sini, tetapi aku kurang ingat."Dari siapa, Dek?""Mas-nya bilang rahasia Mbak." Anak itu tertawa kecil. Giginya yang ompong hampir membuatku ikut me
POV AUTHOR***Pintu rumah terbuka, senyum Amel langsung memudar ketika mengetahui siapa yang hendak bertamu. Baru saja perempuan itu ingin menutup kembali, Nurul mencegah kemudian menyeringai tipis."Apa?" Mata Amel sedikit melotot. Dia sangat tidak suka berada di sekitar Nurul karena selalu merusak mood."Boleh aku masuk dulu?" tanya Nurul sambil menunjukkan surat di tangannya.Karena penasaran, akhirnya Amel membuka pintu lebar-lebar. Perempuan penyihir yang tak lain adalah Nurul melangkah anggun sambil kembali memindai sekitar berharap ada orang lain di sini.Mereka duduk saling berhadapan. Amel memasang wajah tak suka agar tamu tak diundang di depannya cepat pergi."Ada urusan apa kamu ke sini?" ketus Amel melipat kedua tangan di depan dada."Ou, ou, ou, santai. Kamu jangan ketus begitu, okey?" Nurul mengarahkan kedua telapak tangan ke Amel yang mendelik kesal. "Aku ketakutan melihatmu, Amel.""Katakan, apa yang mem
POV YUMNA***Setelah mengantar Mas Dika sampai depan rumah, aku menyapu halaman karena tadi malam angin sedikit kencang. Daun kering pun jatuh meninggalkan pohon. Takdir berpihak karena tidak terlalu banyak."Rajin amat mantan sahabatnya Amel!"Aku menoleh. Lagi-lagi Nurul datang mengusik pekerjaan. Kalimatnya barusan menyinggung perasaan karena memang Amel tidak membalas pesan yang aku kirim kemarin. Entah fitnah apa saja yang sudah dikatakan pada Amel.Pekerjaan aku teruskan hingga sepuluh menit tidak mengindahkan semua ocehan Nurul. Bagiku itu hanyalah angin lalu yang sama sekali tidak penting. Semua rumput sudah masuk di kantong plastik hitam, aku tinggal membawanya ke penampungan sampah nanti."Ngapain kamu ke sini?" tanyaku sambil melangkah menjauh sekaligus menyimpan sapu yang mirip punya nenek sihir dalam dongeng."Untuk menyaksikan pertunjukan antara kamu dan Amel!"Aku memejamkan mata untuk menenangkan diri. Pasti Nu
"Aku melakukan drama tadi itu untuk memberi Nurul pelajaran bahwa tidak enak rasanya dijebak dan dipermalukan dj depan umum!" Lagi, Amel berucap lantang."Benar, sejak kemarin kami bersandiwara di depan Nurul. Untung saja aku bisa membaca kode dari Amel," tambah Kevin.Nurul menjauh dari Amel hendak melampar, tetapi tangan ibu mencegah. "Sampai kapan kamu mau merusak nama baik anakku, Nurul?"Para tetangga malah meneriaki Nurul. Aku kasihan, tetapi ini sebagai pelajaran agar dia tidak terus berulah seenaknya. Setelah itu dia lari tanpa sepatah kata pun, mungkin sudah sangat malu.Kevin juga pamit karena harus kembali bekerja. Ternyata demi berhasilnya rencana Amel, dia rela izin sebentar. Aku bernapas lega sekalipun masih belum percaya kalau tadi hanya sandiwara."Amel, maafkan aku!" isakku memeluknya."Hadeh, kirain pertunjukan apa, ternyata mempermalukan diri sendiri!" Samar terdengar cerocos Bu Arin mengajak komplotannya pulang."T
"Apa?" "Yumna harus mati agar impas!" Nurul mendekat padaku, kemudian berusaha mencekik leher ini. Aku berusaha menghindar, tetapi gagal. Hingga ibu mendorong Nurul sampai terhuyung ke belakang. "Ada satu hal yang belum terungkap selama ini!" Aku gemetar melihat ibu melotot seperti itu. Mungkinkah ibu akan memberitahu semua orang kalau Anisa mati bunuh diri gara-hara sedang mengandung? Sekalipun bukan Mas Dika pelakunya, tetap saja kasihan karena ketahuan pernah berzina. Aku menggeleng pelan menatap ibu yang tidak balas menatapku. Matanya memerah menyimpan linangan. "Muhammad Andika Akbar bin Fajar bin Abdullah. Itu nama putraku bernasab pada ayahnya, sementara putriku Yumna Alishba Nazafarin binti Ismail bin Sudirman." Jantungku seakan berhenti berdegup, kenapa ibu sampai membeberkan kalau aku dan Mas Dika hanya saudara seibu? Ya, kami beda ayah karena ayahnya Mas Dika meninggal dalam kecelakaan beruntun. "Sementara ka
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san